Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Pola Didik Nabi Ibrahim as Dalam Membangun Keluarga Visioner

Pola Didik Nabi Ibrahim as Dalam Membangun Keluarga Visioner

Written By Unknown on Selasa, 13 Februari 2018 | Februari 13, 2018


Oleh: Euis Daryati M.A.

Banyak momen yang terjadi di bulan Dzulhijjah terkait dengan Nabi Ibrahim as beserta keluarganya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa ibadah haji merupakan ringkasan dari berbagai aktifitas keluarga Nabi Ibrahim as yang telah diabadikan oleh Allah Swt. Beliau merupakan salah satu nabi yang banyak disebut dalam al-Quran terkait langsung dengan pendidikan keluarga.

Allah Swt telah menjadikan Nabi Ibrahim as sebagai uswatun hasanah atau teladan baik bagi kita [QS al-Mumtahanah:4]. Salah satu yang dapat kita jadikan teladan dari kehidupan beliau ialah ‘pola didik’ dalam keluarga;


Memilih Lingkungan dan Sekolah yang Tepat

Dengan melihat fenomena, Nabi Ibrahim as dapat memahami kondisi yang tengah terjadi, dan akan terjadi. Di mana hal tersebut dapat berpengaruh bagi perkembangan putranya. Beliau cerdas dalam menangkap sikon yang tidak mendukung bagi perkembangan dan pendidikan putranya. Karena itu, meskipun Nabi Ismail as dilahirkan di Mesir, negeri yang subur dan baik bagi perkembangan fisiknya, namun beliau memilihkan tempat yang lebih tepat untuk perkembangan dan pendidikan putranya. Mekah menjadi tempat pilihan untuk pertumbuhan dan pendidikan putranya, Ismail as. Beliau ingin menyelamatkan keluarganya dari suasana tidak kondusif, serta menyelamatkannya dari komunitas yang penuh kesyirikan. “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau… agar mereka mendirikan solat… beri rezeki mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyuku.” [QS Ibrahim:37].

Nabi Ibrahim as memilih kota Mekah yang masih bersih dan suci. Beliau yakin bahwa kelak anak dan istri beliau akan menjadi orang yang bermanfaat, karena tempat tersebut mendukung untuk perkembangan spiritualnya. Meskipun kondisi Mekah itu tandus dan kering, namun beliau yakin akan campur tangan Allah Swt dalam mendidik putranya untuk menjadi generasi yang soleh.

Jika dianalogikan kepada kita sebagai orang tua, maka pada tahapan pertama, suami sebagai kepala rumah tangga hendaknya selektif dalam memilihkan tempat tinggal, juga, sekolah anaknya. Dalam memilihkan tempat tinggal, baik milik sendiri, maupun menyewa, hendaknya hal yang paling diperhatikan ialah tempat tersebut nyaman untuk pertumbuhan dan pendidikan anaknya. Jauh dari pergaulan tidak sehat, bersih dari narkoba, miras, tempat judi, kekerasan, tempat gossip dan lainnya. Karena rumah dan lingkungan, pada tahapan awal dapat memberikan pengaruh baik dan buruk pada karakter anak-anak.

Rumah adalah madrasah pertama bagi anak. Karena masa kehamilan dan masa menyusui anak selalu bersama ibu, maka ibu juga merupakan guru pertama bagi anak. Ibu sebagai guru pertama dapat menanamkan pondasi-pondasi kuat bagi karakter anak untuk menjadi generasi yang soleh atau solehah. Ibu yang solehah dan kuat seperti Hajar, sebagai guru pertama dapat membentuk murid pertamanya menjadi generasi yang soleh dan kuat seperti Ismail as. Karena itu, seorang suami hendaknya membantu istrinya dalam perannya sebagai guru pertama bagi anak, agar dapat menjadi ibu dan guru yang solehah. Sebelum mendidik anak yang soleh, hendaknya orang tua berusaha menjadi orang tua yang soleh.

Begitu pula, terkait dengan tempat pendidikan, jika dianalogikan dengan pendidikan modern, Mekah diibaratkan sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas, yang bersih dari berbagai virus pendidikan. Kehidupan serba modern seperti sekarang, banyak orangtua yang sibuk bekerja sehingga tidak punya untuk mengasuh dan mendidik anaknya.

Jika tidak dapat mendidik anak-anaknya sendiri, maka harus selektif dalam memilih lembaga pendidikan yang formal, maupun non formal. Pilihlah lembaga pendidikan yang memiliki kriteria; kondusif dalam proses belajar mengajar, lingkungan yang sehat, jauh dari bully, disiplin, menanamkan nilai-nilai, memperhatikan sisi psikologis dan spiritual anak-anak. Bukan hanya sekolah yang hanya prioritas pada sisi akademisi saja, tanpa memperhatikan kebutuhan lain anak-anak. Anak bukan seperti mesin yang hanya dijejali pelajaran-pelajaran saja, dengan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Generasi yang kita butuhkan ialah generasi yang cerdas, soleh, dan mandiri.


Motivasi Ruhani Orangtua

Nabi Ibrahim as motivator sejati dalam dunia pendidikan, beliau sosok yang senatiasa memberikan motivasi terhadap anak-anaknya berupa doa. Beliau sadar, bahwa beliau tidak dapat memberikan dorongan langsung secara fisik. Karena itu, beliau memberikan dorongan ruhani dengan senantiasa mendoakan agar putra dan istrinya dapat melangsungkan kehidupan di Mekah.

Orang-orang modern paling banyak menghabiskan waktu mengikuti seminar-seminar parenting tapi lupa menjadi teladan yang baik. Orang tua masa kini sibuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, tapi lupa memberikan makanan ruhani. Nabi Ibrahim as tidak banyak memberikan bekal materi, namun tidak henti-hentinya bermunajat kepada Allah agar anak dan keturunannya menjadi generasi yang baik. Di antaranya ialah beliau berdoa agar anak keturunannya menjadi orang yang mendirikan solat, “Ya Allah, jadikanlah aku dan dari anak keturunanku termasuk orang-orang yang mendirikan solat. Maka kabulkanlah doa (ku)…” [QS Ibrahim:40].

Terdapat perbedaan antara melaksanakan solat dan mendirikan solat. Banyak sekali orang yang melaksanakan solat, namun tidak banyak orang yang mendirikan solat. Orang yang mendirikan solatnya dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Meneladani Nabi Ibrahim as, orangtua hendaknya mendidik anaknya agar menjadi orang mendirikan solat, bukan hanya sekedar melaksanakan solat. Dan, hal itu perlu kesabaran, managmen waktu, program yang teratur, disiplin dan kontroling.

Tentang doa orangtua untuk anak juga telah dicontohkan oleh Imam Sajjad as, dalam ash-Shahifah as-Sajjadiyyah. Banyak keajaiban dari doa orang tua bagi kebaikan anaknya. Doa tersebut dapat membantu dalam pembentukan karakter baik anak. Doa orang tua muncul karena ridho kepada anak, ridho orang tua adalah ridho Allah. Ridho Allah dan ridho orang tua hasilnya ialah kebikan, keberkahan, dan kebahagiaan. Karena itu, orang tua hendaknya senantiasa dalam doa-doanya, baik doa qunut, maupun yang lainnya, bermunajat dengan khusyu demi kebaikan anaknya. Karena hal itu merupakan makanan ruhani, dan motivasi ruhani bagi anak, untuk menjadi generasi yang soleh di masa mendatang.

Saat ini, kita banyak menyoroti kehidupan Nabi Ibrahim as, karena peristiwa yang terjadi di bulan ini banyak berkaitan dengan Nabi Ibrahim as dan keluarganya. Juga, Ibadah haji, merupakan ibadah yang manasik-manasiknya banyak menceritakan tentang kehidupan Nabi Ibrahim as dan keluarganya. Dengan mengambil berkah dari bulan ini pula, kita berusaha menggali kembali kehidupan keluarga Nabi Ibrahim as, agar kita dapat meneladaninya dalam membangun keluarga kita di zaman yang modern ini. Pola asuh dan pola didik para nabi dalam keluarganya tidak akan mengenal kata usang dan kuno, namun selalu memberikan inspirasi bagi kehidupan kita.

Pada artikel sebelumnya, kita telah menjelaskan tentang beberapa pola didik Nabi Ibrahim as dalam keluarganya. Di antaranya ialah memilihkan lingkungan dan tempat pendidikan yang tepat untuk perkembangan dan pendidikan anak-anak, juga motovasi ruhani orangtua. Motivasi ruhani ialah berupa doa-doa yang dipanjatkan oleh orangtua tanpa rasa lelah untuk anak-anaknya. Nabi Ibrahim as sebagai motivator sejati telah mencontohkan hal tersebut. Adapun langkah-langkah lainnya yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as ialah;

Menyatukan Visi dan Misi

Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim as ialah wanita salehah yang sangat tangguh. Teguh dalam menjalankan tugas sebagai seorang istri dan ibu. Allah Swt telah memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk membawa Hajar, ke padang tandus Mekah. Kemudian Allah Swt juga menyuruhnya untuk meninggalkan Hajar beserta anaknya yang masih kecil di tempat tersebut. Di tempat yang tidak ada kehidupan, juga tidak ada seorang pun di sana, selain Hajar dan putrany. Hajar pun menjadi single parent selama kepergian suaminya ke Palestina dalam rangka menjalankan perintah-Nya. Ia mengasuh dan mendidik putranya sendirian.

Sejak menginjakkan kakinya di tanah Mekah yang tandus dan gersang, ia melemparkan pandangan pada ke sekitarnya dengan perasaan tak menentu disertai pertanyaan kepada suaminya, Ibrahim as. Apakah ia telah meninggalkan mereka? Namun Ibrahim as diam tak menjawab. Kemudian Hajar bertanya lagi apakah ini perintah Allah Swt? Nabi Ibrahim as pun mengiyakannya. Mendengar jawabannya lalu Hajar pun berkata, “Jika demikian baiklah. Tuhan tidak akan membuat kita sia-sia.” Pada akhirnya setelah perjuangan Hajar dengan berlari kecil antara bukit Sofa dan Marwa, Allah pun mengeluarkan air zam-zam. Perjuangan keras seorang ibu demi anaknya yang kemudian diabadikan dalam salah satu ritual ibadah haji.

Saat Hajar tahu bahwa ia ditinggalkan oleh Ibrahim as bersama putranya karena perintah Allah Swt, maka ia pun ikhlas menjalaninya. Ia ikhlas karena mengetahui bahwa Allah Swt senantiasa menginginkan kebaikan hamba-nya. Ia ikhlas karena yakin bahwa hal itu demi kemaslahatan pertumbuhan dan perkembangan putranya. Karena keikhlasan itu pula Nabi Ibrahim as percaya bahwa Hajar mampu mendidik putranya.

Inilah, salah satu pola didik yang harus diteladani oleh orangtua sekarang ini. Sebelum mereka mendidik anaknya, maka terlebih dahulu antara ayah dan ibu harus menyatukan visi dan misinya. Mau dibawa kemana anak-anak? Mau didik seperti apakah anak-anak? Visi dan misi sebagai orang Mukmin tentunya harus visi dan misi dunia-akhirat, bukan hanya orentasinya dunia saja, atau pun akhirat saja.

Andaikan pun jika karena tuntutan kerja, yang lebih banyak terjun langsung mendidik anak ialah ibunya, namun tetap saja dengan keterbatasan waktu dan kesempatan yang dimiliki oleh seorang ayah, ia harus tetap menjalakan perannya sebagai ayah meski dengan jarak jauh. Menyamakan presepsi dan pandangan, ialah hal-hal yang harus didiskusikan oleh ayah dan ibu terkait dengan pendidikan anak. Si ibu dapat menjelaskan kepada anak-anaknya tentang ketidakhadiran ayahnya, sehingga anak-anak tetap merasakan kehadiran, cinta dan kasih sayang ayah mereka.

Meski secara fisik Nabi Ibrahim as tidak berada di samping putranya, namun Hajar mampu menjelaskan dan menggantikan peran ayah dengan baik. Hal itu terjadi karena pandangan, presepsinya yang sama dengan suaminya. ‘Satu kata’ antara ayah dan ibu dalam mendidik anak itu sangat penting untuk membentuk karakter anak yang teguh pendirian dan berprinsip. Sebaliknya, perbedaan visi-misi ayah dan ibu, akan membentuk anak yang berkarakter labil, dan mudah terpengaruh.

Hajar memahami tugas suaminya, karena itu ia menjalankan perannya dengan baik. Mampu mengisi kekosongan serta ketidakhadiran secara fisik peran seorang ayah dengan baik. Hajar adalah contoh wanita tangguh dan hebat yang mampu menjalankan tugasnya sebagai istri dan ibu dengan baik. Mampu menghantarkan putranya demi meraih cita-citanya. Mampu melahirkan dan membentuk generasi yang brilian.


Demokratis dan Menyenangkan

Sebagian orang mengartikan bahwa peran ayah identik dengan ketegasan, dan tak ada kompromi. Aturan dan perintahnya harus dijalankan oleh semua anggota rumah, dan menganggap kewibawaan seorang ayah ialah dalam hal-hal tersebut.

Namun, bila kita menelaah kehidupan Nabi Ibrahim as, maka beliau jauh dari sikap tersebut. Beliau sosok pendidik yang menyenangkan dan demokratis. Beliau mengedepankan pendekatan dialog dan musywarah. Hal itu terlihat saat beliau memceritakan mimipinya kepada Ismail as, putranya agar menyembelihnya. Beliau tidak bersikap otoriter terhadap putranya.

Allah Swt telah menjelaskan sikap demokratis Nabi Ibrahim as tersebut dalam al-Quran, “Wahai anakku! sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlanlah, bagaimana pendapatmu! Ia (Ismail as) menjawab, “Wahai Ayahku, lakukanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar. Maka ketika keduanya berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabarannya).” [QS as-Shafat: 102-103]

Sikap demokratis memberikan dampak positif pada anak, di antaranya menumbuhkan rasa percaya diri dan merasa dihargai. Seorang ayah yang bijak ialah ayah yang tidak memaksakan kehendaknya kepada anak-anak. Anak-anak dilibatkan dalam menentukan sekolah, cita-cita, masalah, dan keputusan-keputusan penting lainnya yang berkaitan dengan anak. Tidak sedikit anak-anak yang mengambil jurusan karena paksaan orangtuanya, akhirnya gagal. Bunda Rani Razak, seorang ahli parenting berkaitan dengan sikap demokrasi itu telah menyebutkan tiga langkah; Pikir, Pilih, dan Putuskan.
– pertama, ajaklah anak untuk memikirkan berbagai alternatif solusi yang bisa diambil (Pikir).
– Kedua, berdiskusilah dengan anak, beri kebebasan padanya untuk memilih solusi yang paling tepan (Pilih).
– Ketiga, biarkan anak yang ambil keputusan (Putuskan).

Semoga kita dapat meneladani pola didik Nabi Ibrahim as, agar mampu menghasilkan generasi yang saleh, mandiri dan cerdas.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: