Perbedaan latarbelakang budaya tak menghalangi pernikahan putri Cendana dengan seorang perwira.
Suatu hari, Prabowo Subianto membuat ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, terkejut. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia minta izin hendak memperkenalkan pacarnya. Bowo, sapaan akrab Prabowo, akhirnya mendapat lampu hijau.
Sumitro terkesan dengan kepribadian pacar anak ketiganya itu saat mereka bertemu kemudian. Pak Cum, sapaan akrab Sumitro, juga merasa mengenal perempuan itu. “Siapa wanita ini? She looks familiar,” ujar Sumitro membatin, tulis Hendra Esmara dan Heru Cahyono dalam biografi Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Alih-alih menjelaskan lengkap, Bowo cuma memberitahu bahwa pacarnya itu termasuk salah satu murid Sumitro.
Belakangan, Sumitro mengetahui bahwa pacar anaknya adalah Siti Hediyati, putri keempat Presiden Soeharto. Selain senang, Sumitro juga agak khawatir dengan keseriusan anaknya menjalin hubungan dengan Titiek, sapaan akrab Siti Hediyati. Pasalnya, Sumitro tahu Bowo pernah menjalin hubungan dengan beberapa perempuan. Yang paling serius, saat Bowo menjalin hubungan dengan seorang gadis Yogya. Namun hubungan itu berakhir karena Bowo terlalu sibuk sebagai tentara.
Maka, kali ini Sumitro mewanti-wanti Bowo. “Kalau kali ini kamu tidak serius, payah deh kamu.”
Hubungan Bowo dan Titiek sudah berjalan hampir dua tahun kala itu. Selain kepada ayahnya, Bowo juga memperkenalkan Titiek kepada neneknya. Mengetahui itu, Sumitro baru yakin bahwa Bowo serius karena ibunda Sumitro adalah orang paling disegani dalam keluarga. Sama seperti Sumitro, neneknya juga menangkap kesan baik dari Titiek meski dia belum mengetahui siapa Titiek sebenarnya. Dia mengira Titiek anak Yogya yang kuliah di Jakarta dan mondok di kawasan sekitar Menteng. “Prabowo agaknya masih menyembunyikan identitas Titiek,” tulis Hendra dan Heru.
Seorang kemenakan Sumitro-lah yang kemudian mengenali Titiek sebagai keluarga Cendana. Kontan sikap nenek Bowo langsung sedikit berubah. Nenek Bowo antifeodal, jadi enggan karena tahu Ibu Tien Soeharto adalah keluarga Mangkunegaran. Tapi, baik dia maupun Sumitro sesungguhnya cukup tertarik dengan kepribadian Titiek.
Sementara, Keluarga Cendana pun sudah mengetahui hubungan Titiek dan Bowo. Ibu Tien juga pernah membicarakannya dengan Sumitro. Keduanya bersepakat untuk tidak mengumumkan apapun sampai ada kejelasan dari Bowo dan Titiek.
Hambatan budaya di antara kedua keluarga juga menjadi sebab tidak segera diumumkannya hubungan Bowo-Titiek. Sumitro, dengan latar belakang budaya egaliter, berpendidikan Barat, dan minim pemahaman terhadap budaya Jawa, mesti berhadapan dengan keluarga Cendana yang kental budaya Jawanya. Bowo pun demikian, dia menganggap aneh orang-orang yang hendak ikut campur dalam hubungannya dengan Titiek. Tapi dia mantap menjawab ketika sekali lagi ditanya keseriusannya oleh Sumitro. “Ya, nanti saya lamar,” jawab Bowo. Mendengar hal itu, Sumitro buru-buru menjelaskan bahwa dia tidak bisa melamar sendiri, tapi harus pihak keluarga.
Jalan terbuka ketika utusan keluarga Cendana menemui Sumitro dan memberitahu bahwa keluarga Sumitro diperkenankan melamar Titiek. Untuk menjembatani perbedaan budaya di antara kedua keluarga, Sumitro memilih untuk mengutarakan lamaran dalam bahasa Indonesia, lebih egaliter.
Proses lamaran pun berjalan lancar. Soeharto dengan senang hati menerima Bowo dan Titiek menikah. Kepada Sumitro, Soeharto meminta secara khusus untuk memberi nasehat kepada kedua calon mempelai sebelum pernikahan dilangsungkan. “Sumitro memahami ‘kecemasan’ Soeharto mengingat dua anak ini: yang satu seorang perwira tapi tak mengerti adat Jawa, dan yang wanita masih suka disco,” tulis Hendra dan Heru.
Bowo dan Titiek akhirnya melangsungkan pernikahan pada 8 Mei 1983 di Taman Mini Indonesia Indah. Jenderal TNI M. Jusuf bertindak sebagai saksi.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Pernikahan Prabowo Subianto dan Titiek Soeharto, 1983. (Foto: @imanbr).
Suatu hari, Prabowo Subianto membuat ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, terkejut. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia minta izin hendak memperkenalkan pacarnya. Bowo, sapaan akrab Prabowo, akhirnya mendapat lampu hijau.
Sumitro terkesan dengan kepribadian pacar anak ketiganya itu saat mereka bertemu kemudian. Pak Cum, sapaan akrab Sumitro, juga merasa mengenal perempuan itu. “Siapa wanita ini? She looks familiar,” ujar Sumitro membatin, tulis Hendra Esmara dan Heru Cahyono dalam biografi Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Alih-alih menjelaskan lengkap, Bowo cuma memberitahu bahwa pacarnya itu termasuk salah satu murid Sumitro.
Belakangan, Sumitro mengetahui bahwa pacar anaknya adalah Siti Hediyati, putri keempat Presiden Soeharto. Selain senang, Sumitro juga agak khawatir dengan keseriusan anaknya menjalin hubungan dengan Titiek, sapaan akrab Siti Hediyati. Pasalnya, Sumitro tahu Bowo pernah menjalin hubungan dengan beberapa perempuan. Yang paling serius, saat Bowo menjalin hubungan dengan seorang gadis Yogya. Namun hubungan itu berakhir karena Bowo terlalu sibuk sebagai tentara.
Maka, kali ini Sumitro mewanti-wanti Bowo. “Kalau kali ini kamu tidak serius, payah deh kamu.”
Hubungan Bowo dan Titiek sudah berjalan hampir dua tahun kala itu. Selain kepada ayahnya, Bowo juga memperkenalkan Titiek kepada neneknya. Mengetahui itu, Sumitro baru yakin bahwa Bowo serius karena ibunda Sumitro adalah orang paling disegani dalam keluarga. Sama seperti Sumitro, neneknya juga menangkap kesan baik dari Titiek meski dia belum mengetahui siapa Titiek sebenarnya. Dia mengira Titiek anak Yogya yang kuliah di Jakarta dan mondok di kawasan sekitar Menteng. “Prabowo agaknya masih menyembunyikan identitas Titiek,” tulis Hendra dan Heru.
Seorang kemenakan Sumitro-lah yang kemudian mengenali Titiek sebagai keluarga Cendana. Kontan sikap nenek Bowo langsung sedikit berubah. Nenek Bowo antifeodal, jadi enggan karena tahu Ibu Tien Soeharto adalah keluarga Mangkunegaran. Tapi, baik dia maupun Sumitro sesungguhnya cukup tertarik dengan kepribadian Titiek.
Sementara, Keluarga Cendana pun sudah mengetahui hubungan Titiek dan Bowo. Ibu Tien juga pernah membicarakannya dengan Sumitro. Keduanya bersepakat untuk tidak mengumumkan apapun sampai ada kejelasan dari Bowo dan Titiek.
Hambatan budaya di antara kedua keluarga juga menjadi sebab tidak segera diumumkannya hubungan Bowo-Titiek. Sumitro, dengan latar belakang budaya egaliter, berpendidikan Barat, dan minim pemahaman terhadap budaya Jawa, mesti berhadapan dengan keluarga Cendana yang kental budaya Jawanya. Bowo pun demikian, dia menganggap aneh orang-orang yang hendak ikut campur dalam hubungannya dengan Titiek. Tapi dia mantap menjawab ketika sekali lagi ditanya keseriusannya oleh Sumitro. “Ya, nanti saya lamar,” jawab Bowo. Mendengar hal itu, Sumitro buru-buru menjelaskan bahwa dia tidak bisa melamar sendiri, tapi harus pihak keluarga.
Jalan terbuka ketika utusan keluarga Cendana menemui Sumitro dan memberitahu bahwa keluarga Sumitro diperkenankan melamar Titiek. Untuk menjembatani perbedaan budaya di antara kedua keluarga, Sumitro memilih untuk mengutarakan lamaran dalam bahasa Indonesia, lebih egaliter.
Proses lamaran pun berjalan lancar. Soeharto dengan senang hati menerima Bowo dan Titiek menikah. Kepada Sumitro, Soeharto meminta secara khusus untuk memberi nasehat kepada kedua calon mempelai sebelum pernikahan dilangsungkan. “Sumitro memahami ‘kecemasan’ Soeharto mengingat dua anak ini: yang satu seorang perwira tapi tak mengerti adat Jawa, dan yang wanita masih suka disco,” tulis Hendra dan Heru.
Bowo dan Titiek akhirnya melangsungkan pernikahan pada 8 Mei 1983 di Taman Mini Indonesia Indah. Jenderal TNI M. Jusuf bertindak sebagai saksi.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar