Sefer Bereshit 21:21
Shalom ‘aleychem
Assalamu ‘alaykum
Teks kitab suci bukan sekedar dokumen pewahyuan dalam paradigma teologis yang bersifat sakral, tetapi teks tersebut dapat pula dibaca sebagai rekaman kolektif dalam ranah historis yang bersifat profan. Dalam konteks inilah kita harus berani melakukan ‘pembacaan ulang’ terhadap teks sakral itu berdasarkan pembuktian linguistik dan sejarah.
Bila kita membaca teks sakral ini ada kata kunci secara linguistik yakni istilah abna‘ ( ابناء ) yang terkait dengan klaim kenabian. Tatkala membahas Qs. Al-Baqarah 2:146 seorang Muslim berdarah Yahudi Aschenazim yang bernama Muhammad Asad, penulis the Message of the Qur’an menyatakan:
“this refers more explicit predictions of the future advent of the Prophet Muhammad.”
Istilah ابناء (abna’) dalam bahasa Arab ini sejajar dengn istilah בני (b’ney) dalam bahasa Ibrani/ Hebrew. Jadi teks kenabian pada ayat yang terkait dengan term tersebut bukan sekedar bermakna alegoris tapi justru berlatar biologis. Coba perhatikan ayat ini.
الذين اءتينهم الكتاب يعرفونه كما يعرفون ابناءهم
(Q البقرة 2:14)
אלה אשר נתנו להם את הספר מכירים אותו כפי שמכירים את בניכם
( סורת אלבקרה 2:146)
Elleh asher natannu lachem et has-Sefer machchirim oto kefiy shemmachchirim et b’neychem
Orang-orang yang telah Kami anugerahkan Al-Kitab mengenalnya (Muhammad SAW) seperti mengenal anak-anak mereka sendiri
(Al-Baqarah 2:146)
Berdasarkan bukti historis dari catatan teks2 Tarikh Islam, ternyata Nabi Muhammad SAW memang bukan disebut sebagai orang Arab ‘Aribah (Arab asli) tapi dia disebut sebagai orang Arab Musta’ribah (bukan asli Arab). Sementara itu, berdasarkan teks-teks Rabbinic dalam bahasa Ibrani (Hebrew), terutama Sefer ha-Galui yang membicarakan tentang Resh Geluta kaum Exilarch di Arabia dan Babilonia (the Babylonian Exilarchs), ternyata garis ibu Nabi Muhammad SAW itu bukan asli keturunan Quraish. Anda terhenyak dengan fakta ini?
Hasyim putra Quraish menikah dengan Salma binti Amr, dan Amr berasal dari bani Najjar, kaum Yahudi Musta’ribah di Yatsrib/ Medinta. Bani Najjar ini adalah kaum Yahudi diaspora yang tinggal di kota Yatsrib. Orang-orang Arab pra-Islam menyebutnya kota Yatsrib, sedangkan orang-orang Yahudi Musta’ribah menyebutnya bukan dengan sebutan Yatsrib tapi dengan sebutan Medinta, sebagaimana yang tercatat dalam Targum Onkelos yang tertulis dalam bahasa Judeo-Aramic sejak pada abad 1 M., era pra-Islam.
Jadi nama Medinta telah populer 6 abad sebelum era Islam. Kaum Yahudi Musta’ribah yakni kaum Yahudi Sephardim dan Mizrachim tahu betul wilayah Medinta ini sebelum Islam ada. Belum ada data yang menjelaskan mengapa kaum Yahudi Musta’ribah ini mendiami wilayah Yatsrib ini secara masif dan bergenerasi berdasarkan alasan2 historis, politis, ekonomi, sosial, kultural atau pun agama. Namun yang perlu digaris bawahi adalah identitas bani Hashim (anak cucu/keturunan Hashim) itu sendiri yang sangat unik, karena hanya melalui bani Hashim saja darah Ishmael dan darah Israel bercampur dalam satu klen/qabilah, yang kemudian dalam Tarikh Islam disebut qabilah bani Hashim.
Tentu saja dalam Tarikh Islam, terutama saat era kenabian juga ada catatan sejarah tentang penderitaan bani Hashim yang diboikot dan diasingkan/dibuang (exile) oleh suku-suku Arab lain gara-gara tampilnya seorang Nabi dari kalangan bani Hashim. Mengapa bukan hanya seorang/sekelompok orang dari keturunan bani Hashim yang diboikot dan dibuang atau diasingkan (exile)? Bukankah pengasingan itu berlangsung selama bertahun2 secara ekonomi, politik dan sosial? Mengapa seluruh bani Hashim yang dibuang (exile) dan bukan hanya Sang Nabi saja yang dibuang? Mengapa seluruh bani Hashim harus menanggung derita akibat ‘ulah’ satu orang di antara mereka dan seluruh bani Hashim siap membelanya? Nampaknya peristiwa sejarah pembuangan (exile) yang menimpa bani Hashim ini terkait juga dengan hadits Shahih Muslim.
ان الله اصطفى كنانة من ولد اسماعيل و اصطفى قريسا من كنانة واصطفى قريسا بني هاشم و اصطفى ني بني هاشم – صحيح مسلم
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya ALLH telah memilih Kinanah dari antara keturunan Ishmael, dan memilih Quraish dari antara keturunan Kinanah dan memilih bani Hashim dari antara keturunan Quraish dan memilih aku – kata Nabi SAW – dari antara bani Hashim (H.R. Imam Muslim).
Hashim selain menikah dengan wanita Yahudi Musta’ribah dari bani Najjar yang bernama Salma binti Amr, yang melahirkan Syaiba (Abdul Muthalib), ternyata Hashim juga beristri wanita lain yang bernama Qaylah yang melahirkan baginya seorang anak bernama Asad. Asad ibn Hashim menikah dengan Zahna, putri seorang Resh Geluta kaum Exilarch ke-32 dari Babilonia yang bernama Hofnai, dan di Babilonia tersebut kaum exilarch ini di bawah pimpinan Resh Geluta (pimpinan kaum buangan), dan Resh Galuta sendiri secara Halacha adalah keturunan Nabi Daud AS.
Adik ipar Hushiel ben Hofnai yang bernama Asad ibn Hashim, yang menikah dengan Hazna binti Hofnai putri Exilarch ke-32 ini melahirkan Fathimah binti Asad, yang kemudian dinikahi oleh Abu Thalib bin Abdul Muthalib ibn Hashim. Namun, mengapa Asad ibn Hashim menamai putrinya dengan nama Fathimah? Apa hubungannya nama ini dengan Hazna binti Hofnai putri Exilarch ke-32 dari Babilonia? Sepertinya ada campur tangan Hazna dalam penamaan putrinya ini yang merupakan ingatan kolektifnya utk mengenang kembali nama lelulur dari keluarga suaminya, yakni Asad bin Hashim, keturunan Ishmael. Penamaan ini juga sebenarnya merupakan bukti bahwa nama Fathimah bukanlah nama asli Arab, tetapi nama khas Ibrani yang muncul dalam Targum Yonathan berbahasa Judeo-Aramaic yang ditulis pada abad ke-1 M. Ishmael dalam Tagum Yonathan beristri פטימא (Phetima) sesuai teks Targum Yonatahan, Sefer Bereshit 21:21 yang menyebut sbb:
ויתיב במדברא דפראן ונסיב אתחא ית עדישא ותרבה ונסיבת ליה אמיה ית פטימא אתהא מארעא דמצרים
‘And he dwelt in the wilderness of Pharan and took for a wife Adisha, but put her away. And his mother took for him Phatima to wife from the land of Egypt.
Jadi bani Hashim secara garis ibu – seutuhnya berdarah Yahudi dan sekaligus keturunan langsung Nabi Daud AS (1).
Data sejarah membuktikan adanya jalur politik dan keagamaan antara kaum Exilarch di Baghdad – Babilonia (Irak) dan di Medinta (Saudi Arabia) era pra-Islam. Hal ini bisa dibaca melalui kemapaman teks Targum Onkelos dalam bahasa Judeo-Aramaic yang tersebar di kalangan Yahudi yang bermukim di wilayah Yaman, Hijaz dan wilayah Babilonia, dan dibaca secara meluas oleh semua kaum Yahudi di wilayah tersebut (2).
Bahkan kemapanan hubungan kedua wilayah penting dan strategis ini dapat pula terbaca melalui kemunculan Targum Saadia berbahasa Judeo-Arabic yang menyebut nama Al-Madinah, sehingga tidak salah bila kaum Yahudi yang berdiaspora ke wilayah itu justru mendahului kedatangannya sebelum terbukukannya Targum Saadia dalam bahasa Judeo-Arabic, yang dalam Targum Onkelos disebut Medinta. Jadi Rav Saadia Gaon hanya merekam ingatan kolektif bangsa Yahudi tentang keberadaan wilayah Medinta ini dengan bahasa Judeo-Arabic, yg disebutnya Al-Madinah. Itulah sebabnya tatkala Nabi SAW hijrah ke kota Yatsrib, maka seluruh kaum Yahudi Musta’ribah tidak kaget tatkala Nabi SAW mengubah dan menamai kota tersebut dengan sebutan Al-Madinah menurut lisan bahasa Arabic, sedangkan kaum Yahudi Musta’ribah sejak era pra-Islam menyebutnya Medinta menurut lisan bahasa Judeo-Aramaic. Perpindahan Nabi SAW dari Mekkah ke kota Yatsrib yang disebut Medinta oleh kaum Yahudi Musta’ribah ternyata tidak hanya dibaca terkait dengan peristiwa Hijrah an sich, tapi sekaligus pula menandai dan melanjutkan peradaban leluhurnya di kota Yatsrib yang disebut Medinta, yang kemudian oleh Nabi SAW diteguhkannya kembali dengan nama Al-Madinah.
Notes:
1. Jika Anda penasaran silakan membaca Jurnal terbitan Hebrew University berjudul ‘A Note on Early Marriage Links between Qurashis and Jewish Women’, see Jerusalem Studies in Arabic and Islam vol.10 (1987), references to Jewish ladies of “Noble Birth” are descended from the Exilarch.
2. Silakan membaca buku The Targum of Onkelos to Genesis: A Critical Enquiry into the Value of the Text Exhibited by Yemen Mss. Compared with that of the European Recensian Together with Some Specimen Chapters of the Oriental Text (Henry Barnstein, 1896).
Bagaimana Menurut Anda?
Jawaban Islam Syiah:
Siapa Tuh Bani Hasyim????
Simak ini:
Bani Hasyim
Bani Hasyim (bahasa Arab: بنو هاشم ) sebuah marga terkenal dari kabilah Quraisy sebelum dan sesudah Islam di Mekah yang dinisbatkan kepada Hasyim (Amr) bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab. Rasulullah saw berasal dari marga ini. Ketika Islam muncul, marga ini pada masa kepemimpinan Abu Thalib banyak sekali membela Rasulullah saw, dan pada masa para Imam juga menjadi pembela para Imam as dalam banyak hal.
Keluarga Bani Abbas, salah satu keluarga terpenting Bani Hasyim, telah berkuasa atas negara-negara Islam pada beberapa abad. selain itu, di pelbagai kawasan dunia Islam, keluarga lainnya dari Bani Hasyim juga berkuasa dalam pelbagai periode sejarah. Bangsawan Mekah dan Madinah yang berabad-abad berkuasa dan memimpin atas dua kota ini berasal dari Bani Hasyim.
Dalam fikih Syiah, para sayid (habaib) adalah Orang-orang yang nasab mereka menyambung ke Hasyim. Karena Nabi saw berasal dari kaum Hasyimi, maka mereka dihormati oleh kaum muslimin.
Pra Islam
Qushai bin Kilab adalah salah seorang keturunan Nabi Ismail as dan hidup kurang lebih satu abad sebelum kelahiran Rasulullah saw. Melalui kiprah-kiprahnya, ia menjadi pembesar Quraisy dan memegang kedudukan-kedudukan penting Mekah dan rumah Ka’bah. Sepeninggalnya, kedudukan-kedudukan tersebut jatuh ke tangan keturunannya. Namun sepeninggal Abdi Manaf dan Abd al-Dar (keturunan Qushai) terjadi persengketaan yang sengit antara Hasyim dan saudaranya (Bani Abdi Manaf) dengan para sepupunya (Bani Abd al-Dar) mengenai kedudukan Ka’bah, yang hal tersebut mengakibatkan Hilful Muthayyibin[Note 1] dan Hilful Ahlaf[Note 2]. Setelah perselisihan mereda, dua kedudukan rifadah (memberi makan para jemaah haji) dan siqoyah (memberi minum para jemaah haji) dipegang oleh Bani Abdi Manaf yang diantara mereka adalah Hasyim.
Hasyim
Hasyim, setiap tahun dalam melaksanakan tanggung jawab memberi makan para penziarah Ka’bah mendapat keuntungan dari partisipasi dan bantuan keuangan dari keluarga-keluarga Quraisy. [1] Demikian juga, dengan menggali sumur, dia mempermudah pemberian air kepada para penyelenggara haji.[2] Hasyim juga meningkatkan perdagangan Quraisy dan dengan pakta perdagangan (dimana dalam Al-Quran dikenang dengan Îlaf al-Qurasiy) [3] mampu memperbaiki rute perdagangan Quraisy menjadi dua perjalanan; musim panas menuju Syam dan musim dingin menuju Yaman dan Habasyah. [4] Demikian juga, dia mampu menyediakan makanan untuk Quraisy pada salah satu tahun-tahun paceklik dan menyelamatkan mereka dari kelaparan. [5] Sekumpulan ini semua membuat Hasyim memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan para Quraisy.
Hasyim memiliki empat putra, yang bernama Syaibah (Abdul Muththalib), Asad, Amr (Abu Saifi), Nadla dan juga memiliki lima putri. [6]
Abdul Mutthalib
Sepeninggal Hasyim, saudaranya Muththalib bin Abdi Manaf mengemban kedudukannya dan setelah Abdul Muththalib (putra Hasyim) menjadi pengganti Muththalib. [7]
Abdul Muththalib karena karakter besarnya, selain memiliki kedudukan memberi minum dan makan, ia juga memiliki kemuliaan di sisi penduduk Mekah. Demikian juga, galian sumur Zamzam juga telah melipat gandakan kedudukan besarnya dalam pandangan para pelaksana haji. Bani Abdi Manaf, termasuk Bani Hasyim merupakan kebanggaan untuk selain Quraisy dan menganggap pemberian air dari sumur ini merupakan kebanggaan terbesar untuk dirinya. [8]
Kedudukan Abdul Muththalib dalam peristiwa serangan pasukan Abrahah ke Mekah di tahun Gajah semakin meningkat; karena kedudukan khususnya di sisi Quraisy, ia hadir sebagai wakil dari orang-orang Mekah mendatangi Abrahah. Pertemuan Abdul Muththalib dengan Abrahah dan kemudian bimbingannya kepada penduduk Mekah supaya menuju gunung-gunung di sekitar kawasan dan penjagaannya atas mereka dari penindasan pasukan Abrahah menyebabkan Quraisy dalam peristiwa ini menjulukinya sebagai Ibrahim kedua. [9]
Sebagian keturunan Abdul Muththalib hanya dikenal sebagai sisa keturunan dari keturunan Hasyim, mereka menganggap sama antara Bani Hasyim dengan Bani Abdul Muththalib; [10] sementara dengan adanya keturunan dari Nadhlah bin Hasyim dan Amr bin Hasyim klaiman semacam ini tidaklah benar. [11]
Hubungan dengan Marga-marga Quraisy Lainnya Gang Bani Hasyim, Madinah
Dengan memperhatikan superioritas dan kebesaran Quraisy di kalangan semenanjung Arab, persaingan di kalangan marga-marga Quraisy juga memiliki prioritas tersendiri; karena inilah setiap dari marga-marga yang ada ini berusaha dengan segala cara yang mungkin dengan mendahului para lawan meraih kepemimpinan dan kedudukan istimewa di kalangan pelbagai kabilah Quraisy. Akar permusuhan Bani Umayyah dengan Bani Hasyim juga harus dirunut dalam persaingan kabilah tersebut. Meskipun sebagian laporan-laporan sejarah (yang masih juga diragukan) [12]mengaitkan akar permusuhan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim pada masalah-masalah yang lebih parsial seperti kedengkian Umayyah bin Abd asy- Syam (keponakan Hasyim) kepadanya dan percekcokan-percekcokan diantara keduanya; [13] atau “Munafaroh” (berbangga dengan kedudukan dan keturunan) Harb bin Umayyah dengan Abdul Muththalib. [14]
Bahkan sebagian orang dari riwayat-riwayat historis tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kelahiran Hasyim dan Abd asy-Syam (nenek moyang Bani Umayyah) menjustifikasi perselisihan dan persaingan-persaingan berikutnya Bani Umayyah dengan Bani Hasyim [15].
Sepeninggal Abdul Muththalib, dan terutama dikarenakan lemahnya keuangan, kedudukan Bani Hasyim semakin merosot; namun dengan pengutusan Rasulullah saw persaingan dan pelbagai percekcokan dari pihak para pesaing Bani Hasyim yang dipimpin oleh Bani Makhzum dan kemudian Bani Umayyah dengan mereka diliput kembali. Secara yakin, hal ini muncul dari perspektif orang-orang ini mengenai kenabian dan risalah Nabi Muhammad saw; karena menurut pandangan orang-orang ini, mereka menganggap pengutusan nabi dari Bani Hasyim bukanlah sebuah kategori terpisah dari persaingan antar kabilah dan hal itu merupakan sebuah dalih untuk kepemimpinan Bani Hasyim dan hasil dari permainan mereka; [16] dengan demikian mereka berupaya sehingga dengan mengingkari kenabian dan konfrontasi dengan para pengikut beliau akan merintangi perkembangan kedudukan Bani Hasyim.
Sumber-sumber juga menyebut nama Bani Abd al-Dar dan Bani Makhzum sebagai marga-marga saingan lain dan musuh Bani Hasyim. Bani Abd al-Dar yang memiliki perselisihan pertama kalinya dengan Hasyim bin Abdi Manaf dalam peristiwa pengelolaan kedudukan Mekah (lihat: Hilful Ahlaf), dengan pengutusan Rasulullah saw mereka berada di samping Bani Umayyah. [17] Bani Makhzum juga yang dalam Hilful Ahlaf berada di samping Bani Abd al-Dar [18] dengan dimulainya ajakan terang-terangan kepada Islam, mereka berada di barisan terdepan para penentang Rasulullah; karena dengan memperhatikan kedudukan kemuliaan Abu Jahal (pembesar Bani Makhzum) dan kepemimpinannya atas Mekah, melihat bahwa pengutusan seorang nabi dari Bani Hasyim merupakan sebuah ancaman untuk kemuliaan dan kedudukannya.
Dari sisi lain, termasuk marga-marga yang dapat dikategorikan sebagai koalisi dan sekutu Bani Hayim, yang mana dikalangan ini harus dianggap sebagai koalisi terbesar dan tercinta Bani Hasyim adalah dari marga Bani Muththalib bin Abdi Manaf. Mereka dengan ditemani marga-marga seperti Bani Zuhrah bin Kilab, Bani Taim bin Murrah, Bani Harits bin Fahr, dan Bani Asad bin Abdul ‘Izzi dalam Hilf al-Muthayyibin berada di samping Hasyim dan Bani Abdi Manaf dan berhadapan dengan Bani Abd al-Dar. [19] Kemudian dalam perjanjian Hilful Fudhul[Note 3] yang dipimpin oleh Zubair bin Abdul Muththalib juga bersumpah dengan Bani Hasyim untuk membela orang-orang tertindas. [20]
Setelah munculnya Islam, Bani Muththalib dalam banyak peristiwa juga berada disamping Bani Hasyim dengan membela Rasulullah saw. Hadir dalam Syi'bi Abi Thalib dan sabar atas kesulitan dan kepahitan selama tiga tahun disamping Bani Hasyim merupakan salah satu contoh koalisi terbesar mereka dengan Bani Hasyim. [21]
Khuza’ah juga dapat dikenal sebagai koalisi lain Bani Hasyim. Sebagian referensi mengabarkan kebersamaan Khuza’ah dengan Abdul Muththalib dan para sekutunya setelah peristiwa pertikaian Abdul Muththalib dan Naufal bin Abdi Manaf. [22]
Kemunculan Islam
Rasulullah saw pada langkah pertamanya dalam menyiarkan dakwahnya secara terang-terangan memulainya dari kalangan sanak keluarganya dan pada hari Indzar mengumpulkan Bani Abdul Muththalib (keluarga terpenting Bani Hasyim dan kerabat tingkat pertamanya) dan mengajak mereka supaya menerima Islam.[23]
Dikabarkan, muncul pelbagai reaksi dari pihak Bani Hasyim terhadap agama baru ini; sedikit sekali dari mereka dengan menerima Islam berada dalam barisan penolong Rasulullah saw, yang mana sebagian di antara mereka adalah orang-orang seperti Abu Thalib yang menyembunyikan keimanannya. Abu Thalib melihat kemaslahatan dalam diamnya, sehingga dapat menjaga sebagai pembesar Quraisy dan juga pengaruh ucapannya; namun dengan dukungannya senantiasa selalu merintangi penganiayaan dan pelecehan terhadap Rasulullah saw.[24] (lihat: keimanan Abu Thalib)
Sekelompok kecil dari kaum Hasyimi juga memusuhi dan berkonfrontasi terhadap Rasulullah, mereka di jalan ini tidak menyerah sedikitpun dalam menunjukkan sikap penetangan; Abu Lahab paman nabi [25] dan Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Mutthalib yang melakukan pencercaan terhadap Nabi Muhammad saw[26] termasuk di antara orang-orang ini.
Penampakan salah satu gambar dari gang Bani Hasyim di Madinah
Meskipun banyak sekali dari Bani Hasyim tidak beriman sampai setelah penaklukan kota Mekah, akan tetapi mayoritas dari mereka membela Rasulullah saw di hadapan reaksi negatif para pembesar Quraisy dan di hadapan penyiksaan orang-orang Mekah terhadap Rasulullah dan kaum muslimin. Hadirnya Abu Thalib, paman Rasulullah saw, dimana pada masa itu dianggap sebagai pembesar Bani Hasyim dan Quraiys dalam pembelaan ini memiliki pengaruh yang signifikan. [27]
Bahkan, ketika para pemuka marga Quraisy mengharap bahwa Bani Hasyim akan berlepas diri dari melindungi Rasulullah saw, mereka melakukan embargo ekonomi dan sosial kepada Bani Hasyim. Orang-orang Bani Hasyim dengan permintaan Abu Thalib meminta dari orang-orang kafir dan muslim (kecuali Abu Lahab [28] dan Abu Sufyan bin Harits) [29] menuju Syi'bi Abi Thalib dan selama tiga tahun hidup dalam krisis keuangan dan sosial, namun mereka senantiasa tetap membela Rasulullah saw. [30]
Sepeninggal Abu Thalib, Abu Lahab memegang kepemimpinan Bani Hasyim. [31] Pada masa ini, para pemimpin Bani Hasyim seperti sedia kala tidak membela Rasulullah saw, sehingga beliau kembali dari Thaif dengan dukungan Muth’im bin ‘Adi, salah seorang ketururan Naufal bin Abdi Manaf memasuki Mekah. [32]
Dengan hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah, sebagian dari Bani Hasyim seperti Hamzah dan Ali as juga lebih memprioritaskan hijrah ke Madinah ketimbang terus tinggal di Mekah; akan tetapi mayoritas Bani Hasyim tetap tinggal di Mekah. Mayoritas Bani Hasyim tidak bersedia mengiringi peran kaum musyrikin Mekah guna memerangi kaum muslimin; namun sejumlah dari orang-orang ini dengan terpaksa ikut hadir dalam pasukan kaum musyrikin dalam perang Badar, yang mana pada akhirnya menjadi tawanan kaum muslimin. [33] Sebelum dimulainya perang, Rasulullah saw sudah mengabarkan kaum muslimin tentang kehadiran terpaksa sebagian Bani Hasyim dalam pasukan Musyrikin, beliau melarang pembunuhan kelompok ini. Dengan berakhirnya perang dan pembebasan tawanan musyrik, para tawanan Hasyimi dalam tempo singkat tinggal di Madinah, di samping Rasulullah.[34]
Sesuai dengan yang tertera dalam referensi, banyak sekali dari Bani Hasyim pada tahun-tahun sebelum hijrah telah memeluk Islam, khususnya dalam penaklukan kota Mekah, sebagaimana Aqil bin Abi Thalib sebelum perjanjian Hudaibiyah [35] atau pada tahun ke-8 Hijriah, Abu Sufyan bin Harits dalam penaklukan Mekah [36], dan Abbas bin Abdul Muththalib (juga menjadi perselisihan) sebelum perang Badar atau sebelum penaklukan Khaibar telah memeluk Islam. [37] Sebagian lainnya juga seperti Abu Lahab [38] mati dalam keadaan kafir dan tidak beriman kepada Rasulullah.
Periode Para Imam
Menentang dengan Pemilihan Khalifah dari Bani Hasyim
Sepeninggal Rasulullah saw, persaingan kabilah sebelum Islam, bahkan dikalangan para sahabat Rasulullah saw dalam bentuk penentangan terhadap kepenggantian Ali as sebagai khalifah semakin mencuat. Banyak dari para penentang kekhilafahan Imam Ali as menganggap kekhilafahan beliau dalam arti kelanjutan pemerintahan Bani Hasyim atas Arab; sebagaimana Umar mengungkapkan dalam perbincangan dengan Ali as dan juga Abbas bin Abdul Muththalib bahwa:
Arab tidak menerima kenabian dan kekhilafahan berkumpul bersama-sama dalam satu keluarga!!! [39]
Sebaliknya, Imam Ali as melalui penegasan bahwa para khalifah Nabi saw harus berasal dari Quraisy dan Bani Hasyim menegaskan bahwa hanya orang-orang tertentu dari Bani Hasyim saja yang memiliki kelayakan atas kedudukan dan tanggung jawab ini. [40]
Penentangan dengan konsep berkumpulnya kenabian dan kekhilafahan dalam Bani Hasyim menyebabkan koalisi seluruh marga-marga Arab lainnya; sebab marga-marga Quraisy lainnya, warga Madinah dan koalisi mereka beranggapan jika Ali as menjadi khalifah, maka kekhilafahan sama sekali tidak akan pernah keluar dari Bani Hasyim. [41]
Dengan dalil inilah, sebagian dari para sahabat, ketika jasad Rasulullah saw belum dikebumikan telah berkumpul di Saqifah dan memilih seorang khalifah dari kalangan diri mereka sendiri, tanpa bermusyawarah dahulu dengan Bani Hasyim, padahal Nabi saw sudah mengumumkan kewashian dan kepenggantian Ali as.
Adanya penentangan-penentangan ini dengan kepemimpinan Bani Hasyim dan sampainya kekhilafahan kepada mereka, Bani Hasyim dengan gigih menjaga kedudukan tingginya. Misalnya, dalam peristiwa pembagian ghanimah dan penyusunan diwan, Umar, memprioritaskan Bani Hasyim sebagai keluarga Rasululllah saw ketimbang lainnya dan menyebut mereka sebagai Arab termulia, dikarenakan kekerabatan dengan Rasulullah. [42]
Fanatisme Bani Umayyah
Dengan terpilihnya Utsman sebagai khalifah, maka perselisihan Bani Umayyah dengan Bani Hasyim kembali mencuat; dikarenakan dalam periode ini Bani Umayyah mendapatkan kekuatan dan menemukan lahan untuk menghidupkan fanatisme etnis dan balas dendam; semisalnya, Abu Sufyan meminta kepada Utsman supaya mewariskan kekhilafahan dikalangan Bani Umayyah saja, karena tidak ada surga dan neraka. [43]
Dalam melawan cara pandang ini, Imam Ali dengan menolak sentimen-sentimen etnis mengenalkan unsur-unsur seperti iman, ikhlas, kebenaran dan hijrah sebagai tolok ukur keutamaan Bani Hasyim atas Bani Umayyah. [44]
Namun, dalam periode tiga khalifah, Imam Ali as dan Bani Hasyim juga memiliki peran dalam mengatur pemerintahan Islam; misalnya Harits bin Naufal bin Harits bin Abdul Muththalib disebut sebagai gubernur Mekah pada masa kekhilafahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.[45]
Pemerintahan Amirul Mukminin As dan Imam Hasan As
Dengan dimulainya pemerintahan Amirul Mukminin as (35-40 H), Bani Hasyim ikut menyertai beliau dalam semua peristiwa dan meskipun pada masa ini, Madinah merupakan tempat tinggal Bani Hasyim; akan tetapi dengan perubahan markas pemerintahan dan pemindahannya ke Kufah, sekelompok dari Bani Hasyim juga ikut pergi ke kota ini. Terlihat juga nama-nama sebagian dari Bani Hasyim dalam sekumpulan para pejabat beliau. [46]
Sepeninggal beliau, dalam pemerintahan singkat Imam Hasan as (40-41 H) meskipun adanya dukungan dan pembelaan Bani Hasyim terhadap Imam, namun sebagian para pembesar Bani Hasyim seperti Ubaidullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, panglima perang pasukan imam, dengan bergabung ke pasukan Muawiyah, memaksa imam untuk melakukan perdamaian. [47]
Muawiyah dan Penghidup Fanatisme
Pada masa pemerintahan Muawiyah, persaingan kabilah lebih terlihat kental ketimbang sebelumnya; semisalnya Muawiyah dalam peperangan melawan Imam Ali as memperkenalkan pasukan Kufah sebagai para pendukung Bani Hasyim. [48]
Perspektif ini, pada masa pengganti Muawiyah juga terus berlanjut. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, terdapat upaya serius untuk menciptakan persengketaan etnis dan pengingkaran atau meremehkan peran pandangan dan motifasi-motifasi ideologi dalam peristiwa-peristiwa sejarah permulaan Islam, dan bahkan kemunculan Islam. Contoh riil peristiwa ini adalah ucapan Yazid bin Muawiyah setelah peristiwa Asyura. Yazid dalam sebuah syair yang menceritakan akan kebahagiaan dan kemenangan, dengan tegas mengingkari wahyu dan kenabian dan menyebut Islam sebagai hasil permainan-permainan politik Bani Hasyim di hadapan Bani Umayyah. [49]
Sewaktu Imam Husain as di Madinah tidak mau berbaiat dengan Yazid, maka Bani Hasyim pun mendukung beliau [50] dan sebagian dari Hasyimi (keluarga Aqil dan keluarga Ali) juga menyertai beliau saat bangkit menentang Yazid. [51]
Meskipun Bani Hasyim memusuhi pemerintahan lalim Bani Umayyah, namun ketika Abdullah bin Zubair pada tahun 63 H menguasai Mekah dan memberikan banyak kerusakan terhadap pemerintahan Bani Umayyah, mereka tetap tidak mau berbait dengannya, sampai-sampai Abdullah melakukan pengasingan dan menurut sebagian riwayat pemenjaraan orang-orang seperti Muhammad bin Hanifah dan Abdullah bin Abbas. [52]
Dengan tumbangnya kebangkitan Abdullah bin Zubair, Bani Umayyah kembali lagi mengarah ke Bani Hasyim dan melakukan pelecehan dan penyiksaan kepada para pendukung mereka. Perintah Hisyam bin Abdul Malik untuk memotong tangan dan lidah Kumait bin Zaid Asadi dengan kesalahan lantunan kidung untuk Zaid bin Ali bin Husain merupakan contoh dari realita ini. [53]
Meskipun pembalasan dendam Bani Umayyah menyempitkan ranah Bani Hasyim, namun pengaruh mereka di kalangan masyarakat tidaklah berkurang; semisalnya, termasuk dalil-dalil yang dituturkan untuk mengalahkan Abdullah bin Zubair adalah sikap tidak sopannya kepada Bani Hasyim [54] dan atau ketika Ziyad bin Shalih sewaktu memberontak melawan Bani Umayyah (133 H) mengajak masyarakat kepada Bani Hasyim. [55] Demikian juga, para pendukung Bani Abbas di daerah Khorasan menyeru masyarakat kepada pemerintahan Bani Hasyim. [56]
Bani Abbas
Pada masa Bani Umayyah, Bani Hasyim di samping keragaman marga, namun memberikan satu baris irama politik. Namun pada akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah, Hasyimi memiliki pembaharuan sosial dalam dua marga penting keturunan Imam Ali as dan keturunan Abbas bin Abdul Muththalib.
Melonjaknya ketidakrelaan kaum muslimin terhadap pemerintahan Bani Umayyah mengakibatkan munculnya fraksi-fraksi dan gerakan-gerakan anti Umayyah pada masa pertengahan pertama abad kedua. Tendesi peninggkatan masyarakat kepada Ahlulbait Nabi saw dan keengganan Ahlulbait as untuk menerima permintaan mereka untuk bangkit, memunculkan kesempatan untuk orang-orang dari keturunan Abbas, paman Rasulullah, yang mengklaim memiliki hak pemerintahan.
Abbasiah dengan memperhatikan kehormatan sosial Bani Hasyim, sejak semula berupaya memperbesar penisbahan mereka kepada Hasyim dan sejak tahun 111 H aktif dibawah panji “Seruan Hasyimi”. [57]
Ranah sosial perselisihan Bani Umayyah dan Bani Hasyim yang dibuat oleh kaum Umawi sangat efektif dalam mengangkat tema "Hasyimi". Menurut sumber-sumber sejarah, baiat Abbasiah dilakukan dengan bersandar pada topik Baiat Hasyimi, dengan justifikasi bahwa khilafah adalah haknya Bani Hasyim dan Abbasiah juga termasuk bagian dari keluarga ini. [58]
Hasilnya, dengan pemaksaan Abbasiah dalam penyisipan dirinya sebagai keluarga Rasulullah saw, pemerintahan Bani Abbas dikenal dengan nama “Pemerintahan Bani Hasyim”. Dan sebaliknya, orang-orang Syiah yang tidak tahan dengan pemanfaatan semacam ini, menyebut mereka dengan ungkapan “Bani Abbas”. [59]
Secara bersama-sama, sampai periode akhir Bani Abbasiah, istilah Bani Hasyim lebih banyak digunakan untuk orang-orang Bani Abbas, sampai-sampai maksud dari Bani Hasyim adalah orang-orang Bani Abbas di hadapan keluarga Abi Thalib dan keluarga Ali as. [60] (Namun sebelum periode ini, sewaktu Kumait bin Zaid Asadi (W. 126 H) melantunkan ke-Hasyimiannya, maksudnya adalah menuturkan musibah-musibah dan bencana keluarga Ali as. Sekarang ini juga di Iran, istilah Bani Hasyim dipakai dengan makna ini).
Persengketaan politik Abbasiah dengan Alawi juga mengakibatkan perbedaan dua cabang Hasyimi ini dalam perkara ideologi. Kaum Alawi populer dengan tasyayyu' dan Abbasiah bersama dengan keyakinan mayoritas kaum muslim sunni dalam bab keimamahan. [61]
Abad-abad Berikutnya
Abbasiah memegang tampuk pemerintahan sampai pada tahun 656 H. [62] Disamping mereka, silsilah keturunan Hasyimi lainnya juga memegang kendali pemerintahan, seperti Fathimiyyun di Mesir, Idrisiyyun (keluarga Idris) di Maroko, dan Alawiyyun di Tabristan.
Dari abad keempat sampai pertengahan pertama abad keempat belas (1343 H) keluarga dari sayid-sayid Bani Hasan di Mekah mendapatkan kepemimpinan, yang menisbatkan dirinya kepada nenek moyang mereka, Hasyim bin Abdi Manaf. Pemerintahan Hasyimi Hijaz, Irak, dan Jordan juga berasal dari keluarga ini.
Hukum Fikih Khusus
Bani Hasyim dalam fikih juga menjadi subyek sebagian hukum. Sebagian dari khumus diberikan kepada keturunan Hasyim, dari jalur Abdul Muththalib dan sebaliknya, kecuali dalam beberapa hal khusus, zakat tidak diberikan kepada mereka. [63] Dalam sebuah riwayat yang juga masyhur di kalangan Ahlusunah, dalil adanya pelarangan semacam ini karena martabat mereka yang tinggi . [64]
Sifat-sifat Bani Hasyim
Sifat-sifat terpuji seperti dermawan dan pemberi, jauh dari kehinaan dan keburukan dan kesatria untuk keturunan Hasyim dan Abdul Muththalib (Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib) juga dapat terlihat dalam laporan-laporan. [65] Hilful Fudhul (dimana di situ Bani Hasyim beserta beberapa kelompok lainnya komitmen untuk membela orang-orang yang tertindas sampai mendapatkan haknya) merupakan contoh logis atas kedermawanan dan kesatria Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.
Ibnu Abbas menuturkan 7 sifat untuk Bani Abdul Muththalib, di antaranya adalah: tampan, pandai bicara, dermawan dan kesatria, pemberani, berilmu, sabar, dan memuliakan para wanita. [66] Ibnu Habib Baghdadi menuturkan dari Kalbi, yang juga menanyakan kepada Imam Ali as tentang keistimewaan Bani Hasyim dan Bani Umayyah; beliau menjawab bahwa Bani Hasyim adalah orang-orang yang tampan, pandai bicara, dan kesatria. [67]
Demikian juga, kaum Hasyimi terkenal dengan pemilik kemuliaan; [68] sifat lainnya, merasa cukup meskipun dalam kondisi paling susah, dengan adanya semua problem menganggap dirinya sebagai pemilik kedudukan dan tidak menghilangkan martabat sosialnya. [69]
Bani Hasyim dalam Riwayat-riwayat Rasulullah saw
Gang Bani Hasyim
Dalam hal ini juga diriwayatkan dari Rasulullah saw; bahwa suatu ketika Rasulullah keluar dari rumahnya, ia keluar dengan sangat gembira dan masyarakat kemudian mempertanyakan penyebab kegembiraan itu, ia menjawab:
Jibril datang dari sisi Allah swt dan berkata: Allah memilih tujuh orang dari Bani Hasyim yang mana Dia tidak menciptakan seperti mereka pada masa silam dan di masa mendatang: Engkau wahai Rasulullah, Ali washimu, Hasan dan Husain cucumu, Hamzah pamanmu, Ja'far anak pamanmu, dan Qaim (Af) yang mana Nabi Isa salat di belakangnya. [70]
Demikian juga terdapat dalam riwayat, dikarenakan kaum Muhajirin, Anshar dan Bani Hasyim berselisih manakah diantara mereka yang lebih dicintai di sisi Rasulullah, maka beliau menyebut dirinya sebagai saudara Anshar dan dari kalangan Muhajirin, akan tetapi mengenai Bani Hasyim beliau bersabda: “Kalian dariku dan bersamaku.” [71]
Banyak pula dari referensi-referensi Ahlusunnah yang menegaskan hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasululah saw yang berupaya memperkenalkan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib sebagai Arab terbaik dan bahkan sebaik-baik manusia. [72]
Namun, dengan memperhatikan bahwa biasanya riwayat-riwayat ini dinukilkan pada masa pemerintahan Bani Abbas, maka bisa jadi riwayat ini dinukilkan dalam rangka membela penguasa Abbasiah; khususnya Abbasiah berupaya menonjolkan penisbatan dirinya kepada Bani Hasyim. Dengan demikian harus dimengerti reaksi-reaksi Rasulullah saw di hadapan sebagian orang-orang Bani Hasyim diartikan dari sudut pandang penghormatan beliau kepada orang-orang mukmin Hasyimi dan para penolongnya. [73]
Kedudukan Bani Hasyim dikalangan Kaum Muslimin
Bani Hasyim dikarenakan kedudukan agung mereka sebelum Islam dan juga penisbahan mereka kepada Rasulullah saw, mereka memperoleh kedudukan terhormat dalam pandangan kaum muslimin. Kecintaan dengan keluarga Hasyim sebagai keluarga Rasulullah saw dalam dunia Islam merupakan kebudayaan yang marak. Contoh dari hal ini adalah pembelaan kaum muslimin terhadap Abbasiah sebagai Bani Hasyim atau banyak dari pemerintahan-pemerintahan muslim terbentuk dengan nama Hasyimi.
Diantara manifestasi budaya hal ini adalah banyaknya pujian-pujian seperti "Hasyimiyat" Kumait bin Zaid Asadi, yang dilantunkan dalam mensifati keluarga ini. [74] Dan manifestasi lainnya adalah banyaknya penghormatan kalangan Ahlusunnah untuk kelompok-kelompok dalam dunia Islam yang masyhur dengan sifat Hasyimi; di antaranya adalah banyaknya penghormatan kepada para Habaib (anak cucu keturunan Rasulullah saw) di Iran.
Catatan Kaki
1. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 63-64.
2. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 98.
3. Q.S. Quraisy.
4. Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 312; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 62.
5. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 62.
6. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 62; Ibn Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 201-201.
7. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 251, 253.
8. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 99.
9. Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 364.
10. Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 21; Syaikh Thusi, Al-Tibyan, jld. 5, hlm. 123; Thabarsi, Majma’ al-Bayan, jld. 4, hlm. 836.
11. Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm, “Bani Hasyim”, jld. 6, hlm. 330.
12. Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, pada pembahasan “Bani Hasyim”; Muntazar Qaim, Tārīkh Sadre Islām, hlm. 95.
13. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 62; Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 252.
14. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 253.
15. Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 311.
16. Muqrizi, Al-Niza’ wa al-Takhashum, hlm. 56; Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghānī, jld. 6, hlm. 360-365.
17. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 63.
18. Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 372.
19. Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 189-190.
20. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 103; Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 53.
21. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 163-164; Ya’qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 389.
22. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 248.
23. Thabari, Tarikh, jld.3, hlm. 319.
24. Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, prolog Abu Thalib, jld. 5, hlm. 619.
25. Ibnu Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 386; Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 265.
26. Muhammad bin Sayid al-Nas, ‘Uyūn al-Atsar, jld. 2, hlm. 74.
27. Sebagai contoh lihat: Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 321-324.
28. Ibnu Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 221; Ibn Sa’ad, al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 163; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib, jld. 1, hlm. 94.
29. Waqidi, al-Maghazi, hlm. 617; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib, jld. 1, hlm. 94.
30. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 336-339.
31. Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, prolog Abu Lahab.
32. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 348; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 165.
33. Muhammad bin Sayid al-Nas, ‘Uyun al-Atsar, jld. 1, hlm. 333.
34. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 2, hlm. 29; Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghāni, jld. 4, hlm. 194.
35. Thabari, Dzakhāir al-‘Uqbā, hlm. 191.
36. Ibid., hlm. 241.
37. Ibid., hlm. 191.
38. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 2, hlm. 45.
39. Thabari, Tārīkh, jld. 5, hlm. 223; Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 5, hlm. 209.
40. Nahjul Balāghah, Khotbah 144.
41. Thabari, Tārīkh, jld. 5, hlm. 223.
42. Al-Baladzuri, Futūh al-Buldān, hlm. 627-628; Thabari, Tārīkh, jld. 5, hlm. 209.
43. Abul Faraj Ishfahani, al-Aghāni, jld. 6, hlm. 371; Muqrizi, al-Niza’ wa al-Takhashum, hlm. 9.
44. Nahjul Balāghah, surat 17.
45. Thabari, Dzahāir al-‘Uqbā, hlm. 244; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 4, hlm. 59.
46. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 1, hlm. 265.
47. Ya’qubi, Tārīkh, jld. 2, hlm. 141; Abul Faraj Ishfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 42.
48. Ibn A’tsam, al-Futūh, jld. 3, hlm. 153.
49. Syaikh Abbas al-Qummi, Nafas al-Mahmūm, hlm. 443.
50. Ibid., hlm. 68.
51. Abul Faraj Ishfahani, Maqātil al-Thālibiyyīn, hlm. 52, 60-61.
52. Abul Faraj Ishfahani, al-Aghāni, jld. 9, hlm. 21; Ya’qubi, Tārīkh, jld. 2, hlm. 205.
53. Abul Faraj Ishfahani, al-Aghāni, jld. 17, hlm. 6.
54. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld. 4 (1), hlm. 317
55. Khayath bin Khalifah, Tārīkh, jld. 2, hlm. 616.
56. Ya’qubi, Tārikh, jld. 2, hlm. 317, 319, 322.
57. Ibid., hlm. 319.
58. Thabari, jld. 10, hlm. 336; jld. 11, hlm. 427.
59. Semisalnya, Nu’mani, Al-Ghaibah, hlm. 146 dan 258; Ibn Babawaih, hlm. 41.
60. Semisalnya, Rujuk Thabari, jld. 11, hlm. 423 dan 571.
61. Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī., jld. 12, dalam pembahasan “Bani Hasyim”.
62. Ibn Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 13, hlm. 171.
63. Najafi, jld. 15, hlm. 406-415; jld. 16, hlm.104.
64. Thusi, Tahdzīb al-Ahkām, jld. 4, hlm. 57 dan seterusnya.
65. Habib, al-Qaul al-Jāzim, hlm. 157; Ibn Sa’ad, l-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 75.
66. Thabari, Dzakhāir al-‘Uqbā, hlm. 15; Habib, al-Qaul al-Jāzim, hlm. 157.
67. Ibn Habib, al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 41.
68. Ibn A’tsam, al-Futūh, jld. 3, hlm. 48.
69. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld 4 (1), hlm. 111-112 dan 143.
70. Al-Kulaini, al-Kāfi, jld. 8, hlm. 50; Al-Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 51, hlm. 77-78.
71. Ibnu Syahr Asyub, al-Manaqib, jld. 3, hlm. 379; Al-Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 22, hlm. 312.
72. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 19, hlm. 210; Suyuthi, al-Dur al-Mantsūr, di bawah surat Al-Nisa’: 125 dan surat Al-Isra’: 70; Habib, al-Qaul al-Jāzim, hlm. 153.
73. Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm, jld. 6, hlm. 343.
74. Semisalnya, lihat, Amini, al-Ghadīr, jld. 2, hlm. 181 dan seterusnya.
Catatan [Note]
1. Ikatan janji yang terjadi seblum Islam antara Bani Abdi Manaf dan beberapa kelompok Quraisy.
2. Perjanjian yang terjadi sebelum Islam antara Bani Abd al-Dar dan beberapa kelompok Quraisy melawan Bani Abdi Manaf dan para sekutunya.
3. Nama sebuah tali perjanjian diantara sebagian kelompok Quraisy di masa jahiliyah sebelum Islam untuk membela orang-orang yang tertindas. Bani Hasyim, Bani Mutthalib, anak-anak Abdi Manaf, Bani Zuhrah bin Kilab, Bani Taim Murrah dan Bani Asad bin Abdul Uzza bin Qushai adalah kelompok-kelompok yang menjadi peserta dalam perjanjian ini.
Daftar Pustaka
- Prolog Bani Hasyim dalam Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī.
- Prolog Bani Hasyim dalam Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm.
- Ibnu Abil Hadid Mu’tazili, Syarh Nahjul Balāghah, disusun oleh A’lami, cet. 1, Beirut, Muassasah A’lami, 1415 H.
- Ibn A’tsam Kufi, Ahmad, al-Futūh, riset Ali Syiri, Beirut, 1411 H/1991.
- Ibn Babawaih, Muhammad, Kamaluddin wa Tamam al-Ni’mah, riset Ali Akbar Ghaffari, Qom, 1405 H.
- Ibn Habib, Muhammad, al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, riset Ahmad Faruq, cet. 1, Beirut, Alam al-Kutub, 1405 H.
- Ibn Sa’ad, Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ al-Hasyimi al-Bashri, al-Thabaqāt al-Kubrā, diteliti oleh Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah, cet. 1, 1410 H/1990.
- Ibn Syahr Asyub, Muhammab bin Ali, Manāqib Ali Abi Thālib, riset Yusuf al-Buqa’i, cet. 2, Beirut, Darul Adhwa’, 1412 H.
- Ibn Katsir, Abul Fida’ Ismail bin Umar al-Damisyqi, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, riset Ali Muhammad Mu'awwidh dan Adil Ahmad, cet. 2, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah, 1418 H.
- Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad Saw, Payombare Islām (Al-Sirah Al-Nabawiah), ter. Sayid Hasyim Rasuli, Tehran, Intisyarat Kitabci, cet. 5, 1416 H.
- Abul Faraj al-Ishfahani, al-Aghani, riset Ali Muhanna dan Samir Jabir, cet. 2, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun.
- Abul Faraj al-ishfanai, Maqātil al-Thālibiyyin, riset Kadzim Mudzaffar, cet. 2, Qom, Darul Kitab, 1385 H.
- Amini, Abdul Husain, al-Ghadīr, Beirut, 1379 H.
- Al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Futūh al-Buldān, ter. Muhammad Tawakkul, Tehran, Nasyre Nuqreh, cet. 1, 1958 H.
- Al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Ansab al-Asyraf, jld. 1, riset Muhammad Hamidullah, Kairo, 1959, jld. 4 (1), disusun Ihsan Abbas, Beirut, 1400 H/1979.
- Habib, Jamil Ibrahim, al-Qaul al-Jazim fī Nasabi Banī Hāsyim, Baghdad, Maktabah Darul Kubub al-Ilmiah, 1987.
- Khalifah bin Khayath, Tarikh, riset Suhail Zikar, Damaskus, 1968.
- Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, dibawah pengawasan Kazim Musavi Bujnurdi, Tehran, Markas Dairat al-ma’arif Buzurg-i Islami, 1425 H.
- Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm, Dairat al-Ma’arif Qurane Karim, jld. 6, disusun oleh Markas Farhang wa Ma’arfi Quran, Qom, Muassasah Bustan Kitab, 1428 H.
- Suyuthi, Jalaluddin, al-Dur al-Mantsūr fī al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr, Beirut, Darul Fikr, 1414 H.
- Syaikh Abbas al-Qummi, Nafasul Mahmum fi Mushibat Sayyidinā al-Husain al-Mazlūm, diteliti oleh Ridha Ustadi, Qom, Maktabah Bashirati, 1405 H.
- Thabarsi, Fadhl bin al-Hasan, Majma’ al-Bayān fī Tafsīr al-Qurān, Beirut, Darul Ma’rifah, Offset, Tehran, Nashir Khosro, 1406 H.
- Thabari, Ahmad bin Abdullah, Dzahāir al-‘Uqbā fī Manāqib Dawil Qurbā, Beirut, Darul Ma’rifah, 1974.
- Thabari, Muhammad bin Jurair, Tārīkh Thabari, terj. Abul Qasim Payandeh, cet. 5, Teheran, Asathir, 1417 H.
- Ath-Thusi, Muhammad bin al-Hasan, Al-Tibyān fi Tafsīr al-Qurān, riset Ahmad Habib al-Amuli, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, tanpa tahun.
- Ath-Thusi, Muhammad, Tahdzīb al-Ahkām, riset Hasan Musavi Khorasan, Tehran, 1406 H.
- Al-Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, al-Kāfi, disusun Ali Akbar Ghaffari, cet. 3, Beirut, Darut Ta’aruf, 1401 H.
- Al-Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, cet. 3, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1403 H.
- Muhammad bin Sayid al-Nas, 'Uyūn al-Atsar fī Funūn al-Maghāzi wa al-Syamāil wa al-Sair, Beirut, Muassasah ‘Izzuddin, 1406 H.
- Al-Muqrizi, Taqiyuddin Ahmad bin Ali, al-Niza' wa al-Takhashum baina Bani Umayyah wa Bani Hāsyim, disusun Husain Munis, Qom, Intisyarat Syarif Radhi, 1412 H.
- Muntazar Qaim, Ashghar, Tārīkh Sadre Islām, Ishfahan, Intisyarat Danesgah Ishfahan, 1419 H.
- Najafi, Muhammad Hasan bin Baqir, Jawāhir al-Kalām fi Syarh Syarā’I al-Islām, Beirut, 1981.
- Nu’mani, Muhammad, al-Ghaibah, riset Faris Hasun Karim, Qom, 1422 H.
- Nahjul Balāghah, cet. Shubhi Shalih, Beirut, (Tarikh Muqaddimah), cet. Offset-Qom, tanpa tahun.
- Al-Waqidi, Muhammad bin Umar, Maghāzi Tārikh Janghāye Payāmbar (Saw), ter. Mahmud Mahdavi Damghani, cet. 2, Tehran, Markas Nasyr Danesgahi, 1411 H.
- Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub bin Wadhih, Tārikh Ya’qubi, Terjmh. Muhammad Ibrahim Ayati, cet. 6, Tehran, Intisyarat Ilmi wa Farhanggi, 1413 H.
(Yeshiva-Institute/Wiki-Shia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar