Lelaki itu tutup usia awal tahun ini. Namun, jasanya dikenang dan namanya harum di kalangan penduduk Palestina.
Presiden Otoritas Palestina, Mahmud Abbas, memuji kebaikan dan keberaniannya karena berani pasang badan buat rakyatnya. Sebab, bagi dia perdamaian dan rasa kemanusiaan lebih utama ketimbang perbedaan keyakinan.
Nama lelaki itu adalah Hilarion Capucci. Gelar terakhirnya adalah Uskup Agung Gereja Katolik Melkite Yunani. Dia dilahirkan ke dunia pada 2 Maret 1922, di Aleppo, Suriah, yang saat itu masih dijajah Prancis. Kini, kota itu hancur lebur akibat perang sipil.
Mula-mula dia dimasukkan ke seminari dan lulus pada 1947. Lantas 18 tahun kemudian Capucci dikirim buat menjadi pimpinan Gereja Katolik Melkite Yunani di Yerusalem dan Caesarea. Dia memiliki sekitar 4,500 jemaah yang kebanyakan orang Arab tersebar di Yerusalem, Tepi Barat, dan Israel. Mereka tetap tunduk kepada Paus dan Vatikan, tetapi tata cara ibadahnya mengacu kepada tradisi Byzantine.
Mulai dari sinilah petualangan aktivisme Capucci dimulai. Sebab, saat itu negara Israel sudah berdiri dan mulai gencar meluaskan wilayahnya dengan mencaplok pemukiman orang Palestina, baik Islam maupun Nasrani, seperti dilansir dari laman New York Times, Senin (18/12/2017).
Hari itu, 8 Agustus 1974, Capucci seperti biasa menumpang sedan dinas Mercedes hendak menuju Nazareth melintasi perbatasan Libanon-Israel. Sebagai pemuka agama, biasanya dia tidak pernah diberhentikan atau digeledah. Namun, hari itu berbeda. Pasukan Israel memberhentikan mobilnya ketika hendak memasuki Yerusalem. Mereka pun menggeledah isinya.
Ternyata di dalam sedan itu terdapat empat senapan Kalashnikov, dua pistol, hampir seratus kilogram dinamit, detonator, dan granat. Setelah diinterogasi, Capucci bisa mengelak dari tuduhan hendak menyelundupkan persenjataan itu. Dia pun bebas, tetapi tidak lama sebab sepuluh hari kemudian dia dijemput aparat Zionis dan ditahan.
Tuduhan disangkakan kepadanya adalah menjadi diam-diam perantara antara faksi Fatah di Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan kelompok bersenjata lain di Tepi Barat. Bahkan dia juga disangka menyelundupkan emas, minuman keras, dan peralatan elektronik dari perbatasan. Masih belum cukup, sang uskup agung juga dituding terlibat dalam upaya penyerangan kelompok militan terhadap Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry A. Kissinger, saat melawat ke Yerusalem pada Mei 1974.
Kabar penangkapan Capucci menjadi berita utama di sejumlah media massa dunia saat itu. Sampai-sampai atasannya ketika itu, Maximos V Hakim dari Antiokia, mengajukan petisi supaya pemerintah Israel segera membebaskan Capucci.
Toh pemerintah Israel tak peduli dengan seluruh tekanan. Mereka tetap berkeras menyeret Capucci ke meja hijau. Gerak-geriknya dibatasi dan diawasi. Capucci saat itu menyatakan kalau dia punya kekebalan diplomatik. Namun, Israel menyatakan mereka saat itu tidak punya hubungan dengan Vatikan, karena hubungan itu baru terjadi pada 1993.
Capucci akhirnya berkeras enggan hadir dalam sidang dan menganggap pengadilan Israel tidak bakal adil. Walau demikian, pengadilan Israel tetap menjatuhkan putusan 12 tahun penjada kepada Capucci pada 9 Desember 1974. Dari balik penjara dia tetap melawan. Sembari memimpin misa, Capucci terus melancarkan aksi mogok makan.
Tiga tahun kemudian, rezim di Israel berganti. Giliran kelompok sayap kanan Partai Likud menguasai panggung politik negara Zionis. Mereka bersedia membebaskan Capucci dengan syarat dia mengajukan permohonan. Dia sepakat dengan alasan kemanusiaan dan bebas pada 6 November.
Vatikan kemudian memutasi Capucci ke Amerika Latin. Namun, dua tahun kemudian dia nekat terbang ke Damaskus, Suriah, menghadiri pertemuan Majelis Nasional PLO, sebab dia adalah salah satu anggotanya. Mungkin karena dianggap ‘nakal’, Paus John Paul II lantas mengirimnya ke Eropa Barat.
Kendati demikian, keinginan Capucci buat memelihara perdamaian di dunia tidak pernah surut. Dia terlibat menjadi penengah dalam beberapa kejadian.
Antara lain membujuk pemerintah Iran supaya memulangkan jasad delapan serdadu AS yang tewas saat berupaya menyelamatkan tawanan, dalam peristiwa penyanderaan Kedutaan Besar AS di Iran pada 1979. Pada 1990, Capucci meminta mendiang Saddam Husein melepaskan sekelompok warga Italia ditawan, ketika pasukan Irak menyerbu Kuwait.
Jejak keberaniannya demi kemanusiaan terukir tujuh tahun lalu. Yakni ketika Capucci menjadi salah satu orang yang ikut dalam rombongan relawan menuju Jalur Gaza menumpang kapal asal Turki, Mavi Marmara, hendak menembus blokade Israel.
“Saya cuma ingin menemui orang-orang teraniaya di Jalur Gaza, dan memastikan kalau kami selalu bersama mereka. Harapan saya adalah supaya berdiri negara Palestina yang bebas, berdaulat, dan mandiri dengan Yerusalem sebagai ibu kota,” kata mendiang Capucci saat itu.
Capucci tutup usia pada umur 94 tahun pada awal 2017. Namun, dia adalah orang-orang turut andil dan menjadi bagian dari sejarah negara Palestina kelak.
(New-York-Times/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar