Setelah dua tahun lalu memenangkan medali pada Olimpiade 2016 di Rio, Brazil, Ibtihaj Muhammad berbicara secara terang-terangan tentang diskriminasi yang dia alami di dalam timnya ketika berjuang dalam kompetisi tersebut.
Ibtihaj Muhammad telah mencetak sejarah baru, dia adalah orang Amerika Serikat (AS) pertama yang berkompetisi menggunakan hijab dan juga sekaligas Muslimah Amerika pertama yang memenangkan medali pada Olimpiade 2016 di Rio, Brazil. Namun, atlet anggar tersebut menceritakan bahwa di dalam timnya pada waktu itu terdapat budaya diskriminatif ketika dia diperlakukan sebagai seorang “pariah” (dikucilkan) saat menjelang kompetisi dimulai.
Ibtihaj yang memenangkan medali perunggu dalam Olimpiade sebagai anggota dari tim saber AS di Brasil, mengatakan bahwa, meskipun dia anggota tim, namun selama bertahun-tahun dia menerima perlakuan diskriminatif baik dari rekan setim maupun staf pengurus. Misalnya saja dia tidak dimasukkan ke dalam selebaran resmi formasi tim, tidak diikutsertakan dalam jejaring email tim, diabaikan oleh rekan tim, dan tidak diundang dalam perjamuan makan malam tim.
Ibtihaj yang berasal dari New Jersey ini juga mengatakan bahwa pelatih timnya, Ed Korfanty, mengatainya pemalas dan menuduhnya lamban ketika bulan Ramadhan sedang berlangsung, bulan di mana setiap Muslim diwajibkan untuk berpuasa.
Dalam bukunya yang berjudul ‘Proud: My Fight for an Unlikely American Dream’, yang baru diterbitkan pada bulan lalu (Juli) di AS, Ibtihaj bercerita, “Kata-kata, ‘Apakah kamu baik-baik saja, Ibti? Apakah kamu perlu beristirahat sebentar, Ibti?’ Tidak pernah keluar dari mulutnya.”
Selain itu, Korfanty juga menuduhnya bolos latihan setelah pergelangan kakinya didiagnosis terkilir oleh dokter tim. “Kamu bisa berjalan sekarang, jadi saya tidak percaya bahwa kamu terluka parah,” kata Korfanty di depan dokter tim, sebagaimana diceritakan oleh Ibtihaj.
Ibtihaj mengatakan bahwa, sementara anggar adalah olahraga individu yang sangat kompetitif dengan banyak atlet yang bersaing hanya untuk tiga tempat tersedia di tim Olimpiade, sehingga itu membuat lingkungan yang tidak bersahabat dalam tim saber AS tensinya meningkat.
“Saya tidak tahu apakah unsur persahabatan dan (kerjasama) tim hilang di tim yang lain, tetapi yang saya tahu adalah bahwa saya tidak percaya bahwa kemalangan terhadap atlit dan kepribadiannya dalam kompetisi harus berjalan seperti itu,” kata Ibtihaj. “Itu tidak mesti selalu seperti itu.”
Ibtihaj mengatakan bahwa apa yang dialaminya bertentangan dengan prinsip USA Fencing, salah satu lembaga olahraga di AS, yang mana sebagaimana tercantum dalam websitenya mengatakan bahwa nilai inti organisasi adalah: “Keunggulan, Penghormatan, Kerja Sama Tim, Inklusi, dan Semangat.”
Ibtihaj kemudian mencoba membangun kesadaran kepada USA Fencing tentang pengalamannya bersama tim dan manajemennya tetapi dia tidak mendapat tanggapan apapun dari mereka. Meskipun dibantu oleh harian the Guardian untuk mendapatkan tanggapan, namun mereka tetap tidak melakukan langkah apapun untuk mengatasi masalah yang terjadi pada saat itu.
“Saya bukan orang yang membuat atau ingin menimbulkan drama, tetapi pada saat yang sama saya menginginkan kesempatan yang sama seperti orang lain,” katanya. “Dalam olahraga kami, jika anda tidak memiliki pelatih di box (arena tanding) anda, itu (akan jadi) masalah karena olahraga ini sangat subjektif. Jika saya tidak memiliki pelatih yang hadir atau ada di sana untuk melaksanakan tugasnya, ini adalah masalah.
“Saya akan meminta USA Fencing untuk mengatasinya, tetapi untuk alasan apa pun … mungkin ada ketakutan di pihak mereka, mereka ingin membuat apa yang sudah ada ini bahagia (maksudnya adalah takut untuk menegur, khawatir mereka tersinggung, sehingga dibiarkan begitu saja-pen),” ujarnya.
Terlepas dari segala perlakuan diskriminatif terhadap dirinya, sekarang, Ibtihaj yang berusia 32 tahun telah membuktikan, dia memenangkan medali perunggu bersama tim saber AS pada tahun 2016 bersama dengan atlet veteran Mariel Zagunis dan Dagmara Wozniak, dan pendatang baru Monica Aksamit.
Ibtihaj Muhammad ketika memenangkan medali pada tahun 2016. (Foto: Tom Pennington/Getty Images)
Lahir di Newark, New Jersey, ayahnya adalah seorang perwira polisi dan ibunya seorang guru, Ibtihaj dibesarkan di Maplewood, wilayah pinggiran kota New Jersey. Dia merupakan anggota tim anggar nasional AS sejak 2010, dia juga berlatih di Peter Westbrook Foundation, sebuah klub anggar kota New York yang merekrut atlet-atlet dari komunitas yang terabaikan.
“Anggar adalah olahraga yang sangat mahal yang tidak akan anda temukan dalam sistem sekolah umum, dan anda tidak akan menemukannya di lingkungan dalam kota di mana terdapat populasi minoritas yang besar (orang-orang kulit hitam). Karena terbatasnya akses ke olahraga ini, hal ini menjadi satu catatan dalam hal para pesertanya. Itu (olahraga anggar) adalah (diperuntukkan) orang-orang yang punya uang dan sebagian besar orang yang berasal dari keluarga kulit putih.”
Ibtihaj mengatakan bahwa inisiatif yang dilakukan oleh yayasan seperti Peter Westbrook Foundation – Westbrook adalah atlet yang memenangkan perunggu dalam saber individu pada Olimpiade Los Angeles 1984 – penting dalam memberikan kesempatan bagi atlet minoritas untuk berlatih dengan orang-orang “yang terlihat seperti mereka sendiri.”
“Yayasan ini telah mengubah olahraga dengan cara yang memungkinkan anak-anak (dengan kulit) berwarna untuk melihat diri mereka dengan cara yang secara tradisional tidak terjadi,” katanya.
Pengalaman Ibtihaj dengan tim anggar AS adalah contoh kebalikan dari definisi yang dibuat oleh Komite Olimpiade Internasional tentang “Semangat Olimpiade” yang mengatakan, “Saling memahami dengan semangat persahabatan, solidaritas dan fair play.”
(The-Guardian/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)