Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Diskusi Dengan Ulama Besar Asy-Syafi’i, Lihat Yang Terjadi Dengan Kasus Abu Bakar. Simak Ini!

Diskusi Dengan Ulama Besar Asy-Syafi’i, Lihat Yang Terjadi Dengan Kasus Abu Bakar. Simak Ini!

Written By Unknown on Selasa, 20 Februari 2018 | Februari 20, 2018


Oleh: Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki

Setelah berita masuknya kami ke dalam mazhab Ahlulbait menyebar luas, aku didatangi oleh salah seorang ulama besar bermazhab asy-Syafi’i, ia adalah seorang alim yang terkenal dan terhormat di Kota Hilb. Ia menanyakan kepadaku dengan lemah lembut, “Mengapa engkau mengikuti mazhab Syi’ah dan meninggalkan mazhabmu (asy-Syafi’i)? Dan apa dalilmu bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakar?”

Kemudian, aku pun mulai berdiskusi dengannya secara panjang lebar, dan diskusi ini pun terjadi secara berulang-ulang. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang panjang, ia pun merasa puas dan menerima dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya.[1]

Di antara diskusi tersebut, ia menanyakan kepadaku penjelasan tentang siapakah yang lebih berhak menjadi khalifah, apakah Abu Bakar yang lebih berhak atau ‘Ali? Aku menjawab, “Sesungguhnya masalah ini adalah sesuatu yang sangat jelas bahwa orang yang berhak menjadi khalifah langsung sepeninggal Rasulullah Saw adalah Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As, kemudian sepeninggalnya adalah al-Hasan al-Mujtaba As, kemudian al-Husain As yang syahid di Karbala, kemudian ‘Ali bin al-Husain Zainal Abidin, kemudian Muhammad bin Ali al-Baqir As, kemudian Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq As, kemudian Musa bin Ja’far al-Kazhim As, kemudian ‘Ali bin Musa ar-Ridha As, kemudian Muhammad bin ‘Ali al-Jawad As, kemudian ‘Ali bin Muhammad al-Hadi, kemudian al-Hasan bin ‘Ali al-‘Askari As, kemudian al-Hujjah bin al-Hasan al-Mahdi Imam al-Gha’ib al-Muntazhar (semoga Allah mempercepat kemunculannya).

Dalil Syi’ah akan hal tersebut adalah bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, yang telah disepakati kebenarannya oleh Sunni dan Syi’ah. Kitab-kitab Syi’ah penuh dengan hujah dan dalil yang kuat, dan mereka menguatkan pendapat dan keyakinan mereka dari kitab-kitab kalian sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akan tetapi, kalian tidak mau merujuk ke kitab-kitab Syi’ah dan meneliti apa yang terkandung di dalamnya, dan hal ini merupakan bentuk kefanatikan yang buta.”


Dalil al-Qur’an

Allah Swt. berfirman,

“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat (sedekah) sementara mereka sedang melakukan ruku’.” (Qs. al-Maidah [5]:55)

Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan wilâyah (kepemimpinan) ‘Ali tanpa ada keraguan sedikit pun, sesuai ijma’ (kesepakatan) Syi’ah dan mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamah, seperti ath- Thaban, ar-Razi, Ibn Katsir, dan banyak ulama lainnya, yang semuanya berkata bahwa ayat yang mulia tersebut diturunkan berkenaan dengan ‘Ali As.[2]

Tidaklah tersembunyi bagi setiap orang yang berpikir bahwa Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung, Dialah yang mengutus para rasul kepada umat-umat manusia, Dia tidak bergantung pada kerelaan manusia. Demikian juga tentang perkara khilafah. Perkara ini merupakan ketetapan Allah, bukan dengan musyawarah atau pun dengan pemilihan. Sebab, kekhalifahan (khilafah) merupakan salah satu rukun (sendi) agama, sedangkan Allah Swt. tidaklah sekali-kali menyerahkan salah satu rukun dari rukun-rukun agama-Nya kepada pilihan umat manusia, dimana mereka ini tidak terlepas dari pengaruh hawa nafsunya (baca tidak maksum).

Akan tetapi, orang yang melaksanakan tugas khilafah sepeninggal Rasulullah Saw haruslah berdasarkan perintah Allah Swt dan orang yang maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).

Ayat al-Maidah tersebut merupakan nash yang jelas dalam menetapkan kepemimpinan (wilâyah) ‘Ali As, baik Syi’ah maupun kebanyakan mufasir Ahlus Sunnah sepakat bahwa orang yang memberikan zakat (sedekah) dalam keadaan ruku’ adalah ‘Ali, tidak ada pertentangan dalam hal ini. Oleh karena itu, dengan bersandar kepada ayat tersebut, ‘Ali-lah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah Saw.

Kemudian ia (ulama asy-Syafi’i) menyebutkan bahwa Abu Bakar lebih berhak menjadi khalifah karena ia telah menyumbangkan hartanya yang sangat banyak kepada Rasulullah Saw, ia telah menikahkan Nabi Saw dengan putrinya (‘A’isyah), dan ia juga telah menjadi imam shalat jamaah ketika Nabi Saw sakit.

Kemudian, aku katakan kepadanya, “Adapun bahwa Abu Bakar telah mempersembahkan hartanya yang sangat banyak, hal ini merupakan pengakuan yang membutuhkan dalil yang mengukuhkannya, sedangkan kami tidak mengakui hal tersebut.”

Kemudian aku katakan kepadanya, “Dari mana ia (Abu Bakar) mendapatkan harta tesebut? Dan apakah hal tersebut terjadi di Makkah atau di Madinah?”

Jika engkau katakan bahwa itu terjadi di Makkah, maka sesungguhnya Nabi Saw ketika di Makkah tidak pernah mempersiapkan pasukan tentara dan tidak pernah pula membangun masjid. Demikian juga, orang-orang yang telah masuk Islam saat itu banyak yang berhijrah ke Habasyah (Etopia), sedangkan Nabi Saw dan seluruh Bani Hasyim (yang tetap tinggal di Mekkah) tidak diperbolehkan menerima zakat.

Selain itu, Nabi Saw adalah orang yang kaya dengan harta Khadijah. Dan jika engkau katakan bahwa hal itu (infak harta) terjadi di Madinah, maka sesungguhnya Abu Bakar ketika berhijrah, dia hanya memiliki uang sebanyak enam ratus Dirham, yang sebagiannya telah ia tinggalkan untuk keluarganya. Ia hanya membawa uang yang tersisa dari harta tersebut, lalu ia, dan seluruh Muhajirin lainnya, hidup di tengah-tengah suku Anshar dalam keadaan membutuhkan bantuan mereka. Selain itu, Abu Bakar bukanlah seorang pedagang besar; kadang-kadang dia menjual pakaian yang ia pikul di pundaknya, lalu ia bawa ke tempat keramaian orang-orang, kadang-kadang ia mengajar anak-anak, dan kadang-kadang pula ia menjadi tukang kayu, yang membikin pintu dan yang semisalnya bagi orang yang memerlukannya.

Adapun ia telah menikahkan Rasulullah Saw dengan putrinya, maka hal ini tidak mengharuskannya menjadi penguasa bagi kaum Muslimin. Adapun ia menjadi imam shalat berjamaah ketika Nabi Saw sakit, jika riwayat ini benar, maka ini tidak mengharuskannya menjadi imam kaum Muslimin dan khalifah yang agung. Sebab, shalat jamaah berbeda dengan masalah khilafah.

Telah diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi Saw biasa mengimami shalat satu sama lain di antara sesama mereka, baik ketika di Madinah maupun dalam bepergian. Seandainya alasan yang engkau kemukakan benar, maka siapa saja di antara mereka (yang pernah menjadi imam shalat berjamaah) dapat menjadi khalifah.

Selain itu, hadis yang menyebutkan bahwa Abu Bakar mengimami shalat berjamaah hanya bersumber dari putrinya saja, yaitu ‘A’isyah.

Sungguh, sangat mengherankan saudara-saudara kami Ahlus Sunnah ini, mereka mengemukakan hujah dengan dalil-dalil yang lemah tersebut, lalu mereka melupakan hadis-hadis yang diriwayatkan tentang ‘Ali As, padahal hadis-hadis tersebut merupakan dalil yang sangat kuat dan diriwayatkan dalam jumlah yang sangat banyak.

Misalnya, hadis tentang peringatan Nabi Saw kepad aum kerabatnya yang terdekat Nabi Saw mengumpulkan kaum kerabatnya terdekat dengan perintah dari Allah, yaitu firman-Nya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”(Qs. asy-Syu’ara’ [26]: 214).

Ketika itu, Nabi Saw mengundang para kerabatnya yang berjumlah sekitar empat puluh orang. Nabi Saw membuatkan makanan yang sedikit, tetapi dapat mengenyangkan keempat puluh orang undangan tersebut. Setelah perjamuan, Nabi Saw bersabda kepada mereka, Wahai Bani Hasyim, siapakah di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusanku ini?” Namun, tak seorang pun dari mereka yang menyambut ajakan tersebut, kemudian ‘Ali As berkata, “Aku wahai Rasulullah. Aku akan membantumu (dalam urusanmu).”

Nabi Saw mengulangi ajakannya itu sampai tiga kali, dan setiap kali ia menyampaikan seruan tersebut, setiap kali itu pula ‘Ali selalu menjawab, “Aku wahai Rasulullah.”

Kemudian, Nabi Saw memegang tengkuk (leher bagian belakang) ‘Ali seraya bersabda kepadanya, “Engkau adalah washiyy-ku dan khalifahku sepeninggalku. Maka dengarkanlah ia dan patuhilah perintahnya! “

Juga hadis Ghadir Khum yang terkenal, hadis tsaqalain, hadis manzilah (kedudukan ‘Ali di sisi Rasulullah, seperti kedudukan Harum di sisi Musa), hadis safinah (perumpamaan Ahlulbait Rasulullah seperti bahtera Nuh. Barang siapa yang menaikinya, akan mendapatkan keselamatan; dan barang siapa yang meninggalkannya, akan karam dan binasa), hadis pintu pengampunan (seperti pintu pengampunan bagi Bani Israil. Barang siapa yang memasukinya, niscaya ia akan diampuni dosa-dosanya), hadis “Aku kota ilmu, dan ‘Ali adalah pintunya”, hadis persaudaraan (pada hari hijrah, Nabi Saw. mempersaudarakan ‘Ali dengan dirinya sendiri, sementara ia mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar).

Juga hadis penyampaian Surah Barâ’ah kepada kaum musyrik Makkah, hadis penutupan semua pintu yang menuju Masjid Nabi Saw kecuali pintu rumah ‘Ali, hadis tentang pencabutan pintu gerbang Khaibar yang dilakukan oleh ‘Ali seorang diri, hadis tentang terbunuhnya ‘Amru bin ‘Abdu Wudd di tangan ‘Ali (dalam tanding perang Ahzab), dan dinikahkannya ia (‘Ali) oleh Rasulullah Saw dengan putri kinasihnya, Fatimah az­Zahra’ As.

Dan hadis-hadis lainnya tentang keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali As yang jumlahnya tak terhitung, sekiranya kami hendak menuliskannya, tentu akan memenuhi berjilid-jilid besar buku.

Apakah semua riwayat yang telah disepakati kesahihannya ini tidak menetapkan khilafah (kekhalifahan) ‘Ali As, sedangkan riwayat-riwayat yang masih diperselisihkan, bahkan dipalsukan tersebut, menetapkan kekhalifahan Abu Bakar? Sungguh, hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.

Akhimya, setelah melalui diskusi yang panjang, ia merasa puas dan menerima dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya.

Kemudian ia telah keluar dari kami dalam keadaan bimbang terhadap mazhabnya, ia mengucapkan banyak terima kasih atas dalil-dalil yang kami sampaikan kepadanya. Lalu ia meminta dariku sebagian kitab Syi’ah dan kitab-kitab karangan para ulama Syi’ah, maka aku pun memberikan sebagian darinya, di antaranya beberapa kitab karangan al-Imam al-Hujjah al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin.

Kami berharap kepada saudara-saudara kami Ahlus Sunnah, hendaknya mereka mau menelaah kitab-kitab karangan ulama-ulama besar Syi’ah, tanpa diiringi dengan kefanatikan. Di antaranya, kitab-­kitab karangan aI-Imam al-Hujjah al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin, kitab al-Ghadir, karangan Allamah al-Amini, kitab Ihqâqul Haqq dan kitab ash-Shawârimul Muhriqah, yang keduanya merupakan karangan asy-Syahid as-Sa’id Al-Imam Qadhi Nurullah, ‘Abâqatul Anwâr, karya al-Imam as-Sayyid Hamid Husain al-Hindi, Ghayâtul Marâm, karya al-Imam al-Bahrani, As-Saqifah, karya al-‘Allamah al-Muzhaffar, Dalâ’iul Sidqi, karya al-Hujjah al-­Muzhaffar, dan Ashlusy Syi’ah wa Ushuluha, karya al-Imam Kasyiful Ghitha.


Diskusi dengan Salah Seorang Ulama AI-Azhar

Pada 7 Dzulqaidah 1371 H sebelum Zuhur, salah seorang tokoh terpandang di Kota Hilb, Ustad Sya’ban Abu Rasul, mengabarkan kepadaku bahwa salah seorang Syaikh (guru) al-Azhar, ia adalah seorang ulama besar dan penulis kenamaan, bermaksud mengunjungiku. Ustad Sya’ban Abu Rasul berkata kepadaku, “Kapan ia (syaikh al-Azhar itu) dapat berkunjung ke rumahmu?”

Aku katakan kepadanya, “Ahlan wa sahlan. Sungguh, aku mendapat kehormatan dengan kunjungannya itu. Silakan ia berkunjung kepadaku pada hari ini.”

Lalu Syaikh al-Azhar itu mengunjungiku setelah shalat Asar. Setelah aku menyambut kedatangannya dan mempersilahkannya duduk, ia berkata kepadaku dengan lemah lembut, “Sesungguhnya aku sengaja mengunjungimu dengan maksud hendak menanyakan kepadamu, apa yang mendorongmu mengikuti mazhab Syi’ah dan meninggalkan mazhab Ahlus Sunnah asy-Syafi’i?”

Sebagaimana ia, Aku menjawab pertanyaannya dengan lemah lembut, aku katakan kepadanya, “Sebab-sebabnya banyak sekali, di antaranya: aku melihat perbedaan yang banyak di antara sesama empat mazhab. Kemudian aku mulai menyebutkan beberapa contoh perbedaan di antara empat mazhab itu. Lalu aku menyebutkan sebab-sebab yang mendorongku mengikuti mazhab Syi’ah, ‘yang paling utama; adalah masalah khilafah (kekhalifahan), yang merupakan sebab yang paling besar dan menyebabkan terjadinya perselisihan di antara sesama kaum Muslim.”

Sebab, sangatlah tidak masuk akal jika Rasulullah Saw meninggalkan umatnya tanpa menunjuk seorang penggantinya, yang memerintah dengan melaksanakan syariat Allah, sebagaimana para rasul yang lain yang menunjuk seorang washiy (yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinannya, yakni menjadi khalifahnya sepeninggalnya).

Menurutku, telah terbukti secara meyakinkan bahwa kebenaran ada bersama Syi’ah. Sebab, keyakinan mereka menegaskan bahwa Nabi Saw, telah berwasiat kepada ‘Ali untuk menjadi khalifahnya sepeninggalnya (sebelum wafatnya bahkan sejak awal dakwah beliau), dan setelahnya adalah anak keturunannya, yaitu sebelas imam. Mereka (Syi’ah) ,mengambil hukum-hukum agama, mereka dari dua belas Imam Ahlulbait, yaitu para Imam Maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) di dalam akidah mereka dengan dalil-dalil yang kuat.

Lantaran sebab itulah dan sebab-sebab yang lainnya,’ aku mengikuti mazhab yang mulia ini, mazhab Ahlulbait. Selain itu, aku tidak menemukan satu pun dalil yang mewajibkan kita mengikuti salah satu dari mazhab yang empat. Sebaliknya, aku mendapatkan dalil-dalil yang sangat banyak yang mewajibkan kita mengikuti mazhab Ahlulbait yang menuntun setiap Muslim ke jalan yang lurus.”

Kemudian aku paparkan kepadanya dalil-dalil yang jelas dan tegas yang mewajibkan setiap Muslim mengikuti mazhab Ahlulbait. Semua yang hadir di rumahku saat itu, mendengarkan penjelasanku dengan seksama.

Lalu aku bertanya kepada kepada Syaikh al-Azhar itu, “Wahai Syaikh yang mulia, engkau adalah seorang ulama yang terhormat. Apakah engkau mendapatkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw satu dalil pun yang mengarahkanmu untuk mengikuti salah satu dari empat mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i, dan Hanbali)?”

Ia menjawab, “Sekali-kali tidak.”

Kemudian aku katakan kepadanya, “Bukankah Anda mengetahui bahwa mazhab yang empat (madzâhibul arba’ah) itu saling bertentangan satu sama lainnya dalam banyak masalah, dan dalam hal ini mereka tidak berlandaskan pada dalil yang kuat atau keterangan yang jelas dan nyata bahwa ialah yang benar, bukan yang lainnya? Orang yang terikat dengan salah satu mazhab dari empat mazhab tersebut hanyalah menyebutkan dalil-dalil yang tidak ada penopangnya. Sebab, ia tidak bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Ia seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.

Misalnya, seandainya Anda tanyakan kepada seseorang yang bennazhab Hanafi, ‘Mengapa engkau memilih mazhab Hanafi, bukan yang lainnya? Dan mengapa engkau memilih Abu Hanifah sebagai imam untuk dirimu setelah seribu tahun dari kematiannya?

Niscaya orang tersebut tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan hatimu. Demikian juga jika Anda menanyakan hal yang sama kepada seseorang yang mengikuti mazhab asy-Syafi’i, Maliki, atau Hanbali.

Rahasia di balik itu adalah setiap imam dari empat mazhab tersebut bukanlah seorang nabi atau washiyy (orang yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinan nabi). Mereka tidak mendapatkan wahyu ataupun mendapatkan ilham, mereka hanya seperti ulama yang lain, dan orang yang seperti mereka amatlah banyak.

Kemudian mereka bukanlah sahabat Nabi Saw, kebanyakan mereka atau bahkan keseluruhan mereka tidak menjumpai Nabi Saw dan tidak pula menjumpai para sahabat Nabi Saw. Setiap orang dari mereka (imam mazhab yang empat) membuat mazhab untuk dirinya sendiri, ia mengikuti mazhabnya itu dan mempunyai pendapat­-pendapat tersendiri, yang boleh jadi terdapat kesalahan atau kelalaian di dalamnya.

Dan setiap dari mereka mempunyai pendapat yang bermacam-macam, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Akal sehat tidak akan dapat menerima hal itu, demikian pula hati yang bersih. Sebab, ia tidak berdasarkan pada dalil yang tegas dan kuat, yaitu al-­Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.

Maka, orang yang berpegangan atau mengikuti salah satu dari mazhab yang empat tersebut tidak mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat kelak di hadapan Allah pada Hari Perhitungan. Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah hujah yang jelas lagi kuat itu. Seandainya Allah menanyakan kepada orang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu pada hari kiamat, dengan dalil apa engkau mengikuti mazhabmu ini? Tentu saja ia tidak mempunyai jawaban kecuali ucapannya, “ Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (Qs. Az-Zukhruf [43]:23)

Atau, ia berkata,

“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar). (Qs. Al-Azhab [33]:67)

Kemudian aku katakan kepada syaikh al-Azhar itu, “Wahai Syaikh yang mulia, apakah seseorang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu mempunyai jawaban kelak di hadapan Allah pada hari kiamat?”

Ia menundukkan kepalanya beberapa lama kemudian ia berkata, “Tidak.”

Kemudian aku katakan kepadanya, “Adapun kami yang mengikuti wilâyah (kepemimpinan) al-‘itrah ath-thâhirah (keturunan yang suci), Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa, dan kami beribadah kepada Allah Swt dengan mengikuti fiqih al-Ja’fari, kami akan berkata kelak pada Hari Perhitungan, ketika kami berdiri di hadapan Allah Swt.”

‘Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan kami dengan hal itu karena sesungguhnya Engkau telah berfirman di dalam Kitab-Mu, “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7)

Dan Nabi-Mu, Muhammad Saw, telah bersabda, sebagaimana yang telah disepakati kaum Muslim, “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian dua pusaka yang sangar berharga (ats-tsaqalain), yaitu Kitabullâh dan Itrah Ahlulbaitku; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, dan sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di Haudh.”

Dan Nabi-Mu juga telah bersabda, “Perumpamaan Ahlu/ Bairku di rengah-rengah kalian seperti bahrera Nuh barang siapa menaikinya, niscaya dia akan selamat; dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya dia akan tenggelam dan binasa.”

Dan tidak diragukan lagi bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq As adalah dari al-i’trah ath-thâhirah (keturunan yang suci), yaitu Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa. llmunya adalah ilmu ayahnya, ilmu ayahnya adalah ilmu kakeknya, yaitu Rasulullah Saw, sedangkan ilmu Rasulullah Saw bersumber dari Allah.

Selain itu, semua kaum Muslim telah sepakat akan kejujuran dan keutamaan Imam Ja’far Ash-Shiidiq As: Sesungguhnya ia (Imam Ja’far Ash-Shiidiq As) adalah seorang washiyy keenam dan Imam Maksum, sesuai keyakinan segolongan besar kaum Muslim, yaitu para pengikut mazhab Ahlubait, mazhab yang hak. Dan sesungguhnya ia adalah hujah Allah atas makhluk-Nya.

Imam Ja’far Ash-Shadiq As meriwayatkan hadis dari ayah dan datuknya yang suci, dan ia tidak berfatwa dengan pendapatnya sendiri. Hadisnya adalah “hadis ayahku dan datukku”. Sebab, mereka adalah sumber ilmu dan hikmah.

Mazhab Imam Ja’far ash-Shadiq As adalah mazhab ayahnya, dan mazhab kakeknya bersumber dari wahyu, yang tidak akan pernah berpaling sedikit pun darinya. Bukan dari hasil ijtihad, seperti lainnya yang berijtihad.

Oleh karena itu, orang yang mengikuti mazhab Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq As dan mazhab kakek-kakeknya, berarti ia telah mengikuti mazhab yang benar dan berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.

Setelah aku kemukakan dalil-dalil yang jelas dan kuat, Syaikh al-Azhar tersebut mengucapkan banyak terima kasih kepadaku dan ia pun sangat memuliakan kedudukanku.

Kemudian ia menanyakan tentang pandangan Syi’ah terhadap para sahabat Rasulullah Saw. Lalu, aku jelaskan kepadanya bahwa Syi’ah tidak menecela sahabat Rasulullah Saw secara keseluruhan. Akan tetapi, Syi’ah meletakkan mereka sesuai kedudukan mereka. Sebab, di antara mereka ada yang adil dan ada pula yang tidak adil, di antara mereka ada yang pandai dan ada pula yang bodoh, dan di antara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat.

Bukankah Anda tahu apa yang telah mereka lakukan pada hari Saqifah? Mereka telah meninggalkan jenazah Nabi mereka dalam keadaan terbujur kaku di atas tempat tidumya, mereka berlomba-lomba memperebutkan kekhalifahan. Setiap orang dari mereka beranggapan bahwa ialah yang berhak menjadi khalifah, seakan-akan ia adalah barang dagangan yang dapat diperoleh bagi siapa saja yang lebih dahulu mendapatkannya. Padahal mereka telah mendengar nash-nash yang tegas yang telah disampaikan oleh Nabi Saw tentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib As, baik sejak awal dakwahnya maupun hadis Ghadir Khum yang terkenal itu.

Selain itu, mengurusi jenazah Rasulullah Saw lebih penting daripada urusan kekhalifahan. Bahkan, seandainya saja Rasulullah Saw tidak mewasiatkan seseorang untuk menjadi khalifahnya (Rasulullah Saw. secara tegas telah menunjuk ‘Ali untuk menjadi khalifahnya), maka wajib bagi mereka untuk mengurusi jenazah Rasulullah Saw terlebih dahulu.

Kemudian setelah selesai mengurusi jenazah Rasulullah Saw, seyogyanya mereka menyatakan belasungkawa kepada keluarga beliau, seandainya saja mereka adalah orang-orang yang adi!.

Akan tetapi, dimanakah keadilan dan perasaan hati mereka, dimanakah keluhuran akhlak, dan dimanakah ketulusan dan kecintaan? Dan yang lebih menyakitkan lagi di dalam hati adalah penyerbuan mereka ke rumah belahan jiwa Rasulullah Saw, Fatimah az-Zahra As, yang dilakukan oleh sekitar lima puluh orang pria.

Mereka telah mengumpulkan kayu bakar untuk membakar rumah Fatimah dan semua orang yang di dalamnya. Sehingga ada seseorang yang berkata kepada ‘Umar, “Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat al-Hasan, al-Husain, dan Fatimah.”

Akan tetapi, ‘Umar berkata, “Walaupun (di dalam rumah tersebut ada mereka).”

Peristiwa ini banyak disebutkan oleh sejarawan Ahlus Sunnah,[3] apalagi para sejarawan Syi’ah.

Semua orang tahu, baik orang yang berbakti maupun orang yang jahat, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Fatimah adalah belahan jiwaku. Barang siapa yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku; barang siapa yang membuatnya murka, maka ia telah membuatku murka; barang siapa yang membuatku murka, maka ia teah membuat Allah murka; dan barang siapa membuat Allah murka, maka Allah akan menyungkurkan kedua lubang hidungnya ke dalam neraka. “

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada para sahabat Nabi Saw secara jelas menunjukkan bahwa tidak semua sahabat itu adil. Silakan Anda merujuk ke Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh al-Muslim tentang hadis Haudh, niscaya Anda akan mendapatkan kebenaran pendapat Syi’ah tentang penilaian mereka terhadap para sahabat Nabi Saw.

Jika demikian adanya, maka dosa apakah bagi mereka (Syi’ah) jika mereka berpendapat bahwa banyak di antara sahabat Nabi Saw yang tidak adil, sedangkan banyak dari mereka sendiri (para sahabat Nabi Saw.) yang menunjukkan jati diri mereka sendiri.

Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah dalil dan bukti yang paling jelas terhadap kebenaran pendapat mereka (Syi’ah). Dan al-Qur’an telah menyingkapkan banyak keburukan perbuatan di antara mereka (para sahabat Nabi Saw).

Bukankah Anda juga tahu apa yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘Ash, Marwan bin Hakam, Ziyad dan anaknya, Mughirah bin Syu’bah, ‘Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah dan Zubair, yang keduanya telah memberikan baiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali As, tetapi keduanya kemudian melanggar baiatnya dan memerangi Imam mereka (‘Ali bin Abi Thalib As) bersama ‘A’isyah di Basrah, yang sebelumnya mereka telah melakukan kejahatan-kejahatan di kota tersebut (Basrah) yang tidak pantas dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jiwa satria.

Selain itu, selama keberadaan Nabi Saw di tengah-tengah mereka (para sahabat beliau), banyak di antara mereka yang melakukan perbuatan nifâk (munafik), apakah kemudian setelah Nabi Saw menemui Tuhannya (wafat), mereka lantas menjadi adil semuanya?

Kita sama sekali tidak pernah mendengar bahwa ada salah seorang nabi di antara nabi-nabi yang diutus kepada umatnya, lalu semua umatnya menjadi adil. Bahkan, yang terjadl adalah sebaliknya. Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan kepada kita tentang hal itu.

Kemudian aku katakan kepada, Syaikh al-Azhar itu, “Bagaimana menurutmu wahai saudaraku yang mulia?”

Ia menjawab, “Sungguh, apa yang telah engkau sampaikan telah memuaskanku, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan balasan yang sebaik-baiknya.”

Kemudian setelah terjadi diskusi yang panjang antara aku dengan syaikh al-Azhar itu, ia berkata, “Apakah engkau mengetahui bahwa engkau telah memasukkan keraguan di dalam hatiku perihal empat mazhab, dan aku juga telah condong pada mazhab Ahlulbait. Akan tetapi, aku ingin engkau membekaliku dengan sebagian kitab Syi’ah.” .

Kemudian, aku pun menghadiahkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah, di antaranya: kitab karangan al-Imam Syarafuddin Dalâ’ilush Shidqi, dan al-Ghadir karya Allamah Amini. Di samping itu, aku juga menunjukkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah yang lainnya.

Kemudian ia mohon diri meninggalkan rumahku sembari mengucapkan pujian dan terima kasih kepadaku, lalu ia pun pulang ke Mesir dalam keadaan ragu tentang akidah yang dianutnya selama ini. Kemudian setelah beberapa hari, datanglah surat kepadaku dari syaikh al-Azhar itu. Di antara isi surat tersebut, ia mengabarkan kepadaku bahwa dia telah menganut mazhab Ahlulbait dan menjadi seorang Syi’ah. Ia berjanji kepadaku untuk menulis buku tentang kebenaran Mazhab Ahlulbait.[]


Penutup

Sesungguhnya apa yang telah kami persembahkan kepada para pembaca adalah bersumber dari al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw, yang diriwayatkan dalam hadis sahih dalam kitab-kitab sahih Sunni, dan merupakan bukti yang kuat terhadap kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung (belâ fashl), sekiranya orang yang menentang kami berlaku adil.

Perhatikanlah dengan seksama dan sungguh-sungguh terhadap semua yang telah kami sebutkan dalam buku ini, yaitu hujjah dan keterangan yang jelas, dengan begitu niscaya akan tersingkap kebenaran yang hakiki bagi Anda dan akan memudahkan jalan bagi siapa saja yang hendak menempuh jalan kebenaran. Yaitu, orang-orang yang mengikhlaskan niatnya dan menjauhkan dirinya dari fanatisme mazhab yang membutakan hati dan pikiran sehat dan membinasakan.

Orang yang bersikeras dalam fanatismenya, tidak akan berguna riwayat, walaupun jumlahnya sangat banyak dan telah dikemukakan baginya seribu dalil.

Adapun orang yang mempunyai pikiran yang jemih dan akal yang cerdas, maka yang telah kami persembahkan, dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah, telah memadai baginya karena dalil-dalil tersebut adalah riwayat-riwayat yang sahih yang telah disepakati kebenarannya, baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah.

Selain itu, orang yang bersikeras di dalam kefanatikannya, bahkan seandainya Nabi Saw sendiri yang datang kepadanya dan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia tetap akan berada di dalam sikap keras kepalanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang di antara mereka, yang keras kepala, kepada saudaraku “Seandainya Jibril turun, dan ikut bersamanya Muhammad dan ‘Ali, aku tetap tidak akan membenarkan ucapanmu.”

Hal itu terjadi ketika saudaraku mengajaknya berdialog, dan saudaraku telah memberikan kepadanya kitab al-Murâja’ât (Dialog Sunni-Syi’ah) agar ia melihat (membaca) apa yang ada di dalamnya. Kitab tersebut ada pada orang itu lebih dari sebulan lamanya, lalu dia mengembalikan kitab itu kepada saudaraku seraya berkata, “Sesungguhnya aku tidak suka membaca kitab-kitab Syi’ah. Oleh karena itu, aku sama sekali tidak membaca kitab ini (al-Murâja ‘ât) selamanya.”

Sesungguhnya buku yang hadir di hadapan Anda ini, insya Allah, akan tersebar luas di segenap penjuru dunia, yang akan dibaca oleh orang-orang Arab dan ‘ajam (non-Arab), Muslim dan non-Muslim.

Sesungguhnya manusia itu bermacam-macam. Dan merupakan hal yang sulit mendapatkan kerelaan seluruh manusia, bahkan itu merupakan suatu hal yang mustahil diraih.

Semoga Allah Swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada ‘Ali al-Kailani, seorang pujangga berkebangsaan Palestina yang berkata,

Jika Tuhannya makhluk tidak meridhai makhluk-Nya,

Maka bagaimana mungkin makhluk dapat diharapkan keridhaannya.

Singkat kata, sesungguhnya buku ini akan dibaca oleh banyak pembaca, di antara mereka pasti ada yang akan memuji, dan di antara mereka juga akan ada yang mengkritik, bahkan mengecamnya.

Saya berharap dari pembaca yang budiman untuk tidak terburu­-buru memberikan penilaian sebelum membaca sampai akhir buku. Setelah itu, ia dapat memberikan penilaiannya yang bijak, baik menerima maupun menolak.

Akan tetapi, aku tidak menduga bahwa orang yang berpikir positif dan bijak akan menolak dalil-dalil yang telah kami kemukakan karena ia bersumber dari kitab-kitab sandaran mereka sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu, jika dia tidak menerima dalil-dalil tersebut, maka hendaklah ia menyalahkan mereka, bukan kami, karena kami hanya menyampaikan apa yang bersumber dari mereka.

Akhir kalam, aku mengucapkan terima kasih kepada orang-orang (para ulama) yang telah menyebabkan kami memperoleh petunjuk dengan mengikuti mazhab yang benar, yaitu mazhab Ahlulbait. Khususnya kepada dua orang imam besar, dua tokoh terkemuka mazhab Ahlulbaiut dan marji’ yang terbesar, yaitu Ayatullah al-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid as-Sayyid Agha Husain ath-Thabathaba’i al-­Buroujerdi, dan Ayatullah a;-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin. Semoga Allah Swt membalas kebaikan kedua tokoh besar mazhab Ahlulbait ini atas jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum Muslim, dan khususnya kepada penulis, dengan balasan yang sebaik-baiknya.

Saya selesai menuliskan naskah ini pada 29 Dzul Hijjah al-­Haram 1380 H, di Kota Hilb, dalam perpustakaanku, tempat aku mengajar dan menulis buku.

Segala puji bagi Allah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Lahir dan Yang Batin.[]


Referensi:

[1] . Allah membukakan hatinya untuk menerima dan mengikuti mazhab yang benar yaitu mazhab Ahlulbait al-Ja’fari.

[2] . Silahkan Anda rujuk pada bagian ketiga dari buku ini.

[3] . Lihat al-Imâmah was Siyâsah. Ar-Riyadhun Nadhrah, Murujudz Dzahab, Ansâbul Asyrâf, al-Imâm ‘Ali, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud, Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadid, dan kitab-­kitab lainnya yang ditulis oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Anda akan mendapatkan bahwa mereka menyebutkan peristiwa yang menyedihkan dan memilukan hati ini. Adapun Syi’ah, para sejarawan mereka telah menyebutkan peristiwa yang menyakitkan hati ini berikut nama-nama mereka yang melakukan tindakan kejahatan ini. Mereka menyatakan bahwa perirstiwa penyerbuan ke rumah Fatimah As tersebut dipimpin oleh ‘Umar “seorang pahlawan yang gagah berani” tetapi gagah berani bukan di medan perang.


Baca:

Fatimah Az Zahra Wafat karena Di Pukul Perutnya Hingga Keguguran Lalu Sakit Parah Hingga Wafat !!!


Ya Nabi SAW Puterimu Di Zalimi !

Umar menendang pintu dan pintu, Fatimah jatuh tertimpa pintu, -tanpa patah tulang- Fatimah mendorong pintu agar menghalangi mereka masuk, Umar menendang pintu hingga terlepas dan mengenai perut Fatimah hingga Muhsin gugur dari perut ibunya. (Multaqal Bahrain hal 81, Al Jannah Al Ashimah hal 251).

Umar menggunakan pedang dan cambuk tanpa menyentuh pintu. Fatimah berteriak Wahai Ayahku, Wahai Rasulullah, lalu Umar mengangkat pedang yang masih di sarungnya dan memukul perut Fatimah, lalu Fatimah berteriak lagi, wahai ayahku, lalu Umar mencambuk tangan Fatimah,  Fatimah memanggil Wahai Rasulullah, betapa buruk penggantimu, Abubakar dan Umar. Ali melompat dan mencengkeram baju Umar dan membantingnya, dan memukul hidung serta lehernya. Ali berniat membunuh Umar tetapi dia teringat wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam. (Kitab Sulaim bin Qais , jilid 3 hal 538).

Fatimah didorong di pintu, tanpa ditendang, tanpa pedang, cambuk atau paku Al Mas’udi, seorang ahli sejarah mengatakan : Amirul Mu’minin Ali tinggal di rumahnya beserta beberapa pengikutnya, seperti yang dipesankan oleh Rasulullah, lalu mereka menuju rumah Ali dan menyerbunya, membakar pintu rumah dan memaksa orang yang di dalamnya untuk keluar, mereka mendorong Fatimah di pintu hingga janinnya gugur, mereka memaksa Ali untuk berbaiat dan Ali menolak, dan mengatakan : aku tidak mau, mereka mengatakan : kalau begitu kami akan membunuhmu, Ali mengatakan: jika kalian membunuhku maka aku adalah Hamba Allah dan saudara RasulNya. Lihat Itsbatul Washiyyah hal 123.   Umar menyerbu rumah Ali bersama tiga ratus orang. Diriwayatkan mengenai penyebab wafatnya Fatimah : Umar bin Khattab menyerang rumah Ali dan Fatimah bersama tiga ratus orang. (Lihat dalam kitab Al Awalim jilid 2 hal 58).

Umar memukul Fatimah di jalan, bukan di rumah Fatimah berhasil meminta surat dari Abubakar yang berisi pengembalian tanah Fadak pada Fatimah, ketika di jalan Fatimah bertemu Umar dan kemudian Umar bertanya: wahai putri Muhammad, surat apa yang ada di tanganmu? Fatimah menjawab: surat dari Abubakar tentang pengembalian tanah Fadak, Umar berkata lagi : bawa sini surat itu, Fatimah menolak menyerahkan surat itu, lalu Umar menendang Fatimah Amali Mufid hal 38, juga kitab Al Ikhtishash   Fatimah dicambuk. Yang disesalkan adalah mereka memukul Fatimah Alaihassalam, telah diriwayatkan bahwa mereka memukulnya dengan cambuk. (Talkhis Syafi jilid 3 hal 156 ).

Punggungnya dicambuk dan dipukul dengan pedang. Lalu Miqdad berdiri dan mengatakan : putri Nabi hampir  meninggal dunia, sedang darah mengalir di punggung dan rusuknya karena kalian mencambuknya dan memukulnya dengan pedang, sedangkan di mata kalian aku lebih hina dibanding Ali dan Fatimah. (Ahwal Saqifah/ Kamil Al Baha’I, Hasan bin Ali bin Muhamamd bin Ali bin Hasan At Thabari yang dikenal dengan nama Imadudin At Thabari, jilid 1 hal 312.).

perbedaan yang banyak di antara sesama empat mazhab membuat anda pasti bingung kan ?
“Bukankah Anda mengetahui bahwa mazhab yang empat (madzâhibul arba’ah) itu saling bertentangan satu sama lainnya dalam banyak masalah, dan dalam hal ini mereka tidak berlandaskan pada dalil yang kuat atau keterangan yang jelas dan nyata bahwa ialah yang benar, bukan yang lainnya? Orang yang terikat dengan salah satu mazhab dari empat mazhab tersebut hanyalah menyebutkan dalil-dalil yang tidak ada penopangnya. Sebab, ia tidak semuanya bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Ia seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.

Misalnya, seandainya Anda tanyakan kepada seseorang yang bennazhab Hanafi, ‘Mengapa engkau memilih mazhab Hanafi, bukan yang lainnya? Dan mengapa engkau memilih Abu Hanifah sebagai imam untuk dirimu setelah seribu tahun dari kematiannya?

Niscaya orang tersebut tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan hatimu. Demikian juga jika Anda menanyakan hal yang sama kepada seseorang yang mengikuti mazhab asy-Syafi’i, Maliki, atau Hanbali.
Rahasia di balik itu adalah setiap imam dari empat mazhab tersebut bukanlah seorang nabi atau washiyy (orang yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinan nabi). Mereka tidak mendapatkan wahyu ataupun mendapatkan ilham, mereka hanya seperti ulama yang lain, dan orang yang seperti mereka amatlah banyak.

Kemudian mereka bukanlah sahabat Nabi Saw, kebanyakan mereka atau bahkan keseluruhan mereka tidak menjumpai Nabi Saw dan tidak pula menjumpai para sahabat Nabi Saw. Setiap orang dari mereka (imam mazhab yang empat) membuat mazhab untuk dirinya sendiri, ia mengikuti mazhabnya itu dan mempunyai pendapat­-pendapat tersendiri, yang boleh jadi terdapat kesalahan atau kelalaian di dalamnya.

Dan setiap dari mereka mempunyai pendapat yang bermacam-macam, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Akal sehat tidak akan dapat menerima hal itu, demikian pula hati yang bersih. Sebab, ia tidak berdasarkan pada dalil yang tegas dan kuat, yaitu al-­Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.

Maka, orang yang berpegangan atau mengikuti salah satu dari mazhab yang empat tersebut tidak mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat kelak di hadapan Allah pada Hari Perhitungan. Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah hujah yang jelas lagi kuat itu. Seandainya Allah menanyakan kepada orang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu pada hari kiamat, dengan dalil apa engkau mengikuti mazhabmu ini? Tentu saja ia tidak mempunyai jawaban kecuali ucapannya, Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (Qs. Az-Zukhruf [43]:23)

Atau, ia berkata,
Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar). (Qs. Al-Azhab [33]:67)

“Adapun kami yang mengikuti wilâyah (kepemimpinan) al-’itrah ath-thâhirah (keturunan yang suci), Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa, dan kami beribadah kepada Allah Swt dengan mengikuti fiqih al-Ja’fari, kami akan berkata kelak pada Hari Perhitungan, ketika kami berdiri di hadapan Allah Swt.”

‘Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan kami dengan hal itu karena sesungguhnya Engkau telah berfirman di dalam Kitab-Mu, Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7).

Dan Nabi-Mu, Muhammad Saw, telah bersabda, sebagaimana yang telah disepakati kaum Muslim, “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian dua pusaka yang sangar berharga (ats-tsaqalain), yaitu Kitabullâh dan Itrah Ahlulbaitku; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, dan sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di Haudh.”

Dan Nabi-Mu juga telah bersabda, “Perumpamaan Ahlu/ Bairku di rengah-rengah kalian seperti bahrera Nuh barang siapa menaikinya, niscaya dia akan selamat; dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya dia akan tenggelam dan binasa.”

Dan tidak diragukan lagi bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq As adalah dari al-i’trah ath-thâhirah (keturunan yang suci), yaitu Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa. llmunya adalah ilmu ayahnya, ilmu ayahnya adalah ilmu kakeknya, yaitu Rasulullah Saw, sedangkan ilmu Rasulullah Saw bersumber dari Allah.

Selain itu, semua kaum Muslim telah sepakat akan kejujuran dan keutamaan Imam Ja’far Ash-Shiidiq As: Sesungguhnya ia (Imam Ja’far Ash-Shiidiq As) adalah seorang washiyy keenam dan Imam Maksum, sesuai keyakinan segolongan besar kaum Muslim, yaitu para pengikut mazhab Ahlubait, mazhab yang hak. Dan sesungguhnya ia adalah hujah Allah atas makhluk-Nya.

Imam Ja’far Ash-Shadiq As meriwayatkan hadis dari ayah  dan datuknya yang suci, dan ia tidak berfatwa dengan pendapatnya sendiri. Hadisnya adalah “hadis ayahku dan datukku”. Sebab, mereka adalah sumber ilmu dan hikmah.

Mazhab Imam Ja’far ash-Shadiq As adalah mazhab ayahnya, dan mazhab kakeknya bersumber dari wahyu, yang tidak akan pernah berpaling sedikit pun darinya. Bukan dari hasil ijtihad, seperti lainnya yang berijtihad.
Oleh karena itu, orang yang mengikuti mazhab Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq As dan mazhab kakek-kakeknya, berarti ia telah mengikuti mazhab yang benar dan berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.

Setelah aku kemukakan dalil-dalil yang jelas dan kuat, Syaikh al-Azhar tersebut mengucapkan banyak terima kasih kepadaku dan ia pun sangat memuliakan kedudukanku.
Kemudian ia menanyakan tentang pandangan Syi’ah terhadap para sahabat Rasulullah Saw. Lalu, aku jelaskan kepadanya bahwa Syi’ah tidak menecela sahabat Rasulullah Saw secara keseluruhan. Akan tetapi, Syi’ah meletakkan mereka sesuai kedudukan mereka. Sebab, di antara mereka ada yang adil dan ada pula yang tidak adil, di antara mereka ada yang pandai dan ada pula yang bodoh, dan di antara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat.

Bukankah Anda tahu apa yang telah mereka lakukan pada hari Saqifah? Mereka telah meninggalkan jenazah Nabi mereka dalam keadaan terbujur kaku di atas tempat tidumya, mereka berlomba-lomba memperebutkan kekhalifahan. Setiap orang dari mereka beranggapan bahwa ialah yang berhak menjadi khalifah, seakan-akan ia adalah barang dagangan yang dapat diperoleh bagi siapa saja yang lebih dahulu mendapatkannya. Padahal mereka telah mendengar nash-nash yang tegas yang telah disampaikan oleh Nabi Saw tentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib As, baik sejak awal dakwahnya maupun hadis Ghadir Khum yang terkenal itu.

Selain itu, mengurusi jenazah Rasulullah Saw lebih penting daripada urusan kekhalifahan. Bahkan, seandainya saja Rasulullah Saw tidak mewasiatkan seseorang untuk menjadi khalifahnya (Rasulullah Saw. secara tegas telah menunjuk ‘Ali untuk menjadi khalifahnya), maka wajib bagi mereka untuk mengurusi jenazah Rasulullah Saw  terlebih dahulu.

Kemudian setelah selesai mengurusi jenazah Rasulullah Saw, seyogyanya mereka menyatakan belasungkawa kepada keluarga beliau, seandainya saja mereka adalah orang-orang yang adi!.
Akan tetapi, dimanakah keadilan dan perasaan hati mereka, dimanakah keluhuran akhlak, dan dimanakah ketulusan dan kecintaan? Dan yang lebih menyakitkan lagi di dalam hati adalah penyerbuan mereka ke rumah belahan jiwa Rasulullah Saw, Fatimah az-Zahra As, yang dilakukan oleh sekitar lima puluh orang pria.
Mereka telah mengumpulkan kayu bakar untuk membakar rumah Fatimah dan semua orang yang di dalamnya. Sehingga ada seseorang yang berkata kepada ‘Umar, “Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat al-Hasan, al-Husain, dan Fatimah.”

Akan tetapi, ‘Umar berkata, “Walaupun (di dalam rumah tersebut ada mereka).”
Peristiwa ini banyak disebutkan oleh sejarawan Ahlus Sunnah,[3] apalagi para sejarawan Syi’ah.
Semua orang tahu, baik orang yang berbakti maupun orang yang jahat, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Fatimah adalah belahan jiwaku. Barang siapa yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku; barang siapa yang membuatnya murka, maka ia telah membuatku murka; barang siapa yang membuatku murka, maka ia teah membuat Allah murka; dan barang siapa membuat Allah murka, maka Allah akan menyungkurkan kedua lubang hidungnya ke dalam neraka.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada para sahabat Nabi Saw secara jelas menunjukkan bahwa tidak semua sahabat itu adil. Silakan Anda merujuk ke Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh al-Muslim tentang hadis Haudh, niscaya Anda akan mendapatkan kebenaran pendapat Syi’ah tentang penilaian mereka terhadap para sahabat Nabi Saw.

Jika demikian adanya, maka dosa apakah bagi mereka (Syi’ah) jika mereka berpendapat bahwa banyak di antara sahabat Nabi Saw yang tidak adil, sedangkan banyak dari mereka sendiri (para sahabat Nabi Saw.) yang menunjukkan jati diri mereka sendiri.
Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah dalil dan bukti yang paling jelas terhadap kebenaran pendapat mereka (Syi’ah). Dan al-Qur’an telah menyingkapkan banyak keburukan perbuatan di antara mereka (para sahabat Nabi Saw).

Bukankah Anda juga tahu apa yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘Ash, Marwan bin Hakam, Ziyad dan anaknya, Mughirah bin Syu’bah, ‘Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah dan Zubair, yang keduanya telah memberikan baiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali As, tetapi keduanya kemudian melanggar baiatnya dan memerangi Imam mereka (‘Ali bin Abi Thalib As) bersama ‘A’isyah di Basrah, yang sebelumnya mereka telah melakukan kejahatan-kejahatan di kota tersebut (Basrah) yang tidak pantas dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jiwa satria.

Selain itu, selama keberadaan Nabi Saw di tengah-tengah mereka (para sahabat beliau), banyak di antara mereka yang melakukan perbuatan nifâk (munafik), apakah kemudian setelah Nabi Saw menemui Tuhannya (wafat), mereka lantas menjadi adil semuanya?
Kita sama sekali tidak pernah mendengar bahwa ada salah seorang nabi di antara nabi-nabi yang diutus kepada umatnya, lalu semua umatnya menjadi adil. Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya. Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan kepada kita tentang hal itu.

Sesungguhnya apa yang telah kami persembahkan kepada para pembaca adalah bersumber dari  al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw, yang diriwayatkan dalam hadis sahih dalam kitab-kitab sahih Sunni, dan merupakan bukti yang kuat terhadap kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung (belâ fashl), sekiranya orang yang menentang kami berlaku adil.
Perhatikanlah dengan seksama dan sungguh-sungguh terhadap semua yang telah kami sebutkan  yaitu hujjah dan keterangan yang jelas, dengan begitu niscaya akan tersingkap kebenaran yang hakiki bagi Anda dan akan memudahkan jalan bagi siapa saja yang hendak menempuh jalan kebenaran. Yaitu, orang-orang yang mengikhlaskan niatnya dan menjauhkan dirinya dari fanatisme mazhab yang membutakan hati dan pikiran sehat dan membinasakan.

Orang yang bersikeras dalam fanatismenya, tidak akan berguna riwayat, walaupun jumlahnya sangat banyak dan telah dikemukakan baginya seribu dalil.

Adapun orang yang mempunyai pikiran yang jemih dan akal yang cerdas, maka yang telah kami persembahkan, dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah, telah memadai baginya karena dalil-dalil tersebut adalah riwayat-riwayat yang sahih yang telah disepakati kebenarannya, baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah.
Selain itu, orang yang bersikeras di dalam kefanatikannya, bahkan seandainya Nabi Saw sendiri yang datang kepadanya dan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia tetap akan berada di dalam sikap keras kepalanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh   salah seorang di antara mereka, yang keras kepala, kepada saudaraku “Seandainya Jibril turun, dan ikut bersamanya Muhammad dan ‘Ali, aku tetap tidak akan membenarkan ucapanmu.”

Sesungguhnya manusia itu bermacam-macam. Dan merupakan hal yang sulit mendapatkan kerelaan seluruh manusia, bahkan itu merupakan suatu hal yang mustahil diraih.
Semoga Allah Swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada ‘Ali al-Kailani, seorang pujangga berkebangsaan Palestina yang berkata,
Jika Tuhannya makhluk tidak meridhai makhluk-Nya,
Maka bagaimana mungkin makhluk dapat diharapkan keridhaannya.


[1] . Allah membukakan hatinya untuk menerima dan mengikuti mazhab yang benar yaitu mazhab Ahlulbait al-Ja’fari.
[2] . Silahkan Anda rujuk pada bagian ketiga dari buku ini.
[3] .  Lihat al-Imâmah was Siyâsah. Ar-Riyadhun Nadhrah, Murujudz Dzahab, Ansâbul Asyrâf, al-Imâm ‘Ali, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud, Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadid, dan kitab-­kitab lainnya yang ditulis oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Anda akan mendapatkan bahwa mereka menyebutkan peristiwa yang menyedihkan dan memilukan hati ini. Adapun Syi’ah, para sejarawan mereka telah menyebutkan peristiwa yang menyakitkan hati ini berikut nama-nama mereka yang melakukan tindakan kejahatan ini. Mereka menyatakan bahwa perirstiwa penyerbuan ke rumah Fatimah As tersebut dipimpin oleh ‘Umar “seorang pahlawan yang gagah berani” tetapi gagah berani bukan di medan perang.


Baca Selanjutnya disini:

Kasus Abu Bakar dan Umar Bin Khattab Yang Membakar Hadis-hadis Nabi Mengakibatkan Kaum Sunni Tersesat Hingga Kini!!

Abu Bakar r.a Membakar Kumpulan Hadits

Aisyah r.ha berkata, “Ayahku, Abu Bakar, memiliki catatan berisi 500 Hadits yang telah ia kumpulkan”. Pada suatu malam Aisyah melihat ayahnya sangat gelisah dan berbaing membolak balikan badannya. Aisyah pun bertanya “apakah engkau sakit atau ada sesuatu yang membebani pikiranmu?” Namun pada malam itu Abu BAkar tetap gelisah dan cemas. Keesokan harinya Abu Bakar bertanya kepada Aisyah “Dimanakah catatan haditsku yang pernah aku berikan kepadamu?” Aisyah pun mengambilnya dan memberikan kepadanya. Ternyata dia membakar catatan itu. Aisyah bertanya, “Mengapa dibakar?” Abu Bakar pun menjawab “Aku ragu jika ada kekhilafan lalu aku meninggal, sedangkan catatan ini masih ada padaku. Jika sampai kepada tangan orang lain, lalu mereka menggangapnya dapat dipercaya, dan ternyata dalam catatan ini ada kesalahan, tentu hal itu akan mencelakakanku.” (Tadzkiratul Huffadz).

Dapat dibayangkan betapa banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang diingat oleh Abu Bakar r.a, namun sangat sedikit hadits yang diriwayatkan olehnya.

Prinsip bahawa hadis memiliki kesahihan, seperti yang diperakui al-Quran, tidak dipertikaikan langsung di kalangan syiah mahupun di kalangan semua umat Islam. Tetapi kerana kegagalan beberapa pemerintah awal Islam dalam memelihara dan menjaga hadis, dan sikap tidak berhati-hati beberapa sahabat Nabi dalam penyebaran penulisan hadis, pengumpulan hadis menghadapi beberapa cabaran. Di satu segi ada khalifah masa itu menghalang penulisan dan rakaman hadis seraya mengarahkan mana-mana tulisan hadis dibakar. Seringkali juga sebarang kegiatan penyebaran dan kajian hadis dilarang.[1] Lantaran itu sebilangan hadis telah dilupakan atau hilang dan beberapa yang sempat dirawikan berubah dan menyelewing maksudnya.

Dalam pada itu kecenderungan lain juga wujud di kalangan sekumpulan lain sahabat nabi yang telah diberi penghormatan hidup sezaman dengan beliau dan mendengar sendiri sabda-sabda beliau. Kumpulan yang dihormati oleh beberapa khalifah dan kaum muslimin, memulakan satu usaha yang gigih untuk menyebarkan hadis. Ia menjadi sedemikian rupa sehinggakan kadang-kadang hadis boleh menolak Al-Quran dan ketetapan ayat al-Quran dimansukhkan oleh hadis mereka.[2]

Selalunya perawi hadis akan menjelajah beribu batu dan menanggung semua kesukaran bermusafir hanya untuk mendengar sepotong hadis. Ada juga orang asing yang menyamar sebagai orang Islam dan juga musuh dari kalangan Islam sendiri mula mengubah dan memutar-belitkan beberapa hadis sehingga kebenaran dan kesahihan hadis itu boleh dipertikaikan oleh saksi-saksi hadis itu sendiri. [3]

Di atas sebab itu para ulama Islam mula berfikirkan satu penyelesaian. Mereka mencipta beberapa kaedah memeriksa biografi perawi hadis dan kekuatan perawian untuk kita dapat membezakan antara hadis yang benar dan palsu. [4]

Kaedah Syiah dalam mengesahkan sesuatu hadis, di samping berusaha untuk mengesahkan rantaian perawi hadis yang sah tidak putus , disemak hubung-kait teks hadis dengan al-Quran adalah menjadi sebagai syarat yang perlu dalam menentukan kesahihan. Dari sumber-sumber Syiah walaupun terdapat banyak hadis Nabi dan Imam dengan rantaian perawian yang sah tetapi apabila ia bercanggah dengan al-Quran; ia tidak bernilai apa-apa. Hanya hadis yang menepati semua kriteria di atas boleh dianggap sah.[5]

Lantaran itu, Syiah tidak mengamalkan hadis-hadis yang bercanggahan dengan teks al-Quran. Maka pada hadis yang tidak memenuhi kriteria di atas dan pengesahan mahupun bantahan oleh para Imam belum diperolehi, hadis itu hanya merupakan setakat riwayat atau khabar berita. [6]

Tidak dinafikan juga dalam Syiah sendiri, sama seperti sekumpulan Sunni yang menerima kesemua hadis dari pelbagai sumber. Kaedah Syiah dalam kesahihan hadis. Sebuah hadis yang dinyatakan terus dari mulut Nabi mahupun salah seorang daripada Imam akan diterima sebagaimana al-Quran. Manakala hadis yang disampaikan oleh perawi akan diterima rata-rata syiah jika rantaian rawinya tidak terputus kesahihannya atau jika wujud bukti yang jelas tentang kebenaran hadis itu dan jika mereka peka akan prinsip doktrin yang memerlukan pengetahuan dan kepastian, sesuai dengan teks al-Quran.

Selain daripada dua jenis hadis itu, tiada hadis yang lain mempunyai sebarang kesahihan melalui prinsip pengkhabaran yang sah/mutawatir, maka hadis ini digelar hadis bersumber tunggal. Walau bagaimanapun, dalam menzahirkan syariah dengan kriteria di atas, Syiah menerima juga hadis yang diterima dan dipercayai. Oleh itu, ia boleh dikatakan bahawa untuk Syiah akan menerima hadis mutawatir dan akur dengannya, manakala hadis yang kurang sahih tetapi pada umumnya boleh dipercayai akan digunakan hanya dalam penjelasan pengamatan syariah.


ABU BAKAR DAN UMAR BIN KHATTAB MEMBAKAR HADITS-HADITS NABI? NAUDZUBILLAH SUMMA NAUDZUBILLAH!

Riwayat tentang pembakaran hadits

Riwayat pemabakaran hadits ini adalah riwayat yang terkenal baik di kelompok Muslim Sunni maupun kelompok Muslim Syi’ah. Hanya saja di kalangan Ahlu Sunnah (Sunni) riwayat ini jarang sekali atau hampir tak pernah diberitakan karena mungkin menyangkut kemuliaan Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang bisa saja terganggu karena mereka telah melakukan perbuatan yang mengundang banyak tanya.

Berikut adalah beberapa riwayat dimana Abu Bakar atau (dan) Umar membakar hadits-hadits Nabi. Perbuatan pembakaran hadits ini dampaknya terus terasa hingga sekarang. Umat Islam banyak sekali kehilangan ilmu dari sisi Nabi yang membuat mereka kehilangan petunjuk dan kekuarangan pengetahuan yang sebenarnya bisa mereka dapatkan dengan mudah hanya dengan meneliti apa-apa yang sudah dikatakan atau didiktekan oleh Nabi kepada umat Islam pada masa-masa awal.

Seandainya saja hadits-hadits itu tidak dibakar, maka umat Islam akan mendapatkan warisan yang berharga disamping Al-Qur’an.


LAPORAN PERTAMA

إن الخليفة أبا بكر نفسه كتب بيده خمسمائة حديث أثناء حياة الرسول، وانتقل الرسول إلى جوار ربه وهذه الأحاديث مكتوبة عنده، وبعد وفاة الرسول وعملا بتوجهاته وتوجهات دولة بطون قريش قام الخليفة الأول بإحراق الأحاديث النبوية التي سمعها من الرسول وكتبها بخط يده)

Ad-Dhahabi melaporkan bahwa Abu Bakar sendiri pernah menulis kurang lebih 500 buah hadits dengan tangannya sendiri ketika Rasulullah masih hidup (dan Rasulullah tidak melarangnya!). Akan tetapi ketika Rasulullah meninggal, ia memerintahkan umat Islam dan juga memerintahkan para gubernur dari suku Qurays untuk memerintahkan orang-orang membakar hadits-hadits yang mereka kumpulkan.

Kalau saja hadits yang jumlahnya 500 itu masih ada sampai sekarang, maka itu akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua karena hadits-hadits tersebut kemungkinan jauh lebih shahih ketimbang hadits-hadits yang sekarang karena mata rantai sanadnya langsung tidak melalui rantai sanad yang panjang yang kemungkinan mengurangi esensi dari hadits tersebut. Sayang sekali Abu Bakar sama sekali tidak memiliki visi yang jernih untuk masa depan umat Islam.


LAPORAN KEDUA

Al-Dhahabi, Ibnu Katsir, dan al-Muttaqi menyajikan fakta yang jauh lebih rinci tentang kebijakan Abu Bakar untuk melenyapkan hadits-hadits di awal masa pemerintahannya.

A’isyah melaporkan: “Ayahku mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah, dan jumlahnya kurang lebih ada 500 buah, dan kemudian ia menghabiskan malam itu tanpa tidur hanya berguling-guling di tempat tidur. Aku mengira bahwa ia sedang marah karena seseorang mungkin membuatnya begitu, atau mungkin ia mendengar berita yang tidak mengenakkan. Di keesokan harinya, ia berkata kepadaku, ‘Oh, anakku! Bawakanlah hadits-hadits yang ada padamu itu kepadaku,’ kemudian aku membawakan hadits-hadits itu kepada ayahku dan kemudian ia membakarnya.”.


LAPORAN KETIGA

Ibn Sa’ad melaporkan dalam Thabaqat bahwa pada masa pemerintahan Umar, banyak sekali orang yang menyampaikan hadits-hadits dari sisi Rasulullah. Umar kemudian meminta orang-orang agar membawakan kepadanya semua hadits yang ditulis mereka. Setelah semuanya terkumpul kemudian Umar membakarnya:

إن أحاديث رسول الله قد كثرت على عهد عمر بن الخطاب فناشد الناس أن يأتوه بها، فلما أتوه بها أمر بتحريقها

“INI SEBENARNYA MENYIRATKAN BAHWA PARA SAHABAT SEJAK DULU SUDAH MENULIS HADITS-HADITS DAN MENYIMPANNYA. INI JUGA SEKALIGUS MENYIRATKAN BAHWA RASULULLAH TAK PERNAH MELARANG MEREKA MENULIS HADITS KARENA KALAU RASULULLAH PERNAH MELARANGNYA MAKA HANYA SEDIKIT SEKALI ATAU BAHKAN MUNGKIN TIDAK ADA SAMA SEKALI SAHABAT YANG BERANI MENULIS HADITS.”


LAPORAN KEEMPAT

Al-Muttaqi al-Hindi menulis bahwa setelah Umar membakar semua hadits yang dikumpulkan dari orang-orang, kemudian ia menulis pesan kepada para gubernur untuk memusnahkan semua salinan hadits yang ada di tangan mereka:

أن من كان عنده شئ مكتوب من سنة الرسول فليمحه


LAPORAN KELIMA


Kisah TRAGEDI HARI KAMIS adalah contoh yang paling telanjang bahwa Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk menuliskan Sunnahnya dan menyimpannya supaya mereka bisa belajar darinya dan kemudian menyampaikannya kepada orang-orang di generasi selanjutnya. Kisah TRAGEDI HARI KAMIS itu adalah sebagai berikut:

1. Ibn Abbas melaporkan: “Ketika Rasulllah (SAAW) hendak berangkat ke Rahmatullah, ada sekelompok orang yang mengelilinginya (sebagian ada di luar rumahnya). Umar bin Khattab adalah salah seorang diantaranya. Rasulullah (SAAW) bersabda: ‘Kemarilah, aku akan tuliskan sebuah surat wasiat untuk kalian; supaya kalian tidak akan tersesat setelahnya. Demi mendengar itu Umar berkata dengan keras: ‘Sesungguhnya Rasulullah sedang meracau. Kita memiliki Kitabullah. Kitabullah sudah cukup bagi kita semua.’ Mereka yang ada di rumah Rasulullah saling bertengkar satu sama lainnya. Sebagian dari mereka berkata: ‘Bawakanlah kepadanya (alat tulis—pena dan kertas) supaya Rasulullah bisa menuliskan sebuah surat wasiat untuk kalian dan engkau takkan tersesat lagi sepeninggalnya. Dan beberapa sahabat berkata seperti apa yang dikatakan oleh Umar. Ketika mereka bertikai satu sama lainnya di hadapan Rasulullah, kemudian Rasulullah bangkit dari tidurnya dan berkata: ‘Menyingkirlah dariku!’”.

‘Ubaidullah berkata: Ibn Abbas selalu berkata: ‘Sungguh sebuah kerugian besar; kerugian yang amat besar. Karena orang-orang hiruk pikuk dan kegaduhan bising sekali dimana-mana, maka Rasulullah takbisa menuliskan (mendiktekan) surat wasiat untuk mereka.

“JELAS SEKALI BAHWA RASULULLAH INGIN MENULISKAN SEBUAH SURAT WASIAT UNTUK PARA SAHABAT SUPAYA MEREKA TIDAK TERSESAT SEPENINGGALNYA. KALAU SAJA SURAT WASIAT ITU BENAR-BENAR TERTULISKAN, MAKA ITU ALANGKAH INDAHNYA. PERMINTAAN RASULULLAH INI SEKALIGUS JUGA MEMBUKTIKAN BAHWA PENULISAN HADIT ITU BUKAN SAJA BOLEH, MALAH DICONTOHKAN OLEH NABI LANGSUNG.”. (Bihar al-Anwaar, jilid.1,m/s.117).

2. Persoalan pemansuhan atau penggantian sebahagian ayat-ayat Al-Quran adalah satu cabaran sukar sains perundangan Islam dan setengah ulama Sunni seolah-olah menerima konsep pemansuhan. Perisitwa Fadak merungkaikan pelbagai tanggapan akan tafsir ayat-ayat Al-Quran melalui penggunaan hadis.
3. Kesan tragis persoalan ini apabila terdapat sebilangan besar karya-karya yang ditulis oleh ulama hadith tersohor dari hadis yang direka. Begitu juga tatkala biografi perawi hadis disemak, mereka samada dibuktikan sebagai tidak jujur ataupun perawi lemah.
4. Nota penyunting: Namun penelitian kesusasteraan hadis dan penciptaan kriteria untuk membezakan antara hadis yang benar mahupun palsu tidak boleh disamakan dengan kritikan orientalis Eropah terhadap pengumpulan keseluruhan hadis Islam. Dari pandangan Islam, komentar orientalis itu adalah salah satu dakyah yang paling kejam dibuat terhadap struktur keseluruhan Islam.
5. Bihar al-Anwaar, jilid.1.m/s.139.
6. Bihar al-anwar, jilid.l.m/s.117.-Sumber: petikan dari buku Syiah dikarang oleh Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabatabaei.


Analisis Hadis Kitabullah Dan Sunnah


Tajuk ini merupakan perbicaraan lama, yang pada mulanya, saya tidak mahu disentuh di dalam web ini. Ini kerana saya telah begitu menekankan hadis sebenar yang sahih lagi mutawattir adalah hadis Tsaqalain, yakni, Kitabullah dan itrati Ahlulbait. Bagaimanapun, kebelakangan ini, timbul kembali isu ini, tambahan pula ia ditimbukan oleh orang-orang yang suka-suka mendhaifkan sesuatu hadis, tanpa dalil yang mutlak, atau yang meyakinkan, demi mendhaifkan hadis Tsaqalain. Sia-sia. Ini adalah analisis hadis Kitabullah dan Sunnah, oleh saudara Secondprince. Selamat membaca.

Al Quranul Karim dan Sunnah Rasulullah SAW adalah landasan dan sumber syariat Islam. Hal ini merupakan kebenaran yang sifatnya pasti dan diyakini oleh umat Islam. Banyak ayat Al Quran yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah SAW, diantaranya:

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah .Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. (QS ; Al Hasyr 7).

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS ; Al Ahzab 21).

Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah .Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS ; An Nisa 80).

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan “kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS ; An Nur 51-52).

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu Ketetapan , akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS ; Al Ahzab 36).

Jadi Sunnah Rasulullah SAW merupakan salah satu pedoman bagi umat islam di seluruh dunia. Berdasarkan ayat-ayat Al Quran di atas sudah cukup rasanya untuk membuktikan kebenaran hal ini. Tulisan ini akan membahas hadis “Kitabullah wa Sunnaty” yang sering dijadikan dasar bahwa kita harus berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW yaitu:

Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh.”.

Hadis “Kitabullah Wa Sunnaty” ini adalah hadis masyhur yang sering sekali didengar oleh umat Islam sehingga tidak jarang banyak yang beranggapan bahwa hadis ini adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Pada dasarnya kita umat Islam harus berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah yang merupakan dua landasan utama dalam agama Islam. Banyak dalil dalil shahih yang menganjurkan kita agar berpegang kepada As Sunnah baik dari Al Quran (seperti yang sudah disebutkan) ataupun dari hadis-hadis yang shahih. Sayangnya hadis”Kitabullah Wa Sunnaty” yang seringkali dijadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang tidak shahih atau dhaif. Berikut adalah analisis terhadap sanad hadis ini.


Analisis Sumber Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini tidak terdapat dalam kitab hadis Kutub As Sittah(Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi). Sumber dari Hadis ini adalah Al Muwatta Imam Malik,Mustadrak Ash Shahihain Al Hakim, At Tamhid Syarh Al Muwatta Ibnu Abdil Barr,Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, dan Jami’ As Saghir As Suyuthi. Selain itu hadis ini juga ditemukan dalam kitab-kitab karya Ulama seperti , Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih, Shawaiq Al Muhriqah Ibnu Hajar, Sirah Ibnu Hisyam, Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al Ihkam Ibnu Hazm danTarikh At Thabari. Dari semua sumber itu ternyata hadis ini diriwayatkan dengan 4 jalur sanad yaitu dari Ibnu Abbas ra, Abu Hurairah ra, Amr bin Awf ra, dan Abu Said Al Khudri ra. Terdapat juga beberapa hadis yang diriwayatkan secara mursal (terputus sanadnya), mengenai hadis mursal ini sudah jelas kedhaifannya.

1. Hadis ini terbagi menjadi dua yaitu:
2. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang mursal.
3. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil atau bersambung.


Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Secara Mursal

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang diriwayatkan secara mursal ini terdapat dalam kitab Al Muwatta, Sirah Ibnu Hisyam, Sunan Baihaqi, Shawaiq Al Muhriqah, danTarikh At Thabari. Berikut adalah contoh hadisnya

Dalam Al Muwatta jilid I hal 899 no 3:

Bahwa Rasulullah SAW bersabda” Wahai Sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu berpegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunah RasulNya”.

Dalam Al Muwatta hadis ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad. Malik bin Anas adalah generasi tabiit tabiin yang lahir antara tahun 91H-97H. Jadi paling tidak ada dua perawi yang tidak disebutkan di antara Malik bin Anas dan Rasulullah SAW. Berdasarkan hal ini maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.

Dalam Sunan Baihaqi terdapat beberapa hadis mursal mengenai hal ini, diantaranya:

Al Baihaqi dengan sanad dari Urwah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda pada haji wada “ Sesungguhnya Aku telah meninggalkan sesuatu bagimu yang apabila berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selamanya yaitu dua perkara Kitab Allah dan Sunnah NabiMu, Wahai umat manusia dengarkanlah olehmu apa yang aku sampaikan kepadamu, maka hiduplah kamu dengan berpegang kepadanya”.

Selain pada Sunan Baihaqi, hadis Urwah ini juga terdapat dalam Miftah Al Jannah hal 29 karya As Suyuthi. Urwah bin Zubair adalah dari generasi tabiin yang lahir tahun 22H, jadi Urwah belum lahir saat Nabi SAW melakukan haji wada oleh karena itu hadis di atas terputus, dan ada satu orang perawi yang tidak disebutkan, bisa dari golongan sahabat dan bisa juga dari golongan tabiin. Singkatnya hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.

Al Baihaqi dengan sanad dari Ibnu Wahb yang berkata “Aku telah mendengar Malik bin Anas mengatakan berpegang teguhlah pada sabda Rasulullah SAW pada waktu haji wada yang berbunyi ‘Dua hal Aku tinggalkan bagimu dimana kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah NabiNya”.

Hadis ini tidak berbeza dengan hadis Al Muwatta, karena Malik bin Anas tidak bertemu Rasulullah SAW jadi hadis ini juga dhaif.

Dalam Sirah Ibnu Hisyam jilid 4 hal 185 hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Ishaq yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda pada haji wada…..,Disini Ibnu Ishaq tidak menyebutkan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW oleh karena itu hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam Tarikh At Thabari jilid 2 hal 205 hadis ini juga diriwayatkan secara mursal melalui Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abi Najih. Jadi kedua hadis ini dhaif. Mungkin ada yang beranggapan karena Sirah Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq sudah menjadi kitab Sirah yang jadi pegangan oleh jumhur ulama maka adanya hadis itu dalam Sirah Ibnu Hisyam sudah cukup menjadi bukti kebenarannya. Jawaban kami adalah benar bahwa Sirah Ibnu Hisyam menjadi pegangan oleh jumhur ulama, tetapi dalam kitab ini hadis tersebut terputus sanadnya jadi tentu saja dalam hal ini hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.


Sebuah Pembelaan dan Kritik

Hafiz Firdaus dalam bukunya Kaidah Memahami Hadis-hadis yang Bercanggah telah membahas hadis dalam Al Muwatta dan menanggapi pernyataan Syaikh Hasan As Saqqaf dalam karyanya Shahih Sifat shalat An Nabiy (dalam kitab ini As Saqqaf telah menyatakan hadis Kitab Allah dan SunahKu ini sebagai hadis yang dhaif ). Sebelumnya berikut akan dituliskan pendapat Hafiz Firdaus tersebut.

Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya”.

Hadis ini sahih: Dikeluarkan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwattha’ – no: 1619 (Kitab al-Jami’, Bab Larangan memastikan Takdir). Berkata Malik apabila mengemukakan riwayat ini: Balghni………bererti “disampaikan kepada aku” (atau dari sudut catatan anak murid beliau sendiri: Dari Malik, disampaikan kepadanya………). Perkataan seperti ini memang khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahawa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Lebih lanjut lihat Qadi ‘Iyadh Tartib al-Madarik, jld 1, ms 136; Ibn ‘Abd al-Barr al Tamhid, jld 1, ms 34; al-Zarqani Syarh al Muwattha’, jld 4, ms 307 dan Hassath binti ‘Abd al-’Aziz Sagheir Hadis Mursal baina Maqbul wa Mardud, jld 2, ms 456-470.

Hasan ‘Ali al-Saqqaf dalam bukunya Shalat Bersama Nabi SAW (edisi terj. dari Sahih Sifat Solat Nabi), ms 269-275 berkata bahwa hadis ini sebenarnya adalah maudhu’. Isnadnya memiliki perawi yang dituduh pendusta manakala maksudnya tidak disokongi oleh mana-mana dalil lain. Beliau menulis: Sebenarnya hadis yang tsabit dan sahih adalah hadis yang berakhir dengan “wa ahli baiti” (sepertimana Khutbah C – penulis). Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata “wa sunnati” (sepertimana Khutbah B) adalah batil dari sisi matan dan sanadnya.

Nampaknya al-Saqqaf telah terburu-buru dalam penilaian ini kerana beliau hanya menyimak beberapa jalan periwayatan dan meninggalkan yang selainnya, terutamanya apa yang terkandung dalam kitab-kitab Musannaf, Mu’jam dan Tarikh (Sejarah). Yang lebih berat adalah beliau telah menepikan begitu sahaja riwayat yang dibawa oleh Malik di dalam kitab al-Muwattha’nya atas alasan ianya adalah tanpa sanad padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.

Kritik kami adalah sebagai berikut, tentang kata-kata hadis riwayat Al Muwatta adalah shahih karena pernyataan Balghni atau “disampaikan kepada aku” dalam hadis riwayat Imam Malik ini adalah khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahwa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Maka Kami katakan, Kaidah periwayatan hadis dengan pernyataan Balghni atau “disampaikan kepadaku” memang terdapat di zaman Imam Malik. Hal ini juga dapat dilihat dalam Kutub As Sunnah Dirasah Watsiqiyyah oleh Rif’at Fauzi Abdul Muthallib hal 20, terdapat kata kata Hasan Al Bashri:

“Jika empat shahabat berkumpul untuk periwayatan sebuah hadis maka saya tidak menyebut lagi nama shahabat”.Ia juga pernah berkata”Jika aku berkata hadatsana maka hadis itu saya terima dari fulan seorang tetapi bila aku berkata qala Rasulullah SAW maka hadis itu saya dengar dari 70 orang shahabat atau lebih”.

Tetapi adalah tidak benar mendakwa suatu hadis sebagai shahih hanya dengan pernyataan “balghni”. Hal ini jelas bertentangan dengan kaidah jumhur ulama tentang persyaratan hadis shahih seperti yang tercantum dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulumul Hadis yaitu:

Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap perawi yang adil (terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu harus bebas dari syadz dan Illat.

Dengan kaidah Inilah as Saqqaf telah menepikan hadis al Muwatta tersebut karena memang hadis tersebut tidak ada sanadnya. Yang aneh justru pernyataan Hafiz yang menyalahkan As Saqqaf dengan kata-kata padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.

Pernyataan Hafiz di atas menunjukan bahwa Malik bin Anas dan tokoh hadis zamannya (sekitar 93H-179H) jika meriwayatkan hadis dengan pernyataan telah disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah SAW atau Qala Rasulullah SAW tanpa menyebutkan sanadnya maka hadis tersebut adalah shahih. Pernyataan ini jelas aneh dan bertentangan dengan kaidah jumhur ulama hadis. Sekali lagi hadis itu mursal atau terputus dan hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan dhaifnya. Karena bisa jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabiin yang bisa jadi dhaif atau tsiqat, jika tabiin itu tsiqatpun dia kemungkinan mendengar dari tabiin lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqat dan seterusnya kemungkinan seperti itu tidak akan habis-habis. Sungguh sangat tidak mungkin mendakwa hadis mursal sebagai shahih “Hanya karena terdapat dalam Al Muwatta Imam Malik”.

Hal yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam Ilmu Mushthalah Hadis oleh A Qadir Hassan hal 109 yang mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah, Ibnu Hajar berkata:

”Boleh jadi yang gugur itu shahabat tetapi boleh jadi juga seorang tabiin .Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh jadi tabiin itu seorang yang lemah tetapi boleh jadi seorang kepercayaan. Kalau kita andaikan dia seorang kepercayaan maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang shahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabiin lain”.

Lihat baik-baik walaupun yang meriwayatkan hadis mursal itu adalah tabiin tetap saja dinyatakan dhaif apalagi Malik bin Anas yang seorang tabiit tabiin maka akan jauh lebih banyak kemungkinan dhaifnya. Pernyataan yang benar tentang hadis mursal Al Muwatta adalah hadis tersebut shahih jika terdapat hadis lain yang bersambung dan shahih sanadnya yang menguatkan hadis mursal tersebut di kitab-kitab lain. Jadi adalah kekeliruan menjadikan hadis mursal shahih hanya karena terdapat dalam Al Muwatta.


Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dari sumber-sumber yang ada ternyata ada 4 jalan sanad hadis “Kitab Allah dan SunahKu”. 4 jalan sanad itu adalah:
1. Jalur Ibnu Abbas ra.
2. Jalur Abu Hurairah ra.
3. Jalur Amr bin Awf ra.
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra.


Jalan Sanad Ibnu Abbas

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas dapat ditemukan dalam Kitab Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93 dan Sunan Baihaqi juz 10 hal 4 yang pada dasarnya juga mengutip dari Al Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi Uwais dari Ayahnya dari Tsaur bin Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu Abbas:

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena terdapat kelemahan pada dua orang perawinya yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.

1. Ibnu Abi Uwais

a. Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 mengenai biografi Ibnu Abi Uwais terdapat perkataan orang yang mencelanya, diantaranya Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong. Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu mahalluhu ash shidq atau tempat kejujuran tetapi dia terbukti lengah. An Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais dhaif dan tidak tsiqah. Menurut Abu Al Qasim Al Alkaiy “An Nasa’i sangat jelek menilainya (Ibnu Abi Uwais) sampai ke derajat matruk(ditinggalkan hadisnya)”. Ahmad bin Ady berkata “Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya Malik beberapa hadis gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun.”.

b. Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman 391 terbitan Dar Al Ma’rifah, Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais berkata ”Atas dasar itu hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah selain yang terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i dan lain-lain”.

c. Dalam Fath Al Mulk Al Aly halaman 15, Al Hafiz Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan “berkata Salamah bin Syabib Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan “mungkin aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu di antara mereka”.

Jadi Ibnu Abi Uwais adalah perawi yang tertuduh dhaif, tidak tsiqat, pembohong, matruk dan dituduh suka membuat hadis. Ada sebagian orang yang membela Ibnu Abi Uwais dengan mengatakan bahwa dia adalah salah satu Rijal atau perawi Shahih Bukhari oleh karena itu hadisnya bisa dijadikan hujjah. Pernyataan ini jelas tertolak karena Bukhari memang berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais tetapi telah dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah perawi Bukhari yang diperselisihkan oleh para ulama hadis. Seperti penjelasan di atas terdapat jarh atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti Yahya bin Mu’in, An Nasa’i dan lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat Ta’dil celaan yang jelas didahulukan dari pujian(ta’dil). Oleh karenanya hadis Ibnu Abi Uwais tidak bisa dijadikan hujjah. Mengenai hadis Bukhari dari Ibnu Abi Uwais, hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah atau pendukung dari riwayat-riwayat lain sehingga hadis tersebut tetap dinyatakan shahih. Lihat penjelasan Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Al Fath Al Bary Syarh Shahih Bukhari, Beliau mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais selain dalam As Shahih(Bukhari dan Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah. Dan hadis yang dibicarakan ini tidak terdapat dalam kedua kitab Shahih tersebut, hadis ini terdapat dalam Mustadrak dan Sunan Baihaqi.


2. Abu Uwais

a. Dalam kitab Al Jarh Wa At Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim jilid V hal 92, Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya Abu Hatim Ar Razy yang berkata mengenai Abu Uwais “Ditulis hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah dan dia tidak kuat”.Ibnu Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang berkata “Abu Uwais tidak tsiqah”.

b. Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.

Dalam Al Mustadrak jilid I hal 93, Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini. Beliau mendiamkannya dan mencari syahid atau penguat bagi hadis tersebut, Beliau berkata”Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadis tersebut dari hadis Abu Hurairah ra”. Mengenai hadis Abu Hurairah ra ini akan dibahas nanti, yang penting dari pernyataan itu secara tidak langsung Al Hakim mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas tersebut oleh karena itu beliau mencari syahid penguat untuk hadis tersebut .Setelah melihat kedudukan kedua perawi hadis Ibnu Abbas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadis ”Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas adalah dhaif.


Jalan Sanad Abu Hurairah ra

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93, Sunan Al Kubra Baihaqi juz 10, Sunan DaruquthniIV hal 245, Jami’ As Saghir As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94, At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm.

Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut, diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra:

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh”.

Hadis di atas adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.

a. Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal ( XIII hal 96) berkata Yahya bin Muin bahwa riwayat hadis Shalih bin Musa bukan apa-apa. Abu Hatim Ar Razy berkatahadis Shalih bin Musa dhaif. Imam Nasa’i berkata hadis Shalih bin Musa tidak perlu ditulis dan dia itu matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya).

b. Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib IV hal 355 menyebutkan Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk berhujjah. Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk Al Hadis sering meriwayatkan hadis mungkar.

c. Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqallany menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi yang matruk(harus ditinggalkan).

d. Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412) menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).

e. Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306 Sayyid Alwi bin Thahir ketika mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan bahwa Imam Bukhari berkata”Shalih bin Musa adalah perawi yang membawa hadis-hadis mungkar”.

Kalau melihat jarh atau celaan para ulama terhadap Shalih bin Musa tersebut maka dapat dinyatakan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan sanad dari Abu Hurairah ra di atas adalah hadis yang dhaif.
Adalah hal yang aneh ternyata As Suyuthi dalam Jami’ As Saghir menyatakan hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al Manawi menshahihkannya dalam Faidhul Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir dan Al Albani juga telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Jami’ As Saghir. Begitu pula yang dinyatakan oleh Al Khatib dan Ibnu Hazm. Menurut kami penshahihan hadis tersebut tidak benar karena dalam sanad hadis tersebut terdapat cacat yang jelas pada perawinya, Bagaimana mungkin hadis tersebut shahih jika dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, mungkar al hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nyata sekali bahwa ulama-ulama yang menshahihkan hadis ini telah bertindak longgar(tasahul) dalam masalah ini.

Mengapa para ulama itu bersikap tasahul dalam penetapan kedudukan hadis ini?. Hal ini mungkin karena matan hadis tersebut adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tetapi menurut kami matan hadis tersebut yang benar dan shahih adalah dengan matan hadis yang sama redaksinya hanya perbedaan pada“Kitab Allah dan SunahKu” menjadi “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu”. Hadis dengan matan seperti ini salah satunya terdapat dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3786 & 3788 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi.Kalau dibandingkan antara hadis ini dengan hadis Abu Hurairah ra di atas dapat dipastikan bahwa hadis Shahih Sunan Tirmidzi ini jauh lebih shahih kedudukannya karena semua perawinya tsiqat. Sedangkan hadis Abu Hurairah ra di atas terdapat cacat pada salah satu perawinya yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.

Adz Dzahabi dalam Al Mizan Al I’tidal jilid II hal 302 berkata bahwa hadis Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemunkaran yang dilakukannya. Selain itu hadis riwayat Abu Hurairah ini dinyatakan dhaif oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy setelah beliau mengkritik Shalih bin Musa salah satu perawi hadis tersebut. Jadi pendapat yang benar dalam masalah ini adalah hadis riwayat Abu Hurairah tersebut adalah dhaif sedangkan pernyataan As Suyuthi, Al Manawi, Al Albani dan yang lain bahwa hadis tersebut shahih adalah keliru karena dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi yang sangat jelas cacatnya sehingga tidak mungkin bisa dikatakan shahih.


Jalan Sanad Amr bin Awf ra.

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Amr bin Awf terdapat dalam kitab At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr. Telah menghadiskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al Daibaly, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ali bin Zaid Al Faridhy, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Al Haniny dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Awf dari ayahnya dari kakeknya:

Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat cacat pada perawinya yaitu Katsir bin Abdullah.
1. Dalam Mizan Al Itidal (biografi Katsir bin Abdullah no 6943) karya Adz Dzahabi terdapat celaan pada Katsir bin Abdullah. Menurut Daruquthni Katsir bin Abdullah adalah matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya). Abu Hatim menilai Katsir bin Abdullah tidak kuat. An Nasa’i menilai Katsir bin Abdullah tidak tsiqah.
2. Dalam At Taqrib at Tahdzib, Ibnu Hajar menyatakan Katsir bin Abdullah dhaif.
3. Dalam Al Kasyf Adz Dzahaby menilai Katsir bin Abdullah wahin(lemah).
4. Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Ibnu Hibban berkata tentang Katsir bin Abdullah “Hadisnya sangat mungkar” dan “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari ayahnya dari kakeknya yang tidak pantas disebutkan dalam kitab-kitab maupun periwayatan”
5. Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Yahya bin Main berkata “Katsir lemah hadisnya”
6. DalamKitab Al Jarh Wat Ta’dil biografi no 858, Abu Zur’ah berkata “Hadisnya tidak ada apa-apanya, dia tidak kuat hafalannya”.
7. Dalam Adh Dhu’afa Al Kabir Al Uqaili (no 1555), Mutharrif bin Abdillah berkata tentang Katsir “Dia orang yang banyak permusuhannya dan tidak seorangpun sahabat kami yang mengambil hadis darinya”.
8. Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Ibnu Adi berkata perihal Katsir “Dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya tidak bisa dijadikan pegangan”.
9. Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Abu Khaitsamah berkata “Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : jangan sedikitpun engkau meriwayatkan hadis dari Katsir bin Abdullah”.
10. Dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin Ibnu Jauzi juz III hal 24 terdapat perkataan Imam Syafii perihal Katsir bin Abdullah “Katsir bin Abdullah Al Muzanni adalah satu pilar dari berbagai pilar kedustaan”.

Jadi hadis Amr bin Awf ini sangat jelas kedhaifannya karena dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, dhaif atau tidak tsiqah dan pendusta.


Jalur Abu Said Al Khudri ra

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Abu Said Al Khudri ra terdapat dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94 karya Al Khatib Baghdadi dan Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh dengan sanad dari Saif bin Umar dari Ibnu Ishaq Al Asadi dari Shabbat bin Muhammad dari Abu Hazm dari Abu Said Al Khudri ra.

1. Dalam rangkaian perawi ini terdapat perawi yang benar-benar dhaif yaitu Saif bin Umar At Tamimi.
2. Dalam Mizan Al I’tidal no 3637 Yahya bin Mu’in berkata “Saif daif dan riwayatnya tidak kuat”.
3. Dalam Ad Dhu’afa Al Matrukin no 256, An Nasa’i mengatakan kalau Saif bin Umar adalah dhaif.
4. Dalam Al Majruhin no 443 Ibnu Hibban mengatakan Saif merujukkan hadis-hadis palsu pada perawi yang tsabit, ia seorang yang tertuduh zindiq dan seorang pemalsu hadis.
5. Dalam Ad Dhu’afa Abu Nu’aim no 95, Abu Nu’aim mengatakan kalau Saif bin Umar adalah orang yang tertuduh zindiq, riwayatnya jatuh dan bukan apa-apanya.
6. Dalam Tahzib At Tahzib juz 4 no 517 Abu Dawud berkata kalau Saif bukan apa-apa, Abu Hatim berkata “ia matruk”, Ad Daruquthni menyatakannya dhaif dan matruk. Al Hakim mengatakan kalau Saif tertuduh zindiq dan riwayatnya jatuh. Ibnu Adi mengatakan kalau hadisnya dikenal munkar dan tidak diikuti seorangpun.

Jadi jelas sekali kalau hadis Abu Said Al Khudri ra ini adalah hadis yang dhaif karena kedudukan Saif bin Umar yang dhaif di mata para ulama.


Hadis Tersebut Dhaif

Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini adalah hadis yang dhaif. Sebelum mengakhiri tulisan ini akan dibahas terlebih dahulu pernyataan Ali As Salus dalam Al Imamah wal Khilafah yang menyatakan shahihnya hadis “Kitab Allah Dan SunahKu”.

Ali As Salus menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Malik adalah shahih walaupun dalam Al Muwatta hadis ini mursal. Beliau menyatakan bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah yang telah dishahihkan oleh As Suyuthi,Al Manawi dan Al Albani. Selain itu hadis mursal dalam Al Muwatta adalah shahih menurutnya dengan mengutip pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.


Tanggapan Terhadap Ali As Salus

Pernyataan pertama bahwa hadis Malik bin Anas dalam Al Muwatta adalah shahih walaupun mursal adalah tidak benar. Hal ini telah dijelaskan dalam tanggapan kami terhadap Hafiz Firdaus bahwa hadis mursal tidak bisa langsung dinyatakan shahih kecuali terdapat hadis shahih(bersambung sanadnya) lain yang menguatkannya. Dan kenyataannya hadis yang jadi penguat hadis mursal Al Muwatta ini adalah tidak shahih. Pernyataan Ali As Salus selanjutnya bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah ra adalah tidak tepat karena seperti yang sudah dijelaskan, dalam sanad hadis Abu Hurairah ra ada Shalih bin Musa yang tidak dapat dijadikan hujjah.

Ali As Salus menyatakan bahwa hadis mursal Al Muwatta shahih berdasarkan:
Pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan
Pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.

Mengenai pernyataan Ibnu Abdil Barr tersebut, jelas itu adalah pendapatnya sendiri dan mengenai hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang mursal dalam Al Muwatta Ibnu Abdil Barr telah mencari sanad hadis ini dan memuatnya dalam kitabnya At Tamhid dan beliau menshahihkannya. Setelah dilihat ternyata hadis dalam At Tamhid tersebut tidaklah shahih karena cacat yang jelas pada perawinya.

Begitu pula pernyataan As Suyuthi yang dikutip Ali As Salus di atas itu adalah pendapat beliau sendiri dan As Suyuthi telah menjadikan hadis Abu Hurairah ra sebagai syahid atau pendukung hadis mursal Al Muwatta seperti yang beliau nyatakan dalam Jami’ As Saghir dan beliau menyatakan hadis tersebut hasan. Setelah ditelaah ternyata hadis Abu Hurairah ra itu adalah dhaif. Jadi Kesimpulannya tetap saja hadis “Kitab Allah dan SunahKu” adalah hadis yang dhaif.

Salah satu bukti bahwa tidak semua hadis mursal Al Muwatta shahih adalah apa yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silisilatul Al Hadits Adh Dhaifah Wal Maudhuah hadis no 908:

Nabi Isa pernah bersabda”Janganlah kalian banyak bicara tanpa menyebut Allah karena hati kalian akan mengeras.Hati yang keras jauh dari Allah namun kalian tidak mengetahuinya.Dan janganlah kalian mengamati dosa-dosa orang lain seolah-olah kalian Tuhan,akan tetapi amatilah dosa-dosa kalian seolah kalian itu hamba. Sesungguhnya setiap manusia itu diuji dan selamat maka kasihanilah orang-orang yang tengah tertimpa malapetaka dan bertahmidlah kepada Allah atas keselamatan kalian”.

Riwayat ini dikemukakan Imam Malik dalam Al Muwatta jilid II hal 986 tanpa sanad yang pasti tetapi Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil(bersambung) atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.

Syaikh Al Albani berkata tentang hadis ini:
”Sekali lagi saya tegaskan memarfu’kan riwayat ini sampai kepada Nabi adalah kesalahan yang menyesatkan dan tidak syak lagi merupakan kedustaan yang nyata-nyata dinisbatkan kepada beliau padahal beliau terbebas darinya”.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Al Albani tidaklah langsung menyatakan bahwa hadis ini shahih hanya karena Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Justru Syaikh Al Albani menyatakan bahwa memarfu’kan hadis ini adalah kedustaan atau kesalahan yang menyesatkan karena berdasarkan penelitian beliau tidak ada sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW mengenai hadis ini.

Yang Aneh adalah pernyataan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah yang menyatakan bahwa hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah dhaif dan yang shahih adalah hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”. Hal ini jelas sangat tidak benar karena hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”sanad-sanadnya tidak shahih seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan di atas. Sedangkan hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah hadis yang diriwayatkan banyak shahabat dan sanadnya jauh lebih kuat dari hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”.

Jadi kalau hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” dinyatakan shahih maka hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan jadi jauh lebih shahih. Ali As Salus dalam Imamah wal Khilafah telah membandingkan kedua hadis tersebut dengan metod yang tidak berimbang. Untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” beliau mengkritik habis-habisan bahkan dengan kritik yang tidak benar sedangkan untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” beliau bertindak longgar(tasahul) dan berhujjah dengan pernyataan ulama lain yang juga telah memudahkan dalam penshahihan hadis tersebut.


Catatan Kaki:

1. Bihar al-Anwaar, jilid.1,m/s.117.
2. Persoalan pemansuhan atau penggantian sebahagian ayat-ayat Al-Quran adalah satu cabaran sukar sains perundangan Islam dan setengah ulama Sunni seolah-olah menerima konsep pemansuhan. Perisitwa Fadak merungkaikan pelbagai tanggapan akan tafsir ayat-ayat Al-Quran melalui penggunaan hadis.
3. Kesan tragis persoalan ini apabila terdapat sebilangan besar karya-karya yang ditulis oleh ulama hadith tersohor dari hadis yang direka. Begitu juga tatkala biografi perawi hadis disemak, mereka samada dibuktikan sebagai tidak jujur ataupun perawi lemah.
4. Nota penyunting: Namun penelitian kesusasteraan hadis dan penciptaan kriteria untuk membezakan antara hadis yang benar mahupun palsu tidak boleh disamakan dengan kritikan orientalis Eropah terhadap pengumpulan keseluruhan hadis Islam. Dari pandangan Islam, komentar orientalis itu adalah salah satu dakyah yang paling kejam dibuat terhadap struktur keseluruhan Islam.
5. Bihar al-Anwaar, jilid.1.m/s.139.
6. Bihar al-anwar, jilid.l.m/s.117.-Sumber: petikan dari buku Syiah dikarang oleh Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabatabaei.

(Syiah-Sunni/Tour-Mazhab/Syiah-Ali/Scondprince/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: