Oleh: Denny Siregar
Permasalahan kasus Meiliana sebenarnya bukan semata masalah speaker. Bahkan jika dia kentut pun saat berjalan di depan masjid, vihara akan tetap dibakar dan Meiliana akan terkena hukuman penjara.
Permasalahan utamanya ada kelompok ormas berbaju agama sedang mencari isu dan terus menerus menekan dengan kekuatan massa.
Dalam laporan penelitian “Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai” yang dibuat oleh Siswo Mulyartono, Irsyad Rafsadi dan Ali Nursahid dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina, disebutkan masyarakat setempat sebenarnya tidak ada masalah dengan itu.
Seperti ditulis Tirto id ada tekanan dari ormas seperti FUI, HTI dan pesantren Al Wasliyah disana. Inilah penyebab utamanya. Loh, kok masih ada HTI? Ya, HTI baru dibubarkan Juli 2017, sedangkan ini kasus 2016.
Meiliana kemudian dilaporkan atas “penistaan agama” pada Desember 2016. Ingat, peristiwa pada bulan yang sama kelompok ormas ini juga mendemo Ahok atas penistaan agama. Dan bukan hanya laporan saja, tekanan demi tekanan massa datang ke MUI Sumatera Utara untuk keluarkan fatwa.
Sesudah MUI kalah suara, tekanan berikutnya datang ke kepolisian untuk segera memproses berkas dan menjadikan Meiliana tersangka. Polisi lalu mentersangkakan Meiliana, dan melemparkannya ke pengadilan.
Dan dalam setiap sidang di pengadilan, massa dari kelompok ormas itu terus datang dan menekan, sehingga hakim menjatuhkan keputusan yang sangat tidak berkeadilan . Itupun mereka belum puas, “Kurang lama..” Katanya.
Jadi inti permasalahannya adalah di beringasnya ormas yang menekan alat negara demi tujuan mereka. Ndilalah, alat negara daerah kalah karena tekanan itu. Mulai polisi sampai pengadilan tidak kuasa untuk menjaga hukum sebagai panglima, karena mengikuti tekanan arus massa.
Kenapa ormas yang membawa massa itu bisa menang dan alat negara bisa kalah? Karena situasi itu sudah berlangsung selama puluhan tahun lamanya.
Bibit-bibit radikalisme melalui ormas-ormas ini yang dipaparkan HTI sudah mendekam begitu lama dan mempengaruhi banyak elemen masyarakat dan pemerintahan. Bisa juga aparat dan kehakiman. Wong di beberapa universitas negeri saja Guru Besarnya sudah keracunan.
Jadi tidak mudah memang untuk memberantas mereka. Ibarat kanker, Indonesia sudah berada di stadium 4. Menyembuhkannya tidak bisa langsung sikat, harus bertahap. Di kemo istilah mudahnya.
Apa yang dilakukan Jokowi dengan membubarkan HTI itu sudah langkah sangat maju. Diketahui dulu virusnya, baru tetapkan pengobatannya. Tapi bukan kemudian serta merta Indonesia sehat. Butuh waktu untuk membersihkan virus yang sudah kadung menyebar.
Jadi jangan dikit-dikit salahkan Jokowi. Lihat masalah lebih luas, kita baru bisa mengerti.
Ibaratnya, elu datang ke dokter dengan penyakit sudah parah. Dokter baru ngobatin sekali, eh gak terima. ‘Kok gak langsung sembuh?? Dokternya payah!!’ Ngeselin kan?
Bagaimana supaya Indonesia bisa sembuh dari radikalisme?
Jangan mikir sembuh dulu, lihat dimana virus itu bersembunyi. Lihat dimana HTI berpihak, disanalah mereka berkembang biak.
Dan bayangkan jika mereka menang dan berkuasa, mereka akan menggerakkan ormas-ormas berbaju agama dan mengerahkan massa untuk menekan lebih kuat. Habis kita semua. Meliana-Meliana baru akan bermunculan. Bisa anda, saya dan kita semua yang kena.
Jalan satu-satunya biarkan Jokowi menuntaskan pekerjaan rumahnya. Pembubaran HTI itu sudah jadi ukuran, bahwa dialah dokternya. Berikan kesempatan dia untuk obati penyakit ini setahap demi setahap, dan kita dibelakang memberikan dukungan bukan malah menyalahkan dan mencaci makinya.
Seruput kopinya?
(Denny-Siregar/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar