Tak pernah terbayangkan oleh Mugiyanto. Pilihan menghuni Rumah Susun Klender, Jakarta Timur, ternyata mengantarkannya pada pengalaman paling menakutkan dalam hidupnya. Sebuah kehidupan mendekati kematian.
Delapan belas tahun silam, 13 Maret 1998, sebelum pulang ke Rusun Klender, Mugiyanto menghubungi kawan satu kontrakannya melalui telepon umum di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Nezar Patria menerima telepon itu. Mugi, sapaan Mugiyanto, lantas menitip pesan. “Nez, enggak usah beli makan, aku bawa HokBen dari teman Australia.”
Malam itu Mugi baru selesai mengikuti pertemuan dengan organisasi solidaritas untuk Timor Leste dari Australia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Mugi saat itu diberi tanggung jawab oleh organisasinya, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), untuk mengurus bidang hubungan internasional.
Dalam pertemuan di Menteng itu, Mugi ikut mengampanyekan demokratisasi di Indonesia. Dia juga menggalang dukungan atas upaya pembebasan sejumlah kawannya seperti Budiman Sudjatmiko dan Dita Indah Sari yang jadi tahanan politik Orde Baru pascaperistiwa Kerusuhan Dua Tujuh Juli 1996 (Kudatuli) pecah di markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, di mana kantor yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri itu diserbu.
Kembali ke 13 Maret 1998, Mugi pulang ke Rusun Klender menumpang angkutan umum. Setibanya di rusun, dia segera naik ke lantai dua, tempat tinggalnya. Ibu-ibu mengobrol sambil duduk-duduk di tangga. Mereka menatap Mugi, kemudian bubar satu per satu.
Mugi mengetuk pintu, mengira Nezar dan Aan Rusdianto berada di dalam. Mereka semua aktivis SMID, organisasi afiliasi Partai Rakyat Demokratik yang dituding sebagai dalang peristiwa Kudatuli.
Ketukan Mugi tak mendapat jawaban. Dia ketuk lagi beberapa kali, pintu tak juga dibuka. Tetangga sebelahnya justru yang keluar. “Temannya sedang keluar, Mas. Sebentar lagi katanya akan balik,” kata perempuan itu kepada Mugi.
Beruntung Mugi membawa kunci cadangan di saku. Ia masuk, dan melihat ruangan berantakan. Laptop sudah tidak ada. Buku-buku dan barang cetakan lain yang biasa berserakan di lantai, raib. Mugi melihat gagang telepon pun tak diletakkan semestinya. Sementara di dapur, ada jeruk dalam plastik dan air di gelas yang masih hangat.
Tak ada perasaan curiga. Mugi mengira Nezar dan Aan pergi ke wartel. Mereka biasa mengakses internet melalui sambungan telepon sebagai modem. Itu cara Mugi dan kawan-kawan berkomunikasi jarak jauh. Internet kala itu belum seluas saat ini.
“Nez, pulang! Aku sudah bawa makanan,” kata Mugi dalam pesan singkat yang dikirim melalui pager. Nezar tak kunjung membalas pesannya.
“Nezar, kamu di mana? Segera pulang!” kirimnya lagi. Tetap tak ada balasan. Mugi mulai merasa ada yang tidak beres.
“Saya mulai panik. Saya ada security instinct karena kami sedang dicari,” katanya. Mugi dan kawan-kawannya memang diburu aparat.
Semula Mugi mengira rusun di Klender itu termasuk tempat yang aman untuk bersembunyi. “Tapi rupanya kerja intelijen luar biasa. Kami ketahuan di situ,” ujar Mugi saat ditemui CNNIndonesia.com di Cikini, Jakarta Pusat, pekan lalu.
Di tengah rasa panik, Mugi mengintip keluar jendela. Beberapa orang bertubuh tegap tampak berjaga di bawah rusun. Dia langsung menyimpan semua dokumen, paspor, dan buku harian dalam tas kecil.
Mugi berniat melarikan diri. Dia ke dapur, berusaha kabur dengan cara melompat. Namun pikirnya kemudian, tak bisa lewat situ. Mugi kembali ke ruang depan, mencari jalan keluar.
Lima menit mondar-mandir dalam ruangan, Mugi kebingungan. Dia kembali menengok ke luar jendela, ternyata sudah banyak orang bertubuh kekar. Rusun telah dikepung. Mugi lemas. Dia merasa tak ada jalan keluar.
"Mereka melihat saya. Saya lemas. 'Mati aku,'" bisiknya.
Di balik pintu, Mugi mematikan lampu. Dia duduk di lantai, bersandar ke tembok sambil menundukkan kepala.
“Saya pikir, kalau mati, apapun yang terjadi, ya sudah,” ujar Mugi pasrah.
Lampu ia nyalakan kembali. Tak lama kemudian pintu digedor.
“Buka pintu! Buka pintu!” teriak orang dari luar.
Tak ada pilihan lain, Mugi membuka pintu. Sekitar 10 orang masuk ke kontrakan. Dua orang berseragam loreng, sisanya berpakaian sipil. Mereka langsung menangkap Mugi sementara sebagian lainnya mencari sesuatu di dalam kamar.
Seorang lelaki berkopiah meminta Mugi tenang. “Enggak apa-apa, Mas. Tenang saja ikuti Bapak-bapak ini.”
Mugi menyangka orang itu Ketua Rukun Tetangga setempat. Namun Mugi tak mengenalnya karena baru seminggu menempati rusun itu.
Di tengah penyergapan terhadap Mugi, tiba-tiba telepon kontrakan berdering. Di sana Mugi dan kawan-kawan memang memasang telepon tanpa kabel, Ratelindo. Mugi enggan menerima panggilan tersebut karena faktor keamanan. Namun orang-orang yang mengepungnya memaksa dia mengangkat telepon.
Telepon pun diangkat, ternyata dari seorang kawan. Mugi langsung menangis saat berbicara, berharap penelepon paham ada sesuatu yang tak beres. Komunikasi langsung terputus.
Malam itu sekitar pukul 20.00, Mugi pun diseret keluar tanpa basa-basi. Dia tak sempat memerhatikan mobil yang mengangkutnya. Pikirannya kacau bukan main.
“Di kepala saya cuma kematian,” kata Mugi, mengenang.
Dalam kendaraan, Mugi duduk di pinggir, dekat pintu mobil. Di tengah perjalanan, dia sempat berpikir untuk membuka pintu dan melompat dari mobil. Namun niat itu ia urungkan.
“Enggak lompat, mati. Kalau lompat, mati. Ya sudah saya pasrah, ikuti saja. Apapun yang terjadi, terjadilah,” kata Mugi.
Perebutan tawanan
Kendaraan berhenti di kantor Komando Rayon Militer Duren Sawit. Di tempat itu, Mugi diinterogasi tentara. Saat pemeriksaan berlangsung, datang seorang anak muda yang baru ditangkap. Dia duduk di sebelah kanan Mugi dan langsung diinterogasi.
Pemuda itu bernama Jaka, mengaku tinggal di Cipinang, tak jauh dari kontrakan Mugi. Jaka marah kepada petugas karena tiba-tiba ditangkap. Dia mengaku tak tahu apa-apa.
Jaka berkata, “Saya harus dilepaskan. Kalau tidak, saya akan lapor ke keluarga saya pimpinan ABRI.” Jaka langsung ditendang.
Mugi saat itu berpikir, Jaka korban salah tangkap. Wajahnya mirip Petrus Bima Anugerah, kawan Mugi yang hilang. Jaka dan Mugi kemudian dibawa ke kantor Komando Distrik Militer Jakarta Timur.
Jaka menggandeng Mugi sambil berkata, “Mugi, kamu aman, kita selamat. Kita pulang ke rumah saya.” Keduanya diangkut mobil Polisi Militer. Di Kodim, Jaka menghilang.
Mugi baru tahu setelah bebas, Jaka yang dia temui di Koramil ternyata anggota Tim Mawar Kopassus, Kapten Inf Jaka Budi Utama. Karier Jaka, setelah diadili di pengadilan militer, berlanjut. Jaka, menurut Mugi, bahkan mendapat promosi kenaikan pangkat.
“Analisis saya, Jaka ini tampaknya orang Kopassus (Komando Pasukan Khusus) yang menyamarkan diri. Tujuannya merebut saya dari satuan yang lain,” kata Mugi.
Saat penangkapan di rusun, ujar Mugi, memang terlihat banyak satuan yang terlibat. “Waktu itu seperti berlomba, berkompetisi mendapatkan kredit dari Soeharto, baik kubu Wiranto, Prabowo, dan lainnya.”
Di kantor Kodim, Mugi melihat dua orang perwira telah menunggu. Mereka meminta Mugi segera diturunkan. Perintah itu tak dipenuhi.
“Kamu menghormati saya, enggak? Cepat turunkan mereka!” kata perwira itu dengan nada tinggi. Ternyata di sana terjadi perebutan tawanan.
Mugi tak bisa mengindentifikasi mereka. Selain karena gelap, kematian selalu membayanginya. “Kalau ditangkap pada masa itu malam-malam, bayangan saya, sudah pasti saya dibunuh.”
Mata Mugi ditutup kain, bajunya dilucuti. Dia diantar lagi ke tempat lain. Perjalanan ditempuh selama satu jam. Begitu berhenti, Mugi tak mengenali tempat asing itu. Dia langsung diinterogasi di ruangan yang sangat dingin. Tangan dan kakinya diikat. Mata ditutup. Mugi hanya mengenakan celana dalam.
Belakangan berdasarkan penyelidikan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Pusat Polisi Militer (Puspom), tempat itu diketahui sebagai markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur.
“Mereka yang melakukan penculikan,” kata Mugi.
Hidup di tangan interogator
Wung… wung… wung... Bunyi sirene meneror Mugi. Pertanda interogasi disertai penyiksaan akan dimulai. “Setiap mau disiksa, sirene selalu dibunyikan. Kalau sirene sudah dibunyikan, kami semua menjerit.”
Mugi ditanya seputar aktivitas dan organisasinya, alasan tuntutan turunkan Soeharto, pencabutan Dwifungsi ABRI, sistem multipartai, dan sebagainya. Dia juga ditanya hubungan kelompoknya dengan Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, dan tokoh lain. Interogator juga menanyakan bagaimana cara mengatasi krisis.
“Begitu mereka enggak suka dengan jawaban saya, saya langsung dihajar, disiksa, setelah sebelumnya mendapat pukulan,” kata pemuda 25 tahun itu.
Mugi mendengar suara seperti cambuk. Ctar… ctar… ctar… Bunyi itu ternyata berasal dari alat setrum yang dipakai untuk menyiksanya. Mugi kerap disetrum di bagian kaki. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan 1992 itu menjawab pertanyaan sebisanya.
Interogator juga menanyakan sejumlah kawan Mugi yang masih dalam pencarian seperti Ketua SMID Andi Arief dan penyair Wiji Thukul. Meski tahu di mana Andi Arief, Mugi tak memberi pentunjuk. Baginya, yang paling berat adalah melindungi kawan yang masih bebas.
“Batas antara mengompromikan ketahanan saya menghadapi rasa sakit dengan tujuan saya melindungi kawan supaya tidak ditangkap seperti saya, itu paling berat,” kata Mugi.
Para penyekap tak percaya begitu saja kepada Mugi. Siksaan dan ancaman kian digencarkan. Mereka bisa melakukan apa saja, termasuk membunuh Mugi kapanpun.
“Mereka sangat powerful. Hidup saya di tangan mereka,” kata Mugi.
“Mugi, kamu enggak bisa bohong. Hidupmu ada di tangan kami. Kami bisa bunuh kamu sekarang juga,” kata pria misterius itu. Mugi tak mengenali orang-orang yang menginterogasi dia karena matanya selalu ditutup.
Di sela penyiksaan, Mugi mendengar ada dua orang yang juga disiksa. Jaraknya sekitar lima meter di kanan dan kirinya. Orang itu menjerit-jerit kesakitan. Suaranya tak asing. Mugi sadar itu jeritan Nezar dan Aan. Sebelum Mugi ditangkap, Nezar dan Aan rupanya telah dijemput paksa lebih dulu.
Baca juga:Lepas 18 Tahun dari Penculikan, Nezar Masih Digayuti Tanya
Yang menyakitkan lagi, kata Mugi, ialah ketika mendengar kawannya disiksa. “Saya merasa paling sakit ketika Nezar teriak-teriak, ‘Aduh.. aduh...’”
Meski tak melihat langsung, jeritan dan suara penyiksaan terhadap kawannya amat mengiris hati Mugi.
“Saya juga disetrum, dihajar. Muka saya hancur, bibir dan mulut saya enggak bisa makan,” kata Mugi sembari menunjukkan bekas luka di pergelangan tangannya akibat penyiksaan 18 tahun lalu itu.
Selama dua hari dua malam, Mugi-Nezar-Aan berada di ruangan yang sama, disekap, diinterogasi, dan disiksa. Setelah itu, mereka dibawa ke kantor Kodam Jaya, Cawang. Dari sana, mereka diantar ke Polda Metro Jaya, 15 Maret 1998. Mereka bertiga dijerat Undang-Undang Anti Subversi.
Penutup mata Mugi, Nezar, dan Aan mulai dibuka. Mereka disuruh pakai baju kemudian masuk ke sel isolasi. Satu sel diisi satu orang. Padahal ukuran sel itu cukup besar. Ketiganya dilarang berkomunikasi. Mugi di sel nomor 11, Nezar mengisi sel nomor 9, sedangkan Aan di sel nomor 6.
Menangis di hadapan ayah
Pukul 09.00 pagi di akhir Maret 1998, Mugi menerima kunjungan. Seorang petugas menghampirinya. “Mugi, ada yang besuk kamu, temui saja.”
Mugi penasaran, siapa orang yang berani membesuknya. Selama dua minggu ditahan, tak pernah ada yang mengunjunginya, termasuk kawan sendiri.
Mugi keluar sel, membuka pintu, dan berjalan menuju lorong. Di koridor panjang, Mugi melihat pria tua di kejauhan. Ternyata pria itu bapaknya yang datang dari Jepara, Jawa Tengah. Dia datang bersama sang kakak. Mugi langsung menangis.
Dia dan ayahnya diberi kesempatan bertemu selama 30 menit. “Saya enggak bisa ngomong sama sekali, sepatah kata pun. Saya hanya bisa menangis,” kata Mugi. Pertemuan itu begitu emosional bagi Mugi.
Mugi tak henti menangis karena merasa bersalah. “Bukan merasa bersalah karena melawan Orde Baru, tapi karena gara-gara saya, bapak jadi repot,” kata Mugi.
Mereka duduk di ruang petemuan. Namun hanya sang bapak yang berbicara. “Sudah, tidak apa-apa, dihadapi saja. Jangan khawatir, ibumu baik-baik saja. Kamu berdoa saja,” kata ayah Mugi dalam Bahasa Jawa.
Mugi tetap tak sanggup berbicara. Dia terus menangis
Selama sebulan pertama dalam tahanan, Mugi tak melakukan apapun di sel isolasi. Beberapa kali dia dibon atau dipinjam oleh kesatuan lain.
“Menakutkan sekali yang namanya dibon itu,” katanya. Namun pemeriksaan tak disertai penyiksaan seperti sebelumnya.
Mugi masih trauma. Orang-orang yang menculiknya bisa kapanpun mengambilnya lagi. Mugi ketakutan setiap malam dan sulit tidur. “Bayangan saya, ada orang yang tiba-tiba datang, membawa saya, membunuh saya.”
Bulan April, gelombang demonstrasi mulai muncul. Sebelah kanan sel Mugi kedatangan seratus orang pendukung Megawati. Mereka ditahan karena terlibat aksi menuntut penurunan harga. Ratusan orang tahanan itu relatif leluasa keluar-masuk sel. Salah satu yang ditahan adalah Guan Li, kawan Mugi.
Suplai koran lantas mengalir dari kawannya. Dari situ Mugi memperoleh berita tentang situasi di luar. “Kami senang sekali karena demonstrasi di kota-kota besar sudah mulai terjadi,” kata dia.
Baca juga:18 Mei, Mahasiswa Duduki Parlemen di Bawah Kokangan Senjata
Saat itu Nezar mulai membesarkan hati kawan-kawannya. Mugi yang masih trauma, perlahan bangkit. Setiap pagi mereka saling berteriak.
“Mugi, Aan, apa kabar?” teriak Nezar dari dalam selnya.
“Baik, Nez,” sahut Mugi.
“Jangan khawatir, sebentar lagi kita bebas,” kata Nezar.
“Kenapa, Nez?” tanya Mugi.
“Ini mahasiswa sudah mulai demonstrasi di seluruh kota,” pekik Nezar.
Sahut-menyahut itu ternyata mampu membangkitkan semangat Mugi. Sebelumnya Mugi selalu dibayangi ketakutan dan beban hukuman yang bakal ia terima.
“Ketakutan itu terobati ketika membaca koran. Mahasiswa demonstrasi di mana-mana,” ujar Mugi.
Memasuki Mei, keadaan di luar kian mencekam. Kerusuhan, penjarahan, dan pemerkosaan marak terjadi menyusul penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti. Semua informasi itu didengar Mugi dari televisi.
Baca juga:Trisakti, Korban Tragedi Mei 1998 yang Bergerak Belakangan
Teriakan para demonstran terdengar dari balik penjara. Sejak ratusan orang dijebloskan ke dalam sel, Mugi tak lagi diisolasi. Dia dicampur dengan tahanan politik dan kriminal.
“Selama di sel, para kriminal respek ke kami, nyaman,” kata Mugi.
Pada 21 Mei, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden RI. Kabar itu terdengar sampai ke dalam penjara. Mugi dan kawan-kawannya meluapkan kegembiraan. Mereka berteriak-teriak, bernyanyi lagu-lagu pergerakan.
“Keyakinan kami terbukti, pada akhirnya Soeharto tumbang,” kata dia.
Petugas polisi mendatangi Mugi. Ia diberi selamat. Menu makanan yang diberikan berubah istimewa. Biasanya makan di piring kecil berisi nasi berkuah kangkung dan berlauk tempe goreng, sejak Soeharto lengser diganti menjadi nasi Padang.
“Nanti kalau jadi pejabat, jangan lupa kami ya,” ujar Mugi menirukan ucapan sipir.
Ketika Habibie menjabat sebagai Presiden, UU Anti Subversi dicabut. Pengacara Mugi dan kawan-kawan mengupayakan pembebasan. Pada 6 Juni 1998, Mugi dibebaskan. Delapan kawannya yang lain juga dibebaskan. Namun 13 orang masih hilang hingga kini.
Di luar penjara
Begitu keluar penjara, Mugi menginap di rumah aktivis HAM Munir. Mugi masih trauma. Semua orang seperti mengawasinya. Mugi lantas pulang kampung untuk melepas trauma.
Dua bulan kemudian, Mugi kembali ke KontraS dan diminta melakukan kampanye internasional ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Melaporkan kasus orang hilang ke PBB, karena kasus penghilangan orang secara paksa masuk dalam pelanggaran berat HAM.”
Dua tahun berikutnya, Mugi terjun ke dunia pers. Dia menjadi koresponden stasiun televisi Belanda, NOS, dan kerap meliput persoalan politik. Beberapa tokoh politik dia wawancarai.
“Stres saya melihat politisi-politisi ini. Bajingan semua. Jadi makan hati,” kata Mugi.
Selain meliput bidang politik, Mugi memberitakan masalah hak asasi. Dia menemui orang-orang yang pernah berjuang dengannya seperi Munir, Sipon istri Wiji Thukul, dan Dionysius Utomo Rahardjo –ayah Petrus Bima yang masih hilang.
“Itu bikin saya stres juga,” kata Mugi.
Di sisi lain, KontraS memiliki segudang pekerjaan. Kasus-kasus orang hilang terbengkalai karena mereka kerepotan. Mugi merasa iba dengan perjuangan keluarga korban pelanggaran HAM.
“Saya secara personal seperti memiliki tanggung jawab moral untuk bersama keluarga korban, menuntut anak mereka dikembalikan. Saya enggak bisa kalau tidak bersama mereka,” ujarnya.
Baca jugaPedih Hati Adnan Aktivis 98: Kawan Hilang, Reformasi Dibajak
Sebagai orang yang terbebas dari kasus penculikan aktivis, Mugi merasa terpanggil membantu pendampingan keluarga korban. Dia bicara dengan Kontras, berniat menghidupkan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).
IKOHI yang dideklarasikan pada 1998 tak berjalan maksimal. Mugi melakukan konsolidasi ulang. Pada kongres pertama, Oktober 2002, Mugi terpilih menjadi ketua.
Jabatan baru tersebut bukan pilihan mudah bagi Mugi. Dia rela melepas gaji yang cukup dari pekerjaannya di stasiun televisi Belanda demi berjuang dengan keluarga korban orang hilang.
“Di TV Belanda, saya punya gaji bagus, tiba-tiba saya memilih ke IKOHI. Berdebat sama istri, bagaimana nanti anak kami,” ujarnya. Kala itu Mugi harus menghidupi istri dan seorang anak.
Beruntung sang istri memahami itikad Mugi. Awalnya mereka mengalami kesulitan ekonomi. Sang istri berjualan buku ke acara-acara seminar. Mugi juga mendirikan toko buku bernama Populi Agency, menjual buku-buku bacaan alternatif.
“Istri saya yang menjual buku ke seminar-seminar, sambil gendong anak saya yang umurnya tiga bulan. Walau kami punya toko tapi penjualannya tidak bagus. Bagusnya (dijual) di tempat seminar,” kata Mugi.
Selain menjabat Ketua IKOHI, Mugi kemudian juga dipercaya menjadi Ketua AFAD, sebuah federasi organisasi keluarga orang hilang di kawasan Asia. Di federasi itu, Mugi melakukan advokasi di tingkat internasional.
Selama terlibat advokasi, Mugi menilai kasus penghilangan paksa sebagai kasus yang paling maju penyelidikannya. Sesuai UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus ini sudah disidik oleh Kejaksaan Agung untuk dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc.
DPR juga telah memberikan rekomendasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009. Tapi pembentukan Pengadilan HAM yang tinggal selangkah itu tak mendapat persetujuan dari Presiden.
Sementara kasus yang lain seperti Tragedi 1965, berhenti di Kejaksaan Agung.
“Kalau mau, Jokowi tinggal membentuk Perpres kayak zaman Gus Dur dulu bikin Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Tanjung Priok dan Timor Timur,” kata Mugi.
Namun baginya, keadilan bukan semata di pengadilan. Menurutnya, putusan pengadilan bisa juga tidak adil. Keadilan yang dicari ialah pemenuhan hak-hak korban yang meliputi pengadilan, kebenaran, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan.
Saat ini Mugi secara khusus mengadvokasi kasus penghilangan paksa dalam kebijakan pemerintah. PBB telah mengesahkan konvensi internasional antipenghilangan paksa, tapi Indonesia belum meratifikasinya. Dalam konvensi itu diatur upaya pencegahan penculikan.
Dua tahun lalu, Mugi sempat melepas jabatannya dan beristirahat untuk mengurusi anak keduanya yang baru lahir. Setahun kemudian, Mugi ditawari bekerja di International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Di tempat itu, dia mengurusi bidang HAM dan demokrasi hingga saat ini.
Aktivitas Mugi bersama keluarga orang hilang menarik perhatian anaknya, Binar Mentari Malahayati. Gadis itu bangga punya ayah pernah dipenjara.
Mugi lantas menirukan ucapan anak gadisnya itu. “Ayahku pernah dipenjara, tapi dia bukan orang jahat.”
(CNN-Indonesia/Berita-Terheboh/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar