Deal (1744 M) antara Muhammad bin Saud dalam kepentingan politis dan Muhammad bin Abdulwahab dalam kepentingan ideologis merupakan titik awal sejarah perkembangan Wahabiyah. Isinya, Ibnu Saud harus menerapkan Islam pandangan Ibnu Abdulwahab yang berperan menghalalkan ekspansi-ekspansi Ibnu Saud, dengan pembagian ghanimah (harta rampasan perang). Maka perampasan-perampasan yang dilakukan warga Najed di Semenanjung menjadi praktek jihad untuk berdakwah, dengan mempersembahkan seperlima ghanimah kepada Ibnu Saud.
Di antara dua kepentingan itu, tampak tangan “orang ketiga” yang mendukung aliansi tersebut, yaitu Britania. Tangan ini muncul membawa kontrak persekutuan dan menandatangani Perjanjian Darin (Treaty of Darin 1915) antara Britania dan Abdulaziz bin Abdurrahman yang dikenal dengan “Ibnu Saud” pendiri kerajaan SA sekarang ini. Apa yang dijanjikan Britania kepadanya menyerupai deklarasi Balfour yang mendirikan bangunan daulat Yahudi di kawasan.
Kerajaan ini memasuki dunia baru dengan temuan-temuan minyak. Kendati mengantarkan dirinya Go Internasional dan keluar dari dunia tribalis, namun menelorkan Wahabisme untuk launching di luar Jazirah. Minyak temuan memegahkan bangunan jaringan komunikasi yang gagah di kerajaan, namun bangunan manusianya tetaplah menghidupkan pemikiran Ibnu Taimiyah.
Dalam pengembangan ide keagamaan, semua usahanya berbasis Wahabiyah dan bermotor IM. Alhasil, kekayaan minyak memberdayakan lembaga raksasa Wahabiyah untuk melancong di dalam dan di luar Jazirah Arabia, hingga kemanapun sebisa tangannya menjamah di sepanjang dan selebar dunia Islam.
Keseimbangan antara komponen-komponen politis dan tribalis di Semenanjung Arabia dijaga oleh Britania (hingga sekitar 1914) dari efek pertikaian antar kabilah di kawasan, dalam kesatuan Kesultanan Utsmaniyah. Strategi ini terus berlanjut hingga Utsmaniyah masuk dalam perang dunia I bersama Jerman, meneriakkan jihad -sebagai senjata pamungkasnya- di hadapan muka Britania dan sekutunya. Bagi Britania, kini saatnya mengumandangkan suara jihad juga.
Britania menemukan jalan terang di dalam aliansi antara Wahabi dan Saudi, dan di dalam dakwah Wahabiyah, sehingga dia lawan fatwa jihad Utsmaniyah dengan dakwah “Takfiriyah”. Dia support ambisi Ibnu Saud dan kecenderungan “anak-anak” Ibnu Abdulwahab. Sejak itulah aliansi ini dan seruan tajam Wahabiyah menjadi alat di tangan Britania untuk membina gerakan-gerakan yang lahir di kawasan. Lalu dia “serang” gerakan-gerakan Islam yang berpotensi meluas dengan gerakan-gerakan nasionalis, dan bila ada upaya untuk keluar dari garis kuasa, maka dia gunakan serangan dengan gerakan-gerakan Islam.
Didapati, antara Kekhilafahan Utsmaniyah dan pertikaian kebangsaan Arab, bahwa Wahabisme menjadi unsur umum di dalam semua serangan Britania. Amerika mewarisi Britania dengan cara yang beda tapi dengan “alat bina” yang sama. Setelah Islam Revolusioner tampil melawan arus Amerika, mereka menyerangnya dengan Islam Takfiri. Dengan berdirinya ideologi komunis yang menyebar di bumi Arab dan Islam, tak ada manajeman Amerika yang bisa mengatasi ideologi ini, melainkan setidaknya terdapat pembentukan kelompok bersenjata di Afganistan, yang disebut dengan “Al-Qaeda”. Organisasi paramiliter fundamentalis Islam di Afganistan ini berdiri tampil beda di dalam kerjasama Kewahabian Barat. Karena;
Pertama, seperti “upaya awal” di atas untuk membentuk kekuatan takfiri yang bersenjata di luar Jazirah Arabia.
Kedua, kekuatan ini ke-Afganistan-an plus ke-Arab-an, yang menjadi “Afganistan Arab”.
Di dalam organisasi ini ada perubahan-perubahan mendasar dan upaya-upaya untuk keluar dari sebagai gerakan jihadis lokal menuju alam jihad internasional. Dengan demikian terbentuk markah-markah baru bagi jihadisme yang fokus pada proses “perkawinan” dua isme ini;
1. Takfirisme sebagai prinsip akidah.
2. Qutbisme (pemikiran Sayed Qutb) sebagai ide politis yang masuk ke ruang akidah di bagian urgensi mengembalikan “Pemerintahan Allah”.
Perkawinan tersebut melahirkan akidah (wajib) mewujudkan Daulah Islamiyah atau mengembalikan Khilafah Islamiyah dengan kekuatan senjata. Mungkin juga penjodohan itu sebagai awal langkah utama dalam aksi organisasi itu kemudian, termasuk sebagai bagian permulaan setelah SA menyambut tentara pasukan Amerika pada invasi Irak ke Kuwait.
Organisasi yang terbentuk untuk memerangi Soviet dan pasukannya di Afganistan ini, mulai melepaskan slogan-slogan anti Amerika Salibis. Kemudian meningkat level pesannya sampai pada perangi “Sistem Kafir” dalam Kerajaan Saudi yang diperintah oleh “Al Salul”. Pengkafiran terhadap para penguasa kerajaan ini tertuang dalam buku (terbit tahun 1990) yang berjudul “al-Kawasyif al-Jaliyah fi Kufr ad-Daulah as-Sa’udiyah”), karya Isham Barqawi (Abu Muhammad Muqaddasi) yang menetap di Pakistan. Akidah ini menjadi ancaman besar bagi Wahabiyah karena dianggap telah durhaka kepada “rahim”nya.
Referensi:
Shina’atu at-Tawahusy, at-Takfir wa al-Gharb/Dr.Muhammad Mahmud Murtadha
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar