Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS FILSAFAT - IRFAN ISLAM - TASAWUF. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS FILSAFAT - IRFAN ISLAM - TASAWUF. Tampilkan semua postingan

Wasiat Terakhir Imam Ghazali


Imam Ghazali terbangun pada dini hari lalu seperti biasa melakukan shalat dan kemudian bertanya kepada adiknya, “Hari apakah sekarang ini?”

Adiknya menjawab, “Hari Senin.”

Al-Ghazali meminta sang adik mengambilkan sajadah putih yang kemudian diciumnya. Sajadah itu pun digelarnya lalu ia berbaring di atasnya sambil berkata lirih, “Ya Allah, hamba mematuhi perintah-Mu.”

Sesaat kemudian, dia pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Sementara di bawah bantalnya, ditemukan kertas bertulis bait-bait berikut, yang mungkin ditulis oleh Al-Ghazali pada malam sebelumnya.

Katakan kepada para sahabatku, ketika mereka melihatku mati, menangis untukku dan berduka bagiku.
Janganlah mengira bahwa jasad yang kau lihat ini adalah aku. Dengan nama Allah, kukatakan kepadamu, ini bukanlah aku. Aku adalah jiwa, sedangkan ini hanyalah seonggok daging. Ini hanyalah rumah dan pakaianku sementara waktu.

Aku adalah harta karun, jimat yang tersembunyi. Dibentuk oleh debu, yang menjadi singgasanaku.
Aku adalah mutiara, yang telah meninggalkan rumahnya,
Aku adalah burung, dan badan ini hanyalah sangkarku
Dan kini aku lanjut terbang dan badan ini kutinggal sebagai kenangan.

Puji Tuhan, yang telah membebaskan aku. Dan menyiapkan aku tempat di surga tertinggi.
Hingga hari ini, aku sebelumnya mati, meskipun hidup di antaramu.
Kini aku hidup dalam kebenaran, dan pakaian kuburku telah ditanggalkan.
Kini aku berbicara dengan para malaikat di atas. Tanpa hijab, aku bertemu muka dengan Tuhanku.
Aku melihat Lauh Mahfuz, dan di dalamnya aku membaca. Apa yang telah, sedang dan akan terjadi.

Biarlah rumahku runtuh, baringkan sangkarku di tanah.
Buanglah sang jimat, itu hanyalah sebuah kenang-kenangan, tidak lebih.
Sampingkan jubahku, itu hanyalah baju luarku.
Letakkan semua itu dalam kubur, biarkanlah terlupakan.

Aku telah melanjutkan perjalananku dan kalian semua tertinggal.
Rumah kalian bukanlah tempatku lagi.
Janganlah berpikir bahwa mati adalah kematian, tapi itu adalah kehidupan. Kehidupan yang melampaui semua mimpi kita di sini.
Di kehidupan ini, kita diberikan tidur. Kematian adalah tidur, tidur yang diperpanjang.

Janganlah takut ketika mati itu mendekat.
Itu hanyalah keberangkatan menuju rumah yang terberkati ini.
Ingatlah akan ampunan dan cinta Tuhanmu,
Bersyukurlah pada Karunia-Nya dan datanglah tanpa takut.

Aku yang sekarang ini, kau pun dapat menjadi. Karena aku tahu, kau dan aku adalah sama.
Jiwa-jiwa yang datang dari Tuhannya. Badan badan yang berasal sama.
Baik atapun jahat, semua adalah milik kita.

Aku sampaikan pada kalian sekarang, pesan yang menggembirakan:
Semoga kedamaian dan kegembiraan Allah menjadi milikmu selamanya.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hidup di Dunia Quantum


Oleh: Vlatko Vedral*

Mekanika quantum bukan cuma tentang partikel-partikel amat kecil. Ia berlaku pada benda segala ukuran: burung, tanaman, bahkan mungkin manusia.

Menurut buku-buku teks fisika standar, mekanika quantum adalah teori dunia mikroskopis. Ia menguraikan partikel, atom, dan molekul tapi memberi jalan kepada fisika klasik biasa mengenai skala makroskopis buah pear, manusia, dan planet. Di antara molekul dan buah pear terdapat batas di mana keanehan perilaku quantum berakhir dan kefamiliaran fisika klasik berawal. Kesan bahwa mekanika quantum terbatas pada dunia mikro telah merembesi pemahaman sains masyarakat. Contoh, fisikawan Universitas Columbia, Brian Greene, menulis di halaman pertama buku suksesnya (dan unggul), The Elegant Universe, bahwa mekanika quantum “menyediakan kerangka teoritis untuk memahami alam semesta pada skala terkecil.” Fisika klasik, yang meliputi segala teori non-quantum, termasuk teori relativitas Albert Einstein, mengurusi skala terbesar.

Tapi penyekatan dunia ini hanyalah mitos. Segelintir fisikawan modern berpikir bahwa fisika klasik memiliki status setara dengan mekanika quantum; ia tak lain adalah penaksiran berguna terhadap dunia yang quantum pada semua skala. Walaupun efek-efek quantum lebih sulit dijumpai di dunia-makro, penyebabnya tidak ada kaitan dengan ukuran melainkan dengan cara interaksi sistem-sistem quantum. Sampai dekade yang lalu, para pelaku eksperimen belum mengkonfirmasi bahwa perilaku quantum berlangsung pada skala makroskopis. Namun sekarang ini mereka biasa mengkonfirmasinya. Efek-efek ini lebih merembes daripada yang diduga siapapun. Mereka mungkin beroperasi dalam sel-sel tubuh kita.

Bahkan kami yang berkarir mempelajari efek-efek ini masih harus mencerna apa yang mereka sampaikan tentang cara kerja alam. Perilaku quantum mengelak dari visualisasi dan akal sehat. Ia memaksa kita meninjau ulang cara memandang alam semesta dan menerima gambaran dunia kita yang baru dan tak familiar.

Singkatnya, mekanika quantum lazimnya dikatakan sebagai teori benda-benda mikroskopis: molekul, atom, partikel sub-atom. Tapi hampir semua fisikawan berpikir teori ini berlaku pada segala sesuatu, tak peduli berapapun ukurannya. Alasan mengapa fitur-fitur khasnya cenderung tersembunyi bukanlah urusan skala belaka. Selama beberapa tahun terakhir para pelaku eksperimen telah menyaksikan efek-efek quantum pada sistem makroskopis yang kian bertambah banyak. Efek quantum quintesensial, yakni keterjeratan, dapat terjadi pada sistem besar dan juga hangat—termasuk organisme hidup—sekalipun goncangan molekul (molecular jiggling) mengacaukan keterjeratan.


Kisah Jeratan

Bagi fisikawan quantum, fisika klasik adalah citra hitam-putih dunia Technicolor. Kategori-kategori klasik kita gagal menangkap dunia tersebut dengan segala kekayaannya (richness). Dalam pandangan buku teks lama, corak kaya tercuci seiring peningkatan ukuran. Partikel-partikel individual adalah quantum; secara keseluruhan mereka klasik. Tapi petunjuk pertama bahwa ukuran bukanlah faktor penentu berasal dari eksperimen pikiran paling masyhur dalam fisika, kucing Schrödinger.

Erwin Schrödinger membuat skenario tak wajar ini pada 1935 untuk mengilustrasikan bagaimana dunia-mikro dan dunia-makro saling bergandengan, mencegah terbentuknya garis sembarang di antara mereka. Mekanika quantum menyatakan, sebuah atom radioaktif bisa busuk dan tidak busuk pada waktu yang sama. Jika atom tersebut terhubung dengan sebotol racun, sehingga kucing akan mati jika atom membusuk, maka sang binatang terlantar dalam status quantum yang sama sebagaimana atom. Keanehan satu menjangkiti yang lain. Ukuran tidak penting. Teka-tekinya adalah, kenapa para pemilik kucing hanya melihat peliharaan mereka hidup atau mati.


Paradoks Quantum (Mengamati Pengamat)

Ide bahwa mekanika quantum berlaku pada segala sesuatu di alam semesta, bahkan pada kita manusia, bisa berujung pada beberapa kesimpulan aneh. Pertimbangkan varian eksperimen pikiran kucing Schrödinger terkenal yang ditelurkan peraih Nobel Eugene P. Wigner pada 1961 dan dielaborasi oleh David Deutsch dari Universitas Oxford pada 1986.

Asumsikan seorang fisikawan eksperimen terampil, Alice, menempatkan temannya, Bob, di dalam sebuah ruangan bersama seekor kucing, sebuah atom radioaktif, dan racun kucing yang akan terlepas jika atom tersebut membusuk. Gunanya menempatkan manusia di situ adalah agar kita bisa berkomunikasi dengannya. (Mendapat jawaban dari kucing tidaklah semudah itu). Bagi Alice, atom memasuki status busuk dan tidak busuk, sehingga kucing mati sekaligus hidup. Namun, Bob dapat mengamati kucing secara langsung dan melihatnya hidup atau mati. Alice menyelipkan sehelai kertas ke bawah pintu, bertanya pada Bob apakah kucingnya berada dalam status definitif. Dia menjawab, “Ya.”

Camkan, Alice tidak bertanya apakah kucingnya mati atau hidup sebab baginya itu akan memaksa hasilnya atau, seperti kata para fisikawan, “mengkolapskan” status. Dia puas mengamati temannya melihat kucing itu hidup atau mati dan tidak bertanya [kondisi] mana persisnya. Karena Alice menghindar mengkolapskan status, teori quantum berpandangan bahwa penyelipan kertas ke bawah pintu merupakan aksi yang dapat dibalik (reversible act). Dia bisa membatalkan (undo) semua langkah yang diambilnya. Jika kucing itu mati, kini akan hidup, racun akan berada dalam botol, partikel belum membusuk, dan Bob tak punya ingatan pernah melihat kucing mati.

Tapi tersisa satu jejak: helai kertas tadi. Alice bisa membatalkan pengamatan sedemikian rupa tapi tidak lantas membatalkan tulisan di kertas. Kertas tersebut tetap menjadi bukti bahwa Bob telah mengamati kucing sebagai [objek] yang hidup definitif atau mati definitif.

Ini membawa kita pada kesimpulan mengherankan. Alice sanggup membalik pengamatan karena, baginya, dia menghindar mengkolapskan status; baginya, status Bob sama tidak tentunya dengan kucing. Tapi teman di dalam ruangan menganggap status tersebut memang kolaps. Orang ini memang melihat hasil definitif; kertas itu buktinya. Dengan demikian, eksperimen ini mendemonstrasikan dua prinsip yang tampaknya kontradiktif. Alice berpikir mekanika quantum berlaku pada objek-objek makroskopis: bukan hanya kucing, Bob juga berada dalam status terlantar quantum. Bob berpikir bahwa kucing-kucing hanya bisa mati atau hidup [tidak mati sekaligus hidup].

Mengerjakan eksperimen semacam ini terhadap seluruh manusia akan menimbulkan keputusasaan, tapi fisikawan dapat melaksanakan hal yang sama dengan sistem-sistem sederhana. Anton Zeilinger dan koleganya di Universitas Wina mengambil sebuah photon dan melambungkannya pada cermin besar. Jika photon terpantul, maka cermin terpental, tapi jika photon menembus, maka cermin tetap di tempatnya. Photon memainkan peran atom membusuk; ia bisa eksis secara serentak dalam lebih dari satu status. Cermin, tersusun dari miliaran atom, beraksi sebagai kucing dan Bob. Entah terpental atau tidak, ini analogis dengan [status] kucing yang hidup atau mati dan oleh Bob terlihat hidup atau mati. Proses ini dapat dibalik dengan memantulkan photon kembali ke cermin. Pada skala lebih kecil, tim-tim yang dipimpin Rainer Blatt dari Universitas Innsbruck dan David J. Wineland dari National Institute of Standards and Technology di Boulder, Colorado, telah membalik pengukuran ion-ion bervibrasi dalam perangkap ion.

Dalam mengembangkan eksperimen pikiran berliku-liku ini, Wigner dan Deutsch mengikuti jejak Erwin Schrödinger, Albert Einstein, dan teoris-teoris lain yang berargumen bahwa fisikawan masih harus memahami mekanika quantum secara dalam. Selama berdekade-dekade, kebanyakan fisikawan nyaris tidak peduli, sebab isu-isu mendasar tidak berefek terhadap penerapan praktis teori. Tapi kini setelah kita mampu melakukan eksperimen-eksperimen ini secara serius, tugas memahami mekanika quantum menjadi kian urgen.

Dalam sudut pandang modern, dunia tampak klasik karena interaksi kompleks sebuah objek dengan sekitarnya bersekongkol untuk menyembunyikan efek-efek quantum dari penglihatan kita. Informasi tentang status kesehatan kucing, misalnya, bocor dengan pesat ke lingkungannya dalam bentuk photon dan pertukaran panas/kalor. Fenomena quantum khas melibatkan kombinasi status klasik berlainan (seperti status mati dan hidup), dan kombinasi ini cenderung berdisipasi. Kebocoran informasi merupakan esensi sebuah proses yang dikenal sebagai dekoherensi [lihat “100 Tahun Misteri Quantum”, tulisan Max Tegmark dan John Archibald Wheeler, Scientific American, Februari 2001].

Benda-benda yang lebih besar cenderung lebih rentan terhadap dekoherensi dibanding benda-benda kecil. Ini menjadi alasan kenapa fisikawan biasanya dapat mengelak dari mengakui mekanika quantum sebagai teori dunia-mikro. Tapi dalam banyak kasus, kebocoran informasi dapat dilambatkan atau dihentikan, dan kemudian dunia quantum menampakkan diri kepada kita dengan segala keagungannya. Efek quantum quintesensial adalah keterjeratan, sebuah istilah yang diciptakan Schrödinger dalam makalah tahun 1935 yang sama yang memperkenalkan kucingnya kepada dunia. Keterjeratan mengikat partikel-partikel individual ke dalam kesatuan tak terbagi-bagi. Sistem klasik selalu dapat dibagi-bagi, setidaknya secara prinsip; apapun atribut kolektifnya, itu timbul dari komponen-komponen yang memiliki atribut tertentu. Tapi sistem terjerat tidak dapat dibongkar dengan cara ini. Keterjeratan mempunyai konsekuensi aneh. Sekalipun partikel-partikel terjerat terpisah jauh, mereka masih berperilaku sebagai entitas tunggal, membuat Einstein memberi julukan terkenal “tindakan menyeramkan di kejauhan”.

Biasanya fisikawan membicarakan keterjeratan pasangan-pasangan partikel unsur semisal elektron. Partikel semacam ini boleh dibayangkan, secara kasar, sebagai gasing mini yang berotasi searah atau berlawanan jarum jam, sumbu mereka menunjuk ke arah tertentu: horizontal, vertikal, 45 derajat, dan seterusnya. Untuk mengukur pusingan sebuah partikel, Anda harus memilih suatu arah lalu melihat apakah partikel berpusing ke arah tersebut.

Asumsikan, sebagai argumentasi, elektron-elektron berperilaku secara klasik. Anda dapat menyetel satu elektron agar berpusing horizontal searah jarum jam dan elektron lain berpusing horizontal berlawanan jarum jam; dengan begitu pusingan total mereka adalah nol. Sumbu mereka tetap terpaku di ruang, dan ketika Anda melakukan pengukuran, hasilnya tergantung pada apakah arah yang Anda pilih sejajar dengan sumbu partikel. Jika Anda mengukur dua-duanya secara horizontal, Anda melihat keduanya berpusing ke arah berlawanan; jika mengukur mereka secara vertikal, Anda tak mendeteksi pusingan sama sekali.

Namun, untuk elektron quantum, situasinya sangat berbeda. Anda dapat menyetel partikel-partikel ini agar memiliki pusingan total nol sekalipun Anda belum menentukan bagaimana pusingan mereka masing-masing. Ketika mengukur salah satu partikel, Anda akan melihatnya berpusing searah jarum jam atau berlawanan jarum jam, secara sembarang. Seolah-olah partikel menentukan sendiri ke arah mana berpusingnya. Meski demikian, tak peduli arah mana yang Anda pilih untuk mengukur elektron-elektron ini, asalkan sama untuk keduanya, mereka akan selalu berpusing ke arah berlawanan, satu searah jarum jam dan satu sebaliknya. Bagaimana mereka bisa tahu dan berbuat demikian? Ini masih menjadi misteri. Lebih jauh, jika Anda mengukur satu partikel secara horizontal dan partikel lain secara vertikal, Anda tetap akan mendeteksi pusingan untuk masing-masing; rupanya partikel-partikel ini tak memiliki sumbu rotasi pasti. Oleh karena itu, hasil pengukuran tidak dapat dijelaskan oleh fisika klasik.


Beraksi Sebagai Kesatuan

Sebagian besar demonstrasi keterjeratan paling banter melibatkan segenggam partikel. Semakin besar, semakin sulit untuk diisolasi dari lingkungan mereka. Partikel-partikel di dalam mereka semakin mungkin untuk terjerat dengan partikel-partikel nyasar, mengaburkan interkoneksi awal. Menurut bahasa dekoherensi, terlalu banyak informasi yang bocor ke lingkungan, mengakibatkan sistem berperilaku klasik. Kesulitan dalam mempertahankan keterjeratan adalah tantangan utama bagi kita yang berupaya mengeksploitasi efek-efek baru ini untuk kegunaan praktis, misalnya komputer quantum.

Sebuah eksperimen apik di tahun 2003 membuktikan sistem-sistem besar juga dapat tetap terjerat bilamana kebocorannya dikurangi atau ditiadakan. Gabriel Aeppli dan koleganya dari University College London menempatkan sepotong garam lithium flouride di sebuah medan magnet eksternal. Anda dapat membayangkan atom-atom dalam garam sebagai magnet mini berpusing yang mencoba menyejajarkan diri dengan medan eksternal, sebuah respon yang dikenal sebagai kerentanan magnetik (magnetic susceptibilty). Gaya yang dikerahkan atom-atom terhadap satu sama lain beraksi sebagai sejenis tekanan sebaya untuk membariskan mereka lebih cepat. Seraya mengubah-ubah kekuatan medan magnet, para periset mengukur seberapa cepat atom-atom menjadi sejajar. Mereka menemukan, atom-atom merespon jauh lebih cepat daripada yang diindikasikan oleh kekuatan interaksi timbal-balik mereka. Jelas suatu efek tambahan membantu atom-atom beraksi serempak, dan para periset berargumen keterjeratanlah pelakunya. Jika demikian, 1020 atom garam membentuk status amat terjerat. Lihat gambar di bawah:


Untuk menghindari efek-efek gerak sembarang memalukan yang terkait dengan energi kalor, tim Aeppli melakukan eksperimen pada temperatur sangat rendah—beberapa mili-kelvin. Namun, sejak saat itu Alexandre Martins de Souza dan koleganya dari Brazilian Center for Physics Research di Rio de Janeiro telah menemukan keterjeratan makroskopis dalam material seperti karboksilat tembaga pada suhu ruangan dan lebih tinggi. Pada sistem-sistem ini, interaksi di antara pusingan-pusingan partikel cukup kuat untuk menahan balau termal (thermal chaos). Dalam kasus-kasus lain, sebuah gaya eksternal menangkis efek-efek termal [lihat “Easy Go, Easy Come”, tulisan George Musser, News Scan, Scientific American, November 2009]. Fisikawan telah menyaksikan keterjeratan pada sistem-sistem yang ukuran dan suhunya kian naik, mulai dari ion-ion yang diperangkap oleh medan elektromagnetik, atom-atom ultra-dingin pada kekisi, sampai bit-bit quantum superkonduktif . Lihat tabel di bawah:


Sistem-sistem ini analogis dengan kucing Schrödinger. Pikirkan sebuah atom atau ion. Elektron-elektronnya dapat eksis dekat nukleus atau lebih jauh—atau dua-duanya pada waktu yang sama. Elektron semacam ini beraksi seperti atom radioaktif yang telah membusuk atau belum membusuk dalam eksperimen pikiran Schrödinger. Terlepas dari apa yang dikerjakan elektron tersebut, atom secara keseluruhan boleh jadi sedang bergerak, katakanlah, ke kiri atau ke kanan. Gerak ini memainkan peran kucing mati atau hidup. Menggunakan laser untuk memanipulasi atom, fisikawan dapat menggandengkan kedua atribut. Jika elektron dekat dengan nukleus, kita dapat membuat atom bergerak ke kiri, sedangkan jika elektron lebih jauh, kita gerakkan atom ke kanan. Jadi status elektron terjerat dengan gerakan atom, sebagaimana pembusukan radioaktif terjerat dengan status kucing. Kucing yang hidup sekaligus mati ditiru oleh atom yang bergerak ke kiri sekaligus ke kanan.

Eksperimen-eksperimen lain memperluas ide dasar ini, agar banyak atom menjadi terjerat dan memasuki status-status yang dianggap mustahil oleh fisika klasik. Dan jika benda-benda padat dapat terjerat sekalipun mereka besar dan hangat, cuma butuh lompatan imajinasi kecil untuk bertanya apakah hal yang sama berlaku untuk sistem besar dan hangat yang istimewa: kehidupan.


Burung Schrödinger

Robin Eropa adalah burung kecil yang cerdik. Setiap tahun mereka bermigrasi dari Skandinavia menuju dataran khatulistiwa Afrika yang hangat kemudian pulang di musim semi, ketika cuaca di utara lebih dapat ditolerir. Robin-robin mengarungi perjalanan pulang-pergi sejauh 13.000 kilometer ini dengan mudah dan alami.


Manusia sudah lama bertanya-tanya apakah burung dan binatang lain memiliki suatu kompas terintegrasi. Pada 1970-an, suami-isteri Wolfgang dan Roswitha Wiltschko dari Universitas Frankfurt di Jerman menangkap burung-burung robin yang sedang bermigrasi ke Afrika dan menempatkan mereka di medan magnet buatan. Anehnya, ternyata robin-robin tersebut tak menyadari pembalikan arah medan magnet, mengindikasikan bahwa mereka tak dapat membedakan utara dan selatan. Namun, burung-burung ini merespon inklinasi medan magnet bumi—yakni, sudut antara garis-garis medan dan permukaan. Cuma itu yang mereka butuhkan untuk berlayar. Yang menarik, robin-robin yang matanya ditutupi kain tidak merespon medan magnet sama sekali, mengindikasikan mereka mengindera medan dengan mata.

Pada tahun 2000, Thorsten Ritz, kala itu fisikawan di Universitas Southern Florida yang tertarik pada burung-burung migrasi, bersama koleganya mengemukakan bahwa keterjeratan adalah kuncinya. Dalam skenario mereka, yang memperluas penelitian terdahulu Klaus Schulten dari Universitas Illinois, mata burung mempunyai tipe molekul di mana dua elektron membentuk pasangan terjerat dengan pusingan total nol. Situasi semacam ini tak dapat ditiru dengan fisika klasik. Ketika molekul ini menyerap cahaya tampak (visible light), elektron-elektron mendapat cukup energi untuk berpisah dan menjadi rentan terhadap pengaruh eksternal, termasuk medan magnet bumi. Jika medan magnet berinklinasi, itu mempengaruhi dua elektron secara berbeda, menciptakan ketidakseimbangan yang mengubah reaksi kimiawi yang dialami molekul. Jalur kimiawi di mata menerjemahkan perbedaan ini ke dalam impuls syaraf, akhirnya menciptakan citra medan magnet di otak burung.

Walaupun bukti pendukung mekanisme Ritz adalah bukti tidak langsung, Christopher T. Rogers dan Kiminori Maeda dari Universitas Oxford telah mempelajari molekul-molekul yang serupa dengan milik Ritz di laboratorium (bukan di dalam binatang hidup) dan memperlihatkan bahwa molekul-molekul ini memang sensitif terhadap medan magnet akibat keterjeratan elektron. Menurut kalkulasi yang saya dan kolega lakukan, efek-efek quantum berlangsung di mata burung selama sekitar 100 mikrodetik—yang, dalam konteks ini, sangat lama. Rekor untuk sistem pusingan elektron yang direkayasa secara artifisial adalah sekitar 50 mikrodetik. Kami belum tahu bagaimana sistem alam dapat mempertahankan efek quantum begitu lama, tapi jawabannya bisa memberi kita ide bagaimana cara melindungi komputer quantum dari dekoherensi.

Satu proses biologis lain di mana keterjeratan beroperasi adalah fotosintesis, proses tanaman mengkonversi sinar matahari menjadi energi kimia. Cahaya masuk (incident light) mengeluarkan elektron yang berada di dalam sel-sel tanaman, dan elektron-elektron ini perlu menemukan jalan menuju tempat yang sama: pusat reaksi kimia di mana mereka dapat menyimpan energi dan memicu reaksi yang mentenagai sel-sel tanaman. Fisika klasik gagal menjelaskan efisiensi nyaris sempurna ini.

Eksperimen oleh beberapa kelompok, seperti Graham R. Fleming, Mohan Sarovar dan kolega mereka di Universitas California, Berkeley, dan Gregory D. Scholes dari Universitas Toronto, menyiratkan bahwa mekanika quantum-lah yang bertanggungjawab atas efisiensi tinggi proses tersebut. Di dunia quantum, sebuah partikel tidak harus menempuh satu jalur pada satu waktu; ia dapat menempuh semuanya sekaligus. Medan-medan elektromagnetik dalam sel tanaman bisa membuat sebagian jalur ini saling menghapuskan dan sebagian lainnya saling menguatkan, dengan begitu mengurangi peluang elektron mengambil jalan memutar yang boros dan meningkatkan peluang ia dikemudikan lurus ke pusat reaksi.

Keterjeratan hanya berlangsung sepecahan detik dan melibatkan molekul-molekul yang memiliki tak lebih dari 100.000 atom. Apakah contoh-contoh keterjeratan yang lebih besar dan lebih lama eksis di alam? Kita belum tahu, tapi pertanyaan ini cukup menggairahkan untuk merangsang disiplin ilmu yang sedang muncul: biologi quantum.


Makna Semua Ini

Bagi Schrödinger, prospek kucing yang hidup sekaligus mati adalah keabsurdan; teori apapun yang membuat prediksi semacam itu pasti bercacat. Bergenerasi-generasi fisikawan sama-sama memikul kegelisahan ini dan menganggap mekanika quantum akan berhenti berlaku pada skala lebih besar lagi. Pada 1980-an, Roger Penrose dari Oxford menyatakan gravitasi mungkin dapat membuat mekanika quantum mengalah pada fisika klasik untuk objek-objek yang lebih besar dari 20 mikrogram, dan trio fisikawan Italia—Gian Carlo Ghirardi dan Thomas Weber dari Universitas Trieste dan Alberto Rimini dari Universitas Pavia—mengemukakan partikel-partikel dalam jumlah besar secara spontan berperilaku klasik. Tapi eksperimen-eksperimen kini menyisakan ruang sedikit sekali untuk beroperasinya proses demikian. Pembagian antara dunia quantum dan dunia klasik rasanya tidak fundamental. Ini cuma soal kecerdikan eksperimen, dan segelintir fisikawan kini berpikir fisika klasik bagaimanapun akan bangkit kembali. Meskipun terdapat perbedaan, keyakinan umumnya adalah, jika sebuah teori yang lebih dalam menggantikan fisika quantum, itu akan menunjukkan bahwa dunia lebih kontraintuitif lagi daripada yang kita pahami sejauh ini.

Jadi, fakta bahwa mekanika quantum berlaku pada semua skala memaksa kita menghadapi misteri-misteri terdalamnya. Kita tidak boleh mencoretnya sebagai rincian belaka yang hanya berarti pada skala terkecil. Contoh, ruang dan waktu adalah dua dari konsep-konsep klasik paling fundamental, tapi menurut mekanika quantum mereka adalah sekunder. Keterjeratanlah yang primer. Keterjeratan menginterkoneksi sistem-sistem quantum tanpa menyinggung ruang dan waktu. Jika ada garis pemisah antara dunia quantum dan dunia klasik, kita dapat menggunakan ruang dan waktu dunia klasik guna menyediakan kerangka untuk melukiskan proses-proses quantum. Tapi tanpa garis pemisah semacam itu—dan bahkan tanpa dunia klasik—kita kehilangan kerangka ini. Kita harus menjelaskan ruang dan waktu muncul dari fisika tanpa ruang dan tanpa waktu.

Pemahaman ini, pada gilirannya, akan membantu kita merukunkan fisika quantum dengan pilar besar fisika lainnya, teori relativitas umum Einstein, yang menggambarkan gaya gravitasi dari segi geometri ruang-waktu. Relativitas umum berasumsi bahwa objek-objek memiliki posisi pasti dan tak pernah berada di lebih dari satu tempat pada waktu yang sama—kontradiktif dengan fisika quantum. Banyak fisikawan, seperti Stephen Hawking dari Universitas Cambridge, berpikir bahwa teori relativitas harus mengalah pada teori yang lebih dalam di mana ruang dan waktu tidak eksis. Ruang-waktu klasik muncul dari keterjeratan quantum melalui proses dekoherensi.

Satu kemungkinan yang lebih menarik lagi adalah bahwa gravitasi sendiri bukan gaya melainkan derau (noise) sisa yang timbul dari kekaburan quantum gaya-gaya lain di alam semesta. Ide “gravitasi terangsang” (induced gravity) ini berasal dari fisikawan nuklir dan pembangkang Soviet, Andrei Sakharov, pada tahun 1960-an. Jika benar, ini tak hanya akan menurunkan gravitasi dari status gaya fundamental tapi juga mengindikasikan upaya-upaya “quantisasi” gravitasi telah salah jalan. Bahkan gravitasi mungkin tidak eksis di level quantum.

Implikasi status terlantar quantum objek-objek makroskopis seperti kita memang cukup mengagetkan, sampai-sampai fisikawan masih terjerat dalam status bingung dan kagum.


*Vlatko Vedral menjadi terkenal setelah mengembangkan cara baru dalam mengquantisasi keterjeratan dan menerapkannya pada sistem-sistem fisikal makroskopis. Dia menempuh studi prasarjana dan sarjana di Imperial College London. Sejak Juni 2009, dia terjerat status gurubesar di Universitas Oxford dan National University Singapura. Selain fisika, Vedral menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya dan bermain gitar listrik Yamaha dengan amplifier Marshall yang dikeraskan sampai angka 11 (Sumber: Scientific American, Juni 2011, hal 38-43).

(Tarikrafii/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tasawuf Dalam Pandangan Imam Khomeini


Oleh: KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat

Pada 12 Day 1367 HS (merujuk ke penanggalan Iran – Red.), satu rombongan Iran tiba di istana Kremlin. Mereka datang bukan untuk tujuan politik, kebudayaan, ataupun ekonomi. Pemimpin rombongan bukan presiden, menteri, atau tokoh kenamaan dalam kerajaan. Ayatullah Syaikh Javadi Amuli – alim, mufasir, dan filosof Islam – menemui Gorbachev untuk menyampaikan surat Imam Khomeini. Selama 65 menit, Gorbachev menyimak surat Imam dengan penuh perhatian. Sekali-sekali air mukanya berubah, mengikuti apa yang didengarnya. Untuk pertama kalinya ia mendengar langsung serangan kepada ideologinya, pandangan hidupnya, bahkan hakikat dirinya. Imam Khomeini menulis antara lain:

Dialah Allah, yang Mahamulia Mahatinggi. Kepada-Nya kita semua menuju, walaupun kita sendiri tidak menyadarinya. Manusia selalu berkeinginan mencapai ‘Haq yang Mutlak’ untuk melebur dalam Allah. Pada prinsipnya, sesungguhnya kerinduan pada kehidupan abadi yang berakar pada fitrah manusia adalah bukti tentang wujudnya alam kekal, yang terlepas dari kematian.

Jika Anda ingin meneliti persoalan ini, Anda dapat memerintahkan orang-orang yang takhasus dalam ilmu-ilmu ini untuk menelaah – di samping buku-buku filsafat Barat – tulisan Al-Farabi dan Abu Ali Sina r.a. dalam Hikmat Al-Mashaiyyin untuk menjelaskan bahwa hukum sebab-akibat bersifat ma’qul dan bukan mahsus (berdasarkan kepada pancaindra), walaupun semua kriteria – yang aqliah dan yang hisiyah – bersandar padanya. Begitu pula menjadi jelas bahwa meng-idrak makna yang kulliy dan prinsip-prinsip umum adalah idrak yang aqliah dam bukan hisiyah, walaupun semua istidlal – yang hisiyah dan aqliah – bersandar juga padanya?

Mereka juga boleh merujuk kepada kitab-kitab Suhrawardi dalam Hikmat Al-Isyraq sehingga jelas bagi Anda bahwa jisim dan semua maujud material memerlukan nur mutlak yang tidak dapat di-idrak dengan pancaindera. Demikian pula idrak yang syuhudi dan langsung dari diri manusia pada hakikatnya terlepas dari gejala-gejala hisiyah.

Perintahkanlah para profesor besar untuk menelaah Asfar Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah dari Shadr Al-Muta’allihin sehingga jelas bahwa hakikat ilmu adalah wujud yang terlepas dari materi dan bahwa semua makrifat hakiki terlepas dari kebendaan dan tidak tunduk pada hukum dan kriterianya.

Saya tidak bermaksud menyulitkan Anda. Saya tidak menyentuh kitab para ‘urafa, terutama sekali kitab Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Bila Anda mau menelaah pembahasan orang besar ini, Anda boleh memilih beberapa orang pandai di antara para sarjana Anda yang mempunyai kemampuan untuk sampai ke pembahasan ini dan mengantar mereka ke Qum untuk meneliti – dengan tawakkal kepada Allah – selama beberapa tahun sehingga mendalami tingkat-tingkat makrifat, sedalam-dalamnya. Tanpa perjalanan ini, tidak mungkin tercapai makrifat seperti itu.

Setelah selesai mendengarkan pembacaan surat, Gorbachev antara lain berkata, “Sebagaimana Imam Khomeini mengajak kami kepada Islam, bolehkah kami juga mengajak Imam untuk menerima akidah kami.” Tetapi ucapan ini segera disusulnya dengan perkataan, “Saya hanya bergurau belaka.”

Kepada utusan Gorbachev yang datang ke Qum, Shevamadze, Imam Khomeini berkata, “Aku ingin membukakan kepadanya satu lubang dari alam gaib. Aku tidak bermaksud berbicara kepadanya tentang hal-hal yang material.”[1]

Surat Imam Khomeini kepada Gorbachev sangat menarik untuk kita teliti. Bukan saja karena itu merupakan surat panggilan kepada Islam, yang ditulis seorang pemimpin Islam buat pemimpin “Kafir”; dan bukan saja karena surat itu meramalkan dengan tepat kejatuhan sistem komunisme (dan Marxisme-Materialisme). Surat itu menarik karena di dalamnya terdapat petunjuk awal bagi mereka yang ingin menempuh jalan menuju Allah, Al-Haq Al-Muthlaq, Al-Nur Al-Muthlaq. Imam Khomeini menyebut ahli hikmah seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina; juga ahli makrifat seperti Suhrawardi dan Ibn Arabi. Inilah petunjuk jalan bagi orang yang ingin meninggalkan dunia material di alam syahadah menuju dunia ruhani di alam gaib. Inilah pengantar kepada apa yang lazim disebut tasawuf – walaupun Imam Khomeini tidak menyebutnya demikian.


Apa yang Disebut Tasawuf?

Dalam berbagai ucapan dan tulisannya, Imam tidak pernah secara khusus menyebut kata tasawuf. Sebagai gantinya, beliau sering menyebut kata ‘irfan. Memang ada banyak definisi tentang tasawuf. Al-Suhrawardi mengatakan, “Qawl para guru tasawuf tentang apa itu tasawuf lebih dari seribu banyaknya, yang tentunya akan panjang sekali kalau dikutip semuanya.”[2]

Walaupun begitu, Al-Suhrawardi menyebutkan juga beberapa definisi dari tokoh-tokoh kenamaan dalam dunia tasawuf. Seperti Al-Suhrawardi, kita pun akan mengutipkan sebagian darinya. Tidak terinci, tetapi sekadar contoh saja.[3]

Menurut Abu Sa’id Al-Kharraz (wafat 268 H): Ia ditanya tentang sufi dan ia berkata, “Orang yang telah Allah bersihkan hatinya. Kemudian hatinya dipenuhi cahaya. Ia masuk dalam hakikat kenikmatan dengan berzikir kepada Allah.”

Menurut Al-Junayd Al-Baghdadi (wafat 497 H): “Tasawuf ialah (keadaan ketika) Al-Haq mematikan kamu dari kamu dan menghidupkan kamu dengan-Nya.”

Menurut Abu Bakar Al-Kattani (wafat 322 H): “Tasawuf ialah shafa (penyucian) dan musyahadah (penyaksian).”

Menurut Ja’far Al-Khuldi (wafat 348 H): “Tasawuf ialah menenggelamkan diri dalam ‘ubudiyyah, keluar dari basyariyyah, dan melihat kepada Al-Haq secara kuliyyah.”

Sewaktu Al-Syibli ditanya tentang tasawwuf, ia berkata, “Permulaannya makrifat kepada Allah dan akhirnya mengesakan-Nya.”

Tanpa penjelasan tambahan, definisi-definisi itu tidak berarti apa-apa. Pada umumnya, orang mengelirukan pengertian tasawuf dengan “zuhud” dan “ibadah”; atau sufi dengan zahid dan ‘abid. Adalah Ibnu Sina yang membedakan dengan jelas ketiganya; dan dengan begitu menegaskan makna tasawuf.

Zahid adalah orang yang memalingkan diri dari kesenangan dan kenikmatan dunia. ‘abid adalah orang yang memelihara perbuatan ibadat seperti shalat dan puasa. ‘arif adalah orang yang memusatkan perhatiannya kepada kesucian jabarut, terus-menerus mempertahankan sinar cahaya Al-Haq dalam sirr-nya. Dan ‘arif yang dimaksud oleh Ibnu Sina adalah sufi yang kita maksud dalam pembicaraan sekarang.

Seseorang boleh zahid, tetapi tidak ‘abid; seperti juga seseorang boleh ‘abid tetapi tidak zahid. Baik zahid maupun ‘abid belum tentu ‘arif Tetapi seorang ‘arif telah semestinya ‘abid dan zahid. Ibadah dan zuhud seorang ‘arif (sufi) berbeda dari ibadah dan zuhud seorang yang bukan ‘arif. Menurut Al-Tilimsani, yang membedakannya adalah tujuan, bukan cara. Seorang sufi berlaku zuhud karena ia ingin menghindarkan diri dari sesuatu yang memalingkan perhatiannya dari Allah SWT. Ia juga beribadah bukan karena menginginkan pahala atau takut akan neraka. Sufi beribadat karena Ia berhak diibadati. Sufi menyembah Allah karena cinta.

Imam Ali berkata, “Ada kaum yang menyembah Allah karena menginginkan pahala, itulah ibadat pedagang. Ada kaum yang menyembah Allah karena takut akan siksanya, itulah ibadat hamba sahaya. Ada kaum yang menyembah Allah karena syukur kepada-Nya, itulah ibadat manusia bebas.”[4]

Rabi’ah berdoa, “Tuhanku, jika sekiranya aku menyembah-Mu karena takut akan api nerakamu, masukkanlah aku ke dalamnya. Bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surgamu, jauhkanlah aku darinya. Tetapi jika sekiranya aku menyembah-Mu karena Engkau semata (karena wajah-Mu yang mulia), jangan haramkan aku dari memandang-Nya.”

Walhasil, tasawuf sebenarnya adalah tahapan lebih lanjut dari ibadat dan zuhud. Orang menjadi sufi bila ia telah meninggalkan ibadat yang ananiyah (egoistik) menuju ibadat yang semata-mata berdasarkan cinta; bila ia telah berhijrah dari “aku”-nya menuju Allah SWT. Tasawuf pada hakikatnya adalah perjalanan ruhani. Al-Ghazali menulis:[5]

Sufi mempunyai jalan ruhani yang ia jalani. Jalan itu disandarkan – dalam asas, manhaj, dan tujuannya – pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Telah disebutkan pada pasal sebelumnya ucapan para tokoh tasawuf yang menegaskan dan menjelaskan keteguhan mereka dalam berpegang pada Al-Quran dalam perjalanan mereka menuju Allah SWT.

Jalan ini telah dicoba oleh para sufi. Hasilnya juga diperkuat dengan jalan percobaan. Jauhar jalan sufi ialah apa yang mereka sebut maqam dan hal. Maqam adalah derajat-derajat ruhani yang dilewati seorang salik ketika berjalan menuju Allah. Dalam derajat itu ia berhenti sampai waktu tertentu, berjuang mempertahankannya, sehingga Allah mengantarkannya ke derajat berikutnya. Dengan begitu, ia naik dalam tingkat ruhaninya dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Begitulah, derajat tawbah mengantarkan ke derajat wara’, derajat wara’ mengantarkan ke derajat zuhud. Begitulah terus-menerus, sampai akhirnya manusia mencapai derajat cinta, dan dari situ ke derajat ridha.

Derajat-derajat ini mesti dicapai dengan jihad dan penyucian diri. Karena itu, mereka mengatakan: derajat ini dicapai (bukan dianugerahkan) dengan bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan berusaha keras mencapai hakikat ‘ubudiyyah. Adapun hal adalah embusan ruhani yang dianugerahkan kepada salik. Di situ dirinya menghirup embusan ruhani itu beberapa saat, lalu berjalan lagi dengan meninggalkan semerbaknya. Ruhnya merindukan untuk mengisap wanginya itu lagi. Satu misal, hal adalah uns (kerinduan kepada Allah).

Secara singkat, tasawuf adalah perjalanan ruhani menuju Allah. Dalam perjalanan itu, seorang salik akan memperolehi pengetahuan ruhani tentang derajat yang dilewatinya. Karena itu, tasawuf sebetulnya sebuah mazhab epistemologis. Tasawuf mengajarkan metode sistematik untuk memperoleh pengetahuan seperti itu (lazimnya disebut makrifat). Makrifat atau ‘irfan yang diperoleh sufi menunjukkan pandangan-dunia (world- view) yang khas. Karena itu, tasawuf juga sebuah mazhab ontologis.

Pada mazhab Ahli Sunnah, metode sistematik tasawuf – yang dirumuskan oleh pendiri aliran – biasanya disebut thariqat. Sebanyak pendirinya, sebanyak itulah aliran thariqat. Tasawuf yang diajarkan oleh Imam Khomeini (q.s.) – bila dapat disebut thariqat – bersumber pada para imam Ahli Bayt a.s. Pada Ahli Sunnah, para ulama dapat mengambil mazhab Syafi’i dalam fiqih tetapi Niqsyabandi dalam tasawuf. Pada mazhab Ahli Bayt a.s. tidak ada aliran thariqat (karena thariqat tidak terlepas dari ilmu-ilmu Islam yang lain; semuanya bersumber pada ajaran para imam Ahli Bayt a.s.).

Tetapi, secara ontologis, Imam Khomeini (q.s.) banyak mengambil pelajaran dari Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi, guru besar ilmu tasawuf dari kalangan Ahli Sunnah. Pada usia kurang duapuluh tujuh tahun, Imam Khomeini belajar Syarh Fushush Al-Hikam dari alim besar dalam ‘irfan, Ayatullah Syahabadi selama enam tahun. Pelajaran ini diikutinya setelah menamatkan kitab Al-Asfar dari Mulla Shadra. Setelah menyelesaikan Fushush Al-Hikam, Imam Khomeini kemudian menelaah kitab ‘irfan lainnya, Mishbah Al-Uns. Sebelum mencapai usia tiga puluh lima tahun, Imam Khomeini telah menulis ta’liqat pada Syarh Fushush Al-Hikam dari Al-Qusairi dan ta’liqat pada Mishbah Al-Uns dari Shadr Al-Din Al-Qunawi,[6] di samping kitab-kitab lainnya dalam ‘irfan seperti Mishbah Al-Hidayah dan Syarh Du’a Al-Sahar.

Walaupun Imam Khomeini (q.s.) seorang marja’ dalam fiqih Ja’fari (dan menulis banyak kitab berkenaan dengan masalah-masalah fiqhiyah seperti Kitab Al-Bay’, Tahrir Al-Wasilah, Al-Rasa-il), ia banyak berbicara dan menulis berkenaan dengan ‘irfan. Untuk mengetahui serba sedikit ajaran beliau berkenaan dengan suluk (metode memperoleh makrifat), dan aspek ontologis (pandangan-dunia sufi), saya akan banyak mengutip dari Sharh Chehel Hadith (Syarh Empat Puluh Hadis, sebuah kitab yang penuh dengan petunjuk-petunjuk tasawuf) dan Al-Adab Al-Ma’nawiyyah li Al- Shalat.


Suluk: Perjalanan Menuju Allah

Dalam suratnya kepada Gorbachev, Imam Khomeini berkata, “Kepada-Nya kita semua menuju, walaupun kita sendiri tidak menyadarinya. Manusia selalu berkeinginan mencapai ‘Haq yang Mutlak’ untuk melebur dalam Allah.” Perkataan beliau ini menggemakan kembali apa yang pernah ditulis oleh Ibn ‘Arabi. Kita semua kembali kepada Tuhan. Sebagian besar kembali kepada-Nya secara terpaksa (ruju’ idhthirari). Sebagian kecil ingin kembali kepada-Nya secara sukarela (ruju’ ikhtiyari).

Untuk kembali kepada Allah dengan sukarela, kita mesti dengan kuat menanggalkan ananiyyah kita, rumah kita yang gelap, dan sekaligus berhala kita. Kita keluar dari rumah kita, berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Khomeini mengutip firman Allah, “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian maut mengenainya, ia akan memperolehi pahalanya disisi Allah.” (QS 4: 100).

Ketika menjelaskan hadis ke-37, Imam Khomeini berkata:[7] Sesungguhnya syarat pertama dalam perjalanan menuju Allah adalah keluar dari rumah diri, keakuan dan ananiyyah, yang gelap-gulita. Bukankah manusia dalam perjalanan lahiriah yang dapat diketahui dengan pancaindera saja belum dikira berjalan selama ia tetap tinggal di tempatnya atau di rumahnya; sekali pun ia mengkhayalkan perjalanan atau membayangkan dirinya sebagai musafir. Untuk disebut musafir, ia mesti meninggalkan tempat dan menjauhi rumahnya.

Begitu pula safar ‘irfani menuju Allah dan hijrah syuhudiyah tidak akan terjadi kecuali dengan meninggalkan rumah diri yang gelap dan dengan menghilangkan kesan-kesannya. Selama kesan-kesan ta’ayyunat masih dapat disaksikan, selama suara-suara katsrat masih terdengar, manusia belum dianggap sebagai musafir. Ia hanya berkhayal melakukan safar dan mengaku sedang bepergian dan melakukan suluk. Allah berfirman, “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian maut mengenainya, ia akan memperolehi pahalanya di sisi Allah.” (QS 4: 100).

Setelah seorang salik bertolak dari rumah dirinya menuju Allah dengan menjinakkan hawa nafsu dan ketakwaan yang sempurna, serta pada masa berlepasnya dia tidak membawa keterikatan pada dunia dan ta’ayyunat, dan kemudian terjadilah safar kepada Allah, maka Al-Haq yang Mahatinggi akan ber-tajalli padanya sebelum segala sesuatu, pada hatinya yang telah disucikan dengan uluhiyat dan maqam kemunculan asma dan sifat.

Menurut Imam Khomeini, ananiyyah baru ditinggalkan ketika seorang hamba menyerahkan pen-tadbir-an wujud dirinya seluruhnya (hukumat wujudihi kulliha) kepada Allah dan fana dalam kebesaran rububiyah. “Pada waktu itu, yang mengatur rumah adalah pemiliknya, sehingga semua perilaku hamba menjadi perilaku ilahi (tasharruf ilahi). Penglihatannya menjadi penglihatan Ilahi dan ia melihat dengan penglihatan Al-Haq. Pendengarannya menjadi pendengaran Ilahi dan ia mendengar dengan pendengaran Al-Haq.”[8]

Menyerahkan hukumat kepada Allah berarti menundukkan diri sepenuhnya kepada syariat, mengubah dirinya menjadi insan syar’iy:[9]

Insan syar’iy adalah orang yang mengatur perilakunya mengikuti apa yang dikehendaki syara’. Sehingga keadaan lahirnya seperti Rasulullah saw. dan mengikuti teladan Nabi yang mulia saw. serta mencontoh semua gerak dan diamnya, dalam semua yang ia lakukan dan semua yang ia tinggalkan....

Ketahuilah... Setiap langkah di jalan makrifat ilahiah, tidak mungkin dilakukan tanpa memulainya dengan berpegang kepada zhahir-nya syariat. Apabila manusia tidak beradab dengan adab syariat yang benar, ia tidak akan memperoleh sedikit pun hakikat akhlak yang baik. Juga tidak mungkin dalam hatinya ber-tajalli nur makrifat dan tersingkap ilmu-ilmu batiniah dan rahasia-rahasia syariat.

Bahkan setelah tersingkap hakikat dan setelah muncul cahaya makrifat di dalam hatinya, ia masih tetap mesti beradab dengan adab syariat yang zhahir. Dari sinilah kita mengetahui salahnya anggapan orang bahwa (Apabila telah sampai ke dalam ilmu batin, ilmu zhahir ditinggalkan) atau (Setelah mencapai ilmu batin, tidak diperlukan lagi adab yang zhahir). Anggapan ini berasal dari kejahilan orang yang mengucapkannya dan kejahilan dia akan maqam ibadah dan derajat insaniah.

Jadi, menurut Imam Khomeini, tasawuf yang benar tidak boleh meninggalkan syariat. Seorang sufi mesti memulai suluk-nya dengan mendalami dan memahami ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu yang diperoleh melalui bukti-bukti rasional. Ketika menyebutkan derajat-derajat yang mesti dilewati salik, Imam menyebut martabat ilmu sebagai martabat yang pertama.

Tetapi Imam juga mengingatkan agar salik tidak terus-menerus berada dalam derajat ilmu zhahir. Ilmu zhahir dapat berubah menjadi hijab yang sangat besar, yang membelenggu dirinya sehingga tidak dapat melanjutkan perjalanan ke derajat yang lebih tinggi. Bila ia tidak mengoyakkan derajat ini, terjadilah istidraj. “Istidraj dalam derajat ini terjadi ketika ia menyibukkan diri dengan cabang-cabang ilmu yang banyak, dan pikirannya berputar-putar di situ. Untuk itu, ia mengembangkan bukti-bukti yang banyak, sehingga ia tidak dapat masuk ke manzilah yang lain. Kalbunya terikat dengan derajat ini, sehingga ia tidak memperoleh hasil yang dikehendaki, yakni fana dalam Allah. Ia menghabiskan umurnya dalam hijab burhan dan cabang-cabangnya. Semakin banyak cabang, semakin banyak pula hijab dari hakikat.”[10]

Bila ia mampu menanggalkan hijab ilmu ini, ia akan sampai ke maqam kedua: memperoleh iman kepada hakikat-hakikat. Ia mencapai hakikat dzill al-‘ubudiyyah (kehinaan penghambaan) dan ‘izz rububiyyah (kemuliaan rububiyah). Maqam-maqam berikutnya adalah maqam thuma’ninah dan musyahadah (yang tidak kita jelaskan dalam tulisan singkat ini).

Dalam keseluruhan perjalanan itu, seorang salik mesti memelihara adab-adab batiniah. Dalam syarahnya untuk hadis berkenaan dengan jihad akbar, Imam Khomeini menyebutkan hal-hal yang mesti dilakukan oleh mujahid yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya: musyarathah, muraqabah, muhasabah, dan tadzakkur. Imam Khomeini (q.s.) menjelaskan semuanya itu sebagai berikut:[11]

Di antara hal-hal yang diperlukan oleh seorang mujahid adalah musyarathah, muraqabah, dan muhasabah. Seseorang melakukan musyaratah bila ia mensyaratkan kepada dirinya pada hari pertamanya untuk tidak melakukan amal yang bertentangan dengan perintah Allah pada hari itu. Ia memutuskan yang demikian dan bertekad melakukannya. Jelaslah bahwa meninggalkan yang bertentangan dengan perintah Allah untuk satu hari saja tentunya sangat mudah. Manusia dengan mudah dapat melakukannya. Karena itu, kuatkanlah tekad, buatkan syarat dan lakukanlah percobaan. Perhatikan bagaimana hal itu dapat berjalan dengan lancar.

Mungkin saja Iblis yang terlaknat beserta tentaranya menggambarkan pada diri Anda bahwa perkara itu sangat sulit. Pastikanlah bahwa ini semua kekeliruan yang dibuat oleh Iblis yang terkutuk. Kutuklah dia dengan sepenuh hati dan dengan sesungguh-sungguhnya. Keluarkan waham-waham yang batil dari hatimu. Cobalah satu hari. Nanti Anda akan melihat hasilnya.

Setelah musyarathah, Anda berpindah ke muraqabah. Di sini Anda memusatkan perhatian sepanjang waktu untuk memperhatikan amal Anda apakah sesuai dengan apa yang telah Anda syaratkan. Sekiranya – semoga Allah menjauhkan Anda darinya – Anda melakukan amal yang bertentangan dengan perintah Allah, ketahuilah bahwa itu adalah perbuatan setan dan tentaranya. Mereka menghendaki agar Anda tidak memenuhi apa yang telah Anda syaratkan pada diri Anda. Laknatlah mereka dan berlindunglah kepada Allah dari kejahatan mereka dan keluarkanlah waswas yang batil dari dalam hati Anda. Katakan kepada setan, “Aku telah mensyaratkan pada diriku untuk tidak melakukan pada hari ini – satu hari saja – perbuatan yang menentang perintah Allah, sebab Dialah yang melimpahkan nikmat kepadaku sepanjang umurku. Dia telah memberikan kepadaku kesehatan, kesejahteraan, keamanan dan anugerah-anugerah lainnya. Seandainya aku terus-menerus berkhidmat kepada-Nya, aku belum memenuhi satu pun dari hak Dia. Karena itu sangat tidak layak kalau aku tidak dapat memenuhi syarat yang sederhana seperti ini.” Aku berharap insya Allah setan berpaling dari Anda dan meninggalkan Anda sehingga menanglah tentara-tentara Tuhan.

Muraqabah tidak semestinya mengganggu pekerjaan harian Anda seperti kasab, safar, atau belajar. Tetaplah pada keadaan ini sampai datang waktu malam untuk melakukan muhasabah.

Muhasabah adalah melakukan perhitungan pada diri Anda apakah Anda telah melakukan apa yang telah Anda janjikan di depan Allah, dan tidak mengkhianati pemberi nikmatmu dalam muamalah sebagian ini? Bila Anda telah memenuhinya dengan benar, bersyukurlah kepada Allah atas taufik-Nya. Insya Allah, Allah akan memudahkan Anda untuk memperoleh kemajuan dalam urusan dunia dan akhirat Anda. Amal Anda hari berikutnya akan lebih mudah daripada amal Anda sebelumnya.

Jagalah amal ini untuk beberapa waktu. Biasanya amal-amal itu akan menjadi malakah Anda, sehingga amal itu menjadi sangat mudah Anda lakukan. Pada saat itu Anda merasakan kelezatan dan kerinduan untuk menaati Allah dan meninggalkan maksiat kepada-Nya, di alam ini juga, padahal alam ini bukanlah alam balasan tetapi pahala Ilahi menimbulkan kesannya dan menjadikan Anda mendapat kesenangan dan kelezatan dalam menaati Allah dan menjauhi maksiat.

Ketahuilah bahwa Allah tidak membebani Anda dengan apa yang tidak mampu Anda lakukan. Ia tidak mewajibkan kepada Anda apa pun yang tidak dapat Anda lakukan atau apa yang tidak sanggup Anda kerjakan. Tetapi setan dan tentaranya membayangkan dalam diri Anda bahwa perkara ini sangat berat dan sulit.

Apabila terjadi – semoga Allah menjauhkan Anda darinya – selama muhasabah ini kekecewaan dan kegagalan dalam memenuhi syarat yang telah Anda janjikan itu, mohonkan ampunan kepada Allah. Bertekadlah dengan penuh keberanian untuk melakukan musyaratah lagi pada esok harinya. Tetaplah dalam keadaan ini sehingga Allah membukakan di hadapan Anda pintu taufik dan kebahagiaan dan membawa Anda ke jalan yang lurus bagi insaniyah.

(Imam Khomeini [q.s.] menyebutkan tadzakkur sebagai usaha untuk mengingat-ingat nikmat Allah, sehingga tumbuh pada diri Anda penghormatan dan pembesaran kepada Allah SWT. Dari penghormatan ini, Anda tidak berani berbuat maksiat di hadapan-Nya).

Karena itu, sahabatku, kenanglah kebesaran Tuhanmu. Ingatlah nikmat dan anugerah-Nya. Ingatlah bahwa Anda berada di hadapan-Nya dan Dia menyaksikan perbuatan Anda. Janganlah berbuat maksiat di depan-Nya. Dalam peperangan besar ini, kalahkanlah tentara setan. Jadikanlah kerajaan Anda kerajaan rahmaniah dan haqqaniyah.


Penutup:

Tulisan ini hanyalah bermaksud memperkenalkan pemikiran Imam Khomeini berkenaan dengan tasawuf (‘irfan). Pembahasan yang lengkap memerlukan buku tersendiri. Cukuplah di sini dikatakan bahwa Imam Khomeini (q.s.) sangat menguasai ilmu makrifat yang bersumber dari ajaran Ahli Bayt maupun pemikir-pemikir sufi seperti Ibn ‘Arabi, Suhrawardi, ataupun Mulla Shadra. Berkat tulisan-tulisan dan pembicaraan Imam Khomeini, ‘irfan menarik kembali perhatian para ulama (termasuk fuqaha’).

Lebih dari itu, sebagaimana yang disaksikan oleh siapa saja yang mempelajari kehidupan Imam Khomeini, beliau juga menjalani kehidupan ‘irfani. Beliau hidup sebagai zahid, ‘arif, dan ‘abid. Tetapi berbeda dari kebanyakan mutashawwifin, beliau tidak meninggalkan aspek-aspek politik, sosial; dan kebudayaan. Imam Khomeini bukanlah sufi yang mengasingkan diri dari masyarakat ramai, atau menghabiskan waktunya di sudut masjid atau gua. Imam Khomeni (q.s.) adalah sufi yang telah mengguncangkan dunia. Bila kita memetik kata-kata Dr, Muhammad Iqbal, Imam Khomeni – seperti halnya Rasulullah saw. – adalah orang yang “di waktu malam pelupuk matanya berlinang air mata, di medan perang pedangnya bersimbah darah; di gua Hira bermalam-malam terjaga, supaya tegak hukum, bangsa, dan negara.”

Imam Khomeni menutup tulisannya tentang Al-Adab Al-Ma’nawiyah li Al-Shalat dengan doa. Tulisan ini pun ditutup dengan doa yang sama, ber-tabarruk dengan pribadi Imam Khomeni (q.s.):
Tuhan kami, telah Engkau tutupkan kepada kami, hamba-Mu yang lemah, pakaian wujud dengan anugerah, pertolongan, dan limpahan rahmat dan kurnia-Mu tanpa didahului oleh pengkhidmatan dan ketaatan atau kami memerlukan ‘ubudiyyah dan ibadah. Engkau memuliakan kami dengan bermacam-macam nikmat ruhaniah dan jasmaniah, berbagai rahmat lahir dan batin padahal ketiadaan kami tidak mengurangi kudrat dan kekuasaan-Mu, dan wujud kami tidak menambah kebesaran dan keagungan-Mu.

Sekarang, mata air rahmaniyah-Mu telah terpancar dan matahari jamaliyah-Mu yang indah telah bersinar. Telah Engkau tenggelamkan kami dalam samudera kasih-Mu, telah Engkau sinari kami dengan cahaya keindahan. Tutuplah segala kekurangan kami, kesalahan kami, dosa kami, kealpaan kami dengan cahaya taufik batini, bantuan dan hidayah sirriyah. Bersihkan hati kami seluruhnya dari kebergantungan kepada dunia dan hiaslah ia dengan kebergantungan kepada kebesaran Al-Quds.

Tuhan kami, dengan ketaatan kami yang sedikit, tidak layak kami memperoleh keluasan dalam kerajaan-Mu. Tetapi siksaan dan azab para pendosa tidak mendatangkan manfaat bagi-Mu. Ampunan dan kasih-Mu bagi orang-orang yang jatuh tidak mengurangi kekuasaan-Mu. ‘Ayn Tsabitah para pendosa mengharapkan kasih-Mu, fitrah orang-orang yang kekurangan mencari kesempurnaan mereka. Karena itu karuniakan kepada kami anugerah-Mu yang luas, dan jangan melihat kekurangan kemampuan kami.

Tuhanku, jika aku tidak layak untuk memperoleh rahmat-Mu, maka Engkau sangat layak untuk memberikan kepadaku kelapangan karunia-Mu....

Tuhanku, telah Engkau tutup dosa-dosaku di dunia, padahal aku lebih memerlukan penutupan itu pada hari kiamat. Tuhanku, karuniakan kepadaku kesempurnaan kebergantungan pada-Mu. Sinarilah hati nurani kami dengan cahaya memandang-Mu. Sehingga pandangan hati kami mengoyakkon hijab-hijab nur, dun tercapailah pusat kebesaran-Mu.

(Sumber: Al-Hikmah, Jurnal Studi-Studi Islam; No. 11 Rabi’ At-Tsani-Rajab 1414/Oktober-Desember 1993; hal. 75 – 86).


Catatan:

* Tulisan ini merupakan makalah penulis yang disampaikan pada “The International Seminar on the Reapproachment of Sunni and Shi’ite” di Hotel Federal, Kuala Lumpur, pada 3-4 Juli 1993.
1. Syaikh Javadi Amuli, “Min Nida-i Al-Tawhid”, dalam Risalat Al-Tsaqalayn, No. 1, Thn. 1, ms. 132.
2. ‘Abd Al-Qahir Al-Suhrawardi, ‘Awarif Al-Ma’arif, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1983, ms. 57.
3. Definisi-definisi ini dikutip dati ‘Afif Al-Din Al-Tilimsani, Syarh Manazil Al-Sairin ila Al-Haq Al-Mubin, Intisharat Bidar, Qum, 1413 H, ms. 12.
4. NahjAl-Balaghah, Qisar Al-Hikam 237.
5. Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Dar Al- Kutub Al-Lubnani, Beirut, 1979, ms. 169-170.
6. Kedua tulisan ini telah diterbitkan dengan judul Ta’liqat ‘ala Syarh Fushush Al-Hikam wa Mishboh Al-Uns, Muassasah Pasdar-e Islam, Qum, 1410 H.
7. Sharh Chehel Hadith, Muassasah Tanzim o Nashr-e Athar-e Imam Khomeini, 1371, ms. 625-626.
8. Imam Khomeini, Al-Adab Al-Ma’nawiyyat li Al-Shalat, Talas, Damaskus, 1984, ms. 32.
9. Imam Khomeini, Chehel Hadith, ms. 8.
10. Imam Khomeini, Al-Adab, ms. 36.
11. Imam Khomeini, Chehel Hadith, ms. 9-10.

(Tarikrafii/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ajaran Tasawuf-Suluk Sayidina Imam Ja’far ash-Shadiq Yang Diijazahkan Kepada ‘Unwan Bashri

‘Unwan Bashri



Riwayat ‘Unwan Bashri merupakan pedoman berharga bagi para penempuh jalan ahlul bait. Riwayat ini mendapat perhatian khusus ‘urafa dan salikin dan Al-Majlisi menyaksikan riwayat ini dengan tulisan tangan Syekh Baha’i dan menukilnya dalam kitab Bihar al-Anwar. Riwayat ini berisi nasihat-nasihat Imam Ja’far ash-Shadiq terhadap ‘Unwan Bashri dan seluruh penempuh suluk menuju Allah.

Unwan Basari, seorang lelaki tua berumur sembilan puluh empat tahun telah meriwayatkan kisah berikut :

“Untuk mencari ilmu, aku biasanya mengunjungi Malik bin Anas. Ketika Ja’far bin Muhammad datang ke kota kami, aku pergi mengunjungi beliau. Aku ingin menimba ilmu dari Imam Ja’far yang terkenal dan istimewa. Suatu hari beliau berkata kepadaku, ‘Aku ini orang yang telah menerima anugerah dan perhatian khusus Allah . Aku harus bermunajat dan berzikir setiap saat sepanjang siang dan malam. Oleh karena itu engkau sebaiknya tidak mencegahku untuk melakukannya dan sebagaimana biasa, kunjungilah Malik bin Anas untuk menimba ilmu darinya.’

Mendengar perkataan itu aku menjadi sedih dan kecewa lalu meninggalkan beliau. Kemudian aku pergi ke masjib nabawi dan mengucapkan salam kepada Nabi. Hari berkutnya, aku pergi ke makam Nabi dan setelah salat dua rakaat aku mengangkat tanganku dan berdoa :

‘Ya Allah ! Ya Allah ! Jadikanlah hati Imam Ja’far lembut kepadaku agar aku bisa mendapat faedah dari ilmunya. Tuntunlah aku menuju jalan yang lurus. Setelah itu dengan hati sangat sedih kembali ke rumah dan dan sebagaimana biasa mengunjungi Malik bin Anas. Cinta dan sayangku kepada Imam Ja’far bin Muhammad telah menghujam dalam di kedalaman hatiku. Untuk waktu yang yang lama aku mengurung diri dalam rumahku sampai kesabaranku habis. Suatu hari aku pergi ke rumah Imam setelah mengetuk pintu meminta izinnya untuk masuk. Seorang pekayang keluar dan bertanya kepadaku :

‘Apa keperluanmu ?’ ‘Aku ingin bertemu Imam dan mengucapkan salam.’ Jawabku. “Tuanku sedang salat. ‘Jawab sang pelayang dan kembali ke dalam rumah. Aku menunggu di depan pintu, selang beberapa pelayan itu kembali dan berlata, ‘Engkau diperkenankan masuk.’

Aku masuk ke dalam rumah dan mengucapkan salam kepada Imam. Beliau menjawab salamku dan berkata, ‘Silahkan duduk, semoga Allah menganugerahimu ampunan.’ Kemudian beliau menundukkan kepalanya. Setelah diam beberapa saat, beliau mengangkat kepalanya lagi dan berkata, ‘Siapa namamu?’ ‘Abu Abdullah,’ Jawabku. ‘Semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang istimewa dan menganugerahimu atas kesungguhanmu. Apa yang engkau inginkan ?’

‘Dalam pertemaun ini jika tidak ada lagi keuntungan lain bagiku selain salat ini – bahkan ini akan berharga bagiku’ aku berkata pada diriku sendiri. Kemudian aku berkata, ‘Aku memohon kepada Allah agar melunakkan hati Anda untukku, agar aku bisa mendapat manfaat dari ilmumu. Aku berharap doaku dikabulkan oleh-Nya.’

Kemudian Imam menjawab, ‘Wahai Abu Abdullah ! Ilmu tidak dapat diperoleh dengan belajar. Ilmu yang sebenarnya adalah cahaya yang menerangi hati seseorang yang dianugerahi tuntunan-Nya. Oleh karena itu, jika kau mencari ilmu, pertamaa-tama buatlah hatimu memikirkan hakikat penghambaan kepada Allah, kemudian tuntutlah ilmu dengan jalan berbuat amal kebaikan, dan mintalah kepada Allah untuk memberimu pemahaman agar Dia dapat membuatmu.’

Aku berkata, ‘Wahai yang mulia !’ Tiba-tiba Imam menyela, ‘Abu Abdullah, lanjutkanlah.’ ‘Ya Imam ! Apakah hakikat penghambaan ?’ Tanyaku.

Imam menjawab, “Hakikat penghambaan terdiri atas tiga hal berikut :

Pertama, seorang hamba tidak boleh menganggap dirinya sebagai pemilik sesuatu yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya, karena seorang hamba tidak pernah menjadi pemilik sesuatu. Anggaplah segala kekayaan adalah milik Allah dan gunakanlah sesuai dengan jalan yang telah Dia tentukan.

Kedua, anggaplah dirinya benar-benar tidak berdaya dalam mengurus urusannya sendiri.

Ketiga, libatkanlah diri untuk terus melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan menghindari perbuatan yang Dia larang.

Oleh karena itu, jika seorang hamba tidak menganggap dirinya sebagai pemilik kekayaan ini, gunakanlah sesuai jalan Allah. Dengan begitu, semuanya akan menjadi mudah baginya. Jika dia percaya Allah sebagai pengantur yang paling berkompenten atas urusannya, maka sikap toleran terhadap kesulitan duniawi akan menjadi lebih mudah baginya. Jika dia tetap menjaga dirinya teggelam dalam melaksanakan perintah Allah dan menahan diri dari perbuatan yang dilarang, waktunya yang berharga tidak akan terbuang percuma untuk kesenangan yang tidak berarti.

Dan jika Allah memuliakan seorang hamba dengan tiga sifat ini, maka berhubungan dengan dunia, manusia dan setan akan menjadi lebih mudah untuknya. Dalam hal ini, tidak akan bekerja keras menambah kekayaan untuk berbangga-bangga diri. Dia tidak akan menghendaki sesuatu yang kepemilikannya dianggap sebagai jalan untuk mengangkat prestise dan keunggunaln di antara manusia. Dia tidal akan membuang waktunya yang bahagia dalam kesenangan yang salah. Inilah peringkat pertamaa orang yang bertakwa telah digambarkan dalam Alquran :

Negeri akhirat Kami siapkan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di bumi dan tidak melakukan kerusakan. Pahala yang besar telah disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa. (QS 28 : 83)

Riwayat lengkapnya seperti ini:

مجلسی، محمد باقر، بحار الانوار، ج1، ص 224، موسسه الوفا، بیروت، 1404هـ ق، متن عربی حدیث: «أَقُولُ وَجَدْتُ بِخَطِّ شَیْخِنَا الْبَهَائِیِّ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ مَا هَذَا لَفْظُهُ قَالَ الشَّیْخُ شَمْسُ الدِّینِ مُحَمَّدُ بْنُ مَکِّیٍّ نَقَلْتُ مِنْ خَطِّ الشَّیْخِ أَحْمَدَ الْفَرَاهَانِیِّ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عُنْوَانَ الْبَصْرِیِّ وَ کَانَ شَیْخاً کَبِیراً قَدْ أَتَى عَلَیْهِ أَرْبَعٌ وَ تِسْعُونَ سَنَةً قَالَ کُنْتُ أَخْتَلِفُ إِلَى مَالِکِ بْنِ أَنَسٍ سِنِینَ فَلَمَّا قَدِمَ جَعْفَرٌ الصَّادِقُ ع الْمَدِینَةَ اخْتَلَفْتُ إِلَیْهِ وَ أَحْبَبْتُ أَنْ آخُذَ عَنْهُ کَمَا أَخَذْتُ عَنْ مَالِکٍ فَقَالَ لِی یَوْماً إِنِّی رَجُلٌ مَطْلُوبٌ وَ مَعَ ذَلِکَ لِی أَوْرَادٌ فِی کُلِّ سَاعَةٍ مِنْ آنَاءِ اللَّیْلِ وَ النَّهَارِ فَلَا تَشْغَلْنِی عَنْ وِرْدِی وَ خُذْ عَنْ مَالِکٍ وَ اخْتَلِفْ‏ إِلَیْهِ کَمَا کُنْتَ تَخْتَلِفُ إِلَیْهِ فَاغْتَمَمْتُ مِنْ ذَلِکَ وَ خَرَجْتُ مِنْ عِنْدِهِ وَ قُلْتُ فِی نَفْسِی لَوْ تَفَرَّسَ فِیَّ خَیْراً لَمَا زَجَرَنِی عَنِ الِاخْتِلَافِ إِلَیْهِ وَ الْأَخْذِ عَنْهُ فَدَخَلْتُ مَسْجِدَ الرَّسُولِ ص وَ سَلَّمْتُ عَلَیْهِ ثُمَّ رَجَعْتُ مِنَ الْغَدِ إِلَى الرَّوْضَةِ وَ صَلَّیْتُ فِیهَا رَکْعَتَیْنِ وَ قُلْتُ أَسْأَلُکَ یَا اللَّهُ یَا اللَّهُ أَنْ تَعْطِفَ عَلَیَّ قَلْبَ جَعْفَرٍ وَ تَرْزُقَنِی مِنْ عِلْمِهِ مَا أَهْتَدِی بِهِ إِلَى صِرَاطِکَ الْمُسْتَقِیمِ وَ رَجَعْتُ إِلَى دَارِی مُغْتَمّاً وَ لَمْ أَخْتَلِفْ إِلَى مَالِکِ بْنِ أَنَسٍ لِمَا أُشْرِبَ قَلْبِی مِنْ حُبِّ جَعْفَرٍ فَمَا خَرَجْتُ مِنْ دَارِی إِلَّا إِلَى الصَّلَاةِ الْمَکْتُوبَةِ حَتَّى عِیلَ صَبْرِی فَلَمَّا ضَاقَ صَدْرِی تَنَعَّلْتُ وَ تَرَدَّیْتُ وَ قَصَدْتُ جَعْفَراً وَ کَانَ بَعْدَ مَا صَلَّیْتُ الْعَصْرَ فَلَمَّا حَضَرْتُ بَابَ دَارِهِ اسْتَأْذَنْتُ عَلَیْهِ فَخَرَجَ خَادِمٌ لَهُ فَقَالَ مَا حَاجَتُکَ فَقُلْتُ السَّلَامُ عَلَى الشَّرِیفِ فَقَالَ هُوَ قَائِمٌ فِی مُصَلَّاهُ فَجَلَسْتُ بِحِذَاءِ بَابِهِ فَمَا لَبِثْتُ إِلَّا یَسِیراً إِذْ خَرَجَ خَادِمٌ فَقَالَ ادْخُلْ عَلَى بَرَکَةِ اللَّهِ فَدَخَلْتُ وَ سَلَّمْتُ عَلَیْهِ فَرَدَّ السَّلَامَ وَ قَالَ اجْلِسْ غَفَرَ اللَّهُ لَکَ فَجَلَسْتُ فَأَطْرَقَ مَلِیّاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَ قَالَ أَبُو مَنْ قُلْتُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثَبَّتَ اللَّهُ کُنْیَتَکَ وَ وَفَّقَکَ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ مَا مَسْأَلَتُکَ فَقُلْتُ فِی نَفْسِی لَوْ لَمْ یَکُنْ لِی مِنْ زِیَارَتِهِ وَ التَّسْلِیمِ غَیْرُ هَذَا الدُّعَاءِ لَکَانَ کَثِیراً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ قَالَ مَا مَسْأَلَتُکَ فَقُلْتُ سَأَلْتُ اللَّهَ أَنْ یَعْطِفَ قَلْبَکَ عَلَیَّ وَ یَرْزُقَنِی مِنْ عِلْمِکَ وَ أَرْجُو أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَجَابَنِی فِی الشَّرِیفِ مَا سَأَلْتُهُ فَقَالَ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ لَیْسَ الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ إِنَّمَا هُوَ نُورٌ یَقَعُ فِی قَلْبِ مَنْ یُرِیدُ اللَّهُ تَبَارَکَ وَ تَعَالَى أَنْ یَهْدِیَهُ فَإِنْ أَرَدْتَ الْعِلْمَ فَاطْلُبْ أَوَّلًا فِی نَفْسِکَ حَقِیقَةَ الْعُبُودِیَّةِ وَ اطْلُبِ الْعِلْمَ بِاسْتِعْمَالِهِ وَ اسْتَفْهِمِ اللَّهَ یُفْهِمْکَ قُلْتُ یَا شَرِیفُ فَقَالَ قُلْ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ قُلْتُ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ مَا حَقِیقَةُ الْعُبُودِیَّةِ قَالَ ثَلَاثَةُ أَشْیَاءَ أَنْ لَا یَرَى الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ فِیمَا خَوَّلَهُ اللَّهُ مِلْکاً لِأَنَّ الْعَبِیدَ لَا یَکُونُ لَهُمْ مِلْکٌ یَرَوْنَ الْمَالَ مَالَ اللَّهِ یَضَعُونَهُ حَیْثُ أَمَرَهُمُ اللَّهُ بِهِ وَ لَا یُدَبِّرُ الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ تَدْبِیراً وَ جُمْلَةُ اشْتِغَالِهِ فِیمَا أَمَرَهُ تَعَالَى بِهِ وَ نَهَاهُ عَنْهُ فَإِذَا لَمْ یَرَ الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ فِیمَا خَوَّلَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِلْکاً هَانَ عَلَیْهِ الْإِنْفَاقُ فِیمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ یُنْفِقَ فِیهِ وَ إِذَا فَوَّضَ الْعَبْدُ تَدْبِیرَ نَفْسِهِ عَلَى مُدَبِّرِهِ هَانَ عَلَیْهِ مَصَائِبُ الدُّنْیَا وَ إِذَا اشْتَغَلَ الْعَبْدُ بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَ نَهَاهُ لَا یَتَفَرَّغُ مِنْهُمَا إِلَى الْمِرَاءِ وَ الْمُبَاهَاةِ مَعَ النَّاسِ فَإِذَا أَکْرَمَ اللَّهُ الْعَبْدَ بِهَذِهِ الثَّلَاثَةِ هَان عَلَیْهِ الدُّنْیَا وَ إِبْلِیسُ وَ الْخَلْقُ وَ لَا یَطْلُبُ الدُّنْیَا تَکَاثُراً وَ تَفَاخُراً وَ لَا یَطْلُبُ مَا عِنْدَ النَّاسِ عِزّاً وَ عُلُوّاً وَ لَا یَدَعُ أَیَّامَهُ بَاطِلًا فَهَذَا أَوَّلُ دَرَجَةِ التُّقَى قَالَ اللَّهُ تَبَارَکَ وَ تَعَالَى تِلْکَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُها لِلَّذِینَ لا یُرِیدُونَ عُلُوًّا فِی الْأَرْضِ وَ لا فَساداً وَ الْعاقِبَةُ لِلْمُتَّقِینَ قُلْتُ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ أَوْصِنِی قَالَ أُوصِیکَ بِتِسْعَةِ أَشْیَاءَ فَإِنَّهَا وَصِیَّتِی لِمُرِیدِی الطَّرِیقِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَ اللَّهَ أَسْأَلُ أَنْ یُوَفِّقَکَ لِاسْتِعْمَالِهِ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا فِی رِیَاضَةِ النَّفْسِ وَ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا فِی الْحِلْمِ وَ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا فِی الْعِلْمِ فَاحْفَظْهَا وَ إِیَّاکَ وَ التَّهَاوُنَ بِهَا قَالَ عُنْوَانُ فَفَرَّغْتُ قَلْبِی لَهُ فَقَالَ أَمَّا اللَّوَاتِی فِی الرِّیَاضَةِ فَإِیَّاکَ أَنْ تَأْکُلَ مَا لَا تَشْتَهِیهِ فَإِنَّهُ یُورِثُ الْحِمَاقَةَ وَ الْبُلْهَ وَ لَا تَأْکُلْ إِلَّا عِنْدَ الْجُوعِ وَ إِذَا أَکَلْتَ فَکُلْ حَلَالًا وَ سَمِّ اللَّهَ وَ اذْکُرْ حَدِیثَ الرَّسُولِ ص مَا مَلَأَ آدَمِیٌّ وِعَاءً شَرّاً مِنْ بَطْنِهِ فَإِنْ کَانَ وَ لَا بُدَّ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَ ثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَ ثُلُثٌ لِنَفَسِهِ وَ أَمَّا اللَّوَاتِی فِی الْحِلْمِ فَمَنْ قَالَ لَکَ إِنْ قُلْتَ وَاحِدَةً سَمِعْتَ عَشْراً فَقُلْ إِنْ قُلْتَ عَشْراً لَمْ تَسْمَعْ وَاحِدَةً وَ مَنْ شَتَمَکَ فَقُلْ لَهُ إِنْ کُنْتَ صَادِقاً فِیمَا تَقُولُ فَأَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ یَغْفِرَ لِی وَ إِنْ کُنْتَ کَاذِباً فِیمَا تَقُولُ فَاللَّهَ أَسْأَلُ أَنْ یَغْفِرَ لَکَ وَ مَنْ وَعَدَکَ بِالْخَنَا فَعِدْهُ بِالنَّصِیحَةِ وَ الرِّعَاءِ وَ أَمَّا اللَّوَاتِی فِی الْعِلْمِ فَاسْأَلِ الْعُلَمَاءَ مَا جَهِلْتَ وَ إِیَّاکَ أَنْ تَسْأَلَهُمْ تَعَنُّتاً وَ تَجْرِبَةً وَ إِیَّاکَ أَنْ تَعْمَلَ بِرَأْیِکَ شَیْئاً وَ خُذْ بِالِاحْتِیَاطِ فِی جَمِیعِ مَا تَجِدُ إِلَیْهِ سَبِیلًا وَ اهْرُبْ مِنَ الْفُتْیَا هَرَبَکَ مِنَ الْأَسَدِ وَ لَا تَجْعَلْ رَقَبَتَکَ لِلنَّاسِ جِسْراً قُمْ عَنِّی یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ فَقَدْ نَصَحْتُ لَکَ وَ لَا تُفْسِدْ عَلَیَّ وِرْدِی فَإِنِّی امْرُؤٌ ضَنِینٌ بِنَفْسِی وَ السَّلامُ عَلى‏ مَنِ اتَّبَعَ الْهُدى‏».

‘Unwan Bashri

Aku berkata kepada Imam, ‘Wahai Imam ! Ajarilah aku petunjuk-petunjuk apa saja yang harus aku lakukan.’ Imam menjawab, ‘Aku menganjurkanmu untuk melaksanakan sembilan hal berikut. Ini adalah anjuran dan pentunjukku untuk semua pengembara spiritual yang berjalan menuju Allah. Aku berdoa semiga Allah menganugerahkan kepadamu rahmat-Nya. Tuntunan itu sebagai berikut : Ada tiga tuntunan untuk mempraktikan asketisme jiwa, tiga tuntunan untuk menahan nafsu, dan tiga tuntunan terakhir untuk mencari ilmu (ilm). Jagalah semua tuntunan itu dan berhati-hatilah untuk tidak lalai dalam mengamalkannya.’ Unwan Basri berkata, ‘Aku mendengarkan dengan seksama tuntunan Imam, lalu Imam melanjutkan, ‘Tiga tuntunan yang aku anjurkan untuk kezuhudan jiwa terdiri atas :
1. Berhati-hatilah, jangan makan sesuatu sampai dan hanya jika engkau sangat membutuhkannya. Karena jika tidak, makanan itu tidak akan menjadi sumber kebodohan dan kelalaian bagimu.
2. Jangan makan sesuatu sampai dan hanya jika engkau merasa betul-betul lapar.
3. Ketika makan, biasakanlah membaca kalimat dengan nama Allah (bismillah) dan makan hanya makanan yang dibolehkan (halal).


Tiga tuntunan yang kuanjurkan untuk menahan nafsu terdiri atas :
1. Barangsiapa berkata kepadamu : untuk satu kalimat yang kamu ucapkan akan akan mengucapkan 10 kalimat sebagai jawaban. Maka jawablah : Jika kamu berbicara 10 kalimat kepadaku, kamu tidak akan mendapat jawaban dariku walaupun satu kata.
2. Siapapun yang memperlakukakanmu dengan bahasa yang kasar, ucapkanlah harapan dan nasihat yang baik kepadanya.
3. Jika ada yang menuduhmu, jawablah dengan ungkapan : jika apa yang engkau katakan engkau itu benar, semoga Allah memaafkanku dan seandainya kau bohong, semoga Allah memaafkanmu.


Tiga tuntunan yang aku anjurkan untuk mendapatkan ilmu terdiri atas :
1. Apapun yang kau ketahui, tanyakanlah kepada orang yang lebih tahu. Tetapi hati-hatilah jangan bertanya kepada mereka dengan niat untuk menguji pengetahuan mereka atau memberi kesulitan kepada mereka.
2. Hindarilah menuruti hawa nasfu dan sebisa mungkin kerjakanlah kebaikan.
3. Hinadrilah mengeluarkan ketetapan agama (fatwa) tanpa nash agama yang sahih. Lebih baik bagi kamu untuk menghindari (melarikan diri) ketika berhadapan dengan seekor binatang buas. Di samping itu, berhati-hatilah agar tidak menyerahkan lehermu untuk dilewati manusia.

Lalu beliau berkata, ‘Waha Abu Abdullah ! Kamu boleh pergi sekarang. Aku telah memberimu cukup nasihat. Jangan lagi menggangu aku dari melakukan munajat dan zikirku, karena aku menyakini derajat diriku sendiri. Semoga keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk. (Kasykul Syaikh Bahai, Jilid 2, hlm. 184, dan Bihar al-Anwar, Jilid I, hlm. 224)


Catatan Penting

Untuk melewati hadangan dan godaan nafsu amarah serta gangguan hawa nafsu, Ayatullah Sayed Ali Qadhi memerintahkan murid-muridnya dan penempuh suluk dan jalan spiritual supaya menulis riwayat ‘Unwan Bashri dan mempraktikkannya. Yakni, menurut beliau riwayat ini adalah pedoman penting dan isinya harus diamalkan. Bahkan beliau menegaskan: Riwayat ini harus Anda letakkan di kantong Anda dan setiap minggu harus Anda telaah kembali. Riwayat ini begitu berharga dan mengandung persoalan-persoalan yang komprehensif yang menjelaskan cara pergaulan, khalwah (ketersendirian), pengaturan makanan, bagaimana mendapatkan ilmu, bagaimana menjalankan kesabaran dan kelembutan sikap dan bagaimana menahan diri saat menghadapai perkataan yang menyakitkan. Di samping itu, riwayat ini juga menguraikan bagaimana mencapai maqam ibadah, taslim (penyerahan kepada Allah Swt) dan ridha serta mencapai puncak ‘irfan dan tauhid. Karena itu, orang yang ingin belajar dan menjadi murid beliau tidak akan pernah diterima sebelum mengamalkan kandungan riwayat ini.


Pesan-Pesan Penting

1. Hal-hal utama yang dikemukakan dalam riwayat ini ialah ilmu, makrifat dan ‘ubudiyyah (penghambaan). Dan yang dimaksud ilmu di riwayat ini adalah makrifat yang maknanya berbeda dengan makna ilmu. Makrifat berhubungan erat dengan sair wa suluk dan akhlak manusia.

2. ‘Unwan Bashri menginspirasi kita bahwa usia lanjut bukan halangan untuk mendapatkan ilmu dan makrifat.

3. Menjadi murid dan pengikut Imam Ahlul Bait bukan hanya dibuktikan dengan atribut, tanda kelompok, dan ciri khas komunitas, tapi lebih daripada semua itu adalah kelayakan dan kepantasan untuk menjadi murid dan mendapatkan ilmu dan bimbingan dari insan kamil.

4. Pedoman suluk-akhlaki dalam wasiat yang disampaikan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq kiranya menjadi pegangan dan rujukan praktis orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan tanpa mengamalkan kandungan wasiat ini, maka klaim sebagai pengikut ahlul bait adalah “omdong” alias omong doang.

5. Nasihat dan bimbingan yang terkandung dalam wasiat ini dapat dijadikan pengantar dan mukadimah suluk dan sejatinya hakikat suluk dan tasawuf.

6. Ahlul bait seperti Imam Ja’far ash-Shadiq adalah sumber tasawuf dan spiritual serta khazanah makrifat yang luar biasa sehingga kehilangan koneksi dengan beliau sama dengan kehilangan mata air makrifat dan tauhid.

7. Taklim tanpa tazkiah sangat berbahaya dan tidak jarang justru menjerumuskan orang pada jalan kesesatan dan kebingungan. Maka, syarat untuk mendapatkan makrifat sufistik dan nur Ilahiah adalah kebersihan dan kebeningan hati. Sebab, ilmu yang masuk ke hati yang kotor akan tidak berguna dan justru menjadikan ilmu ibarat kuman yang mendiami hati dan akan membunuh pemilik hati secara perlahan atau cepat.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Membincang Metodologi Ayatullah Murtadha Muthahhari


Oleh: Dr. Haidar Bagir

Metodologi Muthahari


Pengantar

Selama ini banyak orang barangkali mengenal Muthahhari sebagai seorang penulis produktif yang menulis puluhan buku mengenai hampir semua hal. Paling banter orang akan menganggapnya sebagai seorang ulama yang cerdas dan berwawasan luas, termasuk mengenai pemikiran-pemikiran Barat. Tapi, begitu banyak dan bervariasinya tulisan Muthahhari di sisi lain dapat menimbulkan kesan bahwa Muthahhari adalah seorang generalis yang tak memiliki agenda dan perspektif jelas dalam karier pemikirannya. Belakangan ini, pembaca Indonesia mulai dapat menikmati karya-karyanya di bidang filsafat Islam, yang sesungguhnya tidak sedikit dan sama sekali tak kurang penting di banding karya-karya popular dan karier-politiknya sebagai salah seorang pejuang, pendiri, dan peletak dasar Negara Republik Islam Iran. Sesungguhnya kesan seperti ini kurang tepat. Muthahhari adalah seorang ulama-pemikir yang tahu benar tentang apa yang dipikirkan dan diperjuangkannya. Di balik puluhan karyanya itu sesungguhnya terpapar sebuah agenda besar, sebuah tujuan besar. Lebih dari itu, agenda besar itu hendak dicapainya lewat suatu metodologi yang telah dipikirkannya secara masak-masak. Tapi sebelum masuk ke dalam topik utama pembahasan makalah ini perlunya kiranya kita pahami latar-belakang intelektual Muthahhari lewat pendidikan yang dijalaninya.


Biografi Intelektual

Murid terdekat Thabathaba’i dan Khomeini ini yang lahir pada 2 Februari 1920 pertama kali belajar dari ayahnya sendiri, Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama terkemuka di kota-kelahirannya, Fariman. Pada usia dua belas tahun, Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di Hauzah Ilmiyeh Masyhad. Dia menunjukkan minat yang amat besar kepada filsafat dan ilmu-ilmu rasional serta ‘irfan (tasawuf filosofis atau metamistisime). Pertama kali dia belajar filsafat dan ilmu-ilmu rasional di bawah bimbingan Mirza Mehdi Syahidi Razawi. Setelah guru-pembimbingnya itu wafat, Muthahhari meninggalkan Hauzah Masyhad dan berhijrah ke Qum untuk memperdalam ilmu di hauzah kota suci itu. Di Qum inilah dia berkenalan dengan Allamah Thabathaba’i dan kemudian juga, Ayatullah Ruhullah Khomeini – dua orang tokoh yang dikenal sebagai ahli filsafat dan ‘irfan (tashawuf). Diriwayatkan bahwa dia sudah tertarik kepada pelajaran ‘irfan bahkan sejak tahun-tahun awalnya di Qum. Dia sendiri bercerita betapa pelajaran-pelajaran ‘irfan dari Ayatullah Khomeini telah meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hatinya. Dengan kata-katanya sendiri, pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh gurunya ini bahkan masih terngiang-ngiang di telinganya hingga beberapa hari setelah ia mendengarnya untuk pertama kalinya. Dari keduanyalah, Muthahhari memperdalam filsafat dan ‘irfan. Ia pun belajar filsafat dan’irfan pada seorang guru besar di masanya. Yakni ‘Allamah Thabathaba’i. Dia juga amat dalam dipengaruhi oleh pelajaran-pelajaran mengenai Nahj al-Balaghah – kumpulan wacana, pidato, surat-surat, dan kata-kata bijak Khalifah Keempat dan Imam Pertama dalam mazh-hab Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib – yang diberikan oleh Mirza ‘Ali Aqa Syirazi Isfahani. Dikatakannya bahwa, meski ia telah membaca buku itu sejak ia kecil, kali ini dia merasa seperti telah menemukan suatu “dunia baru.”

Untuk lebih mengenal latar belakang intelektual Muthahhari, kita perlu mengenal sedikit lebih jauh sumber-sumber pengaruh atas tokoh kita tersebut di atas.

Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang dikenal sebagai seorang faqih dan pemimpin revolusi, sesungguhnya adalah seorang peminat ‘irfan sejak masa mudanya. Meski sesungguhnya minat Ayatullah Khomeini meluas hingga ke Hikmah (filsafat-mistikal) Mulla Shadra, dia sudah mulai dikenal sebagai seorang ahli‘irfan bahkan sejak umurnya belum lagi genap 30 tahun. Ketika memberikan pengajaran ‘irfan kepada Muthahhari itu, usianya belum lagi lebih dari 27 tahun.Di anara salah satu karya-awalnya, yang ditulisnya ketika berumur 26 tahun adalah komentar (syarh) atas Doa al-Sahar dari Imam Muhammad al-Baqir. Tiga tahun kemudian ia menerbitkan Mishbah al-Hidayah, sebuah ulasan ringkas tapi mendalam tentang hakikat Nabi saaw. dan para Imam. Belum lagi usianya mencapai 40 tahun, tepatnya 37 tahun, Khomeini muda ini menyelesaikan sebuah catatan-pinggir (hamisy atau glossarium) atas komentar Daud Qaysari atas Fushush al-Hikam-nya Ibn ‘Arabi dan Mishbah a-Uns-nya Shadruddin al-Qunawi (anak angkat dan murid Ibn ‘Arabi). Demikian seriusnya nilai catatan-pinggir ini sehingga sebagian guru Khomeini sendiri merasa perlu menulis ulasan atas karya muridnya ini.

Sejak saat itu, berbagai karya mengenai ‘irfan terlahir darinya. Ketika akhirnya ia harus terlibat dalam perlawanan politik terhadap Shah Iran dan kemudian memandu negara, dan melahirkan karya-karya politik, tetap saja nuansa irfan tak bisa dilepaskan dari kesemuanya itu. Dan lebih dari sekadar penulis, ia dipersaksikan oleh banyak orang yang mengenalnya sebagai seorang ‘arif dalam kenyataan praktik hidupnya. Alhasil, meski dikenal juga sebagai ahli filsafat, Ayatullah Khomeini adalah seorang ahli tashawuf atau ‘irfan through and through.

‘Allamah Thabathaba’i, sebelum yang lain-lain, adalah juga guru Ayatullah Khomeini. Minatnya amat mirip dengan muridnya itu – filsafat dan’irfan. Namun, meski juga banyak berbicara tentang ‘irfan sejauh mendorong minat tokoh-tokoh seperti Husayn Nasr, Henry Corbin, dan Toshihiko Izutsu untuk rajin menyambangi pengajian-pengajiannya, Thabathaba’i dikenal dengan beberapa karya filosofis penting, termasuk Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah, serta Usus-e Falsafeh wa Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar Filsafat dan Mazhab Realisme) – yang diberi catatan kaki amat ekstensif oleh Muthahhari. Belakangan dia amat dikenal dengan magnum-opus-nya di bidang tafsir al-Qur’an dengan karya 20 jilidnya berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Meski berlandaskan pada penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, karyanya ini tak bisa sama sekali lepas dari kecenderungan filosofisnya yang mengambil bentuk penjelasan filosofis bagi setiap kelompok ayat yang diulasnya.

Akhirnya mengenai Nahj al-Balaghah. Selain dikenal merupakan suatu model ketinggian susastera Arab – seperti anatara lain diungkapkan oleh Syaikh Muhammad ‘Abduh – kitab ini berisi banak ungkapan-ungkapan teologis, filosofis dan mistis yang amat sophisticated. Selain dari hadis-hadis qudsi – yang di kalangan Syi’ah memiliki arti yang jauh lebih penting ketimbang di kalangan Sunni – dari kitab inilah (di samping ucapan-ucapan para Imam lain) kaum Syi’ah mengali banyak dasar-dasar filsafat dan ‘irfan. Inkorporasi Nahj al-Balaghah ke dalam sistem filsafat Islam yang berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran Hikmah Mulla Shadra. Untuk sekadar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat Muthahhari, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab ini Muthahhari dalam karyanya yang berjudul Sayr-e dar Nahul Balaghah (perlancongan dalam Nahj al-Nalaghah) : Teologi dan Metafisika, Suluk (tashawuf) dan ‘Ibadah, Kuliah-kuliah mengenai Akhlak, serta Dunia dan Keduniaan (dalam hubungannya dengan sikap seorang ‘arif atau sufi terhadapnya).

Di atas semuanya itu, Muthahhari adalah seorang pemikir Syi’i yang amat percaya kepada rasionalisme dan pendekatan filosofis yang menandai mazhab yang satu ini. Di dalam Syar dar Nahj al-Balaghah, misalnya, Muthahhari membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan kecenderungan kepada filsafat lebih merupakan ingredient ke-Persia-an ketimbang ke-Islam-an. Dia menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana ditunjukan oleh al-Qur’an, hadis Nabi dan ajaran para Imam.


Agenda-agenda Muthahhari

Selanjutnya, rasanya amat relevan jika kita mencoba menerka tujuan dan agenda di balik dorongan pada diri pemikir ini dalam kiprahnya sebagai pemikir Islam.

Pertama, bagi Muthahhari,berpikir dan melakukan perenungan serta pemahaman intelektual adalah tujuan hidup seorang Muslim. Hal ini kiranya mudah dipahami jika kita pelajari betapa Islam melihat tujuan hidup sebagai makrifat Allah (pengetahuan tentang Allah). Kita dapat menduga bahwa, bagi Muthahhari, pencerahan intelektual adalah salah satu kebahagiaan tertinggi (Lihat risalahnya yang berjudul Happiness). Inilah semacam eudemoniaAristotelian, yang memang menjadi tujuan setiap filosof dan pemikir, tak terkecuali Muthahhari. Nah, untuk menjamin kesahihan hasil suatu proses pemikiran, apalagi jika hal itu menyangkut konsep tentang Tuhan yang begitu urgen bagi kebahagiaan manusia sekaligus begitu mendalam dan rumit, maka suatu metodologi berfikir yang benar – yang, sepert akan kita lihat di bawah ini, harus bersifat rasional dan filosofis — merupakan sesuatu yang mutlak.

Meskipun demikian, tentu saja Muthahhari bukanlah orang semata-mata bersifat individualistis. Bukan saja wawasannya yang luas dan mendalam tentang Islam akan segera mencegahnya dari mengkhianati semangat profetis agama ini dengan bersikap seindividualistis itu, budaya Syiah yang disimbolkan dalam karakter Imam ‘Ali dan para sahabat dekatnya dalam kehidupan Syiah – termasuk Salman al-Farisi, Abu Dzar, dan Miqdad yang kesemuanya merupakan “aktivis-aktivis” dalam jihad – terlalu dominan pada diri Muthahhari sehingga sikap ekstrem sedemikian tak terbayangkan baginya. Dan memang tujuan yang lebih dari sekadar bersifat individualistis inilah yang terasa banyak mewarnai pemikiran-pemikiran Muthahhari. Maka, sebagai tujuan kedua kiprahnya, Muthahhari telah menetapkan bagi dirinya tugas untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam dalam suatu cara yang sesuai dengan kebutuhan manusia modern akan pemikiran-pemikiran yang bersifat rasional.

Terkait dengan itu, Muthahhari berkiprah di suatu masa yang menyaksikan derasnya arus pengaruh pemikiran yang datang dari Barat. Disamping adanya pengaruh-pengaruh positif dari Barat, Muthahhari merasakan tantangan pemikiran-pemikiran Barat tertentu terhadap agama. Diantara tantangan yang terasa sangat menekan adalah Marxisme. Iran sejak tahun 60-an memang banyak diterpa oleh pengaruh aliran ini. Pengaruhnya terasa makin lama makin kuat. Hal ini tampak antara lain dalam bermunculan dan menguatnya partai dan kelompok-kelompok yang bersifat kekiri-kirian. Dalam Masyarakat dan Sejarah– yang merupakan bagian dari Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam (Muqaddima-ye Jahan Biniy Islamiy)– ia menyatakan: “Saat ini, di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu (kecenderungan kepada Marxisme dan pandangan bahwa Islam mengandung paham-paham Marxistik) mendapatkan penerimaan yang luas dan dipandang sebagai tanda keluasan pikiran dan mode yang lagi in…” Pada saat yang sama, Muthahhari juga merasakan adanya pengaruh paham lain Barat yang mencengkeram kuat atas negara-negara Muslim, termasuk Iran. Itulah materialisme. Ia bahkan merupakan soko guru berbagai paham yang muncul dalam peradaban Barat modern. Untuk meng-address isu-isu ini , Muthahhari pun ia banyak menghasilkan karya-karya yang berupa kritik terhadap paham-paham ini, termasuk Masyarakat dan Sejarah dan (Argumentasi-argumentasi) Pendukung (Paham) Materialisme. Bebrbeda dengan karya-karya yang, kurang lebih, popular di atas, Muthahhari juga menelurkan karya-karya yang benar-benar bersifat filosofis, antara lain komentar ekstensifnya atas karya salah seorang guru utamanya, Allamah Thabathaba’i yang berjudul Usus-e Falsafah wa Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar Falsafah. Dan Mazhab Realisme). Karya 4 jilid yang berupaya mengkritik materialisme sekaligus memaparkan dasar-dasar filsafat dan pandangan dunia Islam yang dianggap dapat merupakan alternatif yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Inilah tujuan ketiga Muthahhari.

Dasar pemikiran yang sama kiranya terkait dengan tujuan keempat di balik segala kegetolan Muthahhari untuk membangun landasan filosifis dan pandangan dunia Islam ini adalah kesadarannya akan perlunya suatu landasan yang kuat dan koheren bagi pembangunan sistem-sistem Islam di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya. Muthahhari memang dikenal juga dengan tulisan-tulisannya mengenai soal-soal ekonomi, sosial, bahkan budaya dalam sorotan ajaran-ajaran Islam. Dalam Pengantar kepada Pandangan Dunia Islam itu Muthahhari memasukkan berbagai tema pembahasan yang dianggapnya sebagai unsur-unsur dari pandangan dunia: Konsepsi tentang Manusia, Pandangan Dunia Tauhid, Konsepsi Kenabian dan Wahyu, Konsepsi tentang Masyarakat dan Sejarah, Imamah, dan Konsepsi tentang Hari Akhir.


Metodologi Muthahhari

Kini saatnya menyinggung – sebagai sebuah pengantar awal – metodologi Muthahhari. Seperti kita lihat dari uraian di atas, tujuan dan agenda Muthahhari sedikit-banyak bersifat ideologis. Nah, menurut Muthahhari (Lihat antara lain,Mengenal Epistemologi), ideologi berakar dari sebuah pandangan dunia (world view atau world conception). Hal ini kiranya akan menjadi lebih jelas jika kita kaitkan dengan pernyataannya mengenai pandangan dunia – dalam Pandangan Dunia Tauhid, yang lagi-lagi merupakan bagian Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam– sebagai berikut: “Setiap doktrin atau filsafat hidup secara tak terelakkan berdasar atas semacam kepercayaan, suatu penilaian tentang hidup dan semacam penafsiran dan analisis tentang dunia. Cara berpikir suatu mazhab (pemikiran) mengenai hidup dan dunia dipercayai merupakan dasar dari seluruh pemikiran aliran tersebut. Dasar ini disebut sebagai pandangan atau konsepsi dunia (world view atau world conception). Semua agama, sistem sosial, dan filsafat sosial (pada gilirannya) didasarkan pada suatu pandangan dunia tertentu. Semua tujuan yang diajukan suatu mazhab pemikiran, cara-cara dan metode-metode yang dilahirkannya merupakan bagian dari pandangan dunia yang dianutnya.”. Pada gilirannya, Muthahhari berkeyakinan bahwa pandangan dunia suatu kelompok manusia ditentukan oleh filsafat yang dominan dalam kelompok itu. Dengan kata lain, seperti ditulisnya dalam buku yang sama, yang menentukan ideologi adalah pandangan dunia filosofis.

Dalam konteks ini, Muthahhari menyadari benar peran epistemology — sebagai akar dari setiap metodologi — di dalamnya. Di samping buku Mengenal Epistemologi yang dirancangnya untuk konsumsi popular ini, Muthahhari masih merasa perlu untuk membahas secara khusus pandangan epistemologis Al-Quran dalam pembahasannya yang berjudul Syenakht dar Qur’an (Epistemologi dalam Al-Quran). Semuanya itu masih dilengkapi dengan pembahasan secara filosofis masalah epistemologi ini dalam syarah yang ditulisnya atas buku filsafat karya filosof besar Iran abad-abad terakhir, Mulla Hadi Sabzawari,Syarh Manzhumah. Dalam buku yang disebut terakhir ini Muthahhari menyatakan : “(Meski begitu menentukannya epistemologi dan, meski pembahasan tentang epistemologi ini sudah dirintis sejak lebih dari dua abad yang lalu, termasuk juga dalam filsafat Islam), sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah ini dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan dengan ilmu, pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan bentuk pemikiran serta dalam pembahasan mengenai jiwa (nafs). Dahulu sedikit banyak orang telah memahami pentingnya epistemologi, tapi pada zaman ini segala hal yang terkait dengan pandangan dunia bersumbu pada masalah ini.” Nah, dalam pengantar buku – yang merupakan kumpulan ceramah sistematiknya mengenai Epistemologi — ini, Muthahhari mengungkapkan secara panjang lebar masalah ini.

Selain buku Epistemologi dan Pengantar kepada Pandangan Dunia Islamtersebut di atas, Muthahhari masih merasa perlu menulis sebuah buku yang berjudul Penantar kepada Ilmu-ilmu Islam. Ini merupakan salah satu wujudconcern Muthahhari kepada posisi penting epistemologi dan metodologi dalam, baik pemikiran maupun perjuangan Islam. Di dalamnya Muthahhari berupaya memberikan penjelasan yang ringkas tapi menyeluruh tentang berbagai (metodologi) ilmu dalam Islam, termasuk didalamnya Logika, Kalam, Filsafat, Tasawuf, Etika, dan Ushul Fiqh. Dapat diduga bahwa Muthahhari beranggapan bahwa penguasaan terhadap ilmu-ilmu Islam yang cukup komprehensif ini diharapkan akan memampukan kaum Muslim dalam menggali segenap sumber-sumber pemikiran Islam sekaligus mengambil manfaat secara tepat terhadap sumber-sumber ilmu lainnya di luar Islam. Dengan demikian, kiranya bukan saja kaum Muslim bisa lebih baik dalam memberikan kontribusi kepada peradaban umat manusia, lebih dari itu diharapkan mereka akan dapat menyeleksi pengaruh-pengaruh yang datang kepada mereka dari luar dengan suatu cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, pada akhirnya, kaum Muslim bisa melahirkan pemikiran-pemikiran dan sistem-sistem yang koheren dan viable sebagaimana dicita-citakan.

Kesimpulannya, pada dasarnya metodologi Muthahhari adalah rasional-filosofis. Bagi pengkaji buku-bukunya, tampak jelas bahwa Muthahhari biasa membahas setiap persoalan pertama sekali secara rasional dan filosofis. Baru belakangan dia memverifikasinya dengan dasar-dasar keislaman : al-Qur’an dan Hadis. Dan bukan sebaliknya. Itu sebabnya, Muthahhari di Iran, bersama Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari, dikenal sebagai bagian dari kelompok “mazhab kalami”.

Lalu, di mana letak ‘irfan dalam pemikiran-pemikiran Muthahhari? Tampaknya‘irfan bagi Muthahhari tidak terutama dan secara langsung memliki signifikansi epistemologis dan metodologis. Sebagaimana tampak dalam beberapa buku tentang ‘irfan yang ditulisnya, termasuk Spiritual Discourses, atau Perfect Man,‘irfan telah memberinya lebih banyak bahan dalam membahas berbagai soal secara filosofis. Persis sebagaimana perannya dalam aliran hikmah, yang memang merupakan spesialisasi Muthahhari di bidang filsafat. Di samping itu,‘irfan bagi tokoh ini juga berperan dalam memberikan sentuhan emosional – dan poetik — dalam pemikiran-pemikirannya yang, otherwise, amat rasional filosofis.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Jalaluddin Rumi: Gagasan dan Puisi Sufistiknya


Rumi dan Puisi Sufistiknya

Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Husain bin Ahmad al-Balkhi al-Qaunawi, ar-Rumi, Jalaluddin.

Beliau mengetahui fiqih al-Hanafi dan berbagai perselisihan pendapat serta bermacam-macam disiplin ilmu. Di samping itu, beliau juga seorang sufi sejati. Beliau dilahirkan di Balkh, Persia (Iran), kemudian beliau pindah bersama ayahnya ke Baghdad pada saat berusia empat tahun. Ayahnya sering menggembara dari satu negeri ke negeri yang lain, hingga kemudian beliau menetap di Quniyah pada tahun 623 Hijriyah.

Jalaluddin dikenal sebagai orang yang ahli fiqih dan menguasai berbagai ilmu keislaman lainnya. Sepeninggal ayahnya pada tahun 648 Hijriyah, beliau mengajar di Quniyah pada empat sekolah. Beliau adalah pengarang kitab “al-Mastnawi” dalam bahasa Persi yang cukup terkenal.

Cukup banyak pengikut tarekatnya. Dan akhirnya, beliau meninggal dunia di Quniyah dan pemakamannya sangat terkenal hingga hari ini.[1]

Pada abad ketujuh Hijriah, kaum Muslim mengalami kegoncangan pemikiran yang hebat yang dihembuskan oleh tersebarnya ilmu kalam (teologi) yang merupakan obor penggerak Muslimin. Badai kegoncangan itu sangat kuat sehingga memadamkan sendi-sendi hati.

Di tengah-tengah situasi yang tidak menyenangkan itu, bangkitlah Jalaluddin ar-Rumi dengan membawa pesan “cinta abadi”.


Pengaruh Dakwahnya

Akibat dari kebangkitan yang mengagumkan ini yang berasal dari sumber yang jernih, dunia Islam bangun dari tidur panjangnya dan kelalaiannya yang berbahaya, lalu timbullah kehidupan baru. Allah SWT berfirman : “Ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yasin: 78) “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang.” (QS. al-Ana`m: 122)

Syaikh ar-Rumi memperkenalkan mazhab cinta dan menyebutkan keajaiban-keajaibannya serta menjelaskan manfaat-manfaatnya, sehingga hati yang keras menjadi lunak dan jiwa yang gelisah menjadi tenang.


Manfaat-manfaat Cinta

Ar-Rumi menjelaskan manfaat-manfaat cinta dalam pernyataannya: “Sesungguhnya cinta abadi akan mengubah—dengan izin Allah SWT—yang pahit menjadi manis, tanah menjadi emas, kekeruhan menjadi kejernihan, sakit menjadi kesembuhan, penjara menjadi taman, penyakit menjadi kenikmatan, kekerasan menjadi kasih sayang, malam menjadi siang, kegelapan menjadi cahaya, dan kekerasan menjadi kelembutan. Cintalah yang melunakkan besi, mencairkan batu, dan membangkitkan orang yang mati serta meniupkan di dalamnya kehidupan yang baru.


Kekuatan Cinta

Sesungguhnya cinta inilah yang merupakan sayap yang dengannya manusia yang materialis mampu terbang di udara, dan dengannya ia sampai ke pangkuan Pencipta langit dan bumi. Cintalah yang mengantarkan seseorang dari tanah ke bintang Tsuraya dan dari alam yang keras ke alam yang lembut. Jika cinta ini melalui gunung yang kokoh maka gunung itu akan terhuyun, miring, dan bergoncang. Allah SWT berfirman: “Takkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. al-A`raf: 143)


Keadaan Cinta

Cinta itu kaya dan tinggi. Ia tidak dapat dinilai dari sisi kedudukan, jabatan, dan kekayaan. Siapa yang merasakan cinta sekali saja maka ia tidak akan puas dengan kenikmatan lainnya.

Cinta menyebabkan seseorang tidak butuh kepada alam (segala sesuatu selain Allah—pen.) Jika terpikat dengan sang kekasih dan meniadakan yang lainnya dianggap suatu kegilaan maka aku adalah pemimpin orang-orang yang gila.


Penderita Cinta

Semua penderita penyakit pasti mengharapkan kesembuhan dari penyakitnya, kecuali penderita penyakit cinta yang justru berharap agar penyakitnya semakin “parah”. Mereka suka bila kepedihan dan penderitaan mereka meningkat. Oleh karena itu, aku tidak pernah melihat minuman yang lebih manis dari racun ini, dan aku tidak pernah menemukan kesehatan yang lebih baik dari penyakit ini.


Sesuatu Yang Hilang dan Fana Tidak Layak Dicintai

Pertanyaan penting yang harus segera dijawab ialah: kepada siapa gerangan cinta yang merupakan pelita kehidupan dan nilai manusia ini ditujukan? Sesungguhnya cinta abadi tidak layak ditujukan kepada sesuatu pun kecuali kepada sesuatu yang abadi, karena ia tidak tepat jika dinisbatkan kepada sesuatu yang hilang atau fana.

Cinta itu adalah hak Zat Yang Maha Hidup dan tidak mati, yang memberikan kehidupan atas semua wujud. Ar-Rumi berargumentasi atas hal tersebut melalui kisah Nabi Ibrahim as yang terekam dalam Al-Qur’an: “Aku tidak suka kepada sesuatu yang tenggelam (hilang).” (QS. al-An`am: 76)

Ya, madrasah Jalaluddin Rumi adalah madrasah cinta. Rumi lahir dari cinta,tumbuh dan berkembang karena cinta dan mengabdi serta berjuang untuk cinta dan tentu hidup untuk menebar cinta. Sehingga bisa dikatakan bahwa sekujur tubuh Rumi berisi dengan cinta. Rumi hidup karena cinta dan untuk cinta dan mati untuk mendapatkan cinta Ilahiah yang diidam-idamkannya.

Rumi menganggap bahwa saripati dari ajaran agama adalah cinta. Al-Quran adalah kitab cinta dan Nabi Muhammad saw adalah penebar cinta di tengah umat. Dan bagi Rumi, cinta dalah segala-galanya. Cinta adalah nyawa kehidupan dan tanpa cinta kehidupan tan bermakna. Dan pencinta akan melalui kehidupan dengan mudah dan mampu melewati pelbagai hambatan dengan penuh keyakinan dan kemantapan.


Berpegang Teguh Dengan Cinta

Wahai kekasihku, hendaklah engkau berpegang teguh dengan cinta ini yang abadi saat segala sesuatu akan musnah. Ia laksana matahari yang tidak akan hilang dan bunga yang mekar dan tidak pernah layu.

Wahai kekasihku, peganglah erat-erat cinta ini, yang berputar-putar di sisimu dan mampu memuaskan dahagamu.

Hendaklah engkau memperhatikan cinta ini yang telah dipraktekkan oleh para nabi dan orang-orang yang bertakwa. Maka, siapa saja yang mendapatkannya berarti ia mendapatkan semua kebaikan dan siapa saja yang tercegah darinya maka ia tercegah dari semua kebaikan.

Sesungguhnya cinta ini berjalan melalui tempat mengalirnya darah, bila ia diletakkan di tempatnya dan saat ia bertemu dengan keluarganya.


Pengaruh Cinta

Tampaknya cinta adalah suatu penyakit, namun ia justru menyelamatkan dari setiap penyakit. Jika seseorang menderita penyakit ini maka ia tidak akan pernah mengalami penyakit lain. Ia adalah kesehatan rohani, bahkan hakikat kesehatan, dimana para penggila kenikmatan akan membelinya meskipun dengan mengorbankan kesenangan dan kenyamanan mereka.

Sebagian mereka berkata: “Kita berada dalam kenikmatan yang sekiranya para penguasa mengetahuinya niscaya mereka akan menghunuskan pedangnya kepada kami.


Keunikan Cinta

Sesungguhnya cinta yang suci dan tinggi ini mampu mengantarkan manusia ke tempat yang tidak bisa dicapai oleh ketaatan dan mujahadah. Aku tidak melihat ketaatan yang lebih baik dari “dosa” ini bagi orang yang menamakannya dosa.

Tahun-tahun dan jam-jam yang berlalu tidak sebanding dengan jam-jam cinta; karena amal dengan yang lainnya biasanya menjadi akibat, sedangkan cinta tidak dapat dimasuki oleh sebab apa pun dan tidak menerima penipuan selamanya.


Syahid Cinta

Sesungguhnya darah yang mengalir di jalan-Nya tidak diragukan kesuciannya. Sebab, syahid cinta tidak perlu dimandikan. Yang demikian itu karena darah syuhada lebih baik daripada proses bersuci (thahur).

Menurut hemat saya, ini adalah ungkapan yang paling indah dan paling dalam. Maka, apakah ada kesyahidan—dengan berbagai bentuknya—yang menyamai dari sisi keutamaan dan besarnya pahala kesyahidan para pecinta? Orang-orang yang mati karena panah cinta, mereka mati sebagai “korban cinta” dalam rangka membela Kekasih yang menguasai hati mereka. Mereka siap meniadakan selain-Nya, sehingga mereka menggapai keinginan mereka setelah mereka mempersembahkan jiwa mereka.


Hukum-hukum Para Pecinta

Sesungguhnya para pecinta yang mengorbankan jiwa mereka, yang mata mereka bergadang, dan kaki mereka tampak kokoh—siang dan malam—di depan pintu Kekasih mereka, semata-mata mengharap ridha-Nya dan berpaling dari selain-Nya, tidak dapat diterapkan atas mereka hukum-hukum umum. Atau dengan kata lain, mereka tidak tunduk terhadap sistem tertentu.

Seorang penyair berkata:

Jika pecinta berbuat satu kesalahan, maka kebaikannya akan datang seribu kali lipat

Jalaluddin ar-Rumi mempunyai perumpamaan yang menarik dalam hal ini, dimana ia berkata:

“Sesungguhnya suatu desa yang rusak tidak akan dikenakan kepadanya pajak dan upeti. Begitu juga para pecinta, ketika hati mereka bersemi dengan adanya cinta kepada Kekasih mereka lalu rusak dengan adanya cinta kepada selain-Nya, maka terdapat hukum-hukum khusus yang sesuai dengan kedudukan mereka.”


Negara Para Pecinta

Sesungguhnya cinta adalah kerajaan para raja, dimana tunduk kepadanya tawanan para raja, dan ditetapkan untuknya mahkota mereka, bahkan para raja mengabdi kepadanya laksana budak.

Jiwa para raja—yang mereka menguasai jiwa—tunduk kepadanya. Ketika Jalaluddin menyebutkan kefakiran yang parah dan cinta yang penuh cemburu ini, maka ia mengalami kegoncangan lalu ia memanggil dengan suara yang sangat keras: Semoga Allah “memberkati” penyembah materi dan penyembah fisik dalam kerajaan mereka dan harta mereka, karena kami tidak bersaing sedikit pun dengan mereka. Yang demikian itu karena kami adalah tawanan negara cinta yang tidak akan musnah dan tidak akan berubah.

Menurut pendapatku, inilah kerajaan yang tak tertandingi dan negara yang dikuasai oleh ulama-ulama Ilahi, tanpa ada pesaing dan penentang. Dengan kecintaan mereka yang dalam, dan ketertarikan mereka yang sempurna, serta gelora asmara mereka yang mengebu-ngebu, mereka naik ke “tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuas.” (QS. al-Qamar: 55) Itu adalah negara yang tidak akan pernah hancur dan kerajaan yang tidak akan pernah hilang serta cinta abadi yang tidak akan sirna.


Tidak Ada Alasan Untuk Putus Asa

Namun pecinta yang ambisius tidak selayaknya mengadukan kelalaiannya dan menghina dirinya dengan beralasan pada ketingggian Sang Kekasih dan keagungan kedudukan-Nya serta ketidakbutuhan-Nya kepada makhluk. Tidak sepantasnya ia berkata: “Betapa jauh jarak antara tanah (manusia—pen.) dan Tuhan Pemelihara!”

Sesungguhnya Kekasih sejati suka untuk dicintai, dan Ia akan menarik kepada-Nya orang-orang yang tertarik. Allah SWT berfirman: “Allah menarik kepada-Nya orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali kepada-Nya.” (QS. asy-Syura’: 13)

Dengan penuh semangat, ia berani berkata: Jangan engkau mengira bahwa tidak ada jalan menuju Raja Yang Agung, dan aku adalah hamba yang hina, karena Raja Yang Mulia memanggil hamba-Nya dan memudahkan baginya bebagai jalan menuju-Nya.

Secara lahiriah tampak penderitaan dan keletihan namun secara batiniah terdapat obat dari segala penyakit.

Kemudian ia kembali menyayikan “lagu cinta” ini dan memujinya dalam kegembiraan dan berkata: Penyakit yang pengobatannya sulit dan penderitanya mengalami keletihan dan siksaan, namun bila ia mampu bersabar dan menanggung derita tersebut, maka ia akan mencapai makrifat yang hakiki dan abadi.

Sesungguhnya cinta bersumber dari hati yang luka dan hancur. Ia adalah penyakit yang tidak serupa dengan penyakit lainnya. Meskipun pada dasarnya ia penyakit, namun ia adalah obat dari segala penyakit psikis dan penyakit moral: seperti dengki, cinta kedudukan, cinta dunia, dan ketergantungan kepada hawa nafsu.


Catatan Kaki:

[1] Referensi-referensi biografinya:

1. al-A`lam, karya Zirikli (7/258)

2. al-Jawahir al-Mudhi`ah (2/123)

3. Miftah as-Sa`adah (2/145)

Juga silakan Anda merujuk kitab “Rijal al-Fikr wa ad-Da`wah, karya Allamah Abul Hasan an-Nadwi, juz pertama, halaman 359-370.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: