Imam Ja`far Ash-Shadiq berkata: “Kebahagiaan adalah penyebab kebaikan yang dipegang oleh orang yang bahagia, sehingga mendorongnya menuju kesuksesan.”
Makhluk hidup[1] ialah makhluk yang bisa melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan sistem daya tarik umum. Benda padat (al-jam^ad) dan tumbuh-tumbuhan tidak mampu berbuat seperti itu. Hewan, misalnya, bisa memanjat tebing dan berpindah-pindah sesuai dengan kendali kecenderungannya (insting). Sedangkan air laut tidak dapat berbuat yang sama, yakni air laut tidak melampaui dataran yang tinggi kecuali jika dikehendaki oleh sang Pencipta. Hal ini menunjukkan bahwa makhluk hidup mempunyai kekuatan psikologis yang istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kekuatan psikologis tersebut ialah iradah (kehendak). Dahulu para ahli logika mendefinisikan makhluk hidup sebagai sesuatu yang bergerak dengan kehendak (al-mutaharrik bil iradah).
Kekuatan psikologis ini (iradah) jumlahnya satu. Dan penisbatannya kepada semua perbuatan yang dilakukan oleh hewan (al-hayawan) adalah suatu penisbatan yang sama (nisbah mutasawiyyah). Oleh karena itu, mustahil bila ‘kehendak’ akan mengarah pada suatu perbuatan jika tanpa ditopang oleh makhluk itu sendiri. Jelasnya, hewan memiliki kehendak yang akan menimbulkan perbuatan dan kreatifitas, dan bahwa ‘kehendak’ ini mempunyai tujuan-tujuan yang mengarahkannya pada hal-hal yang selayaknya dilakukan atau ditinggalkan. Dalam hal ini terdapat kesamaan antara manusia dan semua jenis hewan.
Sedangkan yang membedakan manusia dari hewan ialah bahwa tujuan-tujuan manusia diawali dengan pertimbangan dan pemikiran. Manusia mampu untuk berpikir, mencari sebab dari suatu kejadian, dan bisa membandingkan antara hal yang saling bertentangan serta mampu menganalogikan masalah-masalah yang lampau dengan kejadian yang akan datang, sehingga dapat memilih mana yang baik dan yang jelek. Sedangkan hewan hanya dikendalikan oleh ilusi (al-wahm) saja untuk mengikuti nalurinya, baik yang bersifat memerintah maupun yang melarang, dan selebihnya (selain naluri) ia tidak memiliki pembimbing atau penuntun.
Alam mengarahkan naluri hewan, dimana iradahnya mengikutinya dan melaksanakan apa yang diperintahkannya. Hewan tidak mempunyai pilihan yang sempurna yang memungkinkannya untuk terbebas dari hukum-hukum alam dan kecenderungan-kecenderungan naluri. Sebaliknya, hanya manusia yang mampu melakukan hal itu, dimana ia bisa mengatur ketentuan-ketentuan nalurinya, bahkan dapat juga ia mengubah hukum-hukum alam serta menciptakan keajaiban-keajaiban menurut kehendaknya dan pilihannya.
Pada diri manusia terdapat kecenderungan psikologis yang tetap, yaitu cinta pada kebaikan sesuatu (hubbul jaudah). Dengan kecenderungan tersebut, manusia akan berusaha mencapai yang terbaik dalam pekerjaannya dan tujuannya. Oleh karena itu, manusia akan berusaha cepat menyelesaikan pekerjaannya dan juga berupaya tampak indah dalam setiap perbuatannya. Kemudian ia senang mendapatkan pujian. Hal ini bertanda bahwa tujuan utama manusia adalah mencapai kesempurnaan secara mutlak. Kebaikan yang didambakan manusia pada setiap perbuatan dan pekerjaannya merupakan fenomena kesempurnaan ini, dimana segala tujuannya berkaitan erat dengan kesempurnaan tersebut.
Jika kita mengetahui bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji sifat-sifat manusia dan pekerjaan-pekerjaannya serta cara-cara mendidiknya dan mengembalikannya pada keseimbangan maka menjadi jelas bagi kita, bahwa tujuan ilmu akhlak ialah mengantarkan manusia kepada kesempurnaan mutlak dalam akhlaknya dan perbuatannya. Bila ini adalah definisi kebahagiaan (as-sa`adah), sebagaimana dikatakan oleh sebagian filosof ortodok, maka tujuan ilmu akhlak ialah mewujudkan kebahagiaan bagi manusia.
“Kebahagiaan setiap makhluk adalah saat kesempurnaan yang telah dipersiapkan untuknya berhasil dicapainya.” Inilah defenisi kebahagiaan yang mereka kemukakan. Kemudian mereka menyampaikan alasannya, yaitu bahwa keberadaan (al-wujud) secara absolut adalah baik. Namun jika kebaikan adalah sesuatu yang dapat dibandingkan di antara objek-objeknya, maka kesempurnaan wujud adalah kebaikan yang terbaik (khairu dzalikal khair). Kalau demikian, maka kesempurnaan mutlak yang diinginkan oleh manusia dalam perbuatan dan sifat-sifatnya adalah kebaikan yang tertinggi (al-khair al-a`1a’). Demikianlah defenisi kebahagiaan menurut Aristoteles. Kedua definisi tersebut merujuk pada pengertian tunggal, yaitu bahwa antara kebaikan dan kebahagiaan terdapat perbedaan dari sisi yang lain.
Sebagian filosof berpendapat bahwa tujuan utama manusia dalam setiap perbuatannya ialah mencari kenikmatan.[2] Teori ini memiliki peranan penting di kalangan filosof modern. Namun ada beberapa hal yang menyanggah teori tersebut dengan penjelasan berikut.
Tujuan adalah hasil yang berusaha dicapai oleh setiap pelaku dan perbuatan akan mengantar padanya. Oleh karena itu, tujuan berada lebih akhir dari perbuatan. Sedangkan kenikmatan biasanya menyertai perbuatan, dimana berakhirnya kenikmatan sama dengan berakhirnya perbuatan, sehingga ia (kenikmatan) tidak dapat dijadikan tujuan dari perbuatan.
Orang yang berperang demi mempertahankan negerinya atau berjuang demi agamanya, ia akan mendapatkan kenikmatan dari pekerjaannya saat berjuang. Namun kenikmatan ini bukan tujuan utama dari jihadnya. Karena kenikmatan itu sendiri bersanding pada jihad, sedangkan tujuan tidak seharusnya menyertai suatu perbuatan. Kemudian ia terkadang terbunuh atau adakalanya menemukan kendala sehingga tidak dapat meraih kesuksesan dalam jihad dan kenikmatan tidak dirasakan setelah selesainya pekekerjaan hingga bagaimana ia dapat menjadi tujuan dari suatu pekerjaan? Bahkan sering kali kenikmatan saat bekerja jauh lebih dirasakan daripada setelah selesainya.
Catatan:
[1] Yang kami maksud dengan makhluk hidup di sini ialah hewan (al-hayaw^an) menurut definisi ahli logika ortodok. Definisi ini tidak mencakup makhluk hidup yang rendah, seperti bakteri dan tumbuh-tumbuhan, walaupun pengetahuan modern membuktikan bahwa ia tergolong makhluk hidup.
[2] Kenikmatan merupakan perasaan psikologis yang khusus yang dialami manusia ketika ia memenuhi keinginannya. Kenikmatan ada dua bentuk: rasional (`agliyyah) dan fisik (jasadiyyah). Memenuhi keinginan-keinginan akal akan mendatangkan kenikmatan rasional dan memenuhi keinginan-keinginan fisik akan mendatangkan kenikmatan fisik. Sedangkan anonim dari kenikmatan (ladzah) ialah penderitaan (al-alam).
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar