Ilustrasi
Buni Yani mengajukan banding ke Pengadilan Negeri (PN) Klas I Bandung, Senin (20/11/2017), atas vonis 1,5 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim kepadanya dalam kasus pelanggaran UU ITE.
Menurut Buni, tuduhan kepadanya tidak berdasar karena tidak melalui riset yang mumpuni. Akibatnya, hal tersebut menjadikannya terdakwa dan dinyatakan bersalah oleh majelis hakim.
”Kami sudah menghadirkan 6 ahli lho ya untuk membantah apa yang dituduhkan pendukung Ahok tersebut. Tim Ahli kami itu ada Prof Yusril Ihza Mahendra, ahli teori hukum; Prof Musni Umar, ahli sosiologi; Prof Ibnu Muhamad, ahli komunikasi; lalu ada dua lagi ahli pidana yaitu Doktor Khoir Ramadhan dan Doktor Muzakir, lalu ahli bahasa Doktor Andika Duta Bahari,” katanya di sela pendaftaran banding.
“Ada enam ahli, tetapi si hakim ini lebih percaya kepada pendukungnya Ahok daripada enam ahli kita,” tambahnya.
Buni yang mengenakan kemeja abu bergaris dan datang dengan didampingi kuasa hukumnya, Syawaludin, itu pun berharap mendapat keadilan dan kemenangan persidangan ini.
“Jelas menanglah. Mudah-mudahan ada keadilan di negara kita yang luar biasa bobroknya penegakan hukum ini. seorang dosen berdiskusi di Facebook tetapi kemudian lalu menjadi dianggap punya unsur pidana, kan gila,” tuturnya.
Sementara itu, kuasa hukum Buni, Syawaludin, menjelaskan, kedatangan bersama kliennya ke PN Bandung untuk melakukan legalisir surat kuasa untuk banding yang nantinya akan berlanjut ke akta pengajuan banding.
Dia mengatakan, pengajuan banding itu didasari pendapat yang berbeda terkait keputusan yang telah ditetapkan Majelis Hakim M Saptono. Menurut dia, Buni Yani sama sekali tidak bersalah.
“Klien kami itu sama sekali tak bersalah dan persidangan pun terbukti tak ada buktinya tapi ternyata keputusannya berbeda dengan kami,” tuturnya.
Dia mencontohkan, pada dakwaan pemotongan video di Pasal 32 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada kliennya itu tidak terbukti bersalah. Pasalnya beberapa ahli menyatakan bahwa Buni Yani tak melakukan pemotongan terhadap video mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu.
“Tak ada saksi, bukti suratnya juga atau dokumen dan juga ahli yang menyatakan terkait Pak Buni itu dikaitkan dengan pasal tersebut,” tuturnya.
Pihaknya juga mempertanyakan putusan majelis yang menyebut unduhan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu harus seizin Pemprov DKI. Padahal, katanya, video itu diunggah Pemprov DKI ke YouTube dan disiarkan secara umum.
“Tiba-tiba ada konsep harus izin dari Pemprov DKI, padahal kan itu videonya pun di-publish di publik, yang artinya terbuka untuk umum. Siapa saja boleh melihat dan men-download,” tuturnya.
Kemudian, lanjut Syawaludin, konsep menambah dan mengurangi yang dilakukan Buni Yani terhadap video tersebut pun dinilainya tak terbukti.
“Tak ada yang lihat Buni melakukan pemotongan ataupun memberikan tambahan informasi yang mengaburkan fakta. Itu tak ada,” tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada Buni Yani dalam kaaua pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Gedung Dinas Perpustakaan dan Arsip, Jalan Seram, Kota Bandung, Selasa (14/11/2017) siang
Majelis Hakim yang diketuai M Saptono itu menilai Buni Yani secara sah dan meyakinkan bersalah atas perbuatannya.
(Kompas/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar