Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS TOKOH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS TOKOH. Tampilkan semua postingan

Syaikh Hassan Azhari Meninggal Dunia


Syaikh Hassan Azhari, seorang cendekiawan dan ulama kenamaan Alquran asal Malaysia, setelah mengabdikan umurnya untuk Alquran, memenuhi panggilan Allah swt.


Prof. Dr. Haji Said Agil Husin Al Munawar, juri kenamaan Alquran asal Indonesia dan termasuk aktivis Qurani dalam sebuah berita kepada IQNA mengumumkan, Syaikh Hassan Azhari adalah salah satu ulama dan profesor Alquran kenamaan di Malaysia, baru-baru ini meninggal dunia.

“Ustad Azhari adalah ketua Juri Internasional Alquran dari Malaysia untuk beberapa periode,” imbuhnya.

Profesor Alquran Indonesia melanjutkan, “Almarhum mengabdikan umurnya dikancah Alquran di seluruh Malaysia, Indonesia dan negara-negara Islam lainnya.”

Prof. Dr. Haji Said Agil Husin Al Munawar menyampaikan belasungkawa atas meniggalnya ustad besar dan abdi Alquran ini kepada para pecinta Alquran dan aktivis Qurani dua negara ini, Malaysia dan Indonesia serta memintakan kepada Allah swt baginya rahmat luas Allah dan surga kekal.





(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syaikh Abdul Rahman, Qori Kenamaan Dunia Islam Meninggal Dunia


Syaikh Khalil Abdul Rahman, qori kenamaan Alquran, yang dijuluki "Syaikh Aimmah Haramain Syarifain" meninggal dunia di kota Madinah, Arab Saudi.

Menurut laporan IQNA dilansir dari al-Arab al-Youm, Syaikh Khalil Abdul Rahman, kelahiran Pakistan dan seorang ulama qori kenamaan Alquran, meninggal dunia di Madinah, Senin (3/9).

Ia meninggal setelah mengabdikan hidupnya pada Alquran dan mencintai kitab Ilahi ini, dan jenazahnya disalatkan hari ini di Masjid Nabawi setelah salat Subuh dan dimakamkan di pemakaman Baqi’.

Pengajar Alquran ini lahir pada tahun 1940 di provinsi Mozaffarabad, Pakistan. Pada tahun 1345, ia pergi ke Iran untuk mengajar Alquran di Husainiyah Irsyad dan beberapa tempat lain di Teheran dan sejumlah pengajar seperti almarhum Arbabi dan Subhdel menimba ilmu darinya.

Setelah beberapa tahun tinggal di Iran, ia bermigrasi ke Arab, dan di sana juga menggembleng beberapa murid seperti Syaikh Muhammad Ayyub, qori kenamaan Hijaz, serta anak-anaknya, Syaikh Muhammad dan Syaikh Mahmud, adalah salah satu qori terkemuka di tanah Hijaz.

Khalil Abdul Rahman berada di Mekah al-Mukarromah dari tahun 1963 dan mengajarkan Alquran setiap hari setelah salat Subuh di Masjidil Haram untuk para peminat Alquran. Qori dan pengajar Alquran ini meninggal di Madinah, Senin (3/9).

(Al-Arab-Al-Youm/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Fuat Sezgin, Sejarawan Kontemporer Inspirator Umat


Sebagai sejarawan Muslim era kontemporer, nama Prof Dr Fuat Sezgin tidak hanya dikenal di kalangan akademisi. Sampai akhir hayatnya, peraih King Faisal International Prize 1978 itu terus berperan sebagai duta internasional yang ikut menjembatani saling pengertian antara Islam dan peradaban-peradaban lainnya.

Seperti dilansir dari situs Islamic World Academy of Sciences, pria yang lahir di Bitlis, Turki, itu awalnya menekuni jurusan teknik untuk mendapatkan gelar insinyur. Akan tetapi, kuliah umum orientalis berkebangsaan Jerman, Hellmut Ritter (1892- 1971), mengubah haluannya.

Dia menjadi amat tertarik pada sejarah kebudayaan dan peradaban Islam. Setelah berdiskusi dengan Ritter, dia kemudian mendaftar di Institut Studi Ketimuran, Universitas Istanbul, meski dengan tenggat waktu yang mendekati akhir.

Belakangan, Ritter sendiri menjadi pembimbing disertasinya. Dimulai pada masa penyelesaian disertasi, dia pun perlahan-lahan menguasai bahasa Arab. Ilmuwan yang poliglot ini sampai tutup usianya fasih bertutur dalam 25 bahasa asing lainnya, termasuk Latin, Ibrani, Syriac, dan Jerman.

Melalui karya ilmiahnya itu, Sezgin berhasil mempertahankan argumentasi bahwa Imam Bukhari meriwayatkan hadis tidak hanya berdasarkan sumber-sumber lisan, tetapi juga pelbagai naskah tertulis yang antara lain berasal dari abad ketujuh.

Disertasinya yang berjudul Mashadir al-Bukhari itu berhasil menangkis sementara orientalis Barat yang masih berkeyakinan bahwa periwayatan hadis semata- mata mengandalkan sumber lisan.

Gelar doktor filsafat diraihnya kala berusia 26 tahun. Sesudah itu, Fuat Sezgin mengajar di almamaternya selama satu dasawarsa. Kariernya di sana terhenti seiring dengan prahara politik nasional yang pecah pada 1960.

Suami Ursula Sezgin itu ikut dalam gelombang diaspora sekitar 100 ilmuwan Turki yang hijrah ke Jerman. Di Goethe University Frankfurt, dia mengajar sebagai dosen tamu hingga 1965. Akhirnya posisinya terangkat menjadi guru besar kampus tersebut dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan.

Bekal yang diperolehnya selama di tanah air menjadi modal yang amat berharga berkarier di Jerman. Fokus studinya selama di Frankfurt menyoroti seluk beluk sejarah peradaban Islam, figur-figur penting, dan pencapaian saintifik pada masa keemasan Islam.

Pada 1967, Sezgin mulai menerbitkan karya monumentalnya, Geschichte des Arabischen Schrifttums(GAS/Sejarah Kebudayaan Arab) jilid pertama. Upaya awalnya menulis kitab tersebut atas bimbingan gurunya, Carl Brockelmann.

GAS terus-menerus diproduksi hingga jilid ke-18 pada 2000. Pada 1970, penulisnya menambahkan bab-bab yang mengulas sejarah sains medis Islam. Satu tahun kemudian, ditambahkannya pembahasan tentang legasi peradaban Islam untuk studi kimia dan alkemi.

Tahun-tahun berikutnya, berturut-turut dilengkapinya GAS dengan penjelasan panjang lebar mengenai kontribusi Islam untuk perkembangan matematika, astronomi, dan astrologi. Memasuki 1979, ranah puisi, ilmu kebahasaan, dan leksikografi Arab juga disertakannya.

GAS diakui banyak pihak sebagai karya besar lantaran begitu komprehensif mengulas topik sumbangsih Islam bagi perkembangan sains, teknologi, dan peradaban dunia. Kitab yang berjilid-jilid itu menjadi rujukan utama bagi para ilmuwan untuk meneliti periodisasi kebudayaan Islam sejak abad kedelapan hingga ke-18 Masehi. Atas kerja kerasnya ini, pada 1978 Sezgin di anugerahi hadiah King Faisal International Prize dari Pemerintah Arab Saudi.

Sejak memperoleh penghargaan bergengsi itu, dia semakin leluasa melanjutkan riset tentang sejarah kebudayaan Islam, terutama di negara-negara petrodolar Asia Barat. Pada 1982, peraih bintang Order of Merit Republik Federasi Jerman itu mendirikan Institut Sejarah Sains Arab Islam, sebuah lembaga yang ikut menjembatani peradaban Islam dan Barat modern.

Bangunan institut itu masih satu kompleks dengan Goethe University Frankfurt. Sampai hari ini, museum yang terdapat di sana menyajikan koleksi terkait legasi para saintis Islam yang begitu lengkap, bahkan sejak zaman klasik. Di dalamnya terdapat lebih dari 800 buah replika instrumen yang biasa dipakai para ilmuwan Muslim pada era keemasan.

Di antaranya alat-alat navigasi pelayaran, lensa-lensa optik, dan sebuah globe yang meng gambarkan peta dunia dari zaman khalifah al-Ma’mun yang mulai menjabat pada 813 M. Keakuratan peta tersebut tidak jauh berbeda daripada bola dunia dari zaman modern. Pada 2008, museum dengan koleksi serupa juga dibuka di Istanbul, Turki.

Sejak 1984, kesibukannya di ranah akademis semakin bertambah dengan men jadi editor Journal for the History of Arabic- Islamic Science.Sementara itu, Sezgin juga menerima berbagai macam penghargaan dari mancanegara sebagai bentuk pengakuan atas kepakarannya.

Pemerintah Turki mengganjar sejarawan tersebut dengan medali kehormatan dalam bidang budaya dan kesenian. Namanya pun tercatat selaku anggota di sejumlah lembaga asosiasi ilmuwan negara-negara Muslim, semisal Akademi Sains Turki, Akademi Kerajaan Maroko, serta Akademi Bahasa Arab di Kairo (Mesir), Damaskus (Suriah), dan Baghdad (Irak).


Wafat

Pada 1 Juli 2018, dunia berduka. Profesor Fuat Sezgin dikabarkan meninggal dunia di Istanbul dalam usia 95 tahun.Sebelum wafat, almarhum sempat menjalani serangkaian perawatan di rumah sakit. Mengutip beritaHurriyet Daily News pada tanggal tersebut, sejumlah pemimpin dunia menghaturkan selamat jalan dan doa kebaikan serta mengenang jasa-jasanya. Adapun jasadnya lantas dikebumikan di dekat Masjid Fatih, Istanbul.

Melalui akun Twitter-nya, pemimpin Turki Erdogan menyatakan dukacita: Saya berharap, semoga kasih sayang Allah dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya, termasuk ilmuwan besar kita Prof Dr Fuat Sezgin. Dia berjasa dalam mengungkap wa risan peradaban dan sejarah kita (umat Is lam)melalui karya-karyanya terkait sejarah saintifik Islam. Duka cita yang mendalam bagi bangsa ini, keluarga sang almarhum, serta dunia keilmuan pada umumnya.

Fuat Sezgin meninggalkan karya-karya besar yang sepatutnya tidak hanya menjadi rujukan, tetapi juga estafet untuk diteruskan generasi-generasi berikutnya. GAS karyanya mengulas naskah-naskah Arab-Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga empat abad kemudian.

Oleh karena itu, kitab tersebut dapat menjadi pembuka jalan bagi siapa pun yang hendak mengkaji manuskrip kebudayaan dan peradaban Islam, bahkan melanjutkan perjuangan sang penulisnya.

(Islamic-World-Academy-of-Sciences/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Profil Sayyidah Fatimah Ma’shumah


Biografi Singkat Sayyidah Fatimah Ma’shumah

Nama : Fatimah

Nama Ayah : Imam Musa Al-Kadzim as

Nama Ibu : Najmah Khatun

Sebutan : Al-Ma’shumah, At-Thohiroh, Al-Karimah, Al-Hamidah.

Tempat Tanggal Lahir : Madinah, 1 Dzulqo’dah 173 H.

Umur : 28 tahun.

Tanggal Kesyahidan : 10 Rabiul Tsani 201 H.

Makam : Qum Al-Muqoddasah.

Selamat berbahagia kepada seluruh pecinta Ahlulbait atas hari kelahiran wanita suci, Sayyidah Fatimah Ma’shumah.

Imam Ja’far as-Shodiq as berpesan,

“Sesungguhnya Allah swt memiliki Haram (tempat suci) yaitu di Mekah. Rasulullah saw juga memiliki Haram yaitu di Madinah. Dan Amiril mukminin Ali bin Abi tholib as memiliki Haram yaitu di Kufah. Dan kami memiliki Haram yaitu di Qum. Disana akan disemayamkan seorang putri dari keturunanku yang bernama Fatimah. Barangsiapa yang berziarah kepadanya maka wajib baginya surga.”

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Quthbuddin Syirazi: Pakar Astronom dan Kedokteran Muslim


Quthbuddin Syirazi (634 H/1236 M-710 H/1311 M) tumbuh di zaman invasi Mongol. Ia hidup di masa yang sulit saat budaya Islam telah mencapai kematangannya namun pada saat yang sama ditimpa kejatuhan manifestasi politik. Quthbuddin pada masa itu suka membaca sejumlah komentar mengenai prinsip-prinsip umum Ibn Sina. Karena tidak menemukan komentar maupun penjelasan yang memuaskan dari para gurunya, ia memenuhi keinginan untuk pergi ke tempat lain guna mempelajari lebih jauh tentang teori kedokteran.

Untuk melengkapi studi kedokteran, Quthbuddin belajar menjadi seorang sufi. Ayahnya merupakan salah seorang mistikus di Shiraz. Dia belajar di Bagdad kepada Syihab al-Din Umar al-Suhrawardi (wafat 632/1234-1235), seorang penulis buku pegangan mistikisme terkenal dan menerima khirqah baju kebesaran sufi, dan menjadi ikon garis silsilah spiritualis seorang sufi. Kala Quthbuddin Syirazi berusia 10 tahun, ayahnya sudah menerima khirqah. Dia juga harus berkunjung kepada Najib al-Din Buzgus Shirazi yang juga merupakan murid Suhrawardi dan sufi paling penting di Shiraz.

Quthbuddin tinggal di Shiraz hingga usia 24 tahun dan telah menyerap semua ilmu yang dimiliki guru-guru di tempatnya. Ia juga adalah murid yang tertarik dengan observatorium. Ia segera mendalami juga filsafat dan matematika dan segera menjadi mahasiswa Thusi yang paling menonjol dan penting.

Menjelang tahun 673/1274 Quthbuddin Syirazi telah menemukan jalan ke Konya. Di sana belajar dan memperdalam ilmu hadis dan ilmu pengetahuan rasional, agama dan mistik kepada Shadr al-Din Qunawi. Konon pernah bertemu dengan Jalaludin Rumi. Saat ia bertemu Rumi, Rumi mengabaikannya dalam waktu yang lama dan kemudian ia menyampaikan sebuah cerita tentang Sadr Jehan, seorang kaya raya yang tidak pernah mau memberikan sesuatu kepada orang-orang miskin. Ada seorang miskin yang mencoba menarik perhatian Sadr Jehan agar berkenan memberikan uangnya. Tapi Sadr Jehan tidak bergeming, tidak tersentuh sedikitpun untuk mengulurkan tangannya kepada si miskin itu. Akhirnya orang miskin karena sudah putus asa dengan cara-cara biasa, ia memakai kain kafan dan berbaring di atas tanah. Begitu melihat pemandang yang mengharukan seperti itu Sadra Jehan kemudian memberikan bantuannya.

Cerita Rumi yang sangat elok di atas untuk menggambarkan jika seorang hamba ingin menarik perhatian yang lain, maka ia harus mengalami kematian dirinya; kematian dari egonya. Cerita di atas juga bisa dipahami bahwa untuk bisa dekat dengan Tuhan maka seorang hamba harus mati sebelum kematian yang alami.

Pada masa itu ia diangkat menjadi Hakim kepada Malatya dan Sivas di Anatolia oleh Menteri Syams al-Din Juwayni, yang sangat dikenal sebagai pendukung para sarjana-terutama Thusi-dan oleh Mu’in al-Din Parwanah, Gubernur Saljuq di Anatolia yang dikenal Qutbuddin ketika di Konya.

Quthbuddin Syirazi memiliki daya nalar yang tajam dan cepat serta energi yang langka. Pada usia belasan tahun melakukan studi yang serius tentang aspek-aspek teoritis dari al-Qanun karya Ibnu Sina, sesuatu yang mungkin jarang dilakukan oleh dokter. Ibnu al-Fuwathi, teman Quthbuddin selama dari 50 tahun, meriwayatkan ketekunan Quthbuddin yang luar biasa untuk karyanya sebagai seorang mahasiswa. Sebagai sarjana, Quthbuddin terus menerus berpikir dan menulis dan orang-orang mengumpulkan bahan-bahan kuliahnya. Namun kadang-kadang karena cara berpikirnya yang cepat dan tajam selain bisa memukau orang lain, juga bisa menyinggung sebagian. Ia juga pemain catur yang brilian dan juga sekaligus pemain biola yang baik, dan dia juga bisa melakukan trik-trik sulap. Ia juga memiliki kekayaan literatur tentang Humor-humor maknawi, bait-bait puisi arab dan syair.

Ia banyak menulis karya, yang paling mengesankan adalah Syarah Hikmat-Al-Isyraq. Syarah ini dianggap kitab yang terbaik dalam mengeksplorasi gagasan-gagasan penting dan inti dari filsafat Iluminasi Suhrawardi. Juga kitab Rasail fi Syajarah Ilahiyah, sebuah kitab yang sangat mengesankan dan banyak direkomendasikan oleh sarjana modern. Kitab yang berhasil memadukan kajian fisika, filsafat, akhlak dan sebagainya. Quthbuddin Syirazi misalnya mengatakan dalam kitab tersebut: “Ketahuilah bahwa Aristoteles telah mendahulukan dalam kitab dan pengajaran ilmu fisika dari ilmu Ilahi, karena lebih dahulu secara alami jika dianalogikan kepada kita, dan karena dominasi indera atas kita. Sementara ilmu Ilahi lebih dahulu secara ontologis fi nafs al-amr (in it self). Kemudian Aristoteles membahas dari hal-hal yang bersifat inderawi menjadi kategori-kategori intelektual (ma’qulat). Ia juga menjelaskan fondasi-fondasi ilmu dalam filsafat pertama (the first philosophy).”

(SN/Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Sosok Ayatullah Jannati


Oleh: Ustadz Salman Nano

Ayatullah Udzma Muhammad Ibrahim Jannati lahir di Sahrud tahun 1311 hijriyah syamsiyah. Dalam usia enam tahun sang ayah mengirimnya ke ke madrasah untuk mempelajari al-Quran dan literatur sastra Persia. Dalam usia sebelas tahun ia menjadi talabeh di Hawzah Syahrud dan menyelesaikan tingkat dasar serta tingkat menengah (sath) hanya dalam rentang waktu 4 tahun. Kemudian dalam usia delapan belas tahun ia menyelesaikan level tingkat tinggi seraya dalam waktu yang sama beliau juga menyelesaikan kitab filsafat Syarah Manzumah.

Kemudian beliau hijrah ke Masyhad untuk melanjutkan pelajaran yang lebih tinggi lagi dan belajar serta menimba ilmu dari guru besar hawzah ilmiah di sana. Tak lama kemudian beliau hijrah ke kota Qum dan aktif hadir di kelas-kelas tingkat tinggi (bahts kharij) yang dibidani oleh Ayatullah Udzma Borujerdi dan Imam Khomeini. Setelah itu beliau kemudian berangka ke Najaf dan tinggal selama dua puluh lima tahun. Ia memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk belajar kepada Ayatullah Udzma Syahrudi, Ayatullah Hakim, Ayatullah Hilli, Ayatullah Zanjani, dan Ayatullah Khu`i.

Sambil belajar beliau juga mengajar Rasail, Syarah Lum’ah, dan menulis berbagai topik keislaman. Ia juga aktif mengajarkan Rasail, Makasib, dan Kifayah selama tiga periode untuk kandidat-kandidat mujtahid. Di akhir-akhir masa tinggalnya di Najaf beliau juga mengajarkan prinsip-prinsip ushul fikih di madrasah besar Akhun Khurasani serta tidak lupa pula men-taqrir (mencatatkan kembali secara sistematis) daras-daras tingkat tinggi yang diampu oleh Ayatullah uzma Syahrudi menjadi lima jilid

Di tahun 1979 beliau kembali ke Iran dan tinggal di kota Qom dan sambil meneruskan aktifitasnya sebagai guru besar fikih dan ushul fikih dan juga menyusun kitab-kitab penting seperti Ulumul Quran dan ulumul Hadis komparatif.

Ayatulah Udzma Jannati Jannati adalaah seorang marja pertama yang mengajarkan kajian komparatif tentang fikih, ushul fikih dan ulumul Quran dengan merujuk kepada dua puluh dua aliran pemikiran dari seratus tiga puluh delapan mazhab yang masih eksis dalam sejarah jurisprudensi islam seperti diantaranya Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbali, Zaydiyah, Ibadhiyah, Dhahiriyah, Thawriyah, Tamimiya, Thabariyah, Kalbiyah, Ibnu Abi Layla, dan yang lain-lain.

Kuliah-kuliah ilmiahnya telah dikumpulkan menjadi sejumlah kitab dan kemudian dipublikasikan dalam berbagai tema seperti ‘fikih komparatif,’‘sumber-sumber ijtihad’, ‘periode ijtihad’, ‘periode ushul fikih’, ‘manasik haji dalam perspektif Islam’, dan juga kajiannya yang luas tentang hadis dan ulumul Quran.

Tulisan-tulisannya dan kontribusi ilmiahnya telah dialihbahasakan kepuluhan bahasa dan disusun kembali menjadi ratusan karya ilmiah, demikian juga interview dengan beliau di dalam dan di luar negeri.

Sampai sekarang Ayatullah Udzma Jannati sering menjadi nara sumber dalam berbagai seminar dan konferensi di Iran dan di luar Iran. Ia pernah menjadi nara sumber dalam berbagai wawancara untuk konsumsi dalam negeri dan luar negeri. Ia menyampaikan gagasan-gagasan secara panjang lebar dan mendetail tentang fatwa.

Untuk menyebutkan sebagian aktifitasnya: Ia telah menyampaikan presentasi di Universitas Birmingham, dengan tema posisi akal dan teks-teks suci, menjadi pembicara di universitas Istanbul (dalam sebuah simposium tentang Syiah di masa lalu dan masa kontemporer). Juga mengisi konferensi di Damaskus tentang fikih komparasi dan metode ushul fikih, di Mekah dan Madinah dalam seminar tentang agama islam dan hajji, dan di Qomatiyah tentang tema-tema teologi.

Sejumlah koran, penerbitan dan majalah yang terbit secara periodikal di Iran, Pakistan, Perancis, Inggris, dan AS telah mempublikasikan fatwa-fatwanya dan pandangannya. Diantara penerbitan itu yaitu Keyhan, Etela’at, Iran, Jumhuriye Islam, Abrar, Risalah, Be’sat, Salam, Jehan Islam, Keyhan hawai, zan, hamsyahri, teheran times, keyhan indisyeh, keyhan farhangge, zanan, mirast jawidan, zair, miqat, haj, andisheh hawzah masyhad, farzaneh, nur ilm, tibyan, adabestan, kawtsar, pik yaran, iran jawan, suruys, al-‘adl, shawthul islam, at-tsaqafah islamiyah, al-fikr islami, at-tawhid, dan lai-lain.

Ayatullah Udzma Jannati memiliki berbagai pandangan atau fatwa yang berbeda dari yang lain seperti pembahasan tentang signifikansi waktu, tempat, urf dan kebutuhan masyarat dalam hukum fikih, legalitas wanita untuk memegang posisi sebagai hakim, dan jabatan politik, sosial di masyarakat,

Menurut beliau seorang wanita tidaklah terlarang diangkat dan menjabat sebagai posisi hakim (qhadhi) jika memenuhi syarat. Tentang kesucian esensial (dzati) manusia, beliau mengatakan: “Non muslim baik itu ahlul kitab, kaum musyrikin atau mulhidin secara esensi (dzati) dan dari aspek badan adalah suci (dzati) dan jika mereka menjauhi hal-hal yang dianggap najis oleh kaum muslimin, maka secara aksiden (‘ardhi) juga mereka tidak najis.” Juga tentang izin sang ayah dalam pernikahan, Ayatullah Jannati mengatakan: “Izin seorang ayah_dalam pernikahan seorang gadis jika gadis itu sempurna (kamil) dan memahami dengan benar maslahat dan mafsadat dan juga tidak terpengaruh oleh emosinya_bukanlah syarat. Dan ikhtiyar itu ada di tangannya.”

Halalnya sembelihan ahlulkitab, diperbolehkannya membuat patung sebagai sebuah ekspresi seni dan keindahan, tidak ada batas usia untuk balignya seorang gadis (ketentuan balignya hanya berdasarkan menstruasi), dan juga pandangannya tentang musik, hijab, dan juga seni serta isu-isu yang lain.

Ayatullah Udzma Jannati membahas tiga ribu masalah baru dalam kitabnya Tawdhih al-Masail. Ia mengubah seluruh ihtiyat yang ada dalam masalah-masalah fikih yang mencapai lebih dari seratus isu menjadi fatwa yang jelas dan tegas. Ia juga membahas seribu empat ratus masalah manasik haji dalam kitabnya sehingga menjadi kitab terlengkap dalam bidang manasik haji yang dipublikasikan.


Sumber:

1. Situs resmi Ayattullah Udzma Jannati

2.Situs www.aftabir.com

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Bibliander; Teolog Kristen dan Penerjemah Al-Quran Dalam Bahasa Jerman


Theodor Bibliander, teolog, linguis, dan Orientalis Kristen yang terjemahan Alqurannya dipublikasikan pada tahun 1543 di kota Basel.

Menurut laporan IQNA dilansir dari canel Telegram Islam dan Jerman (Eropa), Alquran lebih dari 40 kali telah diterjemahkan oleh palbagai orang dalam bahasa Jerman, yang tentunya sebagian darinya bukanlah terjemahan lengkap dan kita juga tidak dapat menyebutkan jumlah pastinya dalam ranah riset dan studi dikarenakan banyaknya kinerja dalam bidang ini, karenanya dalam hal ini mayoritas mengupas contoh-contoh menonjol semata.

Theodor Bibliander, teolog, linguis, dan Orientalis Kristen yang terjemahan Alqurannya dipublikasikan pada tahun 1543 di kota Basel.

Theodor Bibliander termasuk kelompok pertama masyarakat berbahasa Jerman yang telah menerjemahkan Alquran. Theodor Bibliander adalah seorang teolog Kristen warga Swiss, yang telah bergabung dalam gerakan reformasi.

Di sepanjang masa belajarnya, selain teologi Kristen, ia juga mengajar bidang linguistik khususnya bahasa Ibrani dan timur (bahasa-bahasa Timur Tengah) dan demikian juga Orientalisme.

Setelah lulus, ia pergi ke Zurich dan mengajar di universitas. Tendensi spesialisnya adalah Perjanjian Lama dan analisis linguistik dari sejumlah teks.

Kursi Akademik Ulrich Zwinglis termasuk salah seorang yang menonjol gerakan Reformis religi dan pendeta Swiss dipasrahkan ke Bibliander pasca kematiannya, namun dengan bertolak karena Swiss berada di bawah otoritas teoritis dan intelektual dominan Jean Calvin, seorang teolog Protestan lain yang terkenal, dan Bibliander mengkritik banyak gagasannya, dia akhirnya pensiun pada 1560 dan meninggal empat tahun kemudian.

Selama kerjanya, teolog Kristen ini telah menerjemahkan "Perjanjian Baru" dan juga "Alquran". Sejatinya dia benar-benar menyempurnakan terjemahan pendeta Inggris Robert von Ketton, dan akhirnya terjemahan Alquran ini, yang merupakan terjemahan lengkap, diterbitkan di Basel, Swiss pada tahun 1543.

Namun, terjemahan Bibliander saat ini tidak dapat diakses dengan gampang dan hanya tersedia di beberapa perpustakaan.


(Cannel-Telegram/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pernyataan Para Pemimpin Dunia Tentang Imam Husein as


Bung Karno (Presiden Indonesia 1945-1966)

“Husein adalah panji berkibar yang diusung oleh setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, dimana kekuasaan itu telah tenggelam dalam kelezatan dunia serta meninggalkan rakyatnya dalam penindasan dan kekejaman.”


Abraham Lincoln (Presiden Amerika 1861-1865)

“Segala sesuatu yang agung pasti kan abadi, hanya saja keabadian Husain berbeda disebabkan karena pemikirannya yang brilian dan kecintaan manusia kepadanya dari timur hingga barat. Al-Qur’an, Muhammad dan Husain adalah trinitas yang suci yang harus dipandang dengan pandangan kesucian karena didalamnya terdapat banyak contoh yang agung dan penghormatan terhadap hak-hak manusia.”



Gaafar Nimeiry (Presiden Sudan 1969-1985)

“Andai kita memperhatikan manusia-manusia agung di alam ini, Husain bin Ali adalah yang paling brilian pemikirannya, paling luas ilmunya, paling besar kesabarannya dan paling dahsyat keberaniannya.”


Hafidz Al-Asad (Presiden Suriah 1971-2000)

Era dan masa terus berlalu sementara Imam Husain tetap kekal dalam memori orang-orang merdeka yang memperjuangkan kemerdekan bagi rakyatnya.


Josef Stalin (Sekjen Partai Komunis 1920-1953)

Hapuslah Karbala !! Karena selama Karbala masih ada maka masalah kita akan tetap ada. Karena jika karbala masih eksis maka ia akan menciptakan tambahan pasukan dan akan terus melahirkan pejuang yang akan tersebar di penjuru alam.


Suharto (Presiden Indonesia 1967-1998)

Husain bin Ali adalah salah seorang panglima pergerakan pemulihan dalam Islam demi menjaga agama yang lurus ini dari bid’ah dan kesesatan.


Anwar Sadat (Presiden Mesir 1970-1981)

Sungguh lelaki yang tidak ada bandingannya ini memiliki tempat dihati seluruh kaum muslimin yang merdeka, yang mencintainya karena hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah saw dan revolusinya menentang penguasa tiran yang membuatnya abadi didalam sejarah.


Sumber: الامام الحسين شاغل الدنيا

(Khasanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Sosok Aina Gamzatova, Rival Putin Di Pilpres Rusia


Aina Gamzatova siap bersaing melawan Presiden Rusia Vladimir Putin di pemilu Maret 2018 mendatang. Sosoknya sebagai perempuan muslim yang hendak menantang Putin, cukup menghebohkan Negara Beruang Merah tersebut.

Melalui akun jejaring sosial Facebook, Gamzatova mengatakan bahwa ingin Rusia bersatu untuk melawan kelompok yang hendak mendirikan negara terpisah di Kaukasus Utara di bawah hukum Islam. Namun, ia tidak ingin pencalonannya dianggap sebagai usaha seorang Muslim untuk bersaing dengan Vladimir Putin.

Langkah Gamzatova dalam pemilu menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak.

Terlepas dari hal itu, mari kenal lebih dekat sosok Aina Gamzatova.

Aina Gamzatova lahir pada 1 Oktober 1971 di Makhachkala, Dagestan, Rusia dari pasangan Gamzatov Zairbek Omarovich dan Gamzatova Patimat Gamzatovna.

Ayahnya adalah seorang guru yang telah mengajar selama 30 tahun di Sekolah Teknik Hidromelioratif Dagestan. Sementara ibunya sempat menjadi guru di Sekolah Menengah Gotsatlinskoy namun kemudian bekerja di Rumah Sakit Uchkhoz Makhachkala selama 20 tahun.

Saat Gamzatova berusia 33 tahun, tepatnya pada 2004, ia harus rela ditinggalkan kedua orangtuanya yang tewas dalam kecelakaan mobil.

Gamzatova sudah memiliki banyak prestasi sejak dini. Pada 1989, ia kuliah Jurnalistik di Universitas Negeri Dagestan dan sudah melakukan kerja magang di stasiun televisi dan di media cetak ‘Youth of Dagestan’ sejak tahun pertama.

Pada 1995, Gamzatova mulai melibatkan diri di Republik Dagestan sebagai penasihat media dan hubungan masyarakat. Di saat yang sama, ia juga bekerja untuk saluran televisi dan radio Dagestan sebagai penyunting segmen sosial dan politik.

Kariernya kian menanjak saat Gamzatova dijadikan pemimpin redaksi media cetak Al-Salam pada 1997 hingga 2012.

Dua tahun kemudian, media cetak Islamic Herald juga menjadikannya pemimpin redaksi. Namun, Gamzatova hanya bertahan di sana sampai 2001.

Setelah lepas dari Islamic Herald, Gamzatova menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah Islam. Di bawah kendalinya, majalah tersebut mampu mencapai 150 ribu kopi yang didistribusikan di wilayah-wilayah Federasi Rusia dan Persemakmuran Negara-negara Merdeka.

Di 2002 hingga 2003, Gamzatova menjadi Asisten Atayev Arsen Atayevich selaku Kepala Administrasi Dewan Negara dan Pemerintahan Republik Dagestan pada saat itu.

Tidak hanya di bidang media dan pemerintahan, Gamzatova juga sempat menjadi rektor Universitas Islam Kaukasus Utara sejak 2002 hingga 2005.

Dengan kesuksesan yang telah diraihnya, Gamzatova mendirikan lembaga amal bernama ‘Path’ pada 2009.

Sejak 2010, ia menjadi pemimpin redaksi media analisis Islam.ru yang memiliki saluran televisi, radio, media cetak, hingga buku.

Gamzatova juga menjadi Wakil Rektor Sekolah Hukum di Republik Armenia sejak 2015.

Gamzatova turut aktif dalam seminar internasional seperti pada Maret 2016 ia tergabung dalam Konferensi Institusi Rusia untuk Ilmu Strategis bertajuk “Persekusi Kristen di dunia modern: aspek geo-politik.”

Kemudian pada Oktober 2016, Gamzatova mengikuti diskusi meja bundar bertajuk “Filsafat Jurnalisme Nasional: Mutiara Rusia – Warisan Budaya.” Terakhir pada November 2016 ia berpartisipasi dalam XX World Russian’s People Council.

Selain itu, Gamzatova juga telah menulis buku berjudul Our Religion to Us is Your Religion to You pada 2007, Submissive to God of Obedient to the Devil dan On Wahhabism pada 2008.

Kini, Gamzatova menikah dengan seorang Mufti di Dagestan bernama Akhmad Abdulaev. Sebagai informasi, Mufti adalah ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberi fatwa pada umat.

Dulunya, Gamzatova menikahi Said Muhammad Abubakarov, seorang pemimpin sufi dengan 1000 pengikut. Akan tetapi, Abubakarov tewas akibat ledakan mobil pada 1998. Hingga kini pembunuhnya belum ditemukan, namun kelompok radikal Wahhabi diduga menjadi dalang di balik kematian Abubakarov.

Peluang menang Gamzatova melawan Putin memang sangat kecil, meski 20 juta Muslim dari 140 juta warga Rusia memberikan suara kepadanya. Namun, kampanye Gamzatova dianggap sebagai suatu cara memperbaiki citra perempuan Muslim di Rusia. Selain itu, Gamzatova dinilai dapat memperbaiki situasi di Dagestan yang miskin, berpenduduk padat, dan multi etnis.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Murtadha Muthahhari: Kritik Atas Materilialisme Historis


Pengantar

Sebelum menulis artikel ini, saya dihubungi panitia akan diwawancarai seputar sosok yang bernama sangat popular, Alamah Murthada Muthahhari, sungguh merupakan kehormatan untuk turut serta berkontribusi pada penulisan ulama besar abad 20 yang telah meninggalkan kita. Keulamaan dan intelektualitasnya tidak diragukan dikalangan dunia Islam maupun dunia Barat, bahkan Barat pun mengakuinya sebagai salah satu ilmuwa besar abad ke-20 dengan berbagai kritik yang dilontarkannya. Saya selama berhari-hari sampai satu bulan bahkan sampai hari-hari ahir memilih tema, ketika tulisan ini hendak saya buat termenung hal apakah yang harus ditulis tentang ulama, intelektual, pejuang revolusi Islam Iran, pencetus ideology perjuangan Iran, filosof serta pengkritik epistemology Barat yang dikatakan “tersesat” dalam hal logika oleh Barat. Untuk sekian lamanya, akhirnya saya memilih topic atau tema yang cocok untuk ditulis sesuai dengan bidang “keilmuan” yang saya miliki yakni dalam bidang social humaniora (sosiologi), khususnya bidang sosiologi politik dan sosiologi agama. Hal ini pun masih memberikan pertanyaan, akapah yang saya tulis cukup mewakili pandangan ulama besar asal Iran yang demikian kesohor tersebut? Tetapi dengan segala kerendahan hati saya berharap tulisan ini dapat turut serta berkontribusi dalam kajian tentang Alamah Murtadha Muthahhari, bukan menguraikan pemikiran yang luas, apalagi mewakili keahliannya.

Oleh sebab demikian itu beban yang ada pada saya, maka saya memutuskan bahwa Murthadha Mutahhari menurut saya sebagia seorang ulama, dan juga sekaligus intelektual agung, tentu saja pemikiran yang dituangkan dapat kita saksikan dalam karya yang ditulisnya. Perhatikan nanti betapa luasnya cakupan pemikiran Murthada Mutahhari dalam dunia keilmuan Islam, dari filsafat, tauhid, sampai sejarah dan social. Disebabkan demikian luas pemikirannya, maka tulisan ini hanya akan membahas sekitar pemikiran kritik Murtahda Muthahhari terhadap epistemology (logika) materialism Barat yang sangat materialistic sebagai sebuah kritik terhadap materialism historis. Bahkan lebih khusus lagi, tema yang hendak saya bahas di dalam karangan ini hanyalah seputar pemikiran Alamah Murthadha Mutahhari tentang Masyarakat dan Sejarah yang di dalamnya terdapat kritik keras terhadap logika Materialisme Historis model Barat yang dikatakan Muthahhari sebagai sebuah “gagasan menyesatkan”. Apakah tulisan ini mewakili ataukah mengggambarkan kekhasan pemikiran Alamah Murthadha Muthahhari atau sangat ringkas, bahkan simplistic, saya akan serahkan kepada para pembaca yang budiman.

Untuk tujuan itu, saya akan menyajikan beberapa topik/pokok pembicaraan sebagai berikut : Pertama, sekalipun secara singkat saya masih merasa perlu untuk mengetengahkan informasi biografis Muthahhari, yang telah tersebar diberbagai kajian tentang Murthadha Muthahhari, karenanya sebagai sekedar upaya untuk memberikan konteks historis pada pemikiran filosofinya sekaligus mengingatnya kembali; Kedua karena karangan ini berkaitan dengan renungan-renungan filosofis tentang masyarakat, maka barangkali perlu didiskusikan tentang peranan filsafat sejarah dalam Islam dalam pandangan Muthahhari, khususnya sebagai alat yang efektif untuk mengkounter tantangan-tantangan ilmiah dan filosofis yang datang dari pemikiran-pemikiran kontemporer Barat tentang materiliasme historis; Ketiga akan disajikan pandangannya Muthahhari tentang sifat masyarakat beserta hukum-hukum yang mengitarinya; Keempat, akan disajikan pandangan Muthahhari tentang manusia, terutama karakteristik manusia yang istimewa yakni sebagai pembentuk sejarah perubahan social dan peranan-peranan yang dilakukan sebagai kritik atas materialism historisnya Barat, dan terakhir adalah bagian yang mungkin dapat dikatakan sebagai kesimpulan pokok dan saran-saran yang perlu untuk ditindaklanjuti.


Mengenal Murthada Mutahhari

Untuk bagian ini, penulis berterima kasih kepada banyak pihak yang telah menulis tentang biografi Murthadha Mutahhari, sehingga memudahkan untuk mengelaborasi sosok ulama dan cendekiawan Murthadha Muthahhari. Termasuk Prof. Mulyadi Kartanegara, yang banyak menuolis tentang ulama ini, penulis memberikan hormat yang tidak terhingga atas bahan-bahan yang dapat diaksesnya untuk kepentingan public. Selain Prof. Mulyadi, ustadz Andi Mohammad Sofwan beserta kawan-kawan di yayasan Raushan Fikr juga penulis sampaikan terima kasih atas diskusi yang pernah penulis ikuti sehingga memberikan tambahan bahan tentang sosok yang sedang saya kerjakan. Mohammad Supraja, sosiolog UGM, yang telah memprovokasi penulis tentang pentingnya mempelajari dan menulis tentang cendekiawan muslim asal Iran dan belajar air kehidupan dan mata air kecemerlangan dari Iran, selain dari Eropa dan Amerika, sehingga meyakinkan penulis untuk melihat karya cendekiawan Iran yang ternayata tidak kalah hebat dengan cendekiawan negara lain. Untuk semua diskusi, provokasi serta bahan yang dapat diakses penulis hanya dapat berterima kasih dan berharap ditambahkan manfaat atas semua yang telah mereka berikan pada public.

Murtadha Muthahhari lahir di Faryan, sebuah kota kira-kira 120 KM dari Masyhad, ibukota propinsi Khurasan, pada tanggal 2 Februari 1920. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Muthahhari pindak ke Masyhad, yang merupakan pusat belajar dan ziarah yang bergengsi, untuk meneruskan pendidikannya dengan guru-guru yang otoritatif dibidangnya. Pada tahun 1936 ia meninggalkan Masyhad untuk pergi ke Qum. Adapun faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi ke Qum meninggalkan Masyhad adalah wafatmya Mirza Mehdi Shahidi Ravazi, seorang guru yang terkenal dalam bidang filsafat Islam. Hal itu karena Muthahhari memang telah meperlihatkan bakat dalam kajian filsafatnya yang menonjol. Pada tahun 1937 Muthahhari baru betul-betul menetap dan tinggal di Qum dimana studi tentang filsafat, sekalipun tidak betul-betul diizinkan, tetapi paling tidak relatif lebih dimungkinkan untuk dipelajarinya secara mendalam.

Pada musim panas 1941, Muthahhari meninggalkan Qum yang panas untuk pergi ke Isfahan di mana ia mempelajari Nahj al-Balaghah dengan Hajj Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, sorang guru yang punya otoritas dari naskah Syi’ah yang sangat terkenal ini. Di Isfahan itu juga untuk belajar ushul fiqh dengan Ayatullah Borujerdi yang pindah ke Qum tahun itu. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1945, Muthahhari mulai membaca sebuah naskah filosofis yang sangat penting bagi perkembangan keilmuan filsafat Muthahhari, yaitu Manzumah karangan Hajj Mulla Hadi Sabzawardi, dengan Ayatullah Khomeini.


Pada tahun 1946, ketika ia mulai mempelajari Kifayah al-Usul, sebuah kitab hikum, dari Akhund Khorasani dengan Ayatullah Khomeini, ia memulai komitmen seumur hidupnya untuk mempelajari Marxisme untuk kemudian dibantahnya. Tetapi menurut Hamid Dabashi, sumber-sumber yang dipakai Muthahhari untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu sumber-sumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamplet-pamplet oleh kaum Maxis yang tergabung dalam partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab. Namun demikian tidak berarti mengurangi daya Tarik Muthahhari untuk terus mempelajarinya sampai mendalam dan mengusai apa yang dikenal waktu itu dengan Marxisme, dari banyak buku dan karangan-karangan ulama, cendekiawan yang ada di Iran.

Pada tahun 1949 Muthahhari memulai studinya terhadap al-Asfar al-Arba’ah karangan filosof Syi’ah abad ke enam belas/tujuh belas dengan Ayatullah Khomeini. Teman sekelasnya antara lain Ayatullah Muntazhari, Hajj Aqa Reza Sadr, dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri. Pada tahun 1950 Muthahhari konsentrasi lebih keras lagi pada studi filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia dari karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai mengikuti diskusi kamis Allamah Tabataba’i tentang “filsafat materealis.” Diskusi ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushul-e Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik). Muthahhari kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang luas (lebih besar dari naskah aslinya sendiri) dan secara bertahap menerbitkannya (1953-1985). Disamping itu pada waktu ini ia mempelajari filosof dan ahli ilmu kedokteran Ibn Sina dengan Allamah Tabtaba’I yang dikenal sebagai seorang ulama Syiah paling tersohor waktu itu. Diantara teman kelasnya yang belajar dengan Alamah At-Thabathaba’I adalah Muntazeri dan Behesti

Pada tahun 1954 ia mulai mengajar di Tehran University, di Fakultas Teologi. Tetapi menjelang awal tahun 60-an dia terlibat secara aktif dalam organisasi masyarakat Religius Bulanan (Anjoman-e ye dini), dan menerbitkan majalah bulanan Goftar-e Mah. Dari sana membuat Muthahhari dicekal sebentar selama pemberontakan Ayatullah Khomeini pada bulan Juni 1963, dan majalah bulanan (The Mounthy Discdurse) dilarang. Pada tahun 1964 promosi Muthahhari di Tehran University ditolak oleh dewan senat university dan juga pemerintah otoriter waktu itu. Pada tahun 1965 ia turut berjasa dalam mendirikan Hosseiniyyeh Ershad, yaitu sebuah organisasi religius yang didirikan secara pribadi (swasta yang diabdikan untuk kepentingan Syi’ah) sehingga pemikirannya dan pengabdiannya tidak terkurangkan sedikitpun pada masyarakat luas baik di Teheran dan Iran pada umumnya.

Antara bulan Juni 1963 dan bangkitnya gerakan revolusi pada tahun 1977-1979, Muthahhari terus mengadakan kontak dengan Ayatullah Khomeini, dan bahkan dalam kenyataannya ia menjadi satu-satunya wakil di Iran yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat karena pengasingan Ayatullah. Pada waktu yang bersamaan ia terus memberi kuliah dan menulis tentang berbagai isu-isu keagamaan dan sosial. Tetapi pada 1 Mei 1979 Muthahhari terbunuh hanya beberapa saat setelah kemenangan revolusi Islam Iran.


Murtahada Mutahhari : Karya Intelektual dan Politik

Sebagai seorang ulama, intelektual sekaligus politisi, Murtadah Mutahhari memperoleh posisi yang terhormat dikalangan cendekiawan muslim Iran ketika hendak melakukan “kudeta” atas rezim otoriter Reza Pahlevi. Murtadha Muthhari mendapatkan tugas mulia dari Imam Khomaini untuk turut terlibat dalam “Dewan Revolusi” sehingga ketika itu tak lepas pula dari penangkapan oleh rezim otoriter. Sosok Murtadha Mutahhari memiliki peran sentral dan sangat dihormati dikalangan intelektual, pejuang serta ulama di kalangan Syiah Iran bukan karena kedudukan pemegang kekuasaan resmi pemerintahan, namun karena posisi sebagai “ulama, cendekiawan, filosof, ideolog dan kritikus” itulah yang mengharuskan orang Iran menghormatinya.

Menjelang kemenangan Revolusi Islam Iran, Muthahhari mendapat tugas mulia dari Imam Khomeini. Beliau ditugaskan untuk mengorganisir masyarakat ‘Ulama Mujahidin’ dan memimpin ‘Dewan Revolusi’. Setelah Revolusi Islam di Iran berhasil menggulingkan pemerintahan Pahlevi, Muthahhari tetap menjadi pembantu setia Imam Khomeini. Muthahhari pun terus memberikan dedikasinya kepada masyarakat dan negaranya. Untuk itulah beliau tetap memimpin ‘Dewan Revolusi’.

Sebagai seorang politisi, tentu Muthahhari memiliki lawan politik. Sikap tegasnya dalam memperjuangkan Revolusi Islam dengan berbagai manuver politik, membuat lawannya gerah. Kelompok Furqan yang tidak menyukai Muthahhari, melakukan upaya pembunuhan terhadap dirinya. Rencana pembunuhan itu berhasil dilaksanakan pada hari selasa malam tanggal 1 Mei 1979, dan Muthahhari pun ditembak mati oleh kelompok tersebut. Peristiwa penembakan itu dilakukan pada saat Muthahhari ingin pulang ke rumahnya, setelah selesai mengadakan rapat di rumah Yadullah Shahabi, salah satu anggota Dewan Revolusi. Pada saat itu beliau berjalan sendirian menuju ke tempat parkir mobilnya. Belum sampai ke mobilnya, beliau mendengar suara asing memanggilnya. Ketika beliau melirik ke arah suara tersebut, seketika sebuah peluru menembus kepalanya, masuk di bawah cuping telinga kanan dan keluar di atas alis mata kiri. Beliau memang sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun beliau telah syahid dalam perjalanan.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Membincang Metodologi Ayatullah Murtadha Muthahhari


Oleh: Dr. Haidar Bagir

Metodologi Muthahari


Pengantar

Selama ini banyak orang barangkali mengenal Muthahhari sebagai seorang penulis produktif yang menulis puluhan buku mengenai hampir semua hal. Paling banter orang akan menganggapnya sebagai seorang ulama yang cerdas dan berwawasan luas, termasuk mengenai pemikiran-pemikiran Barat. Tapi, begitu banyak dan bervariasinya tulisan Muthahhari di sisi lain dapat menimbulkan kesan bahwa Muthahhari adalah seorang generalis yang tak memiliki agenda dan perspektif jelas dalam karier pemikirannya. Belakangan ini, pembaca Indonesia mulai dapat menikmati karya-karyanya di bidang filsafat Islam, yang sesungguhnya tidak sedikit dan sama sekali tak kurang penting di banding karya-karya popular dan karier-politiknya sebagai salah seorang pejuang, pendiri, dan peletak dasar Negara Republik Islam Iran. Sesungguhnya kesan seperti ini kurang tepat. Muthahhari adalah seorang ulama-pemikir yang tahu benar tentang apa yang dipikirkan dan diperjuangkannya. Di balik puluhan karyanya itu sesungguhnya terpapar sebuah agenda besar, sebuah tujuan besar. Lebih dari itu, agenda besar itu hendak dicapainya lewat suatu metodologi yang telah dipikirkannya secara masak-masak. Tapi sebelum masuk ke dalam topik utama pembahasan makalah ini perlunya kiranya kita pahami latar-belakang intelektual Muthahhari lewat pendidikan yang dijalaninya.


Biografi Intelektual

Murid terdekat Thabathaba’i dan Khomeini ini yang lahir pada 2 Februari 1920 pertama kali belajar dari ayahnya sendiri, Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama terkemuka di kota-kelahirannya, Fariman. Pada usia dua belas tahun, Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di Hauzah Ilmiyeh Masyhad. Dia menunjukkan minat yang amat besar kepada filsafat dan ilmu-ilmu rasional serta ‘irfan (tasawuf filosofis atau metamistisime). Pertama kali dia belajar filsafat dan ilmu-ilmu rasional di bawah bimbingan Mirza Mehdi Syahidi Razawi. Setelah guru-pembimbingnya itu wafat, Muthahhari meninggalkan Hauzah Masyhad dan berhijrah ke Qum untuk memperdalam ilmu di hauzah kota suci itu. Di Qum inilah dia berkenalan dengan Allamah Thabathaba’i dan kemudian juga, Ayatullah Ruhullah Khomeini – dua orang tokoh yang dikenal sebagai ahli filsafat dan ‘irfan (tashawuf). Diriwayatkan bahwa dia sudah tertarik kepada pelajaran ‘irfan bahkan sejak tahun-tahun awalnya di Qum. Dia sendiri bercerita betapa pelajaran-pelajaran ‘irfan dari Ayatullah Khomeini telah meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hatinya. Dengan kata-katanya sendiri, pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh gurunya ini bahkan masih terngiang-ngiang di telinganya hingga beberapa hari setelah ia mendengarnya untuk pertama kalinya. Dari keduanyalah, Muthahhari memperdalam filsafat dan ‘irfan. Ia pun belajar filsafat dan’irfan pada seorang guru besar di masanya. Yakni ‘Allamah Thabathaba’i. Dia juga amat dalam dipengaruhi oleh pelajaran-pelajaran mengenai Nahj al-Balaghah – kumpulan wacana, pidato, surat-surat, dan kata-kata bijak Khalifah Keempat dan Imam Pertama dalam mazh-hab Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib – yang diberikan oleh Mirza ‘Ali Aqa Syirazi Isfahani. Dikatakannya bahwa, meski ia telah membaca buku itu sejak ia kecil, kali ini dia merasa seperti telah menemukan suatu “dunia baru.”

Untuk lebih mengenal latar belakang intelektual Muthahhari, kita perlu mengenal sedikit lebih jauh sumber-sumber pengaruh atas tokoh kita tersebut di atas.

Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang dikenal sebagai seorang faqih dan pemimpin revolusi, sesungguhnya adalah seorang peminat ‘irfan sejak masa mudanya. Meski sesungguhnya minat Ayatullah Khomeini meluas hingga ke Hikmah (filsafat-mistikal) Mulla Shadra, dia sudah mulai dikenal sebagai seorang ahli‘irfan bahkan sejak umurnya belum lagi genap 30 tahun. Ketika memberikan pengajaran ‘irfan kepada Muthahhari itu, usianya belum lagi lebih dari 27 tahun.Di anara salah satu karya-awalnya, yang ditulisnya ketika berumur 26 tahun adalah komentar (syarh) atas Doa al-Sahar dari Imam Muhammad al-Baqir. Tiga tahun kemudian ia menerbitkan Mishbah al-Hidayah, sebuah ulasan ringkas tapi mendalam tentang hakikat Nabi saaw. dan para Imam. Belum lagi usianya mencapai 40 tahun, tepatnya 37 tahun, Khomeini muda ini menyelesaikan sebuah catatan-pinggir (hamisy atau glossarium) atas komentar Daud Qaysari atas Fushush al-Hikam-nya Ibn ‘Arabi dan Mishbah a-Uns-nya Shadruddin al-Qunawi (anak angkat dan murid Ibn ‘Arabi). Demikian seriusnya nilai catatan-pinggir ini sehingga sebagian guru Khomeini sendiri merasa perlu menulis ulasan atas karya muridnya ini.

Sejak saat itu, berbagai karya mengenai ‘irfan terlahir darinya. Ketika akhirnya ia harus terlibat dalam perlawanan politik terhadap Shah Iran dan kemudian memandu negara, dan melahirkan karya-karya politik, tetap saja nuansa irfan tak bisa dilepaskan dari kesemuanya itu. Dan lebih dari sekadar penulis, ia dipersaksikan oleh banyak orang yang mengenalnya sebagai seorang ‘arif dalam kenyataan praktik hidupnya. Alhasil, meski dikenal juga sebagai ahli filsafat, Ayatullah Khomeini adalah seorang ahli tashawuf atau ‘irfan through and through.

‘Allamah Thabathaba’i, sebelum yang lain-lain, adalah juga guru Ayatullah Khomeini. Minatnya amat mirip dengan muridnya itu – filsafat dan’irfan. Namun, meski juga banyak berbicara tentang ‘irfan sejauh mendorong minat tokoh-tokoh seperti Husayn Nasr, Henry Corbin, dan Toshihiko Izutsu untuk rajin menyambangi pengajian-pengajiannya, Thabathaba’i dikenal dengan beberapa karya filosofis penting, termasuk Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah, serta Usus-e Falsafeh wa Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar Filsafat dan Mazhab Realisme) – yang diberi catatan kaki amat ekstensif oleh Muthahhari. Belakangan dia amat dikenal dengan magnum-opus-nya di bidang tafsir al-Qur’an dengan karya 20 jilidnya berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Meski berlandaskan pada penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, karyanya ini tak bisa sama sekali lepas dari kecenderungan filosofisnya yang mengambil bentuk penjelasan filosofis bagi setiap kelompok ayat yang diulasnya.

Akhirnya mengenai Nahj al-Balaghah. Selain dikenal merupakan suatu model ketinggian susastera Arab – seperti anatara lain diungkapkan oleh Syaikh Muhammad ‘Abduh – kitab ini berisi banak ungkapan-ungkapan teologis, filosofis dan mistis yang amat sophisticated. Selain dari hadis-hadis qudsi – yang di kalangan Syi’ah memiliki arti yang jauh lebih penting ketimbang di kalangan Sunni – dari kitab inilah (di samping ucapan-ucapan para Imam lain) kaum Syi’ah mengali banyak dasar-dasar filsafat dan ‘irfan. Inkorporasi Nahj al-Balaghah ke dalam sistem filsafat Islam yang berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran Hikmah Mulla Shadra. Untuk sekadar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat Muthahhari, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab ini Muthahhari dalam karyanya yang berjudul Sayr-e dar Nahul Balaghah (perlancongan dalam Nahj al-Nalaghah) : Teologi dan Metafisika, Suluk (tashawuf) dan ‘Ibadah, Kuliah-kuliah mengenai Akhlak, serta Dunia dan Keduniaan (dalam hubungannya dengan sikap seorang ‘arif atau sufi terhadapnya).

Di atas semuanya itu, Muthahhari adalah seorang pemikir Syi’i yang amat percaya kepada rasionalisme dan pendekatan filosofis yang menandai mazhab yang satu ini. Di dalam Syar dar Nahj al-Balaghah, misalnya, Muthahhari membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan kecenderungan kepada filsafat lebih merupakan ingredient ke-Persia-an ketimbang ke-Islam-an. Dia menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana ditunjukan oleh al-Qur’an, hadis Nabi dan ajaran para Imam.


Agenda-agenda Muthahhari

Selanjutnya, rasanya amat relevan jika kita mencoba menerka tujuan dan agenda di balik dorongan pada diri pemikir ini dalam kiprahnya sebagai pemikir Islam.

Pertama, bagi Muthahhari,berpikir dan melakukan perenungan serta pemahaman intelektual adalah tujuan hidup seorang Muslim. Hal ini kiranya mudah dipahami jika kita pelajari betapa Islam melihat tujuan hidup sebagai makrifat Allah (pengetahuan tentang Allah). Kita dapat menduga bahwa, bagi Muthahhari, pencerahan intelektual adalah salah satu kebahagiaan tertinggi (Lihat risalahnya yang berjudul Happiness). Inilah semacam eudemoniaAristotelian, yang memang menjadi tujuan setiap filosof dan pemikir, tak terkecuali Muthahhari. Nah, untuk menjamin kesahihan hasil suatu proses pemikiran, apalagi jika hal itu menyangkut konsep tentang Tuhan yang begitu urgen bagi kebahagiaan manusia sekaligus begitu mendalam dan rumit, maka suatu metodologi berfikir yang benar – yang, sepert akan kita lihat di bawah ini, harus bersifat rasional dan filosofis — merupakan sesuatu yang mutlak.

Meskipun demikian, tentu saja Muthahhari bukanlah orang semata-mata bersifat individualistis. Bukan saja wawasannya yang luas dan mendalam tentang Islam akan segera mencegahnya dari mengkhianati semangat profetis agama ini dengan bersikap seindividualistis itu, budaya Syiah yang disimbolkan dalam karakter Imam ‘Ali dan para sahabat dekatnya dalam kehidupan Syiah – termasuk Salman al-Farisi, Abu Dzar, dan Miqdad yang kesemuanya merupakan “aktivis-aktivis” dalam jihad – terlalu dominan pada diri Muthahhari sehingga sikap ekstrem sedemikian tak terbayangkan baginya. Dan memang tujuan yang lebih dari sekadar bersifat individualistis inilah yang terasa banyak mewarnai pemikiran-pemikiran Muthahhari. Maka, sebagai tujuan kedua kiprahnya, Muthahhari telah menetapkan bagi dirinya tugas untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam dalam suatu cara yang sesuai dengan kebutuhan manusia modern akan pemikiran-pemikiran yang bersifat rasional.

Terkait dengan itu, Muthahhari berkiprah di suatu masa yang menyaksikan derasnya arus pengaruh pemikiran yang datang dari Barat. Disamping adanya pengaruh-pengaruh positif dari Barat, Muthahhari merasakan tantangan pemikiran-pemikiran Barat tertentu terhadap agama. Diantara tantangan yang terasa sangat menekan adalah Marxisme. Iran sejak tahun 60-an memang banyak diterpa oleh pengaruh aliran ini. Pengaruhnya terasa makin lama makin kuat. Hal ini tampak antara lain dalam bermunculan dan menguatnya partai dan kelompok-kelompok yang bersifat kekiri-kirian. Dalam Masyarakat dan Sejarah– yang merupakan bagian dari Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam (Muqaddima-ye Jahan Biniy Islamiy)– ia menyatakan: “Saat ini, di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu (kecenderungan kepada Marxisme dan pandangan bahwa Islam mengandung paham-paham Marxistik) mendapatkan penerimaan yang luas dan dipandang sebagai tanda keluasan pikiran dan mode yang lagi in…” Pada saat yang sama, Muthahhari juga merasakan adanya pengaruh paham lain Barat yang mencengkeram kuat atas negara-negara Muslim, termasuk Iran. Itulah materialisme. Ia bahkan merupakan soko guru berbagai paham yang muncul dalam peradaban Barat modern. Untuk meng-address isu-isu ini , Muthahhari pun ia banyak menghasilkan karya-karya yang berupa kritik terhadap paham-paham ini, termasuk Masyarakat dan Sejarah dan (Argumentasi-argumentasi) Pendukung (Paham) Materialisme. Bebrbeda dengan karya-karya yang, kurang lebih, popular di atas, Muthahhari juga menelurkan karya-karya yang benar-benar bersifat filosofis, antara lain komentar ekstensifnya atas karya salah seorang guru utamanya, Allamah Thabathaba’i yang berjudul Usus-e Falsafah wa Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar Falsafah. Dan Mazhab Realisme). Karya 4 jilid yang berupaya mengkritik materialisme sekaligus memaparkan dasar-dasar filsafat dan pandangan dunia Islam yang dianggap dapat merupakan alternatif yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Inilah tujuan ketiga Muthahhari.

Dasar pemikiran yang sama kiranya terkait dengan tujuan keempat di balik segala kegetolan Muthahhari untuk membangun landasan filosifis dan pandangan dunia Islam ini adalah kesadarannya akan perlunya suatu landasan yang kuat dan koheren bagi pembangunan sistem-sistem Islam di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya. Muthahhari memang dikenal juga dengan tulisan-tulisannya mengenai soal-soal ekonomi, sosial, bahkan budaya dalam sorotan ajaran-ajaran Islam. Dalam Pengantar kepada Pandangan Dunia Islam itu Muthahhari memasukkan berbagai tema pembahasan yang dianggapnya sebagai unsur-unsur dari pandangan dunia: Konsepsi tentang Manusia, Pandangan Dunia Tauhid, Konsepsi Kenabian dan Wahyu, Konsepsi tentang Masyarakat dan Sejarah, Imamah, dan Konsepsi tentang Hari Akhir.


Metodologi Muthahhari

Kini saatnya menyinggung – sebagai sebuah pengantar awal – metodologi Muthahhari. Seperti kita lihat dari uraian di atas, tujuan dan agenda Muthahhari sedikit-banyak bersifat ideologis. Nah, menurut Muthahhari (Lihat antara lain,Mengenal Epistemologi), ideologi berakar dari sebuah pandangan dunia (world view atau world conception). Hal ini kiranya akan menjadi lebih jelas jika kita kaitkan dengan pernyataannya mengenai pandangan dunia – dalam Pandangan Dunia Tauhid, yang lagi-lagi merupakan bagian Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam– sebagai berikut: “Setiap doktrin atau filsafat hidup secara tak terelakkan berdasar atas semacam kepercayaan, suatu penilaian tentang hidup dan semacam penafsiran dan analisis tentang dunia. Cara berpikir suatu mazhab (pemikiran) mengenai hidup dan dunia dipercayai merupakan dasar dari seluruh pemikiran aliran tersebut. Dasar ini disebut sebagai pandangan atau konsepsi dunia (world view atau world conception). Semua agama, sistem sosial, dan filsafat sosial (pada gilirannya) didasarkan pada suatu pandangan dunia tertentu. Semua tujuan yang diajukan suatu mazhab pemikiran, cara-cara dan metode-metode yang dilahirkannya merupakan bagian dari pandangan dunia yang dianutnya.”. Pada gilirannya, Muthahhari berkeyakinan bahwa pandangan dunia suatu kelompok manusia ditentukan oleh filsafat yang dominan dalam kelompok itu. Dengan kata lain, seperti ditulisnya dalam buku yang sama, yang menentukan ideologi adalah pandangan dunia filosofis.

Dalam konteks ini, Muthahhari menyadari benar peran epistemology — sebagai akar dari setiap metodologi — di dalamnya. Di samping buku Mengenal Epistemologi yang dirancangnya untuk konsumsi popular ini, Muthahhari masih merasa perlu untuk membahas secara khusus pandangan epistemologis Al-Quran dalam pembahasannya yang berjudul Syenakht dar Qur’an (Epistemologi dalam Al-Quran). Semuanya itu masih dilengkapi dengan pembahasan secara filosofis masalah epistemologi ini dalam syarah yang ditulisnya atas buku filsafat karya filosof besar Iran abad-abad terakhir, Mulla Hadi Sabzawari,Syarh Manzhumah. Dalam buku yang disebut terakhir ini Muthahhari menyatakan : “(Meski begitu menentukannya epistemologi dan, meski pembahasan tentang epistemologi ini sudah dirintis sejak lebih dari dua abad yang lalu, termasuk juga dalam filsafat Islam), sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah ini dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan dengan ilmu, pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan bentuk pemikiran serta dalam pembahasan mengenai jiwa (nafs). Dahulu sedikit banyak orang telah memahami pentingnya epistemologi, tapi pada zaman ini segala hal yang terkait dengan pandangan dunia bersumbu pada masalah ini.” Nah, dalam pengantar buku – yang merupakan kumpulan ceramah sistematiknya mengenai Epistemologi — ini, Muthahhari mengungkapkan secara panjang lebar masalah ini.

Selain buku Epistemologi dan Pengantar kepada Pandangan Dunia Islamtersebut di atas, Muthahhari masih merasa perlu menulis sebuah buku yang berjudul Penantar kepada Ilmu-ilmu Islam. Ini merupakan salah satu wujudconcern Muthahhari kepada posisi penting epistemologi dan metodologi dalam, baik pemikiran maupun perjuangan Islam. Di dalamnya Muthahhari berupaya memberikan penjelasan yang ringkas tapi menyeluruh tentang berbagai (metodologi) ilmu dalam Islam, termasuk didalamnya Logika, Kalam, Filsafat, Tasawuf, Etika, dan Ushul Fiqh. Dapat diduga bahwa Muthahhari beranggapan bahwa penguasaan terhadap ilmu-ilmu Islam yang cukup komprehensif ini diharapkan akan memampukan kaum Muslim dalam menggali segenap sumber-sumber pemikiran Islam sekaligus mengambil manfaat secara tepat terhadap sumber-sumber ilmu lainnya di luar Islam. Dengan demikian, kiranya bukan saja kaum Muslim bisa lebih baik dalam memberikan kontribusi kepada peradaban umat manusia, lebih dari itu diharapkan mereka akan dapat menyeleksi pengaruh-pengaruh yang datang kepada mereka dari luar dengan suatu cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, pada akhirnya, kaum Muslim bisa melahirkan pemikiran-pemikiran dan sistem-sistem yang koheren dan viable sebagaimana dicita-citakan.

Kesimpulannya, pada dasarnya metodologi Muthahhari adalah rasional-filosofis. Bagi pengkaji buku-bukunya, tampak jelas bahwa Muthahhari biasa membahas setiap persoalan pertama sekali secara rasional dan filosofis. Baru belakangan dia memverifikasinya dengan dasar-dasar keislaman : al-Qur’an dan Hadis. Dan bukan sebaliknya. Itu sebabnya, Muthahhari di Iran, bersama Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari, dikenal sebagai bagian dari kelompok “mazhab kalami”.

Lalu, di mana letak ‘irfan dalam pemikiran-pemikiran Muthahhari? Tampaknya‘irfan bagi Muthahhari tidak terutama dan secara langsung memliki signifikansi epistemologis dan metodologis. Sebagaimana tampak dalam beberapa buku tentang ‘irfan yang ditulisnya, termasuk Spiritual Discourses, atau Perfect Man,‘irfan telah memberinya lebih banyak bahan dalam membahas berbagai soal secara filosofis. Persis sebagaimana perannya dalam aliran hikmah, yang memang merupakan spesialisasi Muthahhari di bidang filsafat. Di samping itu,‘irfan bagi tokoh ini juga berperan dalam memberikan sentuhan emosional – dan poetik — dalam pemikiran-pemikirannya yang, otherwise, amat rasional filosofis.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Jalaluddin Rumi: Gagasan dan Puisi Sufistiknya


Rumi dan Puisi Sufistiknya

Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Husain bin Ahmad al-Balkhi al-Qaunawi, ar-Rumi, Jalaluddin.

Beliau mengetahui fiqih al-Hanafi dan berbagai perselisihan pendapat serta bermacam-macam disiplin ilmu. Di samping itu, beliau juga seorang sufi sejati. Beliau dilahirkan di Balkh, Persia (Iran), kemudian beliau pindah bersama ayahnya ke Baghdad pada saat berusia empat tahun. Ayahnya sering menggembara dari satu negeri ke negeri yang lain, hingga kemudian beliau menetap di Quniyah pada tahun 623 Hijriyah.

Jalaluddin dikenal sebagai orang yang ahli fiqih dan menguasai berbagai ilmu keislaman lainnya. Sepeninggal ayahnya pada tahun 648 Hijriyah, beliau mengajar di Quniyah pada empat sekolah. Beliau adalah pengarang kitab “al-Mastnawi” dalam bahasa Persi yang cukup terkenal.

Cukup banyak pengikut tarekatnya. Dan akhirnya, beliau meninggal dunia di Quniyah dan pemakamannya sangat terkenal hingga hari ini.[1]

Pada abad ketujuh Hijriah, kaum Muslim mengalami kegoncangan pemikiran yang hebat yang dihembuskan oleh tersebarnya ilmu kalam (teologi) yang merupakan obor penggerak Muslimin. Badai kegoncangan itu sangat kuat sehingga memadamkan sendi-sendi hati.

Di tengah-tengah situasi yang tidak menyenangkan itu, bangkitlah Jalaluddin ar-Rumi dengan membawa pesan “cinta abadi”.


Pengaruh Dakwahnya

Akibat dari kebangkitan yang mengagumkan ini yang berasal dari sumber yang jernih, dunia Islam bangun dari tidur panjangnya dan kelalaiannya yang berbahaya, lalu timbullah kehidupan baru. Allah SWT berfirman : “Ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yasin: 78) “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang.” (QS. al-Ana`m: 122)

Syaikh ar-Rumi memperkenalkan mazhab cinta dan menyebutkan keajaiban-keajaibannya serta menjelaskan manfaat-manfaatnya, sehingga hati yang keras menjadi lunak dan jiwa yang gelisah menjadi tenang.


Manfaat-manfaat Cinta

Ar-Rumi menjelaskan manfaat-manfaat cinta dalam pernyataannya: “Sesungguhnya cinta abadi akan mengubah—dengan izin Allah SWT—yang pahit menjadi manis, tanah menjadi emas, kekeruhan menjadi kejernihan, sakit menjadi kesembuhan, penjara menjadi taman, penyakit menjadi kenikmatan, kekerasan menjadi kasih sayang, malam menjadi siang, kegelapan menjadi cahaya, dan kekerasan menjadi kelembutan. Cintalah yang melunakkan besi, mencairkan batu, dan membangkitkan orang yang mati serta meniupkan di dalamnya kehidupan yang baru.


Kekuatan Cinta

Sesungguhnya cinta inilah yang merupakan sayap yang dengannya manusia yang materialis mampu terbang di udara, dan dengannya ia sampai ke pangkuan Pencipta langit dan bumi. Cintalah yang mengantarkan seseorang dari tanah ke bintang Tsuraya dan dari alam yang keras ke alam yang lembut. Jika cinta ini melalui gunung yang kokoh maka gunung itu akan terhuyun, miring, dan bergoncang. Allah SWT berfirman: “Takkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. al-A`raf: 143)


Keadaan Cinta

Cinta itu kaya dan tinggi. Ia tidak dapat dinilai dari sisi kedudukan, jabatan, dan kekayaan. Siapa yang merasakan cinta sekali saja maka ia tidak akan puas dengan kenikmatan lainnya.

Cinta menyebabkan seseorang tidak butuh kepada alam (segala sesuatu selain Allah—pen.) Jika terpikat dengan sang kekasih dan meniadakan yang lainnya dianggap suatu kegilaan maka aku adalah pemimpin orang-orang yang gila.


Penderita Cinta

Semua penderita penyakit pasti mengharapkan kesembuhan dari penyakitnya, kecuali penderita penyakit cinta yang justru berharap agar penyakitnya semakin “parah”. Mereka suka bila kepedihan dan penderitaan mereka meningkat. Oleh karena itu, aku tidak pernah melihat minuman yang lebih manis dari racun ini, dan aku tidak pernah menemukan kesehatan yang lebih baik dari penyakit ini.


Sesuatu Yang Hilang dan Fana Tidak Layak Dicintai

Pertanyaan penting yang harus segera dijawab ialah: kepada siapa gerangan cinta yang merupakan pelita kehidupan dan nilai manusia ini ditujukan? Sesungguhnya cinta abadi tidak layak ditujukan kepada sesuatu pun kecuali kepada sesuatu yang abadi, karena ia tidak tepat jika dinisbatkan kepada sesuatu yang hilang atau fana.

Cinta itu adalah hak Zat Yang Maha Hidup dan tidak mati, yang memberikan kehidupan atas semua wujud. Ar-Rumi berargumentasi atas hal tersebut melalui kisah Nabi Ibrahim as yang terekam dalam Al-Qur’an: “Aku tidak suka kepada sesuatu yang tenggelam (hilang).” (QS. al-An`am: 76)

Ya, madrasah Jalaluddin Rumi adalah madrasah cinta. Rumi lahir dari cinta,tumbuh dan berkembang karena cinta dan mengabdi serta berjuang untuk cinta dan tentu hidup untuk menebar cinta. Sehingga bisa dikatakan bahwa sekujur tubuh Rumi berisi dengan cinta. Rumi hidup karena cinta dan untuk cinta dan mati untuk mendapatkan cinta Ilahiah yang diidam-idamkannya.

Rumi menganggap bahwa saripati dari ajaran agama adalah cinta. Al-Quran adalah kitab cinta dan Nabi Muhammad saw adalah penebar cinta di tengah umat. Dan bagi Rumi, cinta dalah segala-galanya. Cinta adalah nyawa kehidupan dan tanpa cinta kehidupan tan bermakna. Dan pencinta akan melalui kehidupan dengan mudah dan mampu melewati pelbagai hambatan dengan penuh keyakinan dan kemantapan.


Berpegang Teguh Dengan Cinta

Wahai kekasihku, hendaklah engkau berpegang teguh dengan cinta ini yang abadi saat segala sesuatu akan musnah. Ia laksana matahari yang tidak akan hilang dan bunga yang mekar dan tidak pernah layu.

Wahai kekasihku, peganglah erat-erat cinta ini, yang berputar-putar di sisimu dan mampu memuaskan dahagamu.

Hendaklah engkau memperhatikan cinta ini yang telah dipraktekkan oleh para nabi dan orang-orang yang bertakwa. Maka, siapa saja yang mendapatkannya berarti ia mendapatkan semua kebaikan dan siapa saja yang tercegah darinya maka ia tercegah dari semua kebaikan.

Sesungguhnya cinta ini berjalan melalui tempat mengalirnya darah, bila ia diletakkan di tempatnya dan saat ia bertemu dengan keluarganya.


Pengaruh Cinta

Tampaknya cinta adalah suatu penyakit, namun ia justru menyelamatkan dari setiap penyakit. Jika seseorang menderita penyakit ini maka ia tidak akan pernah mengalami penyakit lain. Ia adalah kesehatan rohani, bahkan hakikat kesehatan, dimana para penggila kenikmatan akan membelinya meskipun dengan mengorbankan kesenangan dan kenyamanan mereka.

Sebagian mereka berkata: “Kita berada dalam kenikmatan yang sekiranya para penguasa mengetahuinya niscaya mereka akan menghunuskan pedangnya kepada kami.


Keunikan Cinta

Sesungguhnya cinta yang suci dan tinggi ini mampu mengantarkan manusia ke tempat yang tidak bisa dicapai oleh ketaatan dan mujahadah. Aku tidak melihat ketaatan yang lebih baik dari “dosa” ini bagi orang yang menamakannya dosa.

Tahun-tahun dan jam-jam yang berlalu tidak sebanding dengan jam-jam cinta; karena amal dengan yang lainnya biasanya menjadi akibat, sedangkan cinta tidak dapat dimasuki oleh sebab apa pun dan tidak menerima penipuan selamanya.


Syahid Cinta

Sesungguhnya darah yang mengalir di jalan-Nya tidak diragukan kesuciannya. Sebab, syahid cinta tidak perlu dimandikan. Yang demikian itu karena darah syuhada lebih baik daripada proses bersuci (thahur).

Menurut hemat saya, ini adalah ungkapan yang paling indah dan paling dalam. Maka, apakah ada kesyahidan—dengan berbagai bentuknya—yang menyamai dari sisi keutamaan dan besarnya pahala kesyahidan para pecinta? Orang-orang yang mati karena panah cinta, mereka mati sebagai “korban cinta” dalam rangka membela Kekasih yang menguasai hati mereka. Mereka siap meniadakan selain-Nya, sehingga mereka menggapai keinginan mereka setelah mereka mempersembahkan jiwa mereka.


Hukum-hukum Para Pecinta

Sesungguhnya para pecinta yang mengorbankan jiwa mereka, yang mata mereka bergadang, dan kaki mereka tampak kokoh—siang dan malam—di depan pintu Kekasih mereka, semata-mata mengharap ridha-Nya dan berpaling dari selain-Nya, tidak dapat diterapkan atas mereka hukum-hukum umum. Atau dengan kata lain, mereka tidak tunduk terhadap sistem tertentu.

Seorang penyair berkata:

Jika pecinta berbuat satu kesalahan, maka kebaikannya akan datang seribu kali lipat

Jalaluddin ar-Rumi mempunyai perumpamaan yang menarik dalam hal ini, dimana ia berkata:

“Sesungguhnya suatu desa yang rusak tidak akan dikenakan kepadanya pajak dan upeti. Begitu juga para pecinta, ketika hati mereka bersemi dengan adanya cinta kepada Kekasih mereka lalu rusak dengan adanya cinta kepada selain-Nya, maka terdapat hukum-hukum khusus yang sesuai dengan kedudukan mereka.”


Negara Para Pecinta

Sesungguhnya cinta adalah kerajaan para raja, dimana tunduk kepadanya tawanan para raja, dan ditetapkan untuknya mahkota mereka, bahkan para raja mengabdi kepadanya laksana budak.

Jiwa para raja—yang mereka menguasai jiwa—tunduk kepadanya. Ketika Jalaluddin menyebutkan kefakiran yang parah dan cinta yang penuh cemburu ini, maka ia mengalami kegoncangan lalu ia memanggil dengan suara yang sangat keras: Semoga Allah “memberkati” penyembah materi dan penyembah fisik dalam kerajaan mereka dan harta mereka, karena kami tidak bersaing sedikit pun dengan mereka. Yang demikian itu karena kami adalah tawanan negara cinta yang tidak akan musnah dan tidak akan berubah.

Menurut pendapatku, inilah kerajaan yang tak tertandingi dan negara yang dikuasai oleh ulama-ulama Ilahi, tanpa ada pesaing dan penentang. Dengan kecintaan mereka yang dalam, dan ketertarikan mereka yang sempurna, serta gelora asmara mereka yang mengebu-ngebu, mereka naik ke “tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuas.” (QS. al-Qamar: 55) Itu adalah negara yang tidak akan pernah hancur dan kerajaan yang tidak akan pernah hilang serta cinta abadi yang tidak akan sirna.


Tidak Ada Alasan Untuk Putus Asa

Namun pecinta yang ambisius tidak selayaknya mengadukan kelalaiannya dan menghina dirinya dengan beralasan pada ketingggian Sang Kekasih dan keagungan kedudukan-Nya serta ketidakbutuhan-Nya kepada makhluk. Tidak sepantasnya ia berkata: “Betapa jauh jarak antara tanah (manusia—pen.) dan Tuhan Pemelihara!”

Sesungguhnya Kekasih sejati suka untuk dicintai, dan Ia akan menarik kepada-Nya orang-orang yang tertarik. Allah SWT berfirman: “Allah menarik kepada-Nya orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali kepada-Nya.” (QS. asy-Syura’: 13)

Dengan penuh semangat, ia berani berkata: Jangan engkau mengira bahwa tidak ada jalan menuju Raja Yang Agung, dan aku adalah hamba yang hina, karena Raja Yang Mulia memanggil hamba-Nya dan memudahkan baginya bebagai jalan menuju-Nya.

Secara lahiriah tampak penderitaan dan keletihan namun secara batiniah terdapat obat dari segala penyakit.

Kemudian ia kembali menyayikan “lagu cinta” ini dan memujinya dalam kegembiraan dan berkata: Penyakit yang pengobatannya sulit dan penderitanya mengalami keletihan dan siksaan, namun bila ia mampu bersabar dan menanggung derita tersebut, maka ia akan mencapai makrifat yang hakiki dan abadi.

Sesungguhnya cinta bersumber dari hati yang luka dan hancur. Ia adalah penyakit yang tidak serupa dengan penyakit lainnya. Meskipun pada dasarnya ia penyakit, namun ia adalah obat dari segala penyakit psikis dan penyakit moral: seperti dengki, cinta kedudukan, cinta dunia, dan ketergantungan kepada hawa nafsu.


Catatan Kaki:

[1] Referensi-referensi biografinya:

1. al-A`lam, karya Zirikli (7/258)

2. al-Jawahir al-Mudhi`ah (2/123)

3. Miftah as-Sa`adah (2/145)

Juga silakan Anda merujuk kitab “Rijal al-Fikr wa ad-Da`wah, karya Allamah Abul Hasan an-Nadwi, juz pertama, halaman 359-370.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sosok Ayatullah Gorgani


Setelah meninggalnya beberapa Marja’ Besar di Hauzah Ilmiah Qom dan Najaf Asyraf, sekarang kita menyaksikan kecemerlangan ulama-ulama besar yang mumpuni di bidang fikih di Qom, dan salah satu dari mereka adalah Fakih Ahlul Bait Ayatullah al Uzhma Sayed Muhammad Ali Alawi Husaini Gorgani.

Tulisan ini hendak mengungkap secara singkat biografi beliau yang disarikan dari situs resmi beliau.


Keluarga

Ayahanda Sayed Muhammad Ali Alawi Husaini Gorgani adalah Ayatullah Haji Sayed Sajjad Alawi Gorgani termasuk pribadi yang paling menonjol di bidang keilmuan di kawasan “Gorgan dan Dasyt” dan juga terhitung sebagai tokoh yang paling terkenal di propinsi Mazandaran. Beliau pada tahun 1322 Hijriah di salah satu desa Gorgan, yaitu Alang di rumah Agha Sayed Qasim yang merupakan seorang yang senantiasa berzikir, ahli tahajud dan seorang mukmin religius yang belum dikaruniai anak. Dan melalui tawasul, doa dan banyak zikir, akhirnya Allah Swt menganugerahinya anak saat beliau berusia 65 tahun dan setelah beberapa tahun kemudian beliau pun meninggal dunia.

Saat hendak menginjak usia remaja, Sayed Muhammad Ali harus kehilangan kedua orang tuanya dan sepeninggal kedua orang tuanya beliau diasuh oleh Almarhum Ayatullah Haji Mulla Muhammad Hasyim Kabir Kirkuyi. Sayed Muhammad Ali memulai pelajaran agama dan mukadimah dan nahwu-sharaf dari Haji Mulla Muhammad Hasyim.

Pada tahun 1344 Hijriah, Sayed Muhammad Ali Alawi pergi ke Masyhad Muqaddas dan melanjutkan pelajaran jenjang tinggi pada ulama-ulama yang terkenal di kota tersebut seperti Ayatullah Mirza Mahdi Isfahani, Ayatullah Mulla Hasyim Khorasani, Ayatullah Fadhil Basthami. Dan pada tahun 1347 Hijriah beliau hijrah ke kota suci Qom dan melanjutkan pelajaran di sisi para ulama hebat: Ayatullah Haji Syekh Abdul Karim Hairi Yazdi, Ayatullah Haji Syekh Muhammad Ali Hairi Qommi, Ayatullah Haji Mirza Muhammad Faidh Qummi, Ayatullah Haji Syekh Abul Qasim Qommi, Ayatullah Mirza Muhammad Ali Syah Abadi dan Ayatullah Mirza Muhammad Tsabiti Hamdani. Sayed Muhammad Ali Alawi mempelajari ilmu fikih, ushul, hikmah (filsafat) dan kalam (teologi) dari ulama-ulama kesohor tersebut.

Pada tahun 1353 Hijriah sesuai anjuran gurunya, Ayatullah Hairi Yazdi, Sayed Muhammad Ali Alawi melanjutkan pendalaman ilmu-ilmu Islam di Najaf Asyraf dan beliau mengukuhkan ilmunya di sisi: Ayatullah Sayed Abul Hasan Isfahani, Ayatullah Syekh Muhammad Kazhem Syirazi, Ayatullah Muhaqqiq Isfahani dan Ayatullah Aga Dhiya Iraqi. Dan secara khusus, beliau berada dalam bimbingan Ayatullah Sayed Abul Hasan Isfahani. Dan selama di sana, beliau juga mengajar suthuh ‘aliyah (jenjang tinggi pelajaran keagamaan) dan di antara murid beliau di Najaf adalah Syekh Muhammad Ibrahim, Syahid Syekh Murtadha Borujerdi, Hajj Mirza Ali Muhaddits Zadeh dan Hajj Mirza Muhsin Muhammad Tsazadeh (anak-anak dari Hajj Syekh Abbbas Qommi) dan Almarhum Syahid Nawab Safawi.

Setelah menetap 12 tahun di Najaf, Sayed Muhammad Ali Alawi kembali—karena permintaan cukup banyak dari penduduk Gorgan dari Ayatullah Sayed Abul Hasan Isfahani dan juga akhirnya karena perintah guru yang sangat dihormatinya ini—ke Iran pada tahun 1365 Hijriah dan menetap di kota suci Qom dan mengajar pelajaran jenjang tinggi di bidang fikih dan ushul, dan di antara muridnya adalah Almarhum Ayatullah Hajj Aga Syihab Isyraqi.

Setelah beberapa saat dan karena permintaan dan desakan rakyat Gorgan yang religius dan perintah Ayatullah al-Uzhma Borujerdi, beliau kembali ke Gorgan pada tahun 1366 Hijriah. Di sana beliau memimpin shalat jamaah dan berdakwah di Majid Jami’ serta mengajar pelbagai ilmu agama di Madrasah ‘Imadiyyah dan di antara murid-murid yang berada dalam bimbingannya ialah: Almarhum Ustad Muhammad Taqi Danispezuh dan anak-anaknya, Ayatullah Thahiri Gorgani dan ayatullah Jannati Syahrudi. Kegiatan lain beliau adalah membangun Husainiyyah dan masjid serta makam para habaib keturunan Rasulullah saw yang dikenal dengan istilah Imam Zadegan yang total jumlahnya mencapai 200 orang. Di samping itu, beliau juga menulis tafsir Al-Qur’an yang empat kali beliau menafsirkan secara sempurna, dan tentu beliau juga terlibat dalam menyelesaikan pelbagai problema masyarakat di daerah tersebut.

Karena memiliki keunggulan dan keutamaan akhlak serta keilmuaan dan ketakwaan dan penjelasan yang enak dan nasihat-nasihat dan tafsir Al-Qur’an, beliau mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat di kawasan tersebut baik dari kalangan Syiah maupun Ahlu Sunnah. dan seolah-olah di bidang fikih, tafsir dan akhlak sulit dicari tandingannya.

Putra-putra beliau selain Ayatullah al-Uzhma ‘Alawi adalah Hujjatul Islam Hajj Sayed Muhammad Hasan, Hajj Sayed Muhammad Husain Alawi, dan menantu-menantu beliau adalah Ayatullah Hajj Sayed Habibullah Thahiri Gorgani dan Hajj Sayed Hasan Sibth Ahmadi.

Ibu beliau adalah putri Almarhum Aga Syekh Ali Asghar Muayyidi Syari’ah, murid Almarhum Ayatullah Hajj Sayed Muhammad Hujjat Kohkamri, menantu Hujjatul Islam Mulla Mahmud Zahid Qommi (1266-1325), yaitu wakil rakyat Qom pada dewan perwakilan rakyat pada masa pertama di zaman Masyruthiyyah dan saudara istri Almarhum Ayatullah Hajj Mirza Abul Fadhl Zahidi Qommi.

Mertua Ayatullah al-Uzhma Alawi juga seorang sastrawan ternama Qom yang sekaligus pensyarah dan penyusun Nahjul Balaghah dan penyair Ahlul Bait yaitu Almarhum Hujjatul Islam wal Muslimin Hajj Syekh Muhammad Ali Anshari Qommi (1328-1405) dan penulis beberapa kitab yang bermaterikan pembelaan terhadap ajaran Ahlul Bait dan saudara-saudaranya adalah ulama-ulama terkemuka dan orator di Qom dan Najaf Asyraf, yaitu Ayatullah Hajj Syekh Murtadha, Ayatullah Hajj Syekh Ahmad dan Ayatullah Hajj Sykeh Mahmud Anshari.


Kelahiran

Ayatullah al Uzhma Sayed Muhammad Ali Alawi Husaini Gorgani dilahirkan bertepatan dengan kelahiran Siti Fatimah az-Zahra pada tahun 1359 H di Najaf Asyraf di rumah yang diliputi dengan ketakwaan dan keutamaan. Tentu saja kelahiran ini disambut suka cita oleh ayahanda beliau karena beberapa anak lelaki yang dimilikinya semua meninggal di waktu kecil. Oleh karena itu, ayah beliau bertawasul kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan memohon dengan maqam agungnya supaya dikarunia anak alim dan saleh.


Mimpi yang Menjadi Kenyataan

Ayatullah Haji Sayed Sajjad ‘Alawi bermimpi pada suatu malam bahwa beliau bertemu dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dalam mimpinya tersebut Imam Ali memberitakan kepada beliau bahwa dalam waktu dekat dia akan mendapatkan anak lekaki dan beliau diminta untuk menamakan anaknya Ali. Ketika anaknya lahir, ayahnya menamainya–untuk mempraktikan sunah–“Muhammad” dan untuk menepati janji kepada Imam Ali, beliau akhirnya menamakannya “Ali”. Ayah beliau berulang kali berkata kepadanya, kamu akan sangat berbeda dengan saudara-saudaramu dan di masa mendatang engkau akan mencapai kedudukan yang tinggi karena engkau lahir berkat tawasul kepada Sayidina Ali. Sang anak besar dan tumbuh di bawah pendidikan langsung ayahanda dan ibundanya dan banyak mendapatkan pengetahuan dasar-dasar agama dari keduanya.


Masa Belajar

Ayatullah Alawi kembali ke Iran saat berusia tujuh tahun (tahun 1365 H) dan mempelajari ilmu Al-Quran, matematika, syair Sa’di dan setelah itu mempelajari ilmu sastra Arab (nahwu, sharf dan balaghah) pada ayahnya. Di samping itu, beliau juga dibimbing oleh ayahnya untuk belajar kitab Mughni dan Muthawwil serta sebagian syarah Lum’ah. Dan pada tahun 1374 H, bersama rombongan sahabat-sahabat asal kotanya, beliau pergi untuk berziarah ke situs-situs suci di Mekkah (Baitullah al-Haram) dan Baitul Maqdis dan Suriah, dan dalam perjalan spiritual tersebut, beliau membacakan dan menjelaskan persoalan-persoalan keagamaan dan kitab agama bagi peserta ziarah tersebut. Dan saat pulang dari haji, beliau berkeinginan untuk menetap dan melanjutkan studi di Hauzah Ilmiyah Najaf Asyraf namun Almarhum Ayatullah al-Uzhma Hakim yang di zaman itu mengetahui rencana ini dari ayahanda beliau menyarankan bahwa sebaiknya beliau melanjutkan belajar di Qom karena dianggap lebih baik. Sebab, Hauzah Qom memiliki dua kriteria: Seni mengajar dan seni belajar. Seseorang yang belajar di hauzah ini akan mempelajari dua seni ini sekaligus: dia akan belajar dan sekaligus mengajar serta bertablig/berdakwah. Oleh karena itu, beliau akhirnya berangkat ke Qom dan menghadiri pelajaran guru-guru besar seperti Ayatullah Mujahdiri Tabrizi, Ayatullah Thabathaba’i dan Setodeh Araki selama empat tahun (yang menunjukkan kapasitas dan kesiapan beliau dalam menyerap ilmu) untuk meningkatkan jenjang suthuh (tingkatan tinggi pelajaran Hauzah).


Guru-Guru Besar

Selama melangsungkatan kegiatan belajar, beliau dibimbing oleh guru-guru besar yang mumpuni di bidang ilmu dan fikih, di antaranya: pimpinan besar Syi’ah, Ayatullah al-Uzhma Borujerdi, yang beliaumendapatkan ilmu fikih darinya selama tiga tahun. Beliau juga belajar dari pencetus revolusi Islam, Ayatullah al-Uzhma Imam Khomaini, yang beliau mendapatkan ilmu darinya selama 8 tahun di bidang Ushul. Beliau juga belajar kepada Muhaqqiq Damad selama 12 tahun di bidang fikih dan ushul. Dan asatid beliau yang lain ialah: Ayatullah al-Uzhma Sayed Muhammad Reza Golpaigani,Ayatullah Sayed hajj Abbas Ali Syahrudi, Ayatullah Hajj Syekh Muhammad Ali Araki, Ayatullah Hajj Ogo Murtadha Hairi Yazdi yang beliau mendapatkan ilmu di bidang fikih darinya selama 15 tahun sehingga mendapatkan perhatian khusus dari gurunya ini. Tidak cukup sampai di sini kesemangatan beliau dalam belajar, pada saat liburan di Hauzah Ilmiah Qom, di musim panas, beliau melakukan perjalanan ke Najaf Asyraf selama 7 tahun di samping berziarah ke situs-situs suci, beliau juga mengambil manfaat dari pelajaran ulama-ulama besar Najaf zaman itu seperti Imam Khomaini(saat tinggal di sana), Ayatullah Khu’i, Ayatullah Syahrudi dan Mirza Baqir Zanjani.


Mengajar

Ayatullah Alawi Gorgani memiliki usia yang berkah yang dihabiskan untukmengajar,mengarang kitab dan berdakwah. Sejak masa permulaan belajar, beliau sudah mengajar kitab-kitab sastra Arab dan pelajaran keagamaan. Berulang kali beliau mengajar kitab Suyuthi, Mughni, Syarh Syamsyiyah, dan Syarah Nazhm, bahkan pada usia remaja (16 tahun), beliau sudah menulis kitab “Kasyf al-Ghasyiyah ‘an wajh al-Hasyiyah”. Dan sejak tahun 1382 H, beliau mengajarkan jenjang sutuh kitab-kitab seperti Ma’alim, Qawanin, Syarh Lum’ah, dan Sayrh Tajrid dan juga mengajarkan pada tingkatan tertinggi (sutuh ‘aliyah) kitab Rasa’il, Makasib,Kifayah dan Sayrh Manzhumah, bahkan terkadang dalam sehari beliau mengajar empat mata pelajaran. Sehingga pelajaran yang beliau sampaikan terhitung sebagai majelis taklim yang paling favorit dan terkenal di Hauzah Ilmiah Qom.

Salah satu sejarawan Hauzah Ilmiah Qom, lebih dari 30 tahun yang lalu menulis tentang beliau seperti ini: Beliau termasuk ulama terkemuka dan pengajar jenjang tertinggi (sutuh ‘aliy) Hauzah Ilmiah yang dikenal dengan ilmu, ketakwaan dan kebaikan budi. Beliau pada tahun 1405 H–sesuai dengan permohonan sekelompok orang-orang mulia–mengajar pelajaran kharij fiqh (berdasarkan kitab Syara’i al-Islam, karya Abul Qasim Najmuddin Ja’far Muhaqqiq Hilli) dan sampai sekarang beliau telah menyelesaikan bab thaharah dan zakat dan sekarang masih melanjutkan bab kitab sholah, Begitu juga beliau mengajarkan pelajaran berdasarkan kitab Kifayah al-Ushul. Dan selama 40 tahun masa mengajarnya, banyak orang-orang mulia yang mendapatkan sumber ilmu dari beliau dan banyak dari mereka (murid-murud kharij ushul beliau) mengabdi di tengah masyarakat dengan pelbagai profesi seperti: dosen, guru, imam jumat, imam shalat jamaah, hakim, anggota dewan dan sebagainya.

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: