Allah SWT berfirman;
فَبِمَا رَحْمَة مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”[1]
بِسْمِ الله الرَحْمن الرَحِيم ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ * مَا أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُون * وَإِنَّ لَكَ لاَجْراً غَيْرَ مَمْنُون * وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُق عَظِيم.
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[2]
وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيِقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْر لَّكُمْ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ …
“Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: ‘Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya.’ Katakanlah: ‘Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu’….”[3]
Mungkin ada yang bertanya mengapa “akhlak mulia” menjadi tema tersendiri, sedangkan semua perilaku yang terpuji dan seluruh ajaran Islam adalah akhlak? Akhlak mulia memang berarti demikian, dan arti inilah yang tampaknya dimaksud dalam riwayat bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إنَّما بُعثت لأُتمّم مكارم الأخلاق.
“Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnaan keutamaan akhlak.”[4]
Demikian pula riwayat bahwa beliau bersabda;
بُعثت بمكارم الأخلاق ومحاسنها
“Aku diutus semata-semata untuk menyempurnakan keutamaan dan kebaikan akhlak.”[5]
Hanya saja, “akhlak mulia” terkadang digunakan hanya berkenaan dengan pergaulan yang sehat dan baik manusia dengan sesama makhluk. Dengan demikian, akhlak mulia dalam pengertiannya yang spesifik adalah perilaku yang baik dalam bergaul dengan sesama makhluk, sedangkan perilaku yang baik terhadap Sang Maha Pencipta dan sesama makhluk adalah akhlak mulia dalam pengertiannya yang general.
Akhlak mulia yang dimaksud dalam artikel ini ialah pengertiannya yang pertama dan spesifik, yakni perlakuan dan pergaulan yang baik dengan sesama.
Patut disebutkan di sini bahwa sebagian kaum sufi yang menyimpang dari jalur Ahlul Bait as menyatakan; “Pergaulan yang baik dengan makhluk adalah berkaitan dengan pengetahuanmu terhadap kedudukan makhluk itu. Sesungguh mereka bergantung pada takdirnya, terkurung dalam kemampuannya, dan bertumpu pada hukum (qadha’) atasnya.”[6]
Dengan demikian, mereka mengaitkan akhlak mulia dengan keyakinan jabariyah (determinisme) sehingga semua makhluk itu dapat dimaklumi (ma’zur) karena bergantung pada qada’ dan qadar mereka. Jadi, menurut kalangan ini, untuk apa kita harus berkeluh kesah atas orang-orang lain atau membalas keburukan mereka? Sebaliknya, semua makhluk harus aman dari perlakuan kita, dan inilah arti bahwa kaum sufi meyakini perdamaian dengan semua orang.
Keyakinan demikian sarat paradoks, karena akan mementahkan tema akhlak baik dan buruk, dan meniadakan makna keberlepasan diri dari musuh Allah yang diwajibkan dalam agama. Jika semua orang mutlak harus aman dari sikap dan tindakan kaum mukmin lantas apa makna jihad, penerapan hukum hudud, dan lain sebagainya.
Terlepas dari itu, mari kita menyimak beberapa riwayat dari Ahlul Bait as mengenai akhlak mulia sebagai berikut;
Riwayat pertama, dari Mohammad bin Muslim dengan sanad yang sahih bahwa Imam Mohammad Al-Baqir as berkata;
إنّ أكمل المؤمنين إيماناً أحسنهم خُلُقاً.
“Sesungguhnya yang paling sempurna imannya di antara orang-orang yang beriman ialah yang terbaik akhlaknya di antara mereka.”[7]
Ungkapan ini bisa jadi berarti bahwa baiknya akhlak menandakan kesempurnaan agama sehingga orang yang sempurna agamanya akan baik akhlaknya, dan bisa juga berarti bahwa kebaikan akhlak merupakan suatu kesempurnaan agama sehingga dengan akhlak yang baik ini keberagamaan menjadi sempurna.
Riwayat kedua, riwayat dari Ali bin Husain as bahwa Rasulullah SAW bersabda;
ما يوضع في ميزان امرى يوم القيامة أفضل من حسن الخُلُق.
“Urusanku yang diletakkan dalam timbangan pada hari kiamat tidak ada yang lebih baik daripada akhlak mulia.”[8]
Riwayat ketiga, Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
ا يقدم المؤمن على الله ـ عزَّوجلَّ ـ بعمل بعد الفرائض أحبّ إلى الله ـ تعالى ـ من أن يسع الناس بخُلُقه.
“Tak ada amalan yang dibawa oleh seorang mukmin ke hadapan Allah Azza wa Jalla lebih Dia cintai daripada akhlaknya yang membuat orang lain merasa lapang.”[9]
Riwayat keempat, dari Dzarih dengan sanad yang sahih dari Imam Jakfar Al-Shadis as bahwa Rasulullah SAW bersabda;
إنَّ صاحب الخُلُق الحسن له مثل أجر الصائم القائم.
“Orang yang berakhlak mulia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa dan mendirikan shalat.”[10]
Riwayat kelima, dari Abdullah bin Sannan bahwa Imam Al-Shadiq as berkata;
البِرّ وحسن الخُلُق يعمران الديار، ويزيدان في الأعمار.
“Kebajikan dan akhlak mulia akan memakmurkan negeri dan menambah umur.”[11]
Riwayat keenam, dari Imam Al-Shadiq as bahwa dia berkata;
إنَّ الخُلُق منيحة يمنحها الله ـ عزَّ وجلَّ ـ خَلْقه : فمنه سجيّة، ومنه نيّة.
“Sesungguhnya akhlak adalah anugerah yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada makhlukNya, darinyalah budi pekerti, dan darinya pula niat.”
Perawi bertanya, “Lantas mana yang lebih mulia di antara keduanya?”
Imam as menjawab;
صاحب السجيّة، هو مجبول لا يستطيع غيره. وصاحب النيّة يصبر على الطاعة تصبّراً، فهو أفضلهما.
“ Orang yang berbudi pekerti telah diciptakan demikian sehingga orang lain tidak bisa sepertinya, sedangkan orang yang berniat adalah orang yang sangat bersabar dalam kepatuhan, maka orang yang berniat inilah yang lebih mulia.”[12]
Riwayat ketujuh, dari Abu Ubaidah Al-Hadzdza’ bahwa Imam Al-Shadiq as berkata;
أُتي النبيّ (ص) باُسارى فأمر بقتلهم خلا رجل من بينهم. فقال الرجل : بأبي أنت وأُمّي يا محمَّد كيف أطلقت عنّي من بينهم ؟ فقال : أخبرني جبرئيل عن الله ـ عزَّوجلَّ ـ أنَّ فيك خمس خصال يحبّه الله عزَّوجلَّ ورسوله : الغيرة الشديدة على حرمك، والسخاء، وحسن الخُلُق، وصدق اللسان، والشجاعة. فلمّا سمعها الرجل أسلم، وحسن إسلامه، وقاتل مع رسول الله (ص) قتالاً شديداً حتّى استشهد.
“(Suatu hari) ada beberapa tawanan didatangkan kepada Nabi SAW lalu beliau memerintahkan hukuman mati kepada mereka kecuali satu pria di antara mereka. Pria itu lantas bertanya, ‘Biarlah ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Muhammad, mengapa engkau bebaskan aku di antara mereka?’ Beliau menjawab, ‘Jibril memberitaku dari Allah Azza wa Jall bahwa kamu memiliki lima perangai yang disukai Allah Azza wa Jalla dan RasulNya; ghirah (kecemburuan yang positif) yang sangat atas kehormatanmu; dermawan; berperangi baik; jujur dalam berkata; dan berani.’ Setelah mendengar sabda ini dia masuk Islam, menjadi Muslim yang baik, dan ikut gigih berjuang bersama beliau hingga dia gugur syahid.”[13]
Selanjutnya layak disinggung bahwa kemuliaan akhlak dan budi pekerti Rasulullah SAW terlampau agung untuk dilukiskan dengan kata. Betapa tidak, Allah SWT berfirman;
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُق عَظِيم.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[14]
Ada dua hal yang menarik untuk disebutkan di sini;
Pertama, ungkapan Syeikh Thabarsi ra sebagai berikut;
“Di antara kehebatan Rasulullah SAW ialah bahwa beliau merupakan orang yang paling beralasan untuk berbusung dada, tapi ternyata justru orang yang paling merendah (tawadhu’). Sebab beliau adalah orang yang nasabnya paling menengah, paling sejahtera isterinya, paling dermawan, paling pemberani, paling bersih, dan paling fasih. Semua ini merupakan bagian dari alasan untuk berbangga diri. Tawadhu’nya antara lain menambal pakaian, menjahit sendal, menunggang keledai, memberi minum unta, memenuhi undangan hamba sahaya, dan duduk dan makan di atas tanah. Beliau mengajak kepada Allah tanpa menghardik, berwajah masam, dan marah.”[15]
Kedua, dua kisah menarik mengenai kemuliaan akhlak Rasulullah SAW sebagai berikut;
Kisah pertama, diriwayatkan dengan sanad yang sempurna dari Aban Al-Ahmar dari Imam Jakfar Al-Shadiq as bahwa suatu hari seorang pria datang kepada Rasulullah SAW dan memberi beliau uang 12 dirham karena baju beliau terlihat sangat usang. Beliau kemudian berkat, “Wahai Ali, ambillah uang dirham ini lalu belikan aku baju untuk aku pakai.”
Ali berkisah: “Aku lantas pergi ke pasar dan membelikan untuk beliau gamis seharga 12 dirham kemudian mendatangi beliau. Beliau memandangnya lalu berkata, ‘Wahai Ali, bukan ini yang lebih aku sukai. Dapatkah penjualnya membatalkan jual beli ini?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Beliau berkata, ‘Lihatlah.’ Aku lantas mendatangi penjualnya dan berkata kepadanya, ‘Rasulullah SAW tidak menyukai ini, beliau menginginkan yang lebih sederhana dari ini.’ Penjualnyapun rela membatalkan jual beli dan mengembalikan uang beberapa dirham itu. Aku mendatangi beliau dan beliaupun lantas menyertaiku ke pasar untuk membeli gamis.
“Dalam perjalanan beliau melihat seorang wanita hamba sahaya duduk menangis. Beliau bertanya, ‘Apa yang terjadi padamu?’ Dia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, juraganku memberiku uang empat dirham untuk membelikannya suatu kebutuhan, tapi uang itu hilang sehingga aku tak berani pulang.’ Beliau memberinya uang empat dirham dan berkata kepadanya, ‘Pulanglah ke juraganmu.’
“Beliau melanjutkan perjalanan ke pasar lalu membeli gamis seharga empat dirham kemudian memakainya dan bersyukur kepada Allah. Beliau kemudian keluar dan melihat ada seorang pria tak berpakaian berkata, ‘Siapa yang memberiku pakaian maka semoga Allah memberinya pakaian surga.’ Beliau membuka gamis yang dibelinya dan mengenakannya kepada peminta itu, lalu kembali ke pasar dan membeli gamis lagi dengan uang empat dirham yang tersisa kemudian bersyukur kepada Allah.
“Dalam perjalanan pulang beliau melihat hamba sahaya tadi masih menangis di jalan. Beliau bertanya, ‘Mengapa kamu tidak mendatangi juraganmu?’ Dia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku terlambat datang sehingga aku takut mereka akan memukulku.’ Beliau berkata, ‘Marilah aku antar dan tunjukkan kepadaku juraganmu.’ Beliau berjalan hingga tepat di depan pintu juragan hambaha sahaya itu. Beliau berseru, ‘Assalamualakum, wahai pemilik rumah.’ Tapi tidak ada jawab sehingga beliau mengulanginya sampai dua kali, dan baru kemudian mereka menjawab; ‘Alaikassalam wa rahmatullahi wa barakatuh, wahai Rasulullah.’
“Beliau berkata, ‘Mengapa kalian tidak menjawab salam pertama dan keduaku?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kami mendengar ucapan salammu sehingga kami ingin mendengarnya lebih banyak.’ Beliau berkata, ‘Hamba sahaya itu telah datang terlambat kepada kalian, tapi janganlah kalian menyakitinya.’ Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, hamba sahaya ini telah bebas karena dia telah berjalan bersamamu.’ Beliau bersabda;
الحمد لله : ما رأيت اثني عشر درهماً أعظم بركة من هذه : كسا الله بها عريانين، وأعتق نسمة.
‘Segala puji bagi Allah, aku belum pernah melihat uang 12 dirham yang lebih berkah dari ini. Dengannya Allah menutup dua orang yang tak bergaun dan dengannya aku membebaskan satu jiwa.’”[16]
Kisah kedua, dari Imam Musa Al-Kadhim as dari para leluhurnya dari Imam Ali as bahwa suatu hari seorang pria Yahudi menagih uang beberapa dirham kepada Rasulullah SAW. Beliau berkata, “Wahai pria Yahudi, aku belum memiliki apa yang harus aku berikan kepadamu.” Pria iitu berkata, “Sungguh aku tidak meninggalkanmu, wahai Muhammad, sebelum kamu melunasinya, maka biarlah aku menyertaimu.”
Pria itu lantas menyertai beliau hingga waktu shalat Dhuhur, Asar, Maghrib, Isyak, dan bahkan Subuh. Para sahabat beliau kesal kepada pria itu sehingga mencoba menghardik dan mengancamnya, tapi beliau kemudian memandang mereka dan bertanya, “Apa yang kalian perbuat?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, patuhkah orang Yahudi mengurungmu.”
Beliau menjawab;
لم يبعثني ربِّي عزَّوجلَّ بأن أظلم معاهداً ولا غيره.
“Tuhanku Azza wa Jalla tidaklah mengutusku untuk menzalimi orang yang menjalin perjanjian maupun selainnya.”
Tengah hari kemudian pria hartawan Yahudi itu mengucapkan kalimat syahadat, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, dan dia telah membagi uangku di jalan Allah. Demi Allah, apa yang aku lakukan ini tak lain agar aku dapat melihat ciri-cirimu seperti yang tertera dalam Taurat karena sesungguhnya aku telah membaca ciri-cirimu dalam Taurat; Muhammad bin Abdullah adalah kelahiran Mekkah, berhijrah darinya dengan santun, bukan dengan keras, kasar, cetus, dan lumuran keji, ataupun perkataan yang mendengus. Dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan Allah, maka hukumilah uangku itu dengan apa yang telah diturunkan Allah.”[17]
Referensi:
[1] QS. Ali Imran [3]: 159.
[2] QS. Al-Qalam [68]: 1 – 4.
[3] QS. Al-Taubah [9]: 61.
[4] Bihar Al-Anwar jilid 16, hal. 210, dan jilid 71, hal. 382.
[5] Ibid, jilid 69, hal. 405.
[6] Lihat Manazil al-Sa’irin, Abdullah Al-Anshari, bagian Akhlaq, Bab Al-Khalq.
[7] Al-Kafi, jilid 2, hal. 99.
[8] Al-Kafi, jilid 2, hal. 99.
[9] Al-Kafi, jilid 2,, hal. 100
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Bihar Al-Anwar, jilid 1, 384 – 385.
[14] QS. Al-Qalam [68]: 4.
[15] Tafsir Al-Thabarsi, jilid 1, hal. 428 – 429.
[16] Al-Khishal, hal. 490 – 491.
[17] Bihar Al-Anwar, jilid 16, hal. 216 – 217.
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar