Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Stop Pendirian FK Baru: Pendidikan Dokter di Ujung Tanduk?

Stop Pendirian FK Baru: Pendidikan Dokter di Ujung Tanduk?

Written By Unknown on Selasa, 07 Agustus 2018 | Agustus 07, 2018


Pada Kamis, 19 Juli lalu ratusan orang yang tergabung dalam Pergerakan Dokter Muda Indonesia (PDMI) berdemo di depan Pintu Barat Monas, Jakarta Pusat. Alasan mereka berdemo adalah untuk meminta Presiden Joko Widodo menyelesaikan polemik ijazah mereka yang ditahan oleh pihak kampus. Menurut mereka, ijazah mereka ditahan oleh pihak kampus karena mereka belum lulus Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang sebelumnya bernama Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). UKMPPD yang disahkan melalui UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran tentang Tata Cara Ujian Kompetensi adalah syarat mahasiswa kedokteran untuk memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.

Menurut PDMI, ijazah kelulusan dengan sertifikat profesi memiliki tupoksi yang berbeda. Ketika dokter muda dinyatakan lulus yudisium, seharusnya sudah mendapatkan ijazah. Sedangkan, UU No. 20 Tahun 2013 mensyaratkan UKMPPD sebagai exit exam mahasiswa kedokteran dalam rangka memperoleh sertifikat kompetensi dan sertifikat profesi sebagai pengganti ijazah.

Pendidikan kedokteran adalah pendidikan yang sangat krusial karena berhubungan langsung dengan nyawa manusia. Kualitas pendidikan kedokteran menjadi harga yang tidak bisa ditawar untuk menghasilkan kualitas dokter bermutu. Kita sebagai manusia tentu ingin diri dan keluarga kita ditangani oleh seorang dokter kompeten dan profesional ketika sedang sakit atau dalam keadaan terancam nyawa.

Masalah di atas merupakan contoh dari carut marutnya pendidikan kedokteran di Indonesia yang sudah berlarut-larut dan didiamkan. Masih banyak masalah krusial yang telah diketahui pemerintah terkait dengan pendidikan kedokteran di Indonesia, namun pemerintah masih bergeming. Masalah itu semua akan menjadi “bom waktu” yang bisa mengancam generasi Indonesia.

Life-saving manusia memang tanggung jawab seorang dokter, tetapi bagaimana menghasilkan dokter yang berkualitas adalah tanggung jawab pemerintah. Pemerintah memiliki hak prerogatif untuk menyeleksi calon dokter ini sejak mahasiswa. Mulai dari hulu (proses pendirian Fakultas Kedokteran dan proses penerimaan mahasiswa baru) sampai hilir (pendidikan kedokteran berkelanjutan bagi dokter) adalah kewajiban pemerintah. Sudah banyak pakar dan stakeholders yang dilibatkan dan dimintai saran terkait dengan pengembangan pendidikan kedokteran dan dunia kesehatan Indonesia saat ini. Pemerintah memiliki bekal lebih dari cukup, hanya saja belum tereksekusi.


Stop Pendirian FK Baru

Saat ini jumlah Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia sebanyak 86, di mana 75 di antaranya sudah menghasilkan lulusan dokter dan 11 lainnya belum meluluskan dokter. Pada September 2017, pemerintah secara resmi telah mencabut moratorium pendirian FK baru. Alasan pencabutan itu karena adanya peningkatan akreditasi dari dari delapan kampus C menjadi B. Persentase akreditasi menjadi 20 FK terakreditasi A, 44 FK terakreditasi B, 22 FK terakreditasi C dan akreditasi minimal (sumber: LAM PT KES).

Alasan kedua yang sering disampaikan pemerintah adalah masalah rasio dokter. Hingga saat ini jumlah dokter di Indonesia bisa dikatakan cukup. Data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 21 Juli 2018 mencapai 128.351 orang. Artinya, satu dokter melayani 2.025 penduduk (dengan asumsi penduduk Indonesia saat ini 260 juta jiwa). Jumlah ini sudah mendekati rasio ideal dokter yang disyaratkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 1:2500. Kementerian Kesehatan sendiri menargetkan rasio dokter mencapai 1:2000 (sudah tercapai).

Hal yang seharusnya memerlukan perhatian khusus adalah terkait belum meratanya distribusi dokter, bukan rasio dokternya. Selama ini pendirian FK baru dan penempatan dokter-dokter masih terpusat di Pulau Jawa. Maldistribusi dokter ini sering terjadi karena minimnya insentif dan fasilitas di pulau-pulau terpencil, sehingga para dokter berpikir dua kali untuk mengabdi di pulau-pulau terpencil. Padahal, seharusnya hal ini tidak menjadi masalah jika hak yang didapat dokter seimbang sesuai kewajiban beban kerja.

Selama ini pemerintah terkesan sangat mudah membuka FK baru, sedangkan hasil akreditasi dan hasil UKMPPD masih jauh dari harapan. Banyaknya pendirian FK tanpa seleksi yang ketat justru akan menjadi beban negara ke depan. Berdasarkan keterangan Ketua KKI Prof Bambang Supriyatno pada diskusi Menata Cetak Biru Sumber Daya IPTEK DIKTI Menuju Indonesia Emas pada Desember 2017 lalu, ada 2.500 dokter muda yang gagal lulus UKMPPD. Jika merujuk rasio ideal satu dokter diharapkan melayani 2.000 penduduk, tentu ini menjadi problem nasional yang serius jika terus dibiarkan. Belum lagi ditambah dengan pertumbuhan dokter muda di Indonesia yang diperkirakan akan bertambah 12.000 dokter muda pada 2018. (Kepala BPPSDM Kemenkes).

Kesehatan adalah bagian dari ketahanan nasional dan tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa tahun 2019 Indonesia akan fokus ke pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Pembangunan SDM yang dimaksud presiden sangat berkaitan erat dengan pendidikan dan kesehatan. Kita dapat memulai menata itu semua mulai dari peningkatan kualitas dokter Indonesia sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di negeri ini.

Dr. Jagaddhito Probokusumo Program Pendidikan Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pengurus Ikatan Dokter Indonesia Surabaya

(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: