Oleh: KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Pada 12 Day 1367 HS (merujuk ke penanggalan Iran – Red.), satu rombongan Iran tiba di istana Kremlin. Mereka datang bukan untuk tujuan politik, kebudayaan, ataupun ekonomi. Pemimpin rombongan bukan presiden, menteri, atau tokoh kenamaan dalam kerajaan. Ayatullah Syaikh Javadi Amuli – alim, mufasir, dan filosof Islam – menemui Gorbachev untuk menyampaikan surat Imam Khomeini. Selama 65 menit, Gorbachev menyimak surat Imam dengan penuh perhatian. Sekali-sekali air mukanya berubah, mengikuti apa yang didengarnya. Untuk pertama kalinya ia mendengar langsung serangan kepada ideologinya, pandangan hidupnya, bahkan hakikat dirinya. Imam Khomeini menulis antara lain:
Dialah Allah, yang Mahamulia Mahatinggi. Kepada-Nya kita semua menuju, walaupun kita sendiri tidak menyadarinya. Manusia selalu berkeinginan mencapai ‘Haq yang Mutlak’ untuk melebur dalam Allah. Pada prinsipnya, sesungguhnya kerinduan pada kehidupan abadi yang berakar pada fitrah manusia adalah bukti tentang wujudnya alam kekal, yang terlepas dari kematian.
Jika Anda ingin meneliti persoalan ini, Anda dapat memerintahkan orang-orang yang takhasus dalam ilmu-ilmu ini untuk menelaah – di samping buku-buku filsafat Barat – tulisan Al-Farabi dan Abu Ali Sina r.a. dalam Hikmat Al-Mashaiyyin untuk menjelaskan bahwa hukum sebab-akibat bersifat ma’qul dan bukan mahsus (berdasarkan kepada pancaindra), walaupun semua kriteria – yang aqliah dan yang hisiyah – bersandar padanya. Begitu pula menjadi jelas bahwa meng-idrak makna yang kulliy dan prinsip-prinsip umum adalah idrak yang aqliah dam bukan hisiyah, walaupun semua istidlal – yang hisiyah dan aqliah – bersandar juga padanya?
Mereka juga boleh merujuk kepada kitab-kitab Suhrawardi dalam Hikmat Al-Isyraq sehingga jelas bagi Anda bahwa jisim dan semua maujud material memerlukan nur mutlak yang tidak dapat di-idrak dengan pancaindera. Demikian pula idrak yang syuhudi dan langsung dari diri manusia pada hakikatnya terlepas dari gejala-gejala hisiyah.
Perintahkanlah para profesor besar untuk menelaah Asfar Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah dari Shadr Al-Muta’allihin sehingga jelas bahwa hakikat ilmu adalah wujud yang terlepas dari materi dan bahwa semua makrifat hakiki terlepas dari kebendaan dan tidak tunduk pada hukum dan kriterianya.
Saya tidak bermaksud menyulitkan Anda. Saya tidak menyentuh kitab para ‘urafa, terutama sekali kitab Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Bila Anda mau menelaah pembahasan orang besar ini, Anda boleh memilih beberapa orang pandai di antara para sarjana Anda yang mempunyai kemampuan untuk sampai ke pembahasan ini dan mengantar mereka ke Qum untuk meneliti – dengan tawakkal kepada Allah – selama beberapa tahun sehingga mendalami tingkat-tingkat makrifat, sedalam-dalamnya. Tanpa perjalanan ini, tidak mungkin tercapai makrifat seperti itu.
Setelah selesai mendengarkan pembacaan surat, Gorbachev antara lain berkata, “Sebagaimana Imam Khomeini mengajak kami kepada Islam, bolehkah kami juga mengajak Imam untuk menerima akidah kami.” Tetapi ucapan ini segera disusulnya dengan perkataan, “Saya hanya bergurau belaka.”
Kepada utusan Gorbachev yang datang ke Qum, Shevamadze, Imam Khomeini berkata, “Aku ingin membukakan kepadanya satu lubang dari alam gaib. Aku tidak bermaksud berbicara kepadanya tentang hal-hal yang material.”[1]
Surat Imam Khomeini kepada Gorbachev sangat menarik untuk kita teliti. Bukan saja karena itu merupakan surat panggilan kepada Islam, yang ditulis seorang pemimpin Islam buat pemimpin “Kafir”; dan bukan saja karena surat itu meramalkan dengan tepat kejatuhan sistem komunisme (dan Marxisme-Materialisme). Surat itu menarik karena di dalamnya terdapat petunjuk awal bagi mereka yang ingin menempuh jalan menuju Allah, Al-Haq Al-Muthlaq, Al-Nur Al-Muthlaq. Imam Khomeini menyebut ahli hikmah seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina; juga ahli makrifat seperti Suhrawardi dan Ibn Arabi. Inilah petunjuk jalan bagi orang yang ingin meninggalkan dunia material di alam syahadah menuju dunia ruhani di alam gaib. Inilah pengantar kepada apa yang lazim disebut tasawuf – walaupun Imam Khomeini tidak menyebutnya demikian.
Apa yang Disebut Tasawuf?
Dalam berbagai ucapan dan tulisannya, Imam tidak pernah secara khusus menyebut kata tasawuf. Sebagai gantinya, beliau sering menyebut kata ‘irfan. Memang ada banyak definisi tentang tasawuf. Al-Suhrawardi mengatakan, “Qawl para guru tasawuf tentang apa itu tasawuf lebih dari seribu banyaknya, yang tentunya akan panjang sekali kalau dikutip semuanya.”[2]
Walaupun begitu, Al-Suhrawardi menyebutkan juga beberapa definisi dari tokoh-tokoh kenamaan dalam dunia tasawuf. Seperti Al-Suhrawardi, kita pun akan mengutipkan sebagian darinya. Tidak terinci, tetapi sekadar contoh saja.[3]
Menurut Abu Sa’id Al-Kharraz (wafat 268 H): Ia ditanya tentang sufi dan ia berkata, “Orang yang telah Allah bersihkan hatinya. Kemudian hatinya dipenuhi cahaya. Ia masuk dalam hakikat kenikmatan dengan berzikir kepada Allah.”
Menurut Al-Junayd Al-Baghdadi (wafat 497 H): “Tasawuf ialah (keadaan ketika) Al-Haq mematikan kamu dari kamu dan menghidupkan kamu dengan-Nya.”
Menurut Abu Bakar Al-Kattani (wafat 322 H): “Tasawuf ialah shafa (penyucian) dan musyahadah (penyaksian).”
Menurut Ja’far Al-Khuldi (wafat 348 H): “Tasawuf ialah menenggelamkan diri dalam ‘ubudiyyah, keluar dari basyariyyah, dan melihat kepada Al-Haq secara kuliyyah.”
Sewaktu Al-Syibli ditanya tentang tasawwuf, ia berkata, “Permulaannya makrifat kepada Allah dan akhirnya mengesakan-Nya.”
Tanpa penjelasan tambahan, definisi-definisi itu tidak berarti apa-apa. Pada umumnya, orang mengelirukan pengertian tasawuf dengan “zuhud” dan “ibadah”; atau sufi dengan zahid dan ‘abid. Adalah Ibnu Sina yang membedakan dengan jelas ketiganya; dan dengan begitu menegaskan makna tasawuf.
Zahid adalah orang yang memalingkan diri dari kesenangan dan kenikmatan dunia. ‘abid adalah orang yang memelihara perbuatan ibadat seperti shalat dan puasa. ‘arif adalah orang yang memusatkan perhatiannya kepada kesucian jabarut, terus-menerus mempertahankan sinar cahaya Al-Haq dalam sirr-nya. Dan ‘arif yang dimaksud oleh Ibnu Sina adalah sufi yang kita maksud dalam pembicaraan sekarang.
Seseorang boleh zahid, tetapi tidak ‘abid; seperti juga seseorang boleh ‘abid tetapi tidak zahid. Baik zahid maupun ‘abid belum tentu ‘arif Tetapi seorang ‘arif telah semestinya ‘abid dan zahid. Ibadah dan zuhud seorang ‘arif (sufi) berbeda dari ibadah dan zuhud seorang yang bukan ‘arif. Menurut Al-Tilimsani, yang membedakannya adalah tujuan, bukan cara. Seorang sufi berlaku zuhud karena ia ingin menghindarkan diri dari sesuatu yang memalingkan perhatiannya dari Allah SWT. Ia juga beribadah bukan karena menginginkan pahala atau takut akan neraka. Sufi beribadat karena Ia berhak diibadati. Sufi menyembah Allah karena cinta.
Imam Ali berkata, “Ada kaum yang menyembah Allah karena menginginkan pahala, itulah ibadat pedagang. Ada kaum yang menyembah Allah karena takut akan siksanya, itulah ibadat hamba sahaya. Ada kaum yang menyembah Allah karena syukur kepada-Nya, itulah ibadat manusia bebas.”[4]
Rabi’ah berdoa, “Tuhanku, jika sekiranya aku menyembah-Mu karena takut akan api nerakamu, masukkanlah aku ke dalamnya. Bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surgamu, jauhkanlah aku darinya. Tetapi jika sekiranya aku menyembah-Mu karena Engkau semata (karena wajah-Mu yang mulia), jangan haramkan aku dari memandang-Nya.”
Walhasil, tasawuf sebenarnya adalah tahapan lebih lanjut dari ibadat dan zuhud. Orang menjadi sufi bila ia telah meninggalkan ibadat yang ananiyah (egoistik) menuju ibadat yang semata-mata berdasarkan cinta; bila ia telah berhijrah dari “aku”-nya menuju Allah SWT. Tasawuf pada hakikatnya adalah perjalanan ruhani. Al-Ghazali menulis:[5]
Sufi mempunyai jalan ruhani yang ia jalani. Jalan itu disandarkan – dalam asas, manhaj, dan tujuannya – pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Telah disebutkan pada pasal sebelumnya ucapan para tokoh tasawuf yang menegaskan dan menjelaskan keteguhan mereka dalam berpegang pada Al-Quran dalam perjalanan mereka menuju Allah SWT.
Jalan ini telah dicoba oleh para sufi. Hasilnya juga diperkuat dengan jalan percobaan. Jauhar jalan sufi ialah apa yang mereka sebut maqam dan hal. Maqam adalah derajat-derajat ruhani yang dilewati seorang salik ketika berjalan menuju Allah. Dalam derajat itu ia berhenti sampai waktu tertentu, berjuang mempertahankannya, sehingga Allah mengantarkannya ke derajat berikutnya. Dengan begitu, ia naik dalam tingkat ruhaninya dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Begitulah, derajat tawbah mengantarkan ke derajat wara’, derajat wara’ mengantarkan ke derajat zuhud. Begitulah terus-menerus, sampai akhirnya manusia mencapai derajat cinta, dan dari situ ke derajat ridha.
Derajat-derajat ini mesti dicapai dengan jihad dan penyucian diri. Karena itu, mereka mengatakan: derajat ini dicapai (bukan dianugerahkan) dengan bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan berusaha keras mencapai hakikat ‘ubudiyyah. Adapun hal adalah embusan ruhani yang dianugerahkan kepada salik. Di situ dirinya menghirup embusan ruhani itu beberapa saat, lalu berjalan lagi dengan meninggalkan semerbaknya. Ruhnya merindukan untuk mengisap wanginya itu lagi. Satu misal, hal adalah uns (kerinduan kepada Allah).
Secara singkat, tasawuf adalah perjalanan ruhani menuju Allah. Dalam perjalanan itu, seorang salik akan memperolehi pengetahuan ruhani tentang derajat yang dilewatinya. Karena itu, tasawuf sebetulnya sebuah mazhab epistemologis. Tasawuf mengajarkan metode sistematik untuk memperoleh pengetahuan seperti itu (lazimnya disebut makrifat). Makrifat atau ‘irfan yang diperoleh sufi menunjukkan pandangan-dunia (world- view) yang khas. Karena itu, tasawuf juga sebuah mazhab ontologis.
Pada mazhab Ahli Sunnah, metode sistematik tasawuf – yang dirumuskan oleh pendiri aliran – biasanya disebut thariqat. Sebanyak pendirinya, sebanyak itulah aliran thariqat. Tasawuf yang diajarkan oleh Imam Khomeini (q.s.) – bila dapat disebut thariqat – bersumber pada para imam Ahli Bayt a.s. Pada Ahli Sunnah, para ulama dapat mengambil mazhab Syafi’i dalam fiqih tetapi Niqsyabandi dalam tasawuf. Pada mazhab Ahli Bayt a.s. tidak ada aliran thariqat (karena thariqat tidak terlepas dari ilmu-ilmu Islam yang lain; semuanya bersumber pada ajaran para imam Ahli Bayt a.s.).
Tetapi, secara ontologis, Imam Khomeini (q.s.) banyak mengambil pelajaran dari Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi, guru besar ilmu tasawuf dari kalangan Ahli Sunnah. Pada usia kurang duapuluh tujuh tahun, Imam Khomeini belajar Syarh Fushush Al-Hikam dari alim besar dalam ‘irfan, Ayatullah Syahabadi selama enam tahun. Pelajaran ini diikutinya setelah menamatkan kitab Al-Asfar dari Mulla Shadra. Setelah menyelesaikan Fushush Al-Hikam, Imam Khomeini kemudian menelaah kitab ‘irfan lainnya, Mishbah Al-Uns. Sebelum mencapai usia tiga puluh lima tahun, Imam Khomeini telah menulis ta’liqat pada Syarh Fushush Al-Hikam dari Al-Qusairi dan ta’liqat pada Mishbah Al-Uns dari Shadr Al-Din Al-Qunawi,[6] di samping kitab-kitab lainnya dalam ‘irfan seperti Mishbah Al-Hidayah dan Syarh Du’a Al-Sahar.
Walaupun Imam Khomeini (q.s.) seorang marja’ dalam fiqih Ja’fari (dan menulis banyak kitab berkenaan dengan masalah-masalah fiqhiyah seperti Kitab Al-Bay’, Tahrir Al-Wasilah, Al-Rasa-il), ia banyak berbicara dan menulis berkenaan dengan ‘irfan. Untuk mengetahui serba sedikit ajaran beliau berkenaan dengan suluk (metode memperoleh makrifat), dan aspek ontologis (pandangan-dunia sufi), saya akan banyak mengutip dari Sharh Chehel Hadith (Syarh Empat Puluh Hadis, sebuah kitab yang penuh dengan petunjuk-petunjuk tasawuf) dan Al-Adab Al-Ma’nawiyyah li Al- Shalat.
Suluk: Perjalanan Menuju Allah
Dalam suratnya kepada Gorbachev, Imam Khomeini berkata, “Kepada-Nya kita semua menuju, walaupun kita sendiri tidak menyadarinya. Manusia selalu berkeinginan mencapai ‘Haq yang Mutlak’ untuk melebur dalam Allah.” Perkataan beliau ini menggemakan kembali apa yang pernah ditulis oleh Ibn ‘Arabi. Kita semua kembali kepada Tuhan. Sebagian besar kembali kepada-Nya secara terpaksa (ruju’ idhthirari). Sebagian kecil ingin kembali kepada-Nya secara sukarela (ruju’ ikhtiyari).
Untuk kembali kepada Allah dengan sukarela, kita mesti dengan kuat menanggalkan ananiyyah kita, rumah kita yang gelap, dan sekaligus berhala kita. Kita keluar dari rumah kita, berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Khomeini mengutip firman Allah, “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian maut mengenainya, ia akan memperolehi pahalanya disisi Allah.” (QS 4: 100).
Ketika menjelaskan hadis ke-37, Imam Khomeini berkata:[7] Sesungguhnya syarat pertama dalam perjalanan menuju Allah adalah keluar dari rumah diri, keakuan dan ananiyyah, yang gelap-gulita. Bukankah manusia dalam perjalanan lahiriah yang dapat diketahui dengan pancaindera saja belum dikira berjalan selama ia tetap tinggal di tempatnya atau di rumahnya; sekali pun ia mengkhayalkan perjalanan atau membayangkan dirinya sebagai musafir. Untuk disebut musafir, ia mesti meninggalkan tempat dan menjauhi rumahnya.
Begitu pula safar ‘irfani menuju Allah dan hijrah syuhudiyah tidak akan terjadi kecuali dengan meninggalkan rumah diri yang gelap dan dengan menghilangkan kesan-kesannya. Selama kesan-kesan ta’ayyunat masih dapat disaksikan, selama suara-suara katsrat masih terdengar, manusia belum dianggap sebagai musafir. Ia hanya berkhayal melakukan safar dan mengaku sedang bepergian dan melakukan suluk. Allah berfirman, “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian maut mengenainya, ia akan memperolehi pahalanya di sisi Allah.” (QS 4: 100).
Setelah seorang salik bertolak dari rumah dirinya menuju Allah dengan menjinakkan hawa nafsu dan ketakwaan yang sempurna, serta pada masa berlepasnya dia tidak membawa keterikatan pada dunia dan ta’ayyunat, dan kemudian terjadilah safar kepada Allah, maka Al-Haq yang Mahatinggi akan ber-tajalli padanya sebelum segala sesuatu, pada hatinya yang telah disucikan dengan uluhiyat dan maqam kemunculan asma dan sifat.
Menurut Imam Khomeini, ananiyyah baru ditinggalkan ketika seorang hamba menyerahkan pen-tadbir-an wujud dirinya seluruhnya (hukumat wujudihi kulliha) kepada Allah dan fana dalam kebesaran rububiyah. “Pada waktu itu, yang mengatur rumah adalah pemiliknya, sehingga semua perilaku hamba menjadi perilaku ilahi (tasharruf ilahi). Penglihatannya menjadi penglihatan Ilahi dan ia melihat dengan penglihatan Al-Haq. Pendengarannya menjadi pendengaran Ilahi dan ia mendengar dengan pendengaran Al-Haq.”[8]
Menyerahkan hukumat kepada Allah berarti menundukkan diri sepenuhnya kepada syariat, mengubah dirinya menjadi insan syar’iy:[9]
Insan syar’iy adalah orang yang mengatur perilakunya mengikuti apa yang dikehendaki syara’. Sehingga keadaan lahirnya seperti Rasulullah saw. dan mengikuti teladan Nabi yang mulia saw. serta mencontoh semua gerak dan diamnya, dalam semua yang ia lakukan dan semua yang ia tinggalkan....
Ketahuilah... Setiap langkah di jalan makrifat ilahiah, tidak mungkin dilakukan tanpa memulainya dengan berpegang kepada zhahir-nya syariat. Apabila manusia tidak beradab dengan adab syariat yang benar, ia tidak akan memperoleh sedikit pun hakikat akhlak yang baik. Juga tidak mungkin dalam hatinya ber-tajalli nur makrifat dan tersingkap ilmu-ilmu batiniah dan rahasia-rahasia syariat.
Bahkan setelah tersingkap hakikat dan setelah muncul cahaya makrifat di dalam hatinya, ia masih tetap mesti beradab dengan adab syariat yang zhahir. Dari sinilah kita mengetahui salahnya anggapan orang bahwa (Apabila telah sampai ke dalam ilmu batin, ilmu zhahir ditinggalkan) atau (Setelah mencapai ilmu batin, tidak diperlukan lagi adab yang zhahir). Anggapan ini berasal dari kejahilan orang yang mengucapkannya dan kejahilan dia akan maqam ibadah dan derajat insaniah.
Jadi, menurut Imam Khomeini, tasawuf yang benar tidak boleh meninggalkan syariat. Seorang sufi mesti memulai suluk-nya dengan mendalami dan memahami ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu yang diperoleh melalui bukti-bukti rasional. Ketika menyebutkan derajat-derajat yang mesti dilewati salik, Imam menyebut martabat ilmu sebagai martabat yang pertama.
Tetapi Imam juga mengingatkan agar salik tidak terus-menerus berada dalam derajat ilmu zhahir. Ilmu zhahir dapat berubah menjadi hijab yang sangat besar, yang membelenggu dirinya sehingga tidak dapat melanjutkan perjalanan ke derajat yang lebih tinggi. Bila ia tidak mengoyakkan derajat ini, terjadilah istidraj. “Istidraj dalam derajat ini terjadi ketika ia menyibukkan diri dengan cabang-cabang ilmu yang banyak, dan pikirannya berputar-putar di situ. Untuk itu, ia mengembangkan bukti-bukti yang banyak, sehingga ia tidak dapat masuk ke manzilah yang lain. Kalbunya terikat dengan derajat ini, sehingga ia tidak memperoleh hasil yang dikehendaki, yakni fana dalam Allah. Ia menghabiskan umurnya dalam hijab burhan dan cabang-cabangnya. Semakin banyak cabang, semakin banyak pula hijab dari hakikat.”[10]
Bila ia mampu menanggalkan hijab ilmu ini, ia akan sampai ke maqam kedua: memperoleh iman kepada hakikat-hakikat. Ia mencapai hakikat dzill al-‘ubudiyyah (kehinaan penghambaan) dan ‘izz rububiyyah (kemuliaan rububiyah). Maqam-maqam berikutnya adalah maqam thuma’ninah dan musyahadah (yang tidak kita jelaskan dalam tulisan singkat ini).
Dalam keseluruhan perjalanan itu, seorang salik mesti memelihara adab-adab batiniah. Dalam syarahnya untuk hadis berkenaan dengan jihad akbar, Imam Khomeini menyebutkan hal-hal yang mesti dilakukan oleh mujahid yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya: musyarathah, muraqabah, muhasabah, dan tadzakkur. Imam Khomeini (q.s.) menjelaskan semuanya itu sebagai berikut:[11]
Di antara hal-hal yang diperlukan oleh seorang mujahid adalah musyarathah, muraqabah, dan muhasabah. Seseorang melakukan musyaratah bila ia mensyaratkan kepada dirinya pada hari pertamanya untuk tidak melakukan amal yang bertentangan dengan perintah Allah pada hari itu. Ia memutuskan yang demikian dan bertekad melakukannya. Jelaslah bahwa meninggalkan yang bertentangan dengan perintah Allah untuk satu hari saja tentunya sangat mudah. Manusia dengan mudah dapat melakukannya. Karena itu, kuatkanlah tekad, buatkan syarat dan lakukanlah percobaan. Perhatikan bagaimana hal itu dapat berjalan dengan lancar.
Mungkin saja Iblis yang terlaknat beserta tentaranya menggambarkan pada diri Anda bahwa perkara itu sangat sulit. Pastikanlah bahwa ini semua kekeliruan yang dibuat oleh Iblis yang terkutuk. Kutuklah dia dengan sepenuh hati dan dengan sesungguh-sungguhnya. Keluarkan waham-waham yang batil dari hatimu. Cobalah satu hari. Nanti Anda akan melihat hasilnya.
Setelah musyarathah, Anda berpindah ke muraqabah. Di sini Anda memusatkan perhatian sepanjang waktu untuk memperhatikan amal Anda apakah sesuai dengan apa yang telah Anda syaratkan. Sekiranya – semoga Allah menjauhkan Anda darinya – Anda melakukan amal yang bertentangan dengan perintah Allah, ketahuilah bahwa itu adalah perbuatan setan dan tentaranya. Mereka menghendaki agar Anda tidak memenuhi apa yang telah Anda syaratkan pada diri Anda. Laknatlah mereka dan berlindunglah kepada Allah dari kejahatan mereka dan keluarkanlah waswas yang batil dari dalam hati Anda. Katakan kepada setan, “Aku telah mensyaratkan pada diriku untuk tidak melakukan pada hari ini – satu hari saja – perbuatan yang menentang perintah Allah, sebab Dialah yang melimpahkan nikmat kepadaku sepanjang umurku. Dia telah memberikan kepadaku kesehatan, kesejahteraan, keamanan dan anugerah-anugerah lainnya. Seandainya aku terus-menerus berkhidmat kepada-Nya, aku belum memenuhi satu pun dari hak Dia. Karena itu sangat tidak layak kalau aku tidak dapat memenuhi syarat yang sederhana seperti ini.” Aku berharap insya Allah setan berpaling dari Anda dan meninggalkan Anda sehingga menanglah tentara-tentara Tuhan.
Muraqabah tidak semestinya mengganggu pekerjaan harian Anda seperti kasab, safar, atau belajar. Tetaplah pada keadaan ini sampai datang waktu malam untuk melakukan muhasabah.
Muhasabah adalah melakukan perhitungan pada diri Anda apakah Anda telah melakukan apa yang telah Anda janjikan di depan Allah, dan tidak mengkhianati pemberi nikmatmu dalam muamalah sebagian ini? Bila Anda telah memenuhinya dengan benar, bersyukurlah kepada Allah atas taufik-Nya. Insya Allah, Allah akan memudahkan Anda untuk memperoleh kemajuan dalam urusan dunia dan akhirat Anda. Amal Anda hari berikutnya akan lebih mudah daripada amal Anda sebelumnya.
Jagalah amal ini untuk beberapa waktu. Biasanya amal-amal itu akan menjadi malakah Anda, sehingga amal itu menjadi sangat mudah Anda lakukan. Pada saat itu Anda merasakan kelezatan dan kerinduan untuk menaati Allah dan meninggalkan maksiat kepada-Nya, di alam ini juga, padahal alam ini bukanlah alam balasan tetapi pahala Ilahi menimbulkan kesannya dan menjadikan Anda mendapat kesenangan dan kelezatan dalam menaati Allah dan menjauhi maksiat.
Ketahuilah bahwa Allah tidak membebani Anda dengan apa yang tidak mampu Anda lakukan. Ia tidak mewajibkan kepada Anda apa pun yang tidak dapat Anda lakukan atau apa yang tidak sanggup Anda kerjakan. Tetapi setan dan tentaranya membayangkan dalam diri Anda bahwa perkara ini sangat berat dan sulit.
Apabila terjadi – semoga Allah menjauhkan Anda darinya – selama muhasabah ini kekecewaan dan kegagalan dalam memenuhi syarat yang telah Anda janjikan itu, mohonkan ampunan kepada Allah. Bertekadlah dengan penuh keberanian untuk melakukan musyaratah lagi pada esok harinya. Tetaplah dalam keadaan ini sehingga Allah membukakan di hadapan Anda pintu taufik dan kebahagiaan dan membawa Anda ke jalan yang lurus bagi insaniyah.
(Imam Khomeini [q.s.] menyebutkan tadzakkur sebagai usaha untuk mengingat-ingat nikmat Allah, sehingga tumbuh pada diri Anda penghormatan dan pembesaran kepada Allah SWT. Dari penghormatan ini, Anda tidak berani berbuat maksiat di hadapan-Nya).
Karena itu, sahabatku, kenanglah kebesaran Tuhanmu. Ingatlah nikmat dan anugerah-Nya. Ingatlah bahwa Anda berada di hadapan-Nya dan Dia menyaksikan perbuatan Anda. Janganlah berbuat maksiat di depan-Nya. Dalam peperangan besar ini, kalahkanlah tentara setan. Jadikanlah kerajaan Anda kerajaan rahmaniah dan haqqaniyah.
Penutup:
Tulisan ini hanyalah bermaksud memperkenalkan pemikiran Imam Khomeini berkenaan dengan tasawuf (‘irfan). Pembahasan yang lengkap memerlukan buku tersendiri. Cukuplah di sini dikatakan bahwa Imam Khomeini (q.s.) sangat menguasai ilmu makrifat yang bersumber dari ajaran Ahli Bayt maupun pemikir-pemikir sufi seperti Ibn ‘Arabi, Suhrawardi, ataupun Mulla Shadra. Berkat tulisan-tulisan dan pembicaraan Imam Khomeini, ‘irfan menarik kembali perhatian para ulama (termasuk fuqaha’).
Lebih dari itu, sebagaimana yang disaksikan oleh siapa saja yang mempelajari kehidupan Imam Khomeini, beliau juga menjalani kehidupan ‘irfani. Beliau hidup sebagai zahid, ‘arif, dan ‘abid. Tetapi berbeda dari kebanyakan mutashawwifin, beliau tidak meninggalkan aspek-aspek politik, sosial; dan kebudayaan. Imam Khomeini bukanlah sufi yang mengasingkan diri dari masyarakat ramai, atau menghabiskan waktunya di sudut masjid atau gua. Imam Khomeni (q.s.) adalah sufi yang telah mengguncangkan dunia. Bila kita memetik kata-kata Dr, Muhammad Iqbal, Imam Khomeni – seperti halnya Rasulullah saw. – adalah orang yang “di waktu malam pelupuk matanya berlinang air mata, di medan perang pedangnya bersimbah darah; di gua Hira bermalam-malam terjaga, supaya tegak hukum, bangsa, dan negara.”
Imam Khomeni menutup tulisannya tentang Al-Adab Al-Ma’nawiyah li Al-Shalat dengan doa. Tulisan ini pun ditutup dengan doa yang sama, ber-tabarruk dengan pribadi Imam Khomeni (q.s.):
Tuhan kami, telah Engkau tutupkan kepada kami, hamba-Mu yang lemah, pakaian wujud dengan anugerah, pertolongan, dan limpahan rahmat dan kurnia-Mu tanpa didahului oleh pengkhidmatan dan ketaatan atau kami memerlukan ‘ubudiyyah dan ibadah. Engkau memuliakan kami dengan bermacam-macam nikmat ruhaniah dan jasmaniah, berbagai rahmat lahir dan batin padahal ketiadaan kami tidak mengurangi kudrat dan kekuasaan-Mu, dan wujud kami tidak menambah kebesaran dan keagungan-Mu.
Sekarang, mata air rahmaniyah-Mu telah terpancar dan matahari jamaliyah-Mu yang indah telah bersinar. Telah Engkau tenggelamkan kami dalam samudera kasih-Mu, telah Engkau sinari kami dengan cahaya keindahan. Tutuplah segala kekurangan kami, kesalahan kami, dosa kami, kealpaan kami dengan cahaya taufik batini, bantuan dan hidayah sirriyah. Bersihkan hati kami seluruhnya dari kebergantungan kepada dunia dan hiaslah ia dengan kebergantungan kepada kebesaran Al-Quds.
Tuhan kami, dengan ketaatan kami yang sedikit, tidak layak kami memperoleh keluasan dalam kerajaan-Mu. Tetapi siksaan dan azab para pendosa tidak mendatangkan manfaat bagi-Mu. Ampunan dan kasih-Mu bagi orang-orang yang jatuh tidak mengurangi kekuasaan-Mu. ‘Ayn Tsabitah para pendosa mengharapkan kasih-Mu, fitrah orang-orang yang kekurangan mencari kesempurnaan mereka. Karena itu karuniakan kepada kami anugerah-Mu yang luas, dan jangan melihat kekurangan kemampuan kami.
Tuhanku, jika aku tidak layak untuk memperoleh rahmat-Mu, maka Engkau sangat layak untuk memberikan kepadaku kelapangan karunia-Mu....
Tuhanku, telah Engkau tutup dosa-dosaku di dunia, padahal aku lebih memerlukan penutupan itu pada hari kiamat. Tuhanku, karuniakan kepadaku kesempurnaan kebergantungan pada-Mu. Sinarilah hati nurani kami dengan cahaya memandang-Mu. Sehingga pandangan hati kami mengoyakkon hijab-hijab nur, dun tercapailah pusat kebesaran-Mu.
(Sumber: Al-Hikmah, Jurnal Studi-Studi Islam; No. 11 Rabi’ At-Tsani-Rajab 1414/Oktober-Desember 1993; hal. 75 – 86).
Catatan:
* Tulisan ini merupakan makalah penulis yang disampaikan pada “The International Seminar on the Reapproachment of Sunni and Shi’ite” di Hotel Federal, Kuala Lumpur, pada 3-4 Juli 1993.
1. Syaikh Javadi Amuli, “Min Nida-i Al-Tawhid”, dalam Risalat Al-Tsaqalayn, No. 1, Thn. 1, ms. 132.
2. ‘Abd Al-Qahir Al-Suhrawardi, ‘Awarif Al-Ma’arif, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1983, ms. 57.
3. Definisi-definisi ini dikutip dati ‘Afif Al-Din Al-Tilimsani, Syarh Manazil Al-Sairin ila Al-Haq Al-Mubin, Intisharat Bidar, Qum, 1413 H, ms. 12.
4. NahjAl-Balaghah, Qisar Al-Hikam 237.
5. Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Dar Al- Kutub Al-Lubnani, Beirut, 1979, ms. 169-170.
6. Kedua tulisan ini telah diterbitkan dengan judul Ta’liqat ‘ala Syarh Fushush Al-Hikam wa Mishboh Al-Uns, Muassasah Pasdar-e Islam, Qum, 1410 H.
7. Sharh Chehel Hadith, Muassasah Tanzim o Nashr-e Athar-e Imam Khomeini, 1371, ms. 625-626.
8. Imam Khomeini, Al-Adab Al-Ma’nawiyyat li Al-Shalat, Talas, Damaskus, 1984, ms. 32.
9. Imam Khomeini, Chehel Hadith, ms. 8.
10. Imam Khomeini, Al-Adab, ms. 36.
11. Imam Khomeini, Chehel Hadith, ms. 9-10.
(Tarikrafii/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)