Oleh: Dr. Haidar Bagir
Metodologi Muthahari
Pengantar
Selama ini banyak orang barangkali mengenal Muthahhari sebagai seorang penulis produktif yang menulis puluhan buku mengenai hampir semua hal. Paling banter orang akan menganggapnya sebagai seorang ulama yang cerdas dan berwawasan luas, termasuk mengenai pemikiran-pemikiran Barat. Tapi, begitu banyak dan bervariasinya tulisan Muthahhari di sisi lain dapat menimbulkan kesan bahwa Muthahhari adalah seorang generalis yang tak memiliki agenda dan perspektif jelas dalam karier pemikirannya. Belakangan ini, pembaca Indonesia mulai dapat menikmati karya-karyanya di bidang filsafat Islam, yang sesungguhnya tidak sedikit dan sama sekali tak kurang penting di banding karya-karya popular dan karier-politiknya sebagai salah seorang pejuang, pendiri, dan peletak dasar Negara Republik Islam Iran. Sesungguhnya kesan seperti ini kurang tepat. Muthahhari adalah seorang ulama-pemikir yang tahu benar tentang apa yang dipikirkan dan diperjuangkannya. Di balik puluhan karyanya itu sesungguhnya terpapar sebuah agenda besar, sebuah tujuan besar. Lebih dari itu, agenda besar itu hendak dicapainya lewat suatu metodologi yang telah dipikirkannya secara masak-masak. Tapi sebelum masuk ke dalam topik utama pembahasan makalah ini perlunya kiranya kita pahami latar-belakang intelektual Muthahhari lewat pendidikan yang dijalaninya.
Biografi Intelektual
Murid terdekat Thabathaba’i dan Khomeini ini yang lahir pada 2 Februari 1920 pertama kali belajar dari ayahnya sendiri, Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama terkemuka di kota-kelahirannya, Fariman. Pada usia dua belas tahun, Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di Hauzah Ilmiyeh Masyhad. Dia menunjukkan minat yang amat besar kepada filsafat dan ilmu-ilmu rasional serta ‘irfan (tasawuf filosofis atau metamistisime). Pertama kali dia belajar filsafat dan ilmu-ilmu rasional di bawah bimbingan Mirza Mehdi Syahidi Razawi. Setelah guru-pembimbingnya itu wafat, Muthahhari meninggalkan Hauzah Masyhad dan berhijrah ke Qum untuk memperdalam ilmu di hauzah kota suci itu. Di Qum inilah dia berkenalan dengan Allamah Thabathaba’i dan kemudian juga, Ayatullah Ruhullah Khomeini – dua orang tokoh yang dikenal sebagai ahli filsafat dan ‘irfan (tashawuf). Diriwayatkan bahwa dia sudah tertarik kepada pelajaran ‘irfan bahkan sejak tahun-tahun awalnya di Qum. Dia sendiri bercerita betapa pelajaran-pelajaran ‘irfan dari Ayatullah Khomeini telah meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hatinya. Dengan kata-katanya sendiri, pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh gurunya ini bahkan masih terngiang-ngiang di telinganya hingga beberapa hari setelah ia mendengarnya untuk pertama kalinya. Dari keduanyalah, Muthahhari memperdalam filsafat dan ‘irfan. Ia pun belajar filsafat dan’irfan pada seorang guru besar di masanya. Yakni ‘Allamah Thabathaba’i. Dia juga amat dalam dipengaruhi oleh pelajaran-pelajaran mengenai Nahj al-Balaghah – kumpulan wacana, pidato, surat-surat, dan kata-kata bijak Khalifah Keempat dan Imam Pertama dalam mazh-hab Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib – yang diberikan oleh Mirza ‘Ali Aqa Syirazi Isfahani. Dikatakannya bahwa, meski ia telah membaca buku itu sejak ia kecil, kali ini dia merasa seperti telah menemukan suatu “dunia baru.”
Untuk lebih mengenal latar belakang intelektual Muthahhari, kita perlu mengenal sedikit lebih jauh sumber-sumber pengaruh atas tokoh kita tersebut di atas.
Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang dikenal sebagai seorang faqih dan pemimpin revolusi, sesungguhnya adalah seorang peminat ‘irfan sejak masa mudanya. Meski sesungguhnya minat Ayatullah Khomeini meluas hingga ke Hikmah (filsafat-mistikal) Mulla Shadra, dia sudah mulai dikenal sebagai seorang ahli‘irfan bahkan sejak umurnya belum lagi genap 30 tahun. Ketika memberikan pengajaran ‘irfan kepada Muthahhari itu, usianya belum lagi lebih dari 27 tahun.Di anara salah satu karya-awalnya, yang ditulisnya ketika berumur 26 tahun adalah komentar (syarh) atas Doa al-Sahar dari Imam Muhammad al-Baqir. Tiga tahun kemudian ia menerbitkan Mishbah al-Hidayah, sebuah ulasan ringkas tapi mendalam tentang hakikat Nabi saaw. dan para Imam. Belum lagi usianya mencapai 40 tahun, tepatnya 37 tahun, Khomeini muda ini menyelesaikan sebuah catatan-pinggir (hamisy atau glossarium) atas komentar Daud Qaysari atas Fushush al-Hikam-nya Ibn ‘Arabi dan Mishbah a-Uns-nya Shadruddin al-Qunawi (anak angkat dan murid Ibn ‘Arabi). Demikian seriusnya nilai catatan-pinggir ini sehingga sebagian guru Khomeini sendiri merasa perlu menulis ulasan atas karya muridnya ini.
Sejak saat itu, berbagai karya mengenai ‘irfan terlahir darinya. Ketika akhirnya ia harus terlibat dalam perlawanan politik terhadap Shah Iran dan kemudian memandu negara, dan melahirkan karya-karya politik, tetap saja nuansa irfan tak bisa dilepaskan dari kesemuanya itu. Dan lebih dari sekadar penulis, ia dipersaksikan oleh banyak orang yang mengenalnya sebagai seorang ‘arif dalam kenyataan praktik hidupnya. Alhasil, meski dikenal juga sebagai ahli filsafat, Ayatullah Khomeini adalah seorang ahli tashawuf atau ‘irfan through and through.
‘Allamah Thabathaba’i, sebelum yang lain-lain, adalah juga guru Ayatullah Khomeini. Minatnya amat mirip dengan muridnya itu – filsafat dan’irfan. Namun, meski juga banyak berbicara tentang ‘irfan sejauh mendorong minat tokoh-tokoh seperti Husayn Nasr, Henry Corbin, dan Toshihiko Izutsu untuk rajin menyambangi pengajian-pengajiannya, Thabathaba’i dikenal dengan beberapa karya filosofis penting, termasuk Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah, serta Usus-e Falsafeh wa Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar Filsafat dan Mazhab Realisme) – yang diberi catatan kaki amat ekstensif oleh Muthahhari. Belakangan dia amat dikenal dengan magnum-opus-nya di bidang tafsir al-Qur’an dengan karya 20 jilidnya berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Meski berlandaskan pada penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, karyanya ini tak bisa sama sekali lepas dari kecenderungan filosofisnya yang mengambil bentuk penjelasan filosofis bagi setiap kelompok ayat yang diulasnya.
Akhirnya mengenai Nahj al-Balaghah. Selain dikenal merupakan suatu model ketinggian susastera Arab – seperti anatara lain diungkapkan oleh Syaikh Muhammad ‘Abduh – kitab ini berisi banak ungkapan-ungkapan teologis, filosofis dan mistis yang amat sophisticated. Selain dari hadis-hadis qudsi – yang di kalangan Syi’ah memiliki arti yang jauh lebih penting ketimbang di kalangan Sunni – dari kitab inilah (di samping ucapan-ucapan para Imam lain) kaum Syi’ah mengali banyak dasar-dasar filsafat dan ‘irfan. Inkorporasi Nahj al-Balaghah ke dalam sistem filsafat Islam yang berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran Hikmah Mulla Shadra. Untuk sekadar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat Muthahhari, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab ini Muthahhari dalam karyanya yang berjudul Sayr-e dar Nahul Balaghah (perlancongan dalam Nahj al-Nalaghah) : Teologi dan Metafisika, Suluk (tashawuf) dan ‘Ibadah, Kuliah-kuliah mengenai Akhlak, serta Dunia dan Keduniaan (dalam hubungannya dengan sikap seorang ‘arif atau sufi terhadapnya).
Di atas semuanya itu, Muthahhari adalah seorang pemikir Syi’i yang amat percaya kepada rasionalisme dan pendekatan filosofis yang menandai mazhab yang satu ini. Di dalam Syar dar Nahj al-Balaghah, misalnya, Muthahhari membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan kecenderungan kepada filsafat lebih merupakan ingredient ke-Persia-an ketimbang ke-Islam-an. Dia menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana ditunjukan oleh al-Qur’an, hadis Nabi dan ajaran para Imam.
Agenda-agenda Muthahhari
Selanjutnya, rasanya amat relevan jika kita mencoba menerka tujuan dan agenda di balik dorongan pada diri pemikir ini dalam kiprahnya sebagai pemikir Islam.
Pertama, bagi Muthahhari,berpikir dan melakukan perenungan serta pemahaman intelektual adalah tujuan hidup seorang Muslim. Hal ini kiranya mudah dipahami jika kita pelajari betapa Islam melihat tujuan hidup sebagai makrifat Allah (pengetahuan tentang Allah). Kita dapat menduga bahwa, bagi Muthahhari, pencerahan intelektual adalah salah satu kebahagiaan tertinggi (Lihat risalahnya yang berjudul Happiness). Inilah semacam eudemoniaAristotelian, yang memang menjadi tujuan setiap filosof dan pemikir, tak terkecuali Muthahhari. Nah, untuk menjamin kesahihan hasil suatu proses pemikiran, apalagi jika hal itu menyangkut konsep tentang Tuhan yang begitu urgen bagi kebahagiaan manusia sekaligus begitu mendalam dan rumit, maka suatu metodologi berfikir yang benar – yang, sepert akan kita lihat di bawah ini, harus bersifat rasional dan filosofis — merupakan sesuatu yang mutlak.
Meskipun demikian, tentu saja Muthahhari bukanlah orang semata-mata bersifat individualistis. Bukan saja wawasannya yang luas dan mendalam tentang Islam akan segera mencegahnya dari mengkhianati semangat profetis agama ini dengan bersikap seindividualistis itu, budaya Syiah yang disimbolkan dalam karakter Imam ‘Ali dan para sahabat dekatnya dalam kehidupan Syiah – termasuk Salman al-Farisi, Abu Dzar, dan Miqdad yang kesemuanya merupakan “aktivis-aktivis” dalam jihad – terlalu dominan pada diri Muthahhari sehingga sikap ekstrem sedemikian tak terbayangkan baginya. Dan memang tujuan yang lebih dari sekadar bersifat individualistis inilah yang terasa banyak mewarnai pemikiran-pemikiran Muthahhari. Maka, sebagai tujuan kedua kiprahnya, Muthahhari telah menetapkan bagi dirinya tugas untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam dalam suatu cara yang sesuai dengan kebutuhan manusia modern akan pemikiran-pemikiran yang bersifat rasional.
Terkait dengan itu, Muthahhari berkiprah di suatu masa yang menyaksikan derasnya arus pengaruh pemikiran yang datang dari Barat. Disamping adanya pengaruh-pengaruh positif dari Barat, Muthahhari merasakan tantangan pemikiran-pemikiran Barat tertentu terhadap agama. Diantara tantangan yang terasa sangat menekan adalah Marxisme. Iran sejak tahun 60-an memang banyak diterpa oleh pengaruh aliran ini. Pengaruhnya terasa makin lama makin kuat. Hal ini tampak antara lain dalam bermunculan dan menguatnya partai dan kelompok-kelompok yang bersifat kekiri-kirian. Dalam Masyarakat dan Sejarah– yang merupakan bagian dari Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam (Muqaddima-ye Jahan Biniy Islamiy)– ia menyatakan: “Saat ini, di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu (kecenderungan kepada Marxisme dan pandangan bahwa Islam mengandung paham-paham Marxistik) mendapatkan penerimaan yang luas dan dipandang sebagai tanda keluasan pikiran dan mode yang lagi in…” Pada saat yang sama, Muthahhari juga merasakan adanya pengaruh paham lain Barat yang mencengkeram kuat atas negara-negara Muslim, termasuk Iran. Itulah materialisme. Ia bahkan merupakan soko guru berbagai paham yang muncul dalam peradaban Barat modern. Untuk meng-address isu-isu ini , Muthahhari pun ia banyak menghasilkan karya-karya yang berupa kritik terhadap paham-paham ini, termasuk Masyarakat dan Sejarah dan (Argumentasi-argumentasi) Pendukung (Paham) Materialisme. Bebrbeda dengan karya-karya yang, kurang lebih, popular di atas, Muthahhari juga menelurkan karya-karya yang benar-benar bersifat filosofis, antara lain komentar ekstensifnya atas karya salah seorang guru utamanya, Allamah Thabathaba’i yang berjudul Usus-e Falsafah wa Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar Falsafah. Dan Mazhab Realisme). Karya 4 jilid yang berupaya mengkritik materialisme sekaligus memaparkan dasar-dasar filsafat dan pandangan dunia Islam yang dianggap dapat merupakan alternatif yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Inilah tujuan ketiga Muthahhari.
Dasar pemikiran yang sama kiranya terkait dengan tujuan keempat di balik segala kegetolan Muthahhari untuk membangun landasan filosifis dan pandangan dunia Islam ini adalah kesadarannya akan perlunya suatu landasan yang kuat dan koheren bagi pembangunan sistem-sistem Islam di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya. Muthahhari memang dikenal juga dengan tulisan-tulisannya mengenai soal-soal ekonomi, sosial, bahkan budaya dalam sorotan ajaran-ajaran Islam. Dalam Pengantar kepada Pandangan Dunia Islam itu Muthahhari memasukkan berbagai tema pembahasan yang dianggapnya sebagai unsur-unsur dari pandangan dunia: Konsepsi tentang Manusia, Pandangan Dunia Tauhid, Konsepsi Kenabian dan Wahyu, Konsepsi tentang Masyarakat dan Sejarah, Imamah, dan Konsepsi tentang Hari Akhir.
Metodologi Muthahhari
Kini saatnya menyinggung – sebagai sebuah pengantar awal – metodologi Muthahhari. Seperti kita lihat dari uraian di atas, tujuan dan agenda Muthahhari sedikit-banyak bersifat ideologis. Nah, menurut Muthahhari (Lihat antara lain,Mengenal Epistemologi), ideologi berakar dari sebuah pandangan dunia (world view atau world conception). Hal ini kiranya akan menjadi lebih jelas jika kita kaitkan dengan pernyataannya mengenai pandangan dunia – dalam Pandangan Dunia Tauhid, yang lagi-lagi merupakan bagian Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam– sebagai berikut: “Setiap doktrin atau filsafat hidup secara tak terelakkan berdasar atas semacam kepercayaan, suatu penilaian tentang hidup dan semacam penafsiran dan analisis tentang dunia. Cara berpikir suatu mazhab (pemikiran) mengenai hidup dan dunia dipercayai merupakan dasar dari seluruh pemikiran aliran tersebut. Dasar ini disebut sebagai pandangan atau konsepsi dunia (world view atau world conception). Semua agama, sistem sosial, dan filsafat sosial (pada gilirannya) didasarkan pada suatu pandangan dunia tertentu. Semua tujuan yang diajukan suatu mazhab pemikiran, cara-cara dan metode-metode yang dilahirkannya merupakan bagian dari pandangan dunia yang dianutnya.”. Pada gilirannya, Muthahhari berkeyakinan bahwa pandangan dunia suatu kelompok manusia ditentukan oleh filsafat yang dominan dalam kelompok itu. Dengan kata lain, seperti ditulisnya dalam buku yang sama, yang menentukan ideologi adalah pandangan dunia filosofis.
Dalam konteks ini, Muthahhari menyadari benar peran epistemology — sebagai akar dari setiap metodologi — di dalamnya. Di samping buku Mengenal Epistemologi yang dirancangnya untuk konsumsi popular ini, Muthahhari masih merasa perlu untuk membahas secara khusus pandangan epistemologis Al-Quran dalam pembahasannya yang berjudul Syenakht dar Qur’an (Epistemologi dalam Al-Quran). Semuanya itu masih dilengkapi dengan pembahasan secara filosofis masalah epistemologi ini dalam syarah yang ditulisnya atas buku filsafat karya filosof besar Iran abad-abad terakhir, Mulla Hadi Sabzawari,Syarh Manzhumah. Dalam buku yang disebut terakhir ini Muthahhari menyatakan : “(Meski begitu menentukannya epistemologi dan, meski pembahasan tentang epistemologi ini sudah dirintis sejak lebih dari dua abad yang lalu, termasuk juga dalam filsafat Islam), sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah ini dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan dengan ilmu, pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan bentuk pemikiran serta dalam pembahasan mengenai jiwa (nafs). Dahulu sedikit banyak orang telah memahami pentingnya epistemologi, tapi pada zaman ini segala hal yang terkait dengan pandangan dunia bersumbu pada masalah ini.” Nah, dalam pengantar buku – yang merupakan kumpulan ceramah sistematiknya mengenai Epistemologi — ini, Muthahhari mengungkapkan secara panjang lebar masalah ini.
Selain buku Epistemologi dan Pengantar kepada Pandangan Dunia Islamtersebut di atas, Muthahhari masih merasa perlu menulis sebuah buku yang berjudul Penantar kepada Ilmu-ilmu Islam. Ini merupakan salah satu wujudconcern Muthahhari kepada posisi penting epistemologi dan metodologi dalam, baik pemikiran maupun perjuangan Islam. Di dalamnya Muthahhari berupaya memberikan penjelasan yang ringkas tapi menyeluruh tentang berbagai (metodologi) ilmu dalam Islam, termasuk didalamnya Logika, Kalam, Filsafat, Tasawuf, Etika, dan Ushul Fiqh. Dapat diduga bahwa Muthahhari beranggapan bahwa penguasaan terhadap ilmu-ilmu Islam yang cukup komprehensif ini diharapkan akan memampukan kaum Muslim dalam menggali segenap sumber-sumber pemikiran Islam sekaligus mengambil manfaat secara tepat terhadap sumber-sumber ilmu lainnya di luar Islam. Dengan demikian, kiranya bukan saja kaum Muslim bisa lebih baik dalam memberikan kontribusi kepada peradaban umat manusia, lebih dari itu diharapkan mereka akan dapat menyeleksi pengaruh-pengaruh yang datang kepada mereka dari luar dengan suatu cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, pada akhirnya, kaum Muslim bisa melahirkan pemikiran-pemikiran dan sistem-sistem yang koheren dan viable sebagaimana dicita-citakan.
Kesimpulannya, pada dasarnya metodologi Muthahhari adalah rasional-filosofis. Bagi pengkaji buku-bukunya, tampak jelas bahwa Muthahhari biasa membahas setiap persoalan pertama sekali secara rasional dan filosofis. Baru belakangan dia memverifikasinya dengan dasar-dasar keislaman : al-Qur’an dan Hadis. Dan bukan sebaliknya. Itu sebabnya, Muthahhari di Iran, bersama Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari, dikenal sebagai bagian dari kelompok “mazhab kalami”.
Lalu, di mana letak ‘irfan dalam pemikiran-pemikiran Muthahhari? Tampaknya‘irfan bagi Muthahhari tidak terutama dan secara langsung memliki signifikansi epistemologis dan metodologis. Sebagaimana tampak dalam beberapa buku tentang ‘irfan yang ditulisnya, termasuk Spiritual Discourses, atau Perfect Man,‘irfan telah memberinya lebih banyak bahan dalam membahas berbagai soal secara filosofis. Persis sebagaimana perannya dalam aliran hikmah, yang memang merupakan spesialisasi Muthahhari di bidang filsafat. Di samping itu,‘irfan bagi tokoh ini juga berperan dalam memberikan sentuhan emosional – dan poetik — dalam pemikiran-pemikirannya yang, otherwise, amat rasional filosofis.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar