Oleh: Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat
“Tuhanku, gemintang langit-Mu telah tenggelam. Semua mata makhluk-Mu telah tertidur, tapi pintu-Mu terbuka lebar, buat pemohon kasihmu. Aku datang menghadap-Mu."
Saat itu, malam sudah larut, dinihari sudah hampir tiba, angin dingin sahara berhembus dalam kesepian. Bukit-bukit batu, rumah-rumah tanah, pepohonan semua tak bergerak, berdiri kaku dalam rangkaian silhuet. Namun di tengah Masjidil Haram, seorang pemuda berjalan mengitari Ka’bah sambil bergantung pada tirainya. Matanya menatap langit yang sunyi. Tak seorang pun berada di situ, kecuali Thawus Al-Yamani, yang menceritakan peristiwa ini kepada kita.
Tepat pada saat itulah Thawus mendengar pemuda itu merintih: “Tuhanku, gemintang langit-Mu telah tenggelam. Semua mata makhluk-Mu telah tertidur, tapi pintu-Mu terbuka lebar, buat pemohon kasihmu. Aku datang menghadap-Mu memohon ampunan-Mu, kasihilah daku, perlihatkan padaku wajah kakekku Muhammad SAW pada mahkamah hari kiamat. (Kemudian ia menangis). Demi kemuliaan dan kebesaran-Mu, maksiatku tidaklah untuk menentang-Mu, kala kulakukan maksiat kulakukan bukan karena meragukan-Mu, bukan karena mengabaikan siksa-Mu, bukan karena menentang hukum-Mu. Kulakukan karena pengaruh hawa nafsuku, dan karena Kau ulurkan tirai untuk menutub aibku. Kini siapakah yang akan menyelamatkan aku dari azab-Mu, kepada tali siapa aku akan bergantung, jikalau Kau putuskan tali-Mu malang nian daku kelak ketika bersimpuh dihadapan-Mu, kala si ringan dosa dipanggil: jalanlah! Kala si berat dosa dipanggil: berangkatlah! Aku tak tahu apakah aku berjalan dengan si ringan atau dengan si berat. Duhai celakalah aku bertambah umurku dan bertumpuk dosaku tak sempat aku bertobat kepada-Mu, sekarang aku malu menghadap pada-Mu. (Ia menangis lagi). Akankah Kaubakar aku dengan api-Mu wahai Tujuan segala kedambaan lalu, kemana harapku kemana cintaku. Aku menemui-Mu dengan memikul amal buruk dan hina diantara segenap makhluk-Mu, tak ada orang sejahat aku. (Ia menangis lagi). Mahasuci Engkau! Engkau dilawan seakan-akan engkau tiada. Engkau tetap pemurah seakan-akan Engkau tak pernah dilawan. Engkau curahkan kasih-Mu kepada makhluk-Mu seakan-akan Engkau memerlukan mereka, padahal Engkau wahai Junjunganku tak memerlukan semua itu. (Kemudian ia merebahkan diri bersujud)
Thawus pun bercerita: Aku dekati dia. Aku angkat kepalanya dan kuletakan pada pangkuanku. Aku menangis sampai airmataku membasahi pipinya. Ia bangun dan berkata, “Siapa yang menggangu dzikirku?” Aku berkata, “Aku Thawus, wahai putra Rasulullah. Untuk apa segala rintihan ini? Kamilah yang seharusnya berbuat seperti ini, karena hidup kami bergelimang dosa. Sedangkan ayahmu Husain bin Ali, ibumu Fathimah Az-Zahra dan kakekmu Rasulullah SAW. Ia memandangku seraya berkata,”Keliru kau Thawus. Jangan sebut-sebut perihal ayahku, ibuku dan kakekku. Allah menciptakan surga bagi yang menaati-Nya dan berbuat baik, walaupun ia budak dari Habsyi. Ia menciptakan neraka buat yang melawan-Nya walaupun ia bangsawan Quraisy. Tidakkah engkau ingat firman Allah-Ketika sangakala ditiup, tidaklah ada hubungan lagi diantara mereka hari itu dan tidak saling tolong-menolong. Demi Allah esok tidak ada yang bermanfaat selain amal shaleh yang telah engkau lakukan.”
Yang diceritakan Thawus dalam riwayat ini tidak lain Imam Ali Zainal Abidin. Imam keempat dalam rangkaian imam Ahlul Bayt Al-Mushtafa yang terkenal sebagai As-Sajjad, yang banyak bersujud. Doa-doanya dikumpulkan dalam ah-Shahifah As-Sajjadiyah; berisi kalimah-kalimah yang indah dan mengharukan. Berbeda dengan doa doa yang biasa kita ucapkan, doa-doa As-Sajjad lebih merupakan “percakapan ruhaniyah” dengan Allah SWT. Doa-doa yang biasa kita baca biasanya berisi perintah-perintah halus kepada Allah SWT seperti “Ya Allah, berilah daku rizki, panjangkan usiaku, naikkan pangkatku, dll”. Sementara doanya Imam Ali Zainal Abidin berisi kesadaran akan kehinaan diri dan kemuliaan Allah, kemaksiatan diri dan kasih sayang Allah.
Doa-doa Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad lebih mirip rintihan ketimbang permohonan. Kalimah-kalimahnya lebih mirip hubungan cinta kasih antara hamba dengan Tuhan, ketimbang hubungan kekuasaan.
Dari situlah terpancar dan tercermin dua cara dalam memandang Tuhan. Kita dapat memandang Dia sebagai Zat yang jauh dari kita, berbeda sama sekali dengan kita, memiliki sifat mukhalafat lil-hawadits, mempunyai jarak dengan makhluk-Nya. Inilah Tuhan transenden dalam pandangan para filsuf dan ahli kalam. Kita juga dapat melihat Dia sebagai Zat yang lebih dekat dengan kita dari urat leher kita, selalu beserta kita, kemanapun wajah kita menghadap, di situlah wajah Allah berada. Inilah Tuhan yang immanen dalam pandangan para wali-Nya. Inilah Tuhan dalam pandangan Ahlul Bayt. Inilah Tuhan dalam doa Ahlul Bayt.
(Suara-Katak/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar