Pengantar
Sebelum menulis artikel ini, saya dihubungi panitia akan diwawancarai seputar sosok yang bernama sangat popular, Alamah Murthada Muthahhari, sungguh merupakan kehormatan untuk turut serta berkontribusi pada penulisan ulama besar abad 20 yang telah meninggalkan kita. Keulamaan dan intelektualitasnya tidak diragukan dikalangan dunia Islam maupun dunia Barat, bahkan Barat pun mengakuinya sebagai salah satu ilmuwa besar abad ke-20 dengan berbagai kritik yang dilontarkannya. Saya selama berhari-hari sampai satu bulan bahkan sampai hari-hari ahir memilih tema, ketika tulisan ini hendak saya buat termenung hal apakah yang harus ditulis tentang ulama, intelektual, pejuang revolusi Islam Iran, pencetus ideology perjuangan Iran, filosof serta pengkritik epistemology Barat yang dikatakan “tersesat” dalam hal logika oleh Barat. Untuk sekian lamanya, akhirnya saya memilih topic atau tema yang cocok untuk ditulis sesuai dengan bidang “keilmuan” yang saya miliki yakni dalam bidang social humaniora (sosiologi), khususnya bidang sosiologi politik dan sosiologi agama. Hal ini pun masih memberikan pertanyaan, akapah yang saya tulis cukup mewakili pandangan ulama besar asal Iran yang demikian kesohor tersebut? Tetapi dengan segala kerendahan hati saya berharap tulisan ini dapat turut serta berkontribusi dalam kajian tentang Alamah Murtadha Muthahhari, bukan menguraikan pemikiran yang luas, apalagi mewakili keahliannya.
Oleh sebab demikian itu beban yang ada pada saya, maka saya memutuskan bahwa Murthadha Mutahhari menurut saya sebagia seorang ulama, dan juga sekaligus intelektual agung, tentu saja pemikiran yang dituangkan dapat kita saksikan dalam karya yang ditulisnya. Perhatikan nanti betapa luasnya cakupan pemikiran Murthada Mutahhari dalam dunia keilmuan Islam, dari filsafat, tauhid, sampai sejarah dan social. Disebabkan demikian luas pemikirannya, maka tulisan ini hanya akan membahas sekitar pemikiran kritik Murtahda Muthahhari terhadap epistemology (logika) materialism Barat yang sangat materialistic sebagai sebuah kritik terhadap materialism historis. Bahkan lebih khusus lagi, tema yang hendak saya bahas di dalam karangan ini hanyalah seputar pemikiran Alamah Murthadha Mutahhari tentang Masyarakat dan Sejarah yang di dalamnya terdapat kritik keras terhadap logika Materialisme Historis model Barat yang dikatakan Muthahhari sebagai sebuah “gagasan menyesatkan”. Apakah tulisan ini mewakili ataukah mengggambarkan kekhasan pemikiran Alamah Murthadha Muthahhari atau sangat ringkas, bahkan simplistic, saya akan serahkan kepada para pembaca yang budiman.
Untuk tujuan itu, saya akan menyajikan beberapa topik/pokok pembicaraan sebagai berikut : Pertama, sekalipun secara singkat saya masih merasa perlu untuk mengetengahkan informasi biografis Muthahhari, yang telah tersebar diberbagai kajian tentang Murthadha Muthahhari, karenanya sebagai sekedar upaya untuk memberikan konteks historis pada pemikiran filosofinya sekaligus mengingatnya kembali; Kedua karena karangan ini berkaitan dengan renungan-renungan filosofis tentang masyarakat, maka barangkali perlu didiskusikan tentang peranan filsafat sejarah dalam Islam dalam pandangan Muthahhari, khususnya sebagai alat yang efektif untuk mengkounter tantangan-tantangan ilmiah dan filosofis yang datang dari pemikiran-pemikiran kontemporer Barat tentang materiliasme historis; Ketiga akan disajikan pandangannya Muthahhari tentang sifat masyarakat beserta hukum-hukum yang mengitarinya; Keempat, akan disajikan pandangan Muthahhari tentang manusia, terutama karakteristik manusia yang istimewa yakni sebagai pembentuk sejarah perubahan social dan peranan-peranan yang dilakukan sebagai kritik atas materialism historisnya Barat, dan terakhir adalah bagian yang mungkin dapat dikatakan sebagai kesimpulan pokok dan saran-saran yang perlu untuk ditindaklanjuti.
Mengenal Murthada Mutahhari
Untuk bagian ini, penulis berterima kasih kepada banyak pihak yang telah menulis tentang biografi Murthadha Mutahhari, sehingga memudahkan untuk mengelaborasi sosok ulama dan cendekiawan Murthadha Muthahhari. Termasuk Prof. Mulyadi Kartanegara, yang banyak menuolis tentang ulama ini, penulis memberikan hormat yang tidak terhingga atas bahan-bahan yang dapat diaksesnya untuk kepentingan public. Selain Prof. Mulyadi, ustadz Andi Mohammad Sofwan beserta kawan-kawan di yayasan Raushan Fikr juga penulis sampaikan terima kasih atas diskusi yang pernah penulis ikuti sehingga memberikan tambahan bahan tentang sosok yang sedang saya kerjakan. Mohammad Supraja, sosiolog UGM, yang telah memprovokasi penulis tentang pentingnya mempelajari dan menulis tentang cendekiawan muslim asal Iran dan belajar air kehidupan dan mata air kecemerlangan dari Iran, selain dari Eropa dan Amerika, sehingga meyakinkan penulis untuk melihat karya cendekiawan Iran yang ternayata tidak kalah hebat dengan cendekiawan negara lain. Untuk semua diskusi, provokasi serta bahan yang dapat diakses penulis hanya dapat berterima kasih dan berharap ditambahkan manfaat atas semua yang telah mereka berikan pada public.
Murtadha Muthahhari lahir di Faryan, sebuah kota kira-kira 120 KM dari Masyhad, ibukota propinsi Khurasan, pada tanggal 2 Februari 1920. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Muthahhari pindak ke Masyhad, yang merupakan pusat belajar dan ziarah yang bergengsi, untuk meneruskan pendidikannya dengan guru-guru yang otoritatif dibidangnya. Pada tahun 1936 ia meninggalkan Masyhad untuk pergi ke Qum. Adapun faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk pergi ke Qum meninggalkan Masyhad adalah wafatmya Mirza Mehdi Shahidi Ravazi, seorang guru yang terkenal dalam bidang filsafat Islam. Hal itu karena Muthahhari memang telah meperlihatkan bakat dalam kajian filsafatnya yang menonjol. Pada tahun 1937 Muthahhari baru betul-betul menetap dan tinggal di Qum dimana studi tentang filsafat, sekalipun tidak betul-betul diizinkan, tetapi paling tidak relatif lebih dimungkinkan untuk dipelajarinya secara mendalam.
Pada musim panas 1941, Muthahhari meninggalkan Qum yang panas untuk pergi ke Isfahan di mana ia mempelajari Nahj al-Balaghah dengan Hajj Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, sorang guru yang punya otoritas dari naskah Syi’ah yang sangat terkenal ini. Di Isfahan itu juga untuk belajar ushul fiqh dengan Ayatullah Borujerdi yang pindah ke Qum tahun itu. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1945, Muthahhari mulai membaca sebuah naskah filosofis yang sangat penting bagi perkembangan keilmuan filsafat Muthahhari, yaitu Manzumah karangan Hajj Mulla Hadi Sabzawardi, dengan Ayatullah Khomeini.
Pada tahun 1946, ketika ia mulai mempelajari Kifayah al-Usul, sebuah kitab hikum, dari Akhund Khorasani dengan Ayatullah Khomeini, ia memulai komitmen seumur hidupnya untuk mempelajari Marxisme untuk kemudian dibantahnya. Tetapi menurut Hamid Dabashi, sumber-sumber yang dipakai Muthahhari untuk mempelajari Marxisme ini adalah sekunder, yaitu sumber-sumber yang bisa ia dapatkan dalam bahasa Persia, baik pamplet-pamplet oleh kaum Maxis yang tergabung dalam partai Tudeh, atau terjemahan karya Marx ke dalam bahasa Persia atau sumber Arab berbahasa Arab. Namun demikian tidak berarti mengurangi daya Tarik Muthahhari untuk terus mempelajarinya sampai mendalam dan mengusai apa yang dikenal waktu itu dengan Marxisme, dari banyak buku dan karangan-karangan ulama, cendekiawan yang ada di Iran.
Pada tahun 1949 Muthahhari memulai studinya terhadap al-Asfar al-Arba’ah karangan filosof Syi’ah abad ke enam belas/tujuh belas dengan Ayatullah Khomeini. Teman sekelasnya antara lain Ayatullah Muntazhari, Hajj Aqa Reza Sadr, dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri. Pada tahun 1950 Muthahhari konsentrasi lebih keras lagi pada studi filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia dari karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai mengikuti diskusi kamis Allamah Tabataba’i tentang “filsafat materealis.” Diskusi ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushul-e Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik). Muthahhari kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang luas (lebih besar dari naskah aslinya sendiri) dan secara bertahap menerbitkannya (1953-1985). Disamping itu pada waktu ini ia mempelajari filosof dan ahli ilmu kedokteran Ibn Sina dengan Allamah Tabtaba’I yang dikenal sebagai seorang ulama Syiah paling tersohor waktu itu. Diantara teman kelasnya yang belajar dengan Alamah At-Thabathaba’I adalah Muntazeri dan Behesti
Pada tahun 1954 ia mulai mengajar di Tehran University, di Fakultas Teologi. Tetapi menjelang awal tahun 60-an dia terlibat secara aktif dalam organisasi masyarakat Religius Bulanan (Anjoman-e ye dini), dan menerbitkan majalah bulanan Goftar-e Mah. Dari sana membuat Muthahhari dicekal sebentar selama pemberontakan Ayatullah Khomeini pada bulan Juni 1963, dan majalah bulanan (The Mounthy Discdurse) dilarang. Pada tahun 1964 promosi Muthahhari di Tehran University ditolak oleh dewan senat university dan juga pemerintah otoriter waktu itu. Pada tahun 1965 ia turut berjasa dalam mendirikan Hosseiniyyeh Ershad, yaitu sebuah organisasi religius yang didirikan secara pribadi (swasta yang diabdikan untuk kepentingan Syi’ah) sehingga pemikirannya dan pengabdiannya tidak terkurangkan sedikitpun pada masyarakat luas baik di Teheran dan Iran pada umumnya.
Antara bulan Juni 1963 dan bangkitnya gerakan revolusi pada tahun 1977-1979, Muthahhari terus mengadakan kontak dengan Ayatullah Khomeini, dan bahkan dalam kenyataannya ia menjadi satu-satunya wakil di Iran yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat karena pengasingan Ayatullah. Pada waktu yang bersamaan ia terus memberi kuliah dan menulis tentang berbagai isu-isu keagamaan dan sosial. Tetapi pada 1 Mei 1979 Muthahhari terbunuh hanya beberapa saat setelah kemenangan revolusi Islam Iran.
Murtahada Mutahhari : Karya Intelektual dan Politik
Sebagai seorang ulama, intelektual sekaligus politisi, Murtadah Mutahhari memperoleh posisi yang terhormat dikalangan cendekiawan muslim Iran ketika hendak melakukan “kudeta” atas rezim otoriter Reza Pahlevi. Murtadha Muthhari mendapatkan tugas mulia dari Imam Khomaini untuk turut terlibat dalam “Dewan Revolusi” sehingga ketika itu tak lepas pula dari penangkapan oleh rezim otoriter. Sosok Murtadha Mutahhari memiliki peran sentral dan sangat dihormati dikalangan intelektual, pejuang serta ulama di kalangan Syiah Iran bukan karena kedudukan pemegang kekuasaan resmi pemerintahan, namun karena posisi sebagai “ulama, cendekiawan, filosof, ideolog dan kritikus” itulah yang mengharuskan orang Iran menghormatinya.
Menjelang kemenangan Revolusi Islam Iran, Muthahhari mendapat tugas mulia dari Imam Khomeini. Beliau ditugaskan untuk mengorganisir masyarakat ‘Ulama Mujahidin’ dan memimpin ‘Dewan Revolusi’. Setelah Revolusi Islam di Iran berhasil menggulingkan pemerintahan Pahlevi, Muthahhari tetap menjadi pembantu setia Imam Khomeini. Muthahhari pun terus memberikan dedikasinya kepada masyarakat dan negaranya. Untuk itulah beliau tetap memimpin ‘Dewan Revolusi’.
Sebagai seorang politisi, tentu Muthahhari memiliki lawan politik. Sikap tegasnya dalam memperjuangkan Revolusi Islam dengan berbagai manuver politik, membuat lawannya gerah. Kelompok Furqan yang tidak menyukai Muthahhari, melakukan upaya pembunuhan terhadap dirinya. Rencana pembunuhan itu berhasil dilaksanakan pada hari selasa malam tanggal 1 Mei 1979, dan Muthahhari pun ditembak mati oleh kelompok tersebut. Peristiwa penembakan itu dilakukan pada saat Muthahhari ingin pulang ke rumahnya, setelah selesai mengadakan rapat di rumah Yadullah Shahabi, salah satu anggota Dewan Revolusi. Pada saat itu beliau berjalan sendirian menuju ke tempat parkir mobilnya. Belum sampai ke mobilnya, beliau mendengar suara asing memanggilnya. Ketika beliau melirik ke arah suara tersebut, seketika sebuah peluru menembus kepalanya, masuk di bawah cuping telinga kanan dan keluar di atas alis mata kiri. Beliau memang sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun beliau telah syahid dalam perjalanan.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar