Penulis & Fotografer: Seno Gumira Ajidarma
Setiap orang mempunyai nama yang diberikan ketika ia dilahirkan, tetapi nama para wali yang disebut-sebut orang banyak ternisbahkan oleh nama tempat yang secara historik terhubungkan dengan riwayat hidup mereka.
Dalam hal Sunan Ampel, tentu saja nama itu terhubungkan dengan Ampel yang kini menjadi bagian dari Kota Surabaya. Namun bagi sejarawan seperti Graaf dan Pigeaud, rupanya kata Ampel tidak terdapat dalam seluruh sumber mereka, baik itu “cerita Jawa” maupun catatan para pengembara seperti Tome Pires dari Portugal.
Maka dalam hal Sunan Ampel, kita temukan nama Raden Rahmat, orang suci dari Ngampel Denta: tepatnya, Sunan Ngampel Denta. Disebutkan bahwa Raden Rahmat berasal dari dan merupakan anggota keluarga kerajaan di Cempa – tetapi di manakah Cempa itu?
Putri Islam di Majapahit
Perbincangan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974) memperkenalkan kita kepada dua teori, yang pertama menganggap Cempa sebagai Jeumpa di Aceh, yang memang merupakan rute tradisional datangnya Islam ke Jawa yang berawal dari Arab Saudi (Aceh, Campa, Pasai, Johor, Cirebon), seperti rute yang telah ditempuh seorang wali bernama Syekh Ibnu Maulana.
Pada abad ke-15, Pasai tentu jauh lebih terkenal dari Jeumpa sebagai pusat keagamaan. Karenanya Graaf dan Pigeaud lebih cenderung kepada teori kedua, bahwa Cempa berada di pantai timur Hindia Belakang, yang dalam Sajarah Melayu disebutkan pernah menjadi taklukan Majapahit. Memang konteks Majapahit inilah yang menghubungkan Cempa dengan Jawa. Untuk itu kita rujuk dahulu “cerita Jawa” perihal Raden Rahmat ini, sebelum nanti kembali lagi kepada perbincangan tentang fakta sejarahnya.
Alkisah, seperti diceritakan kembali oleh Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri dalam Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (2000), Raden Rahmat diperkirakan lahir awal abad ke-15 di Campa (Cempa dan Campa digunakan bergantian oleh berbagai sumber). Terdapat berbagai versi tentang siapa ayahnya tersebut: Ibrahim Asmarakandi, keturunan Arab yang menikahi putri raja Campa; tapi ada juga Ibrahim Al Ghozi atau Ibrahim Zainal Akbar – ketiga versi ini mempunyai kesamaan, bahwa Ibrahim adalah keturunan Nabi Muhammad.
Dalam versi pertama, yang berasal dari Babad Tanah Djawi, disebutkan bahwa Asmarakandi adalah perubahan ucapan atas kata Samarkand, yakni asal-usul Ibrahim di Asia Tengah. Dari sini berarti Ibrahim memahami Islam seperti diikuti oleh keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib yang berkembang di Persia, termasuk sebagian besar Asia Tengah di mana terdapat Samar-kand – maka ia sebetulnya disebut Ibrahim as-Samarkandy. Pada masa itu sudah umum terdapat komunitas Islam di kawasan Indocina, dari mana Tiongkok semasa pemerintahan dinasti Yuan mencari para pakar Islam asal Turkestan untuk menjadi penasihat kaisar.
Namun yang penting dari data tersebut bukanlah soal Ibrahim, melainkan bahwa putri Campa yang dinikahinya itu mempunyai saudara yang disunting – atau dianugerahkan kepada – raja Majapahit. Itulah Andrawati atau Putri Darawati yang tentu saja kemudian dikirim untuk bermukim ke Keraton Majapahit. Ke sanalah dua putra Ibrahim yang bernama Raden Rahmat (Sayid Ngali Rahmat) dan Raden Santri atau Raden Pandita (Sayid Ngali Murtala atau Ali Murtadho) datang untuk “menengok” (nanti akan jelas kenapa harus diberi tanda kutip) putri Campa saudara ibunda mereka – dan selama di Majapahit ternyata diizinkan berdakwah menyebarkan agama Islam. Beserta mereka ikut pula Raden Burereh, seorang sepupu, anak raja yang sarjana, yang sebetulnya adalah Abu Hurerah.
Bukan hanya izin yang diberikan, melainkan juga tanah yang sekarang disebut Ampel itu, yang memungkinkan Raden Rahmat membangun salah satu pusat penyebaran Islam pertama di Jawa bagian timur. Seperti diketahui, dalam kisah Walisanga, Sunan Ampel disebutkan berputra Sunan Bonang yang menjadi guru Sunan Kalijaga, serta bermurid antara lain Sunan Giri yang juga merupakan wali tersohor.
Gara-gara Vietnam
Jika “cerita Jawa”, babad, maupun legenda ingin dipercaya, mulai dari Hikayat Hasanuddin, Sadjarah Dalem, Hikajat Bandjar, sampai Babad Tanah Djawi, para pembaca akan menemui kesulitan dengan terdapatnya berbagai versi, apalagi menyangkut mertua, menantu, jumlah istri, jumlah anak, dan sebagainya – sebegitu jauh soal Cempa yang kadang disebut Campa itu tetap: bahwa ada seorang anggota kerajaan Cempa tinggal di Keraton Majapahit dan pada gilirannya menyebarkan Islam dari Ngampel Denta (tentu juga menjadi pertanyaan besar tentang gelar “Raden” yang disandangnya itu, yang tidak berlaku di Majapahit dan apalagi di Cempa).
Kini baiklah kita ikuti spekulasi ilmu sejarah seperti dilakukan Graaf dan Pigeaud berdasarkan “cerita Jawa” maupun data peninggalan.
“Seorang raja Majapahit, atau seorang anggota keluarga raja, menjelang pertengahan abad ke-15 telah membawa gadis Islam dari keluarga baik-baik yang berasal dari Cempa ke istananya. (Sejak dahulu kala Majapahit selalu mempunyai hubungan dengan Cempa). Wanita Islam itu meninggal pada tahun 1448 dan dimakamkan secara Islam (= Putri Cempa).
“Beberapa tahun sebelumnya, dua orang keluarga putri itu, kakak beradik, meninggalkan Cempa dan melawat ke Jawa. Mereka ini juga beragama Islam; ayah mereka adalah orang Barat yang kawin di Cempa dengan wanita dari keluarga bangsawan. Salah satu alasan kedua kakak-beradik itu pergi ke Jawa ialah karena ancaman orang-orang Annam untuk menyerang Cempa. (Pires, petualang Portugis itu menetapkan kedatangan orang-orang Islam pertama ke Jawa sekitar tahun 1443; pada tahun 1446 ibukota Cempa diduduki oleh bangsa Annam). Dua orang kakak beradik dengan darah campuran ini [Barat-Asia, Arab (?) dan Indocina (?)] telah berhasil menjadi pemuka kelompok-kelompok Islam yang masih baru di Gresik dan Surabaya. Dalam kedudukan itu mereka diakui oleh wakil-wakil maharaja di Majapahit (pecat tanda = penilik pasar, di Terung). Tetapi keturunan mereka tidak mendapat kekuasaan duniawi di Gresik dan Surabaya.”
Jika memang Sunan Ampel ini disetujui berpengaruh besar, menarik kiranya bahwa Pangeran Ngampel Denta ini tidak akan pernah sampai ke Jawa jika Campa atau Cempa tidak diserbu Annam, yang tak lebih dan tak kurang adalah Vietnam. Sajarah Melayu menyebutnya sebagai Kerajaan Kuci yang menyerbu Cempa karena pinangan rajanya kepada putri Kerajaan Cempa ditolak. Dengan menyuap bendahara raja, pintu gerbang kota dibuka dari dalam, dan ibukota Cempa, yakni Bal, dikuasai. Pau Kubah, raja Cempa gugur, dua putranya, Pau Liang dan Indra Berma, masing-masing lolos ke Aceh dan Malaka. Sajarah Melayu ini dipercaya oleh kedua sejarawan Belanda tersebut, karena ditulis menjelang perempat kedua abad ke-16, tak jauh sesudah runtuhnya dinasti lama Campa.
Dari sumber lain, kedua sejarawan mendapat data bahwa tahun 1471 Campa direbut Annam. Cocok dengan tahun pemerintahan Sultan Mansur di Malaka (1458 – 1477) yang memberi suaka kepada pangeran Campa yang melarikan diri. Mungkinkah Pau Liang yang lari ke Aceh itulah yang akhirnya sampai ke Jawa Timur sebagai Raden Rahmat? Hubungan dengan Jawa Timur baru terlacak dari Hikayat Hasanuddin yang menyebutkan, Kerajaan Campa ditaklukkan raja dari Koci ketika Raden Rahmat bermukim di Jawa. Dengan begitu kedua sejarawan bisa memperkirakan, Raden Rahmat dan kedua saudaranya sebelum tahun 1471 sudah berangkat dari Cempa ke Jawa Timur. Akibatnya, waktu menetapnya Raden Rahmat di Ngampel Denta terletakkan dalam perempat ketiga abad ke-15, sesuai dengan tarikh pada makam Putri Campa, yakni 1448.
Ngampel Denta 2006
Disebutkan dalam legenda bahwa penunjukan Raden Patah sebagai Sultan Demak dilakukan oleh Sunan Ngampel Denta, dengan syarat bahwa selama 40 hari sebelumnya Sunan Giri memegang dahulu pimpinan, untuk menghapus segenap “bekas kekafiran” yang ditinggalkan kerajaan sebelumnya. Legenda ini representasi sikap bermusuhan terhadap Majapahit, yang memalingkan pendengarnya dari fakta sejarah bahwa Islam berkembang bebas semasa Majapahit – setidaknya seperti terlihat dari riwayat Raden Rahmat – karena memang legenda ini baru beredar abad ke-17 atau ke-18 ketika kekuasaan kerajaan Islam semakin mutlak, meski pengaruh politik kaum alim ulama justru jauh berkurang.
Sampai di sini kita kutip kembali De Graaf dan Pigeaud, tetapi untuk melakukan koreksi: “Satu kenyataan ialah bahwa makam Sunan Ngampel Denta, yang disanjung-sanjung sebagai wali tertua di Jawa, tidak menjadi tempat ziarah yang ramai dikerumuni orang pada abad-abad kemudian. Lagi pula makam itu tidak diberi cungkup seperti yang biasa ada pada makam-makam orang penting. Dalam cerita Jawa dinyatakan bahwa hal itu memang menjadi kehendak Sunan sendiri. Tetapi hal itu juga dapat dianggap sebagai akibat kenyataan bahwa Sunan Ngampel tidak membentuk dinasti pemimpin agama; jadi berbeda dengan Sunan Giri dan Sunan Gunungjati.”
Sementara sebagian pernyataan boleh diperdebatkan, bisa dipastikan bahwa makam Sunan Ngampel Denta tidak kalah ramainya dibandingkan dengan makam para wali lain pada abad ke-21 ini. Bahkan dari semua makam yang telah dilaporkan Intisari adalah makam Sunan Ngampel Denta ini saja yang tidak boleh dipotret ataupun direkam kamera video. Apakah kita bisa mengatakannya paling dikeramatkan – dan karena itu menjadi yang paling dipentingkan?
Kompleks makam dan permukiman Ngampel Denta sendiri telah menjadi khas dan unik bukan karena kesunyiannya, melainkan telah mengalami metamorfosa: betapa sebuah pusat keagamaan dengan mesjid besar di tengah kampung mampu melebur dalam sebuah pusat perdagangan, tanpa harus kehilangan suasana sakral sama sekali. Sebaliknya, kompleks makam dan Mesjid Ampel ini bagaikan sebuah perayaan menyatunya kekhusyukan agama dengan gairah kehidupan sehari-hari, bagaikan suatu bukti betapa agama bisa sangat membumi.
(Abdul-Muiz-1966/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar