Rasulullah saw bersabda, “Empat wanita penghuni surga terbaik ialah; Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhamad, Maryam binti Imron, dan Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.”[1]
Orang Tua Maryam as
Maryam as termasuk salah satu dari empat perempuan termulia yang telah disebutkan Rasulullah saw. Karena itu, kedudukan dan keagungannya sudah tidak dapat diragukan lagi. Juga, satu-satunya perempuan yang namanya dijadikan nama surat dalam al-Quran.
Maryam as ialah putri Imron bin Saman. Imron merupakan salah seorang Nabi Bani Israil, juga seorang imam besar Baitul Maqdis. Ibundanya bernama Hannah. Mereka berasal dari keturunan Bani Israil. Imron pernah bermimpi dikaruniai seorang putra yang memiliki ciri-ciri; dapat menyembuhkan penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan, menghidupkan orang yang mati, dan merupakan seorang Nabi Bani Israil.
Imron menceritakan mimpinya kepada istrinya. Hannah sangat terkejut saat mendengar cerita mimpi suaminya. Ia bernazar kepada Allah, jika mimpi tersebut terwujud, akan menjadikan putranya untuk menjadi pelayan di Baitul Muqaddas, “Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu aku akan bebaskan apa yang ada di dalam rahimku. Maka terimalah (nazarku), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”[2]
Hannah sangat bahagia mendengar cerita mimpi suaminya karena mereka telah lama belum dikaruniai seorang anak. Akhirnya Allah Swt mewujudkan harapan mereka untuk memiliki seorang anak. Hannah pun hamil dan janin yang berada di rahimnya tumbuh kembang dengan sehat. Imron dan Hannah telah menanti kehadiran sang buah hati dengan harap dan cemas. Namun, Hannah tidak menyangka ia akan mendapatkan ujian besar di saat penantian kelahiran buah hati tercintanya. Imron, suaminya meninggal dunia sebelum melihat buah hati harapannya terlahir. Waktu demi waktu Hannah dirundung kesedihan karena menangisi kepergian suami tercintanya. Namun, Hannah akhirnya bangkit dari kesedihannya saat mengingat dan melihat janin hasil buah cinta dengan Imron, suaminya yang telah meninggal dunia. Ia mencoba tegar demi menyambut kelahiran sang buah hati tercintanya. Keberadaan sang buah hati dalam kandungannya mampu memberikan semangat dan kebahagiaan kepadanya.
Kelahiran Maryam as
Akhirnya waktu melahirkan telah tiba. Tanda-tanda kelahiran telah menunjukkan bahwa janin yang ada dalam kandungannya akan segera lahir ke dunia. Kerabat Hannah telah mempersiapkan semua hal yang diperlukan untuk kelahiran sang bayi yang dinanti-nanti. Mereka juga berkumpul menunggu kelahiran sang bayi. Hannah berjuang melahirkan sang buang hati tanpa ditunggu kehadiran suami tercintanya. Setelah Hannah lama berjuang ahirnya bayi mungil pun terlahir. Suara tangis bayi terpecah. Kerabat yang tengah menunggu kelahirannya pun mengucapkan syukur. Mereka juga saling berbisik-bisik saat menyaksikan sang bayi yang telah lahir. Hannah diam-diam mendengar percakapan mereka. Ia tampak kaget sekali. Ternyata bayinya yang lahir itu perempuan. Hannah menundukkan kepalanya. Ia tampak sedih sekali saat tahu bayinya adalah seorang anak perempuan. Padahal, berdasarkan mimpi suaminya bayi yang akan lahir itu ialah seorang anak laki-laki, karena mimpi itu juga ia telah bernazar membebaskan anaknya untuk dijadikan pelayan Baitul Maqdis, “Tuhanku, aku menginginkan seorang anak laki-laki agar aku dapat menepati janjiku untuk menjadi pelayan rumah suci-Mu, Baitul Maqdis. Dengan hal itu mungkin aku dapat bersyukur kepada-Mu dan mendapat keridhoan-Mu.
“Tuhanku, sesungguhnya Aku telah melahirkan seorang anak perempuan… dan anak perempuan tidaklah seperti anak laki-laki.”[3]
Hannah merasa bingung saat mengetahui anak yang dilahirkannya adalah seorang anak perempuan. Dari satu sisi, ia telah bernazar, bayi yang dalam kandungannya itu akan dijadikan pelayan Baitul Maqdis. Di sisi lain, anak perempuan tidak sekuat anak laki-laki. Ia meyakini bahwa jika anak laki-laki, pasti akan menjadi pelayan tempat ibadah yang kuat, ia dapat merawat tempat ibadah dengan baik. Namun, bagaimana pun Hannah tidak dapat menentang ketentuan Tuhan, ia harus menerima takdirnya untuk menghadiahkan anaknya untuk menjadi pelayan Baitul Maqdis.
Kemudian Hannah pun menamai putrinya Maryam, dengan harapan putrinya akan menjadi seorang yang sangat bertakwa dan ahli ibadah. Dan, putrinya pun akan menjadi bagian dari para pelayan Tuhan, karena orang-orang Ibrani biasa memanggil dengan sebutan Maryam orang-orang yang bertakwa, ahli ibadah dan para pelayan rumah Tuhan, “Dan sesungguhnya Aku telah menamainya Maryam, dan sesungguhnya Aku memohon perlindungan kepada-Mu untuknya dan anak keturunannya dari gangguan setan yang terkutuk.”[4]
Pemilihan Pengasuh Maryam as
Allah telah menerima nazar Hannah, yang telah menghadiahkan putrinya dengan ikhlas untuk menjadi pelayan rumah Tuhan, Baitul Maqdis. Allah pun menerima agar Maryam dibesarkan dan dibimbing di bawah pengawasan-Nya, “Maka Tuhan pun menerima(nazar)nya dengan baik, dan telah menjadikan (Maryam) tumbuh kembang dengan baik.”[5]
Setelah itu, Hannah pun menutupi tubuh bayinya dengan kain bedong dan dibawanya ke tempat ibadah. Tiba di Baitul Maqdis ia menghadap para rahib, seraya berkata, “Ambillah anak ini, aku telah bernazar untuk dijadikan pelayan di tempat ibadah ini. Salah satu di antara kalian harus ada yang bertanggungjawab untuk merawat dan mendidiknya.”[6]
Para rahib Yahudi berselisilih pendapat tentang siapa yang berhak menjadi penanggungjawab untuk merawat dan mendidik Maryam as. Semua menghendaki mendapat kehormatan untuk mengasuhnya karena Imron, ayah Maryam as merupakan seorang nabi, juga seorang imam besar Baitul Maqdis. Nabi Zakaria as mengusulkan kepada para rahib tersebut agar menyerahkan pengasuhan Maryam as kepadanya. Beliau beralasan bahwa yang lebih berhak untuk mengasuh Maryam as ialah dirinya, karena istrinya merupakan bibinya Maryam as. Namun, para rahib tidak menerima alasan tersebut, dan mereka masih terus berselisih pendapat tentang hal itu.
Akhirnya diputuskan perkara tersebut agar diselesaikan dengan cara diundi. Para rahib dan Nabi Zakaria as pun menuliskan nama masing-masing di kayu dengan tinta yang biasa dipakai untuk menulis kitab Taurat. Kemudian mereka melemparkan kayu tersebut ke sungai. Menjadi kebiasaan mereka kala itu, nama yang muncul ke permukaan air itulah yang akan menjadi pemenang. Semua mata memandang ke arah sungai. Tampak ketegangan di wajah mereka, karena mereka semua berharap namanya yang akan muncul ke permukaan air. Tak lama kemudian, nama Nabi Zakaria as yang muncul ke permukaan air. Dengan itu, beliau menjadi pemenang dan berhak menjadi penanggungjawab atas pengasuhan Maryam as. Tidak ada seorang pun dari para rahib yang menentang keputusan tersebut. Setelah itu, Nabi Zakaria as mengambil Maryam as dari ibunya dan menggendongnya untuk dibawa ke rumahnya. Nabi Zakaria as pun mencarikan ibu susuan untuk Maryam as. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam merawat dan membesar Maryam as. Waktu demi waktu berlalu, Maryam as pun tumbuh menjadi besar. Setelah melewati masa kecilnya dan menjadi remaja, akhirnya Nabi Zakaria as membawa Maryam as ke Baitul Maqdis. Beliau membuatkan sebuah ruangan untuk tempat tinggal Maryam as. Tidak dapat sampai ke ruangan tersebut kecuali melalui sebuah tangga. Dan, tidak ada seorang pun yang dapat masuk ke dalamnya kecuali Nabi Zakaria as. Saat itu beliau sudah sangat tua. Beliau jugalah yang membawakan makanan dan minuman untuk Maryam as.[7]
Maryam as tumbuh besar di bawah naungan bimbingan dan kasih sayang Nabi Zakaria as dan istrinya. Beliau telah melewati tahapan-tahapan kesempurnaan jasmani dan ruhani hingga telah siap untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Beliau sangat tenggelam dalam ibadah sampai-sampai Ibnu Abbas dalam menggambarkan ibadahnya menyatakan bahwa pada usia sembilan tahun, hari-harinya dipenuhi ibadah puasa, malam-malam diisi dengan solat dan munajat kepada Sang Maha Kuasa. Dalam ketakwaan dan pengenalan (makrifatullah) Tuhannya, ia mengalahkan para rahib dan orang-orang bertakwa pada masanya.[8] Beliau pun mendapatkan inayah dan anugrah istimewa berbagai karamah dan kelebihan yang dianugrahkan Allah Swt.dari Sang Maha Kuasa. Maryam as memiliki.
Keagungan dan Keteladanan Sayidah Maryam as:
Betapa banyak keagungan dan keteladanan Sayidah Maryam as yang secara global telah disebutkan dalam al-Quran.
Mendapatkan Hidangan dari Surga dan Inspirator bagi Nabi Zakaria as
Maryam as senantiasa mengisi waktunya dengan bermunajat dan salat di mihrabnya. Ia senang menghabiskan waktunya dengan beribadah kepada Sang Penguasa. Cinta di hatinya kepada Allah Swt begitu besar, tak ada waktu luang yang dilewatkan kecuali diisi dengan ibadah. Kedekatan Maryam as dengan Sang Maha Pencipta menjadikannya istimewa dan agung di sisi-Nya. Allah mengirimkan hidangan dari surga untuk Maryam as. Berbagai makanan dan minuman dihidangkan dari surga untuk Maryam as. Padahal, sebelumnya yang biasa membawakan makanan dan minuman untuk Maryam as ialah Nabi Zakaria as. Nabi Zakaria as senantiasa menjenguk Maryam as untuk mengetahui keadaannya dan memenuhi segala kebutuhannya.
Suatu hari, Nabi Zakaria as tersentak kaget saat melihat berbagai macam hidangan dan buah-buahan telah tersedia di tempat tinggal Maryam as. Nabi Zakaria as hanya berguman dalam hatinya, “Ya Tuhanku, apa yang tengah aku lihat? Aku belum pernah melihat hidangan seperti ini? Padahal tidak mungkin ada seorang pun yang bisa masuk ke ruangan ini, bagaimana semua ini bisa sampai ke ruangan ini?” Tanpa berkata sesatu pada Maryam as, Nabi Zakaria as pun pergi meninggalkan tempat tinggal Maryam as. Keesokan harinya Nabi Zakaria as kembali tampak kaget karena mendapati hidangan yang beragam di ruangan Maryam as, “Tiap kali memasuki mihrab Maryam, Zakaria mendapati hidangan di sisinya…”[9]
Nabi Zakaria as terus termenung, namun beliau tidak mendapatkan jawabannya. Akhirnya beliau menanyakan hal aneh tersebut kepada Maryam as, “Wahai Maryam, darimanakah engkau dapatkan semua ini…?”[10]
Maryam as menjawab, “Semua ini berasal dari Allah, sesungguhnya Allah akan memberikan rezeki kepada yang dikehendakinya tanpa usaha…”[11]
Nabi Zakaria as sangat kagum saat mengetahui jawaban Maryam as. Beliau pun sangat kagum atas keagungan dan kesempurnaan yang dimiliki keponakannya, Maryam as. Beliau pun sangat kagum atas karamah dan keistimewaannya. Dengan kondisi masih terkagum-kagum pada anugrah dan keagungan Maryam as, dalam hatinya terbesit untuk memohon kepada Allah untuk dianugrahi seorang anak, “Ya Allah, andaikan Engkau mampu menjadikan buah-buahan musim semi di musim dingin, pasti Engkau pun mampu di musim dingin umurku dan masa tuaku untuk mendapatkan benih musim semi… anugrahkan seorang anak kepadaku.”
Hingga usia tua, Nabi Zakaria as belum dikaruniai seorang anak. Saat menyaksikan mukjizat dan karamah yang dimiliki Maryam as, beliau termotivasi untuk memohon dikaruniai seorang anak meski sudah tua.
“Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku dari sisi-Mu keturunan yang baik, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”[12]
Allah Swt mengabulkan doa Nabi Zakaria as, dan melalui para malaikat Allah Swt memberikan kabar gembira bahwa beliau akan dianugrahi seorang putra yang bernama Yahya.
“Sesungguhnya Allah telah memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak yang bernama Yahya…”[13]
“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberikan kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang bernama Yahya, yang sebelumnya belum pernah aku jadikan nama sepertinya.”[14]
Itulah salah satu keagungan Maryam as, seorang nabi seperti Nabi Zakaria as pun mengagumi kedudukan dan kesempurnaan yang dimilikinya. Dengan melihat keistimewaan Maryam as, Nabi Zakaria as pun terinspirasi untuk memohon dianugrahi seorang anak yang soleh di usia senjanya. Sayidah Maryam as menjadi inspirator bagi Nabi Zakaria as untuk memohon sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia.
Perempuan Terpilih
Saat khusyuk bermunajat di mihrab, malaikat datang ke hadapannya untuk menyampaikan pesan Allah Swt kepadanya seraya berkata,
“Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu dan mensucikanmu, dan telah memilihmu atas perempuan yang lain di alam semesta.”[15]
Melalui ayat ini Allah Swt telah memilih Maryam as atas perempuan lainnya, juga mensucikannya sebagai lahan untuk kelahiran Nabi Isa as.
Dalam ayat tersebut Allah Swt mengulang kata ‘isthafa’ (memilih) untuk Sayidah Maryam as, sementara dalam al-Quran tidak mungkin ada pengulangan kata jika tidak ada maksud dan tujuan tertentu, karena itu berarti Allah Swt melakukan perbuatan sia-sia. Dan, kita mengetahui bahwa Allah Swt Maha Sempurna tidak mungkin melakukan perbuatan sia-sia. Berkaitan dengan pengulangan kata ‘isthafa’ (memilih) terdapat beberapa penafsiran:
Maksud dari ‘isthafa’ pertama ialah terpilihnya Maryam as berdasarkan nazar ibunya untuk menjadi pelayan Baitul Maqdis, sementara ‘isthafa’ kedua terpilihnya Maryam as untuk melahirkan Nabi Isa as.[16]
‘Isthafa’ pertama Maryam as terpilih dari keturunan para nabi, ‘isthafa’ kedua terpilih melahirkan Nabi Isa as tanpa melalui adanya suami.
Isthafa’ pertama menunjukkan diterimanya Maryam as di sisi-Nya, sedangkan ‘isthafa’ kedua menunjukkan kedudukan dan derajat agungnya di kalangan perempuan Bani Istail.[17]
Isthafa’ pertama menunjukkan terpilihnya Maryam atas perempuan seluruh alam, sedangkan ‘isthafa’ kedua menunjukkan bahwa Maryam dapat melahirkan seorang anak tanpa memiliki suami. Dan hal ini menunjukkan Maryam as memiliki keistimewaan dibandingkan perempuan lainnya.[18]
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari semua pendapat tersebut ialah bahwa semuanya menunjukkan keagungan sosok Sayidah Maryam as, dan keutamaannya atas perempuan lainnya.
Apakah Sayidah Maryam as Merupakan Perempuan Terpilih atas Semua Perempuan di Alam Semesta?
Jika kita melihat dhohir ayat tentang terpilihnya Sayidah Maryam as, dalam ayat tersebut menggunakan kata ‘alamiin’, yang diartikan ‘alam semesta. Apa ini artinya menunjukkan bahwa beliau merupakan penghulu para wanita? Terus bagaimana dengan Sayidah Fathimah?
Allah Swt dalam Al-Quran menyebutkan Maryam as sebagai penghulu para wanita pada masanya, “Wahai Maryam, sesungguhnya Alloh telah memilihmu dan mensucikanmu, dan telah memilihmu atas para wanita di alam.”[19]
Sedangkan Rasulullah saw yang ucapannya merupakan wahyu Alloh sebagaimana yang yang telah dijelaskan dalam al-Quran surat an-Najm ayat 3-4, telah mengumumkan bahwa Fathimah az-Zahra as merupakan penghulu para wanita di seluruh masa. “Wahai Fathimah, apakah engkau tidak senang menjadi penghulu para wanita seluruh alam, penghulu wanita umat ini, dan penghulu para wanita mukminah?“ [20]
Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Fathimah as adalah penghulu para wanita. Seseorang bertanya kepada beliau, “Apakah dia hanya penghulu para wanita di masanya?” Rasulullah menjawab, “Itu adalah Maryam putri Imron, adapun putriku, Fathimah dia adalah penguhulu para wanita seluruh alam dari awal hingga akhir.”[21]
Alusi dalam tafsir Ruhul Ma’ani menyatakan bahwa Fathimah paling utama dari seluruh perempuan masa dulu maupun yang akan datang. Dengan hadis ini dapat ditetapkan bahwa Fathimah merupakan perempuan termulia, karena merupakan jiwa dan diri Rasulullah saw. Karena itu ia pun lebih utama dai Aisyah.[22]
Mungkin ada yang bertanya, jika Maryam as penghulu wanita pada masanya saja, kenapa Al-Quran menggunakan kata ‘’aalamiin’, yang secara bahasa artinya ialah seluruh alam?
Penggunaan seperti ini dalam al-Quran merupakan hal biasa, sebagaimana halnya tentang Bani Israil Allah Swt telah mengutamakan mereka di alam semesta, “Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepada kalian, dan Aku telah mengutamakan kalian dari semua umat yang lain di alam ini.”[23]
Tentu, maksud al-Quran bukan mengutamakan Bani Israil di seluruh alam dari awal hingga akhir, akan tetapi mereka diutamakan atas umat yang lainnya pada masanya saja, dan saat mereka beriman.
Catatan Kaki:
[1] Naishaburi, Mustadrak ash-Shahihain, jil 2, hal 497; dinukil dari Fadhail Khamsah jil 3, hal 174
[2] QS al-Imron:35
[3] QS Ali Imron:36
[4] QS Ali Imron:36
[5] QS Ali-Imron:37
[6] Faidhul Kasyani, Tafsir Shafi, jil 1, hal 256
[7] Thabarsi, Majmaul Bayan, jil 4, hal 52
[8] Ibid
[9] QS Ali-Imron:37
[10] QS Ali-Imron:37
[11] QS Ali-Imron:37
[12] QS Ali-Imron:38
[13] QS Ali-Imron: 39
[14] QS Maryam:7
[15] QS Ali-Imron:43
[16] Thabarsi, Majma’ul Bayan, jil 2, hal 440
[17] Thabataba’i, al-Mizan, jil 3, hal 295
[18] Thabataba’i, al-Mizan, jil 3, hal 335
[19] QS Ali-Imron:42
[20] Naishaburi, Mustadrak ash-Shahihain, jil 3, hal 156
[21] Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 24
[22] Alusi, Ruhul Ma’ani, jil 3, hal 138
[23] QS al-Baqarah:47
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar