Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » , » Ajaran Tasawuf-Suluk Sayidina Imam Ja’far ash-Shadiq Yang Diijazahkan Kepada ‘Unwan Bashri

Ajaran Tasawuf-Suluk Sayidina Imam Ja’far ash-Shadiq Yang Diijazahkan Kepada ‘Unwan Bashri

Written By Unknown on Selasa, 30 Januari 2018 | Januari 30, 2018

‘Unwan Bashri



Riwayat ‘Unwan Bashri merupakan pedoman berharga bagi para penempuh jalan ahlul bait. Riwayat ini mendapat perhatian khusus ‘urafa dan salikin dan Al-Majlisi menyaksikan riwayat ini dengan tulisan tangan Syekh Baha’i dan menukilnya dalam kitab Bihar al-Anwar. Riwayat ini berisi nasihat-nasihat Imam Ja’far ash-Shadiq terhadap ‘Unwan Bashri dan seluruh penempuh suluk menuju Allah.

Unwan Basari, seorang lelaki tua berumur sembilan puluh empat tahun telah meriwayatkan kisah berikut :

“Untuk mencari ilmu, aku biasanya mengunjungi Malik bin Anas. Ketika Ja’far bin Muhammad datang ke kota kami, aku pergi mengunjungi beliau. Aku ingin menimba ilmu dari Imam Ja’far yang terkenal dan istimewa. Suatu hari beliau berkata kepadaku, ‘Aku ini orang yang telah menerima anugerah dan perhatian khusus Allah . Aku harus bermunajat dan berzikir setiap saat sepanjang siang dan malam. Oleh karena itu engkau sebaiknya tidak mencegahku untuk melakukannya dan sebagaimana biasa, kunjungilah Malik bin Anas untuk menimba ilmu darinya.’

Mendengar perkataan itu aku menjadi sedih dan kecewa lalu meninggalkan beliau. Kemudian aku pergi ke masjib nabawi dan mengucapkan salam kepada Nabi. Hari berkutnya, aku pergi ke makam Nabi dan setelah salat dua rakaat aku mengangkat tanganku dan berdoa :

‘Ya Allah ! Ya Allah ! Jadikanlah hati Imam Ja’far lembut kepadaku agar aku bisa mendapat faedah dari ilmunya. Tuntunlah aku menuju jalan yang lurus. Setelah itu dengan hati sangat sedih kembali ke rumah dan dan sebagaimana biasa mengunjungi Malik bin Anas. Cinta dan sayangku kepada Imam Ja’far bin Muhammad telah menghujam dalam di kedalaman hatiku. Untuk waktu yang yang lama aku mengurung diri dalam rumahku sampai kesabaranku habis. Suatu hari aku pergi ke rumah Imam setelah mengetuk pintu meminta izinnya untuk masuk. Seorang pekayang keluar dan bertanya kepadaku :

‘Apa keperluanmu ?’ ‘Aku ingin bertemu Imam dan mengucapkan salam.’ Jawabku. “Tuanku sedang salat. ‘Jawab sang pelayang dan kembali ke dalam rumah. Aku menunggu di depan pintu, selang beberapa pelayan itu kembali dan berlata, ‘Engkau diperkenankan masuk.’

Aku masuk ke dalam rumah dan mengucapkan salam kepada Imam. Beliau menjawab salamku dan berkata, ‘Silahkan duduk, semoga Allah menganugerahimu ampunan.’ Kemudian beliau menundukkan kepalanya. Setelah diam beberapa saat, beliau mengangkat kepalanya lagi dan berkata, ‘Siapa namamu?’ ‘Abu Abdullah,’ Jawabku. ‘Semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang istimewa dan menganugerahimu atas kesungguhanmu. Apa yang engkau inginkan ?’

‘Dalam pertemaun ini jika tidak ada lagi keuntungan lain bagiku selain salat ini – bahkan ini akan berharga bagiku’ aku berkata pada diriku sendiri. Kemudian aku berkata, ‘Aku memohon kepada Allah agar melunakkan hati Anda untukku, agar aku bisa mendapat manfaat dari ilmumu. Aku berharap doaku dikabulkan oleh-Nya.’

Kemudian Imam menjawab, ‘Wahai Abu Abdullah ! Ilmu tidak dapat diperoleh dengan belajar. Ilmu yang sebenarnya adalah cahaya yang menerangi hati seseorang yang dianugerahi tuntunan-Nya. Oleh karena itu, jika kau mencari ilmu, pertamaa-tama buatlah hatimu memikirkan hakikat penghambaan kepada Allah, kemudian tuntutlah ilmu dengan jalan berbuat amal kebaikan, dan mintalah kepada Allah untuk memberimu pemahaman agar Dia dapat membuatmu.’

Aku berkata, ‘Wahai yang mulia !’ Tiba-tiba Imam menyela, ‘Abu Abdullah, lanjutkanlah.’ ‘Ya Imam ! Apakah hakikat penghambaan ?’ Tanyaku.

Imam menjawab, “Hakikat penghambaan terdiri atas tiga hal berikut :

Pertama, seorang hamba tidak boleh menganggap dirinya sebagai pemilik sesuatu yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya, karena seorang hamba tidak pernah menjadi pemilik sesuatu. Anggaplah segala kekayaan adalah milik Allah dan gunakanlah sesuai dengan jalan yang telah Dia tentukan.

Kedua, anggaplah dirinya benar-benar tidak berdaya dalam mengurus urusannya sendiri.

Ketiga, libatkanlah diri untuk terus melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan menghindari perbuatan yang Dia larang.

Oleh karena itu, jika seorang hamba tidak menganggap dirinya sebagai pemilik kekayaan ini, gunakanlah sesuai jalan Allah. Dengan begitu, semuanya akan menjadi mudah baginya. Jika dia percaya Allah sebagai pengantur yang paling berkompenten atas urusannya, maka sikap toleran terhadap kesulitan duniawi akan menjadi lebih mudah baginya. Jika dia tetap menjaga dirinya teggelam dalam melaksanakan perintah Allah dan menahan diri dari perbuatan yang dilarang, waktunya yang berharga tidak akan terbuang percuma untuk kesenangan yang tidak berarti.

Dan jika Allah memuliakan seorang hamba dengan tiga sifat ini, maka berhubungan dengan dunia, manusia dan setan akan menjadi lebih mudah untuknya. Dalam hal ini, tidak akan bekerja keras menambah kekayaan untuk berbangga-bangga diri. Dia tidak akan menghendaki sesuatu yang kepemilikannya dianggap sebagai jalan untuk mengangkat prestise dan keunggunaln di antara manusia. Dia tidal akan membuang waktunya yang bahagia dalam kesenangan yang salah. Inilah peringkat pertamaa orang yang bertakwa telah digambarkan dalam Alquran :

Negeri akhirat Kami siapkan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di bumi dan tidak melakukan kerusakan. Pahala yang besar telah disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa. (QS 28 : 83)

Riwayat lengkapnya seperti ini:

مجلسی، محمد باقر، بحار الانوار، ج1، ص 224، موسسه الوفا، بیروت، 1404هـ ق، متن عربی حدیث: «أَقُولُ وَجَدْتُ بِخَطِّ شَیْخِنَا الْبَهَائِیِّ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ مَا هَذَا لَفْظُهُ قَالَ الشَّیْخُ شَمْسُ الدِّینِ مُحَمَّدُ بْنُ مَکِّیٍّ نَقَلْتُ مِنْ خَطِّ الشَّیْخِ أَحْمَدَ الْفَرَاهَانِیِّ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عُنْوَانَ الْبَصْرِیِّ وَ کَانَ شَیْخاً کَبِیراً قَدْ أَتَى عَلَیْهِ أَرْبَعٌ وَ تِسْعُونَ سَنَةً قَالَ کُنْتُ أَخْتَلِفُ إِلَى مَالِکِ بْنِ أَنَسٍ سِنِینَ فَلَمَّا قَدِمَ جَعْفَرٌ الصَّادِقُ ع الْمَدِینَةَ اخْتَلَفْتُ إِلَیْهِ وَ أَحْبَبْتُ أَنْ آخُذَ عَنْهُ کَمَا أَخَذْتُ عَنْ مَالِکٍ فَقَالَ لِی یَوْماً إِنِّی رَجُلٌ مَطْلُوبٌ وَ مَعَ ذَلِکَ لِی أَوْرَادٌ فِی کُلِّ سَاعَةٍ مِنْ آنَاءِ اللَّیْلِ وَ النَّهَارِ فَلَا تَشْغَلْنِی عَنْ وِرْدِی وَ خُذْ عَنْ مَالِکٍ وَ اخْتَلِفْ‏ إِلَیْهِ کَمَا کُنْتَ تَخْتَلِفُ إِلَیْهِ فَاغْتَمَمْتُ مِنْ ذَلِکَ وَ خَرَجْتُ مِنْ عِنْدِهِ وَ قُلْتُ فِی نَفْسِی لَوْ تَفَرَّسَ فِیَّ خَیْراً لَمَا زَجَرَنِی عَنِ الِاخْتِلَافِ إِلَیْهِ وَ الْأَخْذِ عَنْهُ فَدَخَلْتُ مَسْجِدَ الرَّسُولِ ص وَ سَلَّمْتُ عَلَیْهِ ثُمَّ رَجَعْتُ مِنَ الْغَدِ إِلَى الرَّوْضَةِ وَ صَلَّیْتُ فِیهَا رَکْعَتَیْنِ وَ قُلْتُ أَسْأَلُکَ یَا اللَّهُ یَا اللَّهُ أَنْ تَعْطِفَ عَلَیَّ قَلْبَ جَعْفَرٍ وَ تَرْزُقَنِی مِنْ عِلْمِهِ مَا أَهْتَدِی بِهِ إِلَى صِرَاطِکَ الْمُسْتَقِیمِ وَ رَجَعْتُ إِلَى دَارِی مُغْتَمّاً وَ لَمْ أَخْتَلِفْ إِلَى مَالِکِ بْنِ أَنَسٍ لِمَا أُشْرِبَ قَلْبِی مِنْ حُبِّ جَعْفَرٍ فَمَا خَرَجْتُ مِنْ دَارِی إِلَّا إِلَى الصَّلَاةِ الْمَکْتُوبَةِ حَتَّى عِیلَ صَبْرِی فَلَمَّا ضَاقَ صَدْرِی تَنَعَّلْتُ وَ تَرَدَّیْتُ وَ قَصَدْتُ جَعْفَراً وَ کَانَ بَعْدَ مَا صَلَّیْتُ الْعَصْرَ فَلَمَّا حَضَرْتُ بَابَ دَارِهِ اسْتَأْذَنْتُ عَلَیْهِ فَخَرَجَ خَادِمٌ لَهُ فَقَالَ مَا حَاجَتُکَ فَقُلْتُ السَّلَامُ عَلَى الشَّرِیفِ فَقَالَ هُوَ قَائِمٌ فِی مُصَلَّاهُ فَجَلَسْتُ بِحِذَاءِ بَابِهِ فَمَا لَبِثْتُ إِلَّا یَسِیراً إِذْ خَرَجَ خَادِمٌ فَقَالَ ادْخُلْ عَلَى بَرَکَةِ اللَّهِ فَدَخَلْتُ وَ سَلَّمْتُ عَلَیْهِ فَرَدَّ السَّلَامَ وَ قَالَ اجْلِسْ غَفَرَ اللَّهُ لَکَ فَجَلَسْتُ فَأَطْرَقَ مَلِیّاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَ قَالَ أَبُو مَنْ قُلْتُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثَبَّتَ اللَّهُ کُنْیَتَکَ وَ وَفَّقَکَ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ مَا مَسْأَلَتُکَ فَقُلْتُ فِی نَفْسِی لَوْ لَمْ یَکُنْ لِی مِنْ زِیَارَتِهِ وَ التَّسْلِیمِ غَیْرُ هَذَا الدُّعَاءِ لَکَانَ کَثِیراً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ قَالَ مَا مَسْأَلَتُکَ فَقُلْتُ سَأَلْتُ اللَّهَ أَنْ یَعْطِفَ قَلْبَکَ عَلَیَّ وَ یَرْزُقَنِی مِنْ عِلْمِکَ وَ أَرْجُو أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَجَابَنِی فِی الشَّرِیفِ مَا سَأَلْتُهُ فَقَالَ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ لَیْسَ الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ إِنَّمَا هُوَ نُورٌ یَقَعُ فِی قَلْبِ مَنْ یُرِیدُ اللَّهُ تَبَارَکَ وَ تَعَالَى أَنْ یَهْدِیَهُ فَإِنْ أَرَدْتَ الْعِلْمَ فَاطْلُبْ أَوَّلًا فِی نَفْسِکَ حَقِیقَةَ الْعُبُودِیَّةِ وَ اطْلُبِ الْعِلْمَ بِاسْتِعْمَالِهِ وَ اسْتَفْهِمِ اللَّهَ یُفْهِمْکَ قُلْتُ یَا شَرِیفُ فَقَالَ قُلْ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ قُلْتُ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ مَا حَقِیقَةُ الْعُبُودِیَّةِ قَالَ ثَلَاثَةُ أَشْیَاءَ أَنْ لَا یَرَى الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ فِیمَا خَوَّلَهُ اللَّهُ مِلْکاً لِأَنَّ الْعَبِیدَ لَا یَکُونُ لَهُمْ مِلْکٌ یَرَوْنَ الْمَالَ مَالَ اللَّهِ یَضَعُونَهُ حَیْثُ أَمَرَهُمُ اللَّهُ بِهِ وَ لَا یُدَبِّرُ الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ تَدْبِیراً وَ جُمْلَةُ اشْتِغَالِهِ فِیمَا أَمَرَهُ تَعَالَى بِهِ وَ نَهَاهُ عَنْهُ فَإِذَا لَمْ یَرَ الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ فِیمَا خَوَّلَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِلْکاً هَانَ عَلَیْهِ الْإِنْفَاقُ فِیمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ یُنْفِقَ فِیهِ وَ إِذَا فَوَّضَ الْعَبْدُ تَدْبِیرَ نَفْسِهِ عَلَى مُدَبِّرِهِ هَانَ عَلَیْهِ مَصَائِبُ الدُّنْیَا وَ إِذَا اشْتَغَلَ الْعَبْدُ بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَ نَهَاهُ لَا یَتَفَرَّغُ مِنْهُمَا إِلَى الْمِرَاءِ وَ الْمُبَاهَاةِ مَعَ النَّاسِ فَإِذَا أَکْرَمَ اللَّهُ الْعَبْدَ بِهَذِهِ الثَّلَاثَةِ هَان عَلَیْهِ الدُّنْیَا وَ إِبْلِیسُ وَ الْخَلْقُ وَ لَا یَطْلُبُ الدُّنْیَا تَکَاثُراً وَ تَفَاخُراً وَ لَا یَطْلُبُ مَا عِنْدَ النَّاسِ عِزّاً وَ عُلُوّاً وَ لَا یَدَعُ أَیَّامَهُ بَاطِلًا فَهَذَا أَوَّلُ دَرَجَةِ التُّقَى قَالَ اللَّهُ تَبَارَکَ وَ تَعَالَى تِلْکَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُها لِلَّذِینَ لا یُرِیدُونَ عُلُوًّا فِی الْأَرْضِ وَ لا فَساداً وَ الْعاقِبَةُ لِلْمُتَّقِینَ قُلْتُ یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ أَوْصِنِی قَالَ أُوصِیکَ بِتِسْعَةِ أَشْیَاءَ فَإِنَّهَا وَصِیَّتِی لِمُرِیدِی الطَّرِیقِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَ اللَّهَ أَسْأَلُ أَنْ یُوَفِّقَکَ لِاسْتِعْمَالِهِ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا فِی رِیَاضَةِ النَّفْسِ وَ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا فِی الْحِلْمِ وَ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا فِی الْعِلْمِ فَاحْفَظْهَا وَ إِیَّاکَ وَ التَّهَاوُنَ بِهَا قَالَ عُنْوَانُ فَفَرَّغْتُ قَلْبِی لَهُ فَقَالَ أَمَّا اللَّوَاتِی فِی الرِّیَاضَةِ فَإِیَّاکَ أَنْ تَأْکُلَ مَا لَا تَشْتَهِیهِ فَإِنَّهُ یُورِثُ الْحِمَاقَةَ وَ الْبُلْهَ وَ لَا تَأْکُلْ إِلَّا عِنْدَ الْجُوعِ وَ إِذَا أَکَلْتَ فَکُلْ حَلَالًا وَ سَمِّ اللَّهَ وَ اذْکُرْ حَدِیثَ الرَّسُولِ ص مَا مَلَأَ آدَمِیٌّ وِعَاءً شَرّاً مِنْ بَطْنِهِ فَإِنْ کَانَ وَ لَا بُدَّ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَ ثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَ ثُلُثٌ لِنَفَسِهِ وَ أَمَّا اللَّوَاتِی فِی الْحِلْمِ فَمَنْ قَالَ لَکَ إِنْ قُلْتَ وَاحِدَةً سَمِعْتَ عَشْراً فَقُلْ إِنْ قُلْتَ عَشْراً لَمْ تَسْمَعْ وَاحِدَةً وَ مَنْ شَتَمَکَ فَقُلْ لَهُ إِنْ کُنْتَ صَادِقاً فِیمَا تَقُولُ فَأَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ یَغْفِرَ لِی وَ إِنْ کُنْتَ کَاذِباً فِیمَا تَقُولُ فَاللَّهَ أَسْأَلُ أَنْ یَغْفِرَ لَکَ وَ مَنْ وَعَدَکَ بِالْخَنَا فَعِدْهُ بِالنَّصِیحَةِ وَ الرِّعَاءِ وَ أَمَّا اللَّوَاتِی فِی الْعِلْمِ فَاسْأَلِ الْعُلَمَاءَ مَا جَهِلْتَ وَ إِیَّاکَ أَنْ تَسْأَلَهُمْ تَعَنُّتاً وَ تَجْرِبَةً وَ إِیَّاکَ أَنْ تَعْمَلَ بِرَأْیِکَ شَیْئاً وَ خُذْ بِالِاحْتِیَاطِ فِی جَمِیعِ مَا تَجِدُ إِلَیْهِ سَبِیلًا وَ اهْرُبْ مِنَ الْفُتْیَا هَرَبَکَ مِنَ الْأَسَدِ وَ لَا تَجْعَلْ رَقَبَتَکَ لِلنَّاسِ جِسْراً قُمْ عَنِّی یَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ فَقَدْ نَصَحْتُ لَکَ وَ لَا تُفْسِدْ عَلَیَّ وِرْدِی فَإِنِّی امْرُؤٌ ضَنِینٌ بِنَفْسِی وَ السَّلامُ عَلى‏ مَنِ اتَّبَعَ الْهُدى‏».

‘Unwan Bashri

Aku berkata kepada Imam, ‘Wahai Imam ! Ajarilah aku petunjuk-petunjuk apa saja yang harus aku lakukan.’ Imam menjawab, ‘Aku menganjurkanmu untuk melaksanakan sembilan hal berikut. Ini adalah anjuran dan pentunjukku untuk semua pengembara spiritual yang berjalan menuju Allah. Aku berdoa semiga Allah menganugerahkan kepadamu rahmat-Nya. Tuntunan itu sebagai berikut : Ada tiga tuntunan untuk mempraktikan asketisme jiwa, tiga tuntunan untuk menahan nafsu, dan tiga tuntunan terakhir untuk mencari ilmu (ilm). Jagalah semua tuntunan itu dan berhati-hatilah untuk tidak lalai dalam mengamalkannya.’ Unwan Basri berkata, ‘Aku mendengarkan dengan seksama tuntunan Imam, lalu Imam melanjutkan, ‘Tiga tuntunan yang aku anjurkan untuk kezuhudan jiwa terdiri atas :
1. Berhati-hatilah, jangan makan sesuatu sampai dan hanya jika engkau sangat membutuhkannya. Karena jika tidak, makanan itu tidak akan menjadi sumber kebodohan dan kelalaian bagimu.
2. Jangan makan sesuatu sampai dan hanya jika engkau merasa betul-betul lapar.
3. Ketika makan, biasakanlah membaca kalimat dengan nama Allah (bismillah) dan makan hanya makanan yang dibolehkan (halal).


Tiga tuntunan yang kuanjurkan untuk menahan nafsu terdiri atas :
1. Barangsiapa berkata kepadamu : untuk satu kalimat yang kamu ucapkan akan akan mengucapkan 10 kalimat sebagai jawaban. Maka jawablah : Jika kamu berbicara 10 kalimat kepadaku, kamu tidak akan mendapat jawaban dariku walaupun satu kata.
2. Siapapun yang memperlakukakanmu dengan bahasa yang kasar, ucapkanlah harapan dan nasihat yang baik kepadanya.
3. Jika ada yang menuduhmu, jawablah dengan ungkapan : jika apa yang engkau katakan engkau itu benar, semoga Allah memaafkanku dan seandainya kau bohong, semoga Allah memaafkanmu.


Tiga tuntunan yang aku anjurkan untuk mendapatkan ilmu terdiri atas :
1. Apapun yang kau ketahui, tanyakanlah kepada orang yang lebih tahu. Tetapi hati-hatilah jangan bertanya kepada mereka dengan niat untuk menguji pengetahuan mereka atau memberi kesulitan kepada mereka.
2. Hindarilah menuruti hawa nasfu dan sebisa mungkin kerjakanlah kebaikan.
3. Hinadrilah mengeluarkan ketetapan agama (fatwa) tanpa nash agama yang sahih. Lebih baik bagi kamu untuk menghindari (melarikan diri) ketika berhadapan dengan seekor binatang buas. Di samping itu, berhati-hatilah agar tidak menyerahkan lehermu untuk dilewati manusia.

Lalu beliau berkata, ‘Waha Abu Abdullah ! Kamu boleh pergi sekarang. Aku telah memberimu cukup nasihat. Jangan lagi menggangu aku dari melakukan munajat dan zikirku, karena aku menyakini derajat diriku sendiri. Semoga keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk. (Kasykul Syaikh Bahai, Jilid 2, hlm. 184, dan Bihar al-Anwar, Jilid I, hlm. 224)


Catatan Penting

Untuk melewati hadangan dan godaan nafsu amarah serta gangguan hawa nafsu, Ayatullah Sayed Ali Qadhi memerintahkan murid-muridnya dan penempuh suluk dan jalan spiritual supaya menulis riwayat ‘Unwan Bashri dan mempraktikkannya. Yakni, menurut beliau riwayat ini adalah pedoman penting dan isinya harus diamalkan. Bahkan beliau menegaskan: Riwayat ini harus Anda letakkan di kantong Anda dan setiap minggu harus Anda telaah kembali. Riwayat ini begitu berharga dan mengandung persoalan-persoalan yang komprehensif yang menjelaskan cara pergaulan, khalwah (ketersendirian), pengaturan makanan, bagaimana mendapatkan ilmu, bagaimana menjalankan kesabaran dan kelembutan sikap dan bagaimana menahan diri saat menghadapai perkataan yang menyakitkan. Di samping itu, riwayat ini juga menguraikan bagaimana mencapai maqam ibadah, taslim (penyerahan kepada Allah Swt) dan ridha serta mencapai puncak ‘irfan dan tauhid. Karena itu, orang yang ingin belajar dan menjadi murid beliau tidak akan pernah diterima sebelum mengamalkan kandungan riwayat ini.


Pesan-Pesan Penting

1. Hal-hal utama yang dikemukakan dalam riwayat ini ialah ilmu, makrifat dan ‘ubudiyyah (penghambaan). Dan yang dimaksud ilmu di riwayat ini adalah makrifat yang maknanya berbeda dengan makna ilmu. Makrifat berhubungan erat dengan sair wa suluk dan akhlak manusia.

2. ‘Unwan Bashri menginspirasi kita bahwa usia lanjut bukan halangan untuk mendapatkan ilmu dan makrifat.

3. Menjadi murid dan pengikut Imam Ahlul Bait bukan hanya dibuktikan dengan atribut, tanda kelompok, dan ciri khas komunitas, tapi lebih daripada semua itu adalah kelayakan dan kepantasan untuk menjadi murid dan mendapatkan ilmu dan bimbingan dari insan kamil.

4. Pedoman suluk-akhlaki dalam wasiat yang disampaikan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq kiranya menjadi pegangan dan rujukan praktis orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan tanpa mengamalkan kandungan wasiat ini, maka klaim sebagai pengikut ahlul bait adalah “omdong” alias omong doang.

5. Nasihat dan bimbingan yang terkandung dalam wasiat ini dapat dijadikan pengantar dan mukadimah suluk dan sejatinya hakikat suluk dan tasawuf.

6. Ahlul bait seperti Imam Ja’far ash-Shadiq adalah sumber tasawuf dan spiritual serta khazanah makrifat yang luar biasa sehingga kehilangan koneksi dengan beliau sama dengan kehilangan mata air makrifat dan tauhid.

7. Taklim tanpa tazkiah sangat berbahaya dan tidak jarang justru menjerumuskan orang pada jalan kesesatan dan kebingungan. Maka, syarat untuk mendapatkan makrifat sufistik dan nur Ilahiah adalah kebersihan dan kebeningan hati. Sebab, ilmu yang masuk ke hati yang kotor akan tidak berguna dan justru menjadikan ilmu ibarat kuman yang mendiami hati dan akan membunuh pemilik hati secara perlahan atau cepat.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: