Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » , » Kronologi Asyura

Kronologi Asyura

Written By Unknown on Rabu, 19 September 2018 | September 19, 2018


Hari Asyura, Tragedi Pembantaian Imam Husein as


Setelah menunaikan shalat Subuh bersama para sahabatnya, Imam Husein as berkata, " ... Allah telah memerintahkan pada kesyahidanku dan kesyahidan kalian. Selamat atas kalian yang memilih kesabaran."
Imam Husein as memerintahkan Zuhair bin Qain untuk memegang komando pasukan sebelah kanan, dan Habib bin Mazhahir, pasukan sebelah kiri. Sementara bendera berada di tangan saudaranya, Abbas.

Kendati pasukan musuh telah mendekati perkemahan, namun Imam Husein as belum memerintahkan untuk melemparkan anak panah. Beliau berkata, "Aku tidak ingin memulai perang dengan pasukan ini."
Umar bin Saad meletakkan anak panah di panahnya dan melontarkannya ke arah para sahabat Imam Husein seraya berkata, "Saksikanlah bahwa akulah orang pertama yang melemparkan anak panah ke arah pasukan Husein." Kemudian tindakan ini diikuti oleh para pasukan Umar bin Saad. Mereka membidik para sahabat Imam Husein as dari segala arah.

Imam Husein as berkata, "Bangkitlah wahai para sahabatku, dan bergegaslah menuju kesyahidan! Allah akan mengampuni kalian."

Pada serangan pertama, lebih dari empat puluh sahabat Imam Husein as gugur syahid. Selebihnya, secara bergilir satu persatu dari mereka maju ke medan pertempuran untuk bergegas menyambut kesyahidan. Ketika seluruh sahabat telah gugur, tibalah giliran keturunan Bani Hasyim untuk maju ke medan laga. Namun mereka pun mereguk madu kesyahidan, tanpa tersisa.

Kini Imam Husein as sendirian, tak berteman. Dengan pandangan penuh haru,beliau memandang ke arah jasad-jasad suci para sahabatnya dan memanggil mereka satu persatu, kemudian bergerak ke arah perkemahan untuk mengucapkan perpisahan terakhir. Setelah itu, beliau lantas mengeluarkan pedang dari sarungnya, berdiri berhadapan dengan musuh, dan memulai peperangan yang tak seimbang.

Musuh segera mengepungnya dari segala arah. Tiba-tiba, sebuah anak panah bercabang tiga mengenai dada sebelah kirinya, menancap tepat di jantungnya, sementara tubuh sucinya dipenuhi oleh anak-anak panah yang menancap. Imam Husein as tersungkur jatuh, gugur syahid. Ruhnya yang mulia bergabung ke alam malakut yang tinggi. Jeritan para wanita dan anak-anak, bahkan para malaikat membahana, mengharu biru dan memenuhi belantara langit.


Tragedi Petang Hari Asyura

Sore hari kesepuluh, setelah kesyahidan Imam Husein as,Umar bin Saad memerintahkan laskarnya untuk merampas, menjarah, membakar perkemahan dan menyiksa para keluarga kenabian. Dengan membabi buta mereka segera menaati perintah ini. Mereka menyerbu ke arah perkemahan Imam Husein as, menjarah peralatan, pakaian dan unta-unta, dan kadang kala tanpa malu terlihat tengah merebut dan mengambil paksa pakaian dari tangan seorang wanita Ahlul Bait as. Putri-putri Rasulullah Saw dan keluarga Imam Husein as keluar dari perkemahan, menangis dan menjerit karena kehilangan para pelindung dan orang-orang yang mereka kasihi.

Setelah itu, dengan kepala terbuka, kaki telanjang dan pakaian-pakaian yang telah terjarah, keluarga ini menjadi tawanan Umar bin Saad. Perempuan-perempuan agung ini berkata, "Lewatkanlah kami dari tempat terbunuhnya Imam Husein as."Saat pandangan mereka jatuh ke jasad para syuhada, kembali terdengar jeritan dan raungan yang membahana.

Setelah peristiwa ini, Umar bin Saad yang terlaknat, mengumumkan pada laskarnya, "Siapakah diantara kalian yang bersedia menginjak-injak punggung dan dada Husein dengan kuda?!" Sepuluh orang bangkit menyatakan kesediaannya, dan mulai mengarahkan kuda-kudanya untuk menginjak-injak tubuh mulia Imam Husein as.

Sore itu juga, Umar bin Saad memerintah pasukan Khuli bin Yazid Ashbahi dan Hamid bin Muslim Azdi untuk mengirimkan kepala mulia Imam Husein as ke Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Sementara yang lainnya mengumpulkan kepala-kepala para sahabat dan keluarga beliau yang berjumlah tujuh puluh dua kepala, kemudian mengirimkan seluruh kepala ini ke Kufah bersama Syimr bin Dzil Jausyan dan Qais bin Asy'ats. Setelah itu, mereka mulai mencaripasukannyayang terbunuh lalu menguburkannya. Namun jenazah Imam Husein dan para sahabatnya yang tak berkepala tetap dalam keadaan telanjang di sahara Karbala sampai hari kedua belas Muharam, hingga akhirnya kabilah Bani Asad menguburkan mereka atas arahan Imam Sajjad as.


Ubaidillah bin Ziyad Tewas di Tangan Pasukan Mukhtar Tsaqafi

Pada hari Asyura tahun 67 Hq, enam tahun setelah peristiwa Karbala, tepat hari dimana pasukan Yazid di bawah komando Ubaidillah bin Ziyad menciptakan tragedi kemanusiaan dan Imam Husein as bersama para sahabatnya gugur syahid.

Waktu itu pasukan Abdul Malik bin Marwan yang dipimpin oleh Ubaidillah bin Ziyad berhadap-hadapan dengan laskar Mukhtar bin Abi Ubaidah Tsaqafi yang dipimpin oleh Ibrahim bin Malik al-Asytar di tepi sungai Khadzir, yang jaraknya 4 farsakh dari kota Mosul. Dua pasukan berperang dan menyebabkan banyak yang terbunuh.

Pasukan Syam yang kehilangan 70 ribu tentara mulai terlihat tanda-tanda kekalahannya dan akhirnya menerima kekalahan. Peristiwa paling penting dari perang ini adalah tewasnya Ubaidillah bin Ziyas, Komandan Laskar Syam di tangan Ibrahim bin Malik al-Asytar. Waktu itu Ibrahim Malik al-Asytar menebaskan pedangnya sekali dengan sekuat tenaga sehingga, tubuh Ubaidillah bin Ziyad terpisah menjadi dua di bagian pinggang dan tewas seketika.

Dalam perang ini juga Syimr bin Dziljausyah tewas di tangan pasukan Ibrahim Malik al-Asytar.


Asyura, Tragedi Kemanusian yang Terlupakan


Empat belas abad yang silam menjadi saksi sejarah, sebuah tragedi kemanusiaan yang tidak saja menyedihkan tapi sekaligus memilukan. betapa tidak.
Cucu Rasulullah Imam Husein yang menjadi belaian kasih sayang Nabi SAW dibantai secara tragis di Padang Karbala.

Leher imam Husein yang sering dicium oleh kakeknya, harus dipenggal oleh pasukan bengis yang dipimpin oleh Umar bin Saad, yang kemudian dipersembahkan kepada penguasa yang zalim, Yazid bin Muawiah ketika itu. Membuka kembali lembaran sejarah peristiwa Karbala tidak hanya untuk membacanya lalu bersama-sama menguraikan air mata.

Ada pelajaran penting di sana. Sebuah misi yang membuat setiap pribadi yang ikut di dalamnya mengambil sebuah adegan yang saling mendukung melanjutkan misi Imam Husein. Beliau keluar untuk melakukan revolusi setelah melihat perilaku Yazid bin Muawiyah yang sewenang-wenang.

Tragedi Karbala adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa, dan melihat fakta bahwa keagungannya unik dan tak tertandingi, konsekuensinya juga luar biasa. Yang mendorong Imam Husain untuk bangkit memberontak adalah untuk menghentikan penyimpangan dan bid`ah yang terjadi di area politik Islam saat itu.

Penyimpangan itu adalah penentangan terhadap eksistensi sistem Islami dengan meletakkan kekuasaan di tangan orang-orang yang tidak qualified. Setelah Nabi saw wafat berbagai peristiwa berjalan sedemikian rupa sehingga akhirnya mengubah Khilafah menjadi sebuah jabatan yang didasarkan pada cinta dunia yang diwujudkan dalam cinta kekuasaan, kesewenang-wenangan, egoisme dan keserakahan.

Imam Husain berjuang melawan penyimpangan ini. Sejarah manusia menunjukkan secara jelas bahwa pemimpin zalim hanya berpikir untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun juga, termasuk dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dan menguasainya secara personal.

Di antara cara mempertahankan kekuasaan pemimpin zalim ialah dengan menyebarkan nilai-nilai kezaliman di kalangan para pejabat pemerintahannya bahkan di tengah masyarakat luas. Untuk itulah pemimpin zalim tidak akan pernah menyukai orang-orang saleh, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan, bahkan menganggapnya sebagai sumber ancaman terhadap eksistensi kekuasaannya.

Sejarah juga membuktikan bahwa Muawiyah dan anaknya Yazid, serta mayoritas para penguasa Bani Umayyah adalah jenis pemimpin yang zalim. Akibatnya dapat kita lihat dengan menyebarnya dekadensi moral di sebagian besar lapisan masyarakat, terutama di kalangan para pejabat Negara ketika itu.

Ketidakadilan, kesemena-menaan, kejahatan dan ketidakamanan menyebar ke mana-mana. Di antara yang paling parah ialah munculnya diskriminasi rasial di kalangan masyarakat muslim, dan meluasnya ideologi-ideologi sesat yang merusak akidah dan keyakinan Islam.

Semua itu benar-benar merupakan ancaman serius bagi kemurnian ajaran Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi SAW. Melihat kondisi buruk itu, yang mencapai puncaknya di zaman Yazid bin Muawiyah, maka sejumlah tokoh Kufah, Irak, yang dulu merupakan pengikut Imam Ali, menulis surat kepada Imam Husein agar datang ke Kufah untuk memimpin masyarakat Kufah memerangi Yazid.

Imam Husein yang merasa terpanggil untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memenuhi panggilan masyarakat Kufah ini dan berangkat menuju ke kota bekas pusat pemerintahan ayahanda beliau itu. Akan tetapi, pihak penguasa, yaitu Yazid yang mencium gerak-gerik penduduk Kufah ini, segera mengirim pasukan militer ke kota ini dan membasmi gerakan tersebut dengan menangkapi, memenjarakan dan membunuhi para tokohnya.

Dengan demikian, jadilah Imam Husein kehilangan pendukung besarnya. Akan tetapi, beliau tetap berniat datang ke Kufah. Yazid yang mengetahui bahwa Imam Husein tetap bergerak menuju ke Kufah, mengirim bala tentara lengkap untuk mencegah kedatangan beliau ke kota ini. Terhalang untuk masuk ke kota Kufah, akhirnya rombongan Imam Husein yang berjumlah 72 orang kemudian digiring hingga tiba di sebuah padang pasir bernama Karbala.

Ketika datang perintah dari Yazid di Syam, agar Imam Husein beserta rombongannya dibantai, maka terjadilah pertempuran yang sangat tak seimbang, 72 orang rombongan imam Husein yang terdiri dari keluarga dan sahabatnya harus bertarung melawan tentara Yazid yang berjumlah kurang lebih 20.000 pasukan, yang kemudian dikenal di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah sebagai tragedi Karbala.

Peristiwa tragis itu terjadi tepatnya 10 Muharram 61 H, dimana pasukan Yazid yang dimotori oleh Ibnu Ziyad mulai melakukan serangan pada rombongan Imam Husein yang dalam keadaan haus dan lapar. Salah seorang pasukan melancarkan anak panah pada leher anak Imam Husein yang masih bayi dan berada dalam pangkuan ibunya, sehingga mengalirlah darah dari lehernya dan meninggallah bayi yang tak berdosa itu.

Pada sore hari 10 Muharram 61 H, pasukan Imam Husein banyak yang berguguran. Sehingga Imam Husein tinggallah seorang diri dan beberapa anak-anak dan wanita. Dalam keadaan haus dan lapar di depan pasukan Ibnu Ziyad , Imam Husein berkata: “Bukalah hati nurani kalian, bukankah aku adalah putera Fatimah dan cucu Rasulullah saw.

Pandanglah aku baik-baik, bukankah baju yang aku pakai adalah baju Rasululah saw.”Tapi sayang seribu sayang karena iming-iming hadiah jabatan dan materi dari Ibnu Ziyad dan Yazid bin Muawiyah, mereka menyerang Imam Husein yang tinggal seorang diri. Serangan itu disaksikan oleh Zainab (adiknya), Syaherbanu (isterinya), Ali bin Husein (puteranya), dan rombongan yang masih hidup yang terdiri dari wanita dan anak-anak.

Pasukan Ibnu Ziyad melancarkan anak-anak panah pada tubuh Imam Husein, dan darah mengalir dari tubuhnya yang sudah lemah. Akhirnya Imam Husein terjatuh di tengah-tengah mayat para syuhada’ dari pasukannya. Melihat Imam Husein terjatuh dan tak berdaya, Syimir dari pasukan Ibnu Ziyad turun dari kudanya, menginjak-injakkan kakinya ke dada Imam Husein, lalu menduduki dadanya dan menghunus pedang, kemudian menyembelih leher Imam Husein yang dalam kehausan, sehingga terputuslah lehernya dari tubuhnya.

Menyaksikan peristiwa yang tragis ini Zainab dan isterinya serta anak-anak kecil menangis dan menjerit tragis. Tidak hanya itu kekejaman Syimir, ia melemparkan kepala Imam Husein yang berlumuran darah ke kemah Zainab. Semakin histeris tangisan Zainab dan isterinya menyaksikan kepala Imam Husein yang berlumuran darah berada di dekatnya. Zainab menangis dan menjerit, jeritannya memecah suasana duka.

Ia merintih sambil berkata: Oh… Husein, dahulu aku menyaksikan kakakku Al-Hasan meninggal diracun oleh orang terdekatnya, dan kini aku harus menyaksikan kepergianmu dibantai dan disembelih dalam keadaan haus dan lapar. Ya Allah, ya Rasullallah, saksikan semua ini.

Imam Husein telah meninggalkan kami dibantai di Karbala dalam keadaan haus dan lapar. Dibantai oleh ummatmu yang mengharapkan syafaatmu. Ya Allah, ya Rasulallah Akankah mereka memperoleh syafaatmu sementara mereka menghinakan keluargamu, dan membantai Imam Husein yang paling engkau cintai? 10 Muharram 61 H, bersamaan akan tenggelamnya matahari, mega merah pun mewarnai kemerahan ufuk barat, saat itulah tanah Karbala memerah, dibanjiri darah Imam Husein dan para syuhada’ Karbala.

Bumi menangis, langit dan penghuninya berduka atas kepergian Imam Husein sang pejuang kebenaran dan keadilan. Nah mengapa tragedi karbala, yang merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa justru terlupakan oleh sebahagian besar ummat Islam saat ini ??? Bahkan bukan hanya terlupakan, justru memang tidak pernah disampaikan kepada generasi Islam??? Yang cukup mengherankan juga adalah bahwa bulan Muharram yang menjadi bulan duka cita dan nestapa keluarga Rasul yang suci justru menjadi bulan kegembiraan pada sebagian ummat Islam lainnya.

Di masyarakat kita 10 Muharram atau Asyura disambut dengan gembira, misalnya dengan membeli alat-alat rumah tangga, syukuran dengan membuat bubur 7 macam, dsb. Tidak cukup dengan itu kemudian juga dilanjutkan dengan dengan puasa Muharram sebagai simbol kesyukuran dan kegembiraan.

Ada banyak riwayat yang dibuat-buat oleh penguasa saat itu hanya untuk menutupi spirit perjuangan Imam Husein dalam menentang penguasa yang zalim. Dibuatlah cerita atau riwayat bahwa Ketika Nabi saw. hijrah ke kota Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyûrâ’ yaitu hari kesepuluh bulan Muharram, lalu beliau bertanya kepada mereka, mengapa mereka berpuasa, maka mereka menjawab, “Ini adalah hari agung, Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya.”

Maka Nabi saw. bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa dan lebih berhak untuk berpuasa di banding kalian.” Lalu beliau memerintahkan umat Islam agar berpuasa untuk hari itu. Demikian dalam kitab Bukhari dan Muslim. Kalau kita mencoba menelaah lebih dalam riwayat di atas maka akan kelihatan ketidakbenarannya.

Riwayat di atas mengatakan kepada kita bahwa Nabi mulia saw. tidak mengetahui sunnah saudara beliau; Nabi Musa as. dan beliau baru mengetahuinya dari orang-orang Yahudi dan setelahnya beliau bertaqlid kepada mereka! Padahal Nabi sangat melarang kita untuk mengikuti kebiasaan ummat lainnya, Yahudi maupun Nasrani. Sangatlah kontradiktif.

Yang lucunya justru riwayat itu memerintahkan kita untuk mengikutinya. Dimana logisnya? Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa 10 Muharram adalah bebasnya keluarrnya Nabi Yunus dari perut ikan, bebasnya Nabi Ibrahim dari Raja Namrud, selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun dsb.

Mestinya juga diteruskan bahwa 10 Muharram juga adalah menangnya pasukan Yazid dalam dalam memenggal kepala cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husein. Kita semua adalah korban sejarah. Yakni sejarah yang sengaja dibuat oleh penguasa zalim hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan keserakahannya. Sudah waktunya buat kita untuk mengkritisi setiap riwayat yang ada.

Padahal jauh sebelumnya ketika Husein lahir, Rasulullah bersedih dan menetaskan air mata ketika jibril mengatakan bahwa cucumu yang baru lahir ini akan syahid di padang karbala oleh ummat yang mengaku sebagai pengikutmu. Jadi Rasulullah jauh sebelum peristiwa itu telah memperingati Asyura dengan kesedihan. Nah masihkah kita ingin memperingati Asyura dengan kegembiraan??

Apapun alasannya yang jelas bahwa dalam tragedi Karbala atau Asyura banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dan sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya kejadian di padang Karbala, merupakan refleksi kehidupan manusia, karena salah satu peran yang ditampilkan disana adalah pengorbanan sejumlah manusia untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi dan suci, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kezaliman.

Peringatan tragedi ini merupakan sumber inspirasi bagi para pencari kebenaran dan keadilan di seluruh dunia. Mahatma Gandhi sendiri pernah berujar “I learned from Hussain, how to achieve victory while being oppressed. ”“Aku belajar dari Husain bagaimana cara meraih kemenangan ketika dalam kondisi tertindas.

Di era ini dimana sekularisme, hedonisme, kapitalisme telah menjadi ideologi bagi umumnya para pemimpin atau penguasa maka mengenang kembali peristiwa Karbala bisa menjadi momentum untuk membangkitkan spirit kita untuk menentang setiap penindasan, kesewenang-wenangan dan kezaliman sembari menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah ummat.

Peristiwa Asyura sesungguhnya mengajarakan kaum muslim untuk tidak berkompromi dengan para penguasa zalim kapan dan dimanapun dengan semangat pengorbanan. Bila mengenang tragedi Karbala memiliki peran dan arti yang sebegitu penting dalam kehidupan, maka merugilah orang yang melupakan peristiwa bersejarah ini.


Rahasia Keabadian Asyura


Peristiwa Karbala adalah satu dari sekian momentum historis yang memiliki kedudukan khusus. Meskipun terjadi tahun 61 Hijriah, tapi kejadian penting ini tidak lekang oleh zaman, dan terus hidup hingga kini. Padahal Khalifah Bani Umayah dan penerusnya telah melakukan berbagai cara untuk memberangus peristiwa agung ini dari memori umat Islam. Salah satu yang mereka lakukan adalah menjadikan hari Asyura sebagai kemenangannya yang dirayakan secara meriah dan suka cita. Ketika kebohongannya terungkap, mereka melakukan berbagai cara untuk menjustifikasi kezaliman Yazid yang dilawan dengan kesyahidan Imam Husein. Hingga kini, para pendukung Yazid berupaya menyimpangkan tujuan kebangkitan Imam Husein, dan menimbulkan masalah bagi para peziarah beliau, dan orang-orang yang mengenang perjuangannya.

Setelah tumbangnya Dinasti Umayah, Dinasti Bani Abbasiyah selama tujuh ratus tahun berupaya menyelewengkan peristiwa Asyura. Dan kini cara-cara tersebut dilanjutkan oleh para penerus mereka.Tapi, semakin keras orang-orang zalim merusak dan menyelewengkan kebenaran peristiwa Asyura, peristiwa besar ini terus hidup dan tetap abadi hingga kini, dan pengaruhnya semakin besar dari sebelumnya.Oleh karena itu, muncul pertanyaan besar apa rahasia keabadian gerakan Asyura? Mengapa peristiwa yang terjadi lebih dari seribu tahun itu tetap abadi di tengah gencarnya upaya merusak dan menyelewengkan peristiwa besar tersebut?

Tidak diragukan lagi faktor keabadian gerakan Asyura adalah pertolongan Allah swt. Dalam al-Quran surat as-Saff ayat 8, Allah swt berfirman,“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya”. Gerakan Asyura yang dikibarkan Imam Husein di padang Karbala demi menjaga dan menyebarkan ajaran agama Allah yang dimaksud di ayat tersebut. Oleh karena itu, Allah swt berfirman bahwa cahaya itu tidak akan padam, tapi justru dengan berlalunya waktu semakin benderang. Oleh karena itulah, Nabi Muhammad Saw bersabda,”Sesungguhnya kesyahidan Imam Husein menjadi api yang berkobar di hati orang-orang mukmin yang tidak akan pernah padam”.

Faktor lain dari keabadian gerakan agung Asyura adalah perkataan dan sirah Nabi Muhammad Saw mengenai Imam Husein dan Karbala. Sepanjang sejarah, umat Islam sangat menghormati Nabi Muhammad Saw. Berdasarkan fatwa ulama Sunni dan Syiah, mengikuti sunnah Rasulullah Saw wajib hukumnya, dan dilarang untuk menentangnya. Sebab dalam al-Quran surat An-Nisa ayat 80, Allah swt berfirman, “Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. Di bagian lain, surat an-Najm ayat 3 dan 4, Allah swt berfirman, “Dan tiadalah yang diucapkan Rasulullah, (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang disampaikan kepadanya.”

Perintah ilahi ini bukan hanya ditujukan kepada umat Nabi Muhammad Saw saja, tapi juga bagi Rasulullah sendiri yang mengingatkan umat tentang Ahlul Baitnya.Terkait hal ini, Salman Farsi, salah seorang sahabat Rasulullah Saw bertutur, “Aku melihat Husein berada di pangkuan Rasulullah, lalu beliau bersabda ke arah cucunya itu, ‘Engkau adalah pemimpin, engkau anak dan ayah pemimpin, engkau Imam, putra Imam dan ayah para pemimpin. Engkau hujah, putra hujah dan ayah Imam kesembilan, yang kesembilannya adalah Imam Mahdi’,”. Selain menjelaskan mengenai keutamaan Imam Husein, Rasulullah Saw mengungkapkan tentang kesyahidan Imam Husein di hadapan sejumlah sahabatnya di Madinah.

Ibnu Atsir, ahli hadis Sunni menulis, “Asyats bin Sahim meriwayatkan dari ayahnya yang mendengar langsung Rasulullah Saw bersabda, “Putraku Husein akan syahid di sebuah tempat di Irak. Barang siapa yang sezaman dengan Husein, maka ia harus menolongnya.”Aisyah, Istri Rasulullah Saw menceritakan suatu hari melihat Imam Husein yang masih bayi dibawa menghadap Nabi Muhammad Saw. Beliau menciumnya, seraya berkata,”Siapapun yang menziarahi makamnya akan mendapatkan pahala seperti haji”.

Faktor lain keabadian Asyura adalah konsistensi Ahlul Bait dalam mendirikan majelis duka Syuhada Karbala. Ahlul Bait Rasulullah Saw sangat mementingkan acara mengenang perjuangan Asyura. Mereka menjelaskan tujuan perjuangan Imam Husein, upaya mencegah terjadinya penyimpangan Asyura, mengungkap kejahatan Bani Umayah, keutamaan memperingati Asyura dan rahasia keabadian Asyura.

Perjuangan yang disuarakan Sayidah Zainab dari Karbala hingga masuknya para tawanan Asyura menuju Kufah dan Syam, serta Khutbah pencerahan yang beliau sampaikan dengan gagah berani di tengah masyarakat memainkan peran penting dalam memjelaskan kebenaran peristiwa Asyura. Tangisan panjang Imam Sajjad meratapi peristiwa Asyura membangkitkan kesadaran penduduk Madinah. Imam Baqir dan Imam Shadiq mewasiatkan selama 10 tahun untuk mendirikan Majelis duka ketika menjalankan ibadah haji di Mina, dan menjelaskan peristiwa Karbala. Imam Ridha juga mendirikan majelis duka mengenang perjuangan Asyura.

Berbagai faktor tersebut menyebabkan spirit Asyura tetap abadi hingga kini. Salah satu rahasia keabadian Asyura lainnya adalah metode dan tujuan perjuangan Imam Husein. Beliau dengan tegas memperkenalkan jalan perjuangannya secara terang benderang. Imam Husein berkata, “Aku bangkit melawan [penguasa lalim] demi memperbaiki umat kakekku, dan menegakkan Amr Maruf dan Nahi Munkar, sebab Allah swt dalam al-Quran berfirman,“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(Ali-Imran:104).

Salah satu bentuk dasar Amr Maruf dan Nahi Munkar adalah menasehati orang yang berbuat lalim supaya melakukan kebaikan dan menghentikkan kemunkarannya.Ketika penguasa lalim menimbulkan ancaman bagi prinsip-prinsip Islam harus ada orang yang menegakkan kebaikan dan melawan kezaliman demi tegaknya nilai-nilai Islam. Yazid yang zalim, menjadi Khalifah yang diwarisi dari ayahnya Muawiyah, dan Imam Husein bangkit melawan dan tidak berbaiat kepadanya. Dalam menjalankan tugasnya, Imam Husein memberikan pencerahan kepada masyarakat. Beliau berkata, “Wahai manusia ! Rasulullah Saw bersabda, jika di antara kalian menyaksikan penguasa lalim yang menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah, tidak menepati janjinya, dan menentang sunah Rasulullah dan berperilaku zalim dan dosa di tengah masyarakat… dan kemudian tidak mengubah perbuatannya dengan perkataan dan perbuatan, maka Allah swt menempatkan mereka termasuk orang-orang yang zalim.”

Untuk menyadarkan masyarakat, Imam Husein berkata,”Sadarlah! Ketika suatu kaum telah mentaati setan dan meninggalkan ketaatan terhadap Allah swt, melakukan kerusakan secara terang-terangan dan menghentikan hukum Allah, menjadikan Baitul Mal sebagai kas pribadi dan menghalalkan yang telah diharamkan oleh Allah, maka aku datang untuk mengubah keadaan ini !”

Imam Husein di bagian lain mengungkapkan masalah kehormatan dan maknanya yang tinggi dalam diri seorang mukmin. Beliau berkata, “Sadarlah, mereka yang memberiku dua pilihan, pedang dan kehinaan! Kami memilih syahid, bukan kehinaan. Sebab Allah swt dan Rasul-Nya menghendaki demikian.”Jika dikaji lebih dalam, perkataan ini disampaikan ketika Imam Husein sudah tahu usianya tidak akan lama, dan beliau akan mencapai kesyahidan.Tapi pernyataan ini disampaikan sebagai pelajaran penting bagi umat Islam tentang betapa berharganya kehormatan manusia, meski harus ditebus dengan nyawa sekalipun. Seruan Imam Husein ini sepanjang sejarah menjadi inspirasi tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga bagi pejuang penegak keadilan di seluruh penjuru dunia.

Revolusi Imam Husein meskipun tidak mencapai kemenangan secara militer, dan dari luar tampak kalah dibantai oleh pasukan Yazid, tapi perjuangan beliau telah mengubah masyarakat Muslim. Sejatinya, gerakan Asyura adalah garis utama yang melanjutkan kehidupan Islam. Kebangkitan Imam Husein menjadi gerakan sosial yang menunjukkan bahwa reformasi masyarakat Islam berada dalam tanggungjawab setiap Muslim. Dan setiap orang harus mengerahkan seluruh potensinya untuk menyelamatkan ajaran Islam ketika diselewengkan oleh penguasa lalim seperti Bani Umayah. Inilah rahasia penting keabadian Asyura.

(IRIB/Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: