Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS KISAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS KISAH. Tampilkan semua postingan

Turbah Karbala Dalam Sebuah Botol Yang Diberikan Rasulullah Saw Menjadi Darah


Oleh: Ali Yahya

Ketika Imam Husein as hendak berangkat menuju Irak, Ummu Salamah (isteri Rasulullah saww) berkata, "Jangan engkau pergi ke Irak, karena aku mendengar Rasulullah saww bersabda, 'Puteraku Husein akan terbunuh di bumi Irak!'
Aku punya Turbah Karbala dalam sebuah botol yang diberikan Rasulullah kepadaku."

Namun Imam Husein berkata kepada Ummu Salamah, "Demi Allah! aku akan terbunuh seperti itu, dan meskipun aku tidak pergi ke Irak mereka tetap akan membunuhku. Jika engkau mau, aku akan tunjukkan kepadamu tempat tergeletaknya jasadku dan terbunuhnya para sahabatku."

Kemudian Imam Husein mengusap tangannya di wajah Ummu Salamah, lalu Allah meluaskan penglihatan Ummu Salamah hingga Ummu Salamah dapat melihat semua yang dikatakan Imam Husein.

Imam Husein juga memberikan Turbah Karbala kepada Ummu Salamah dalam sebuah botol yang lain lalu berkata, "Apabila Turbah yang berada dalam kedua botol ini telah berubah menjadi darah maka ketahuilah bahwa aku telah terbunuh."

Ummu Salamah meriwayatkan, "Ketika tiba hari Asyura, aku melihat kedua botol itu setelah waktu Zhuhur telah berubah menjadi darah. Pada hari itu tiada sebuah batu pun yang diangkat kecuali dibawahnya ditemukan darah segar."

📚 Al-Kharaij wal Jaraih, jilid 1 halaman 253-254.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Percikan Hikmah Dalam Kisah


Seperjalanan

Pada suatu hari, Nabi Saw. pergi ke suatu tempat bersama beberapa sahabat. Di tengah perjalanan, beliau berkata, “Sembelihlah seekor kambing dan buatlah santapan hari ini darinya!”

Seorang sahabat menyambut, “Aku yang akan menyembelih kambing.”

Sahabat lain menimpali, “Aku yang akan mengulitinya.”

Sahabat ketiga menyahut, “Aku yang akan memotong-motongnya.”

Sahabat keempat menyusul, “Biar aku yang memasak dan menghidangkan makanan.”

Sementara itu, Nabi Saw. berkata, “Dan aku yang akan mengumpulkan kayu bakarnya.”

Mendengar itu, para sahabat menyela, “Ya Rasulullah! Biarkan kami saja yang melakukan semua pekerjaan ini.”

Nabi Saw. menjawab mereka, “Aku tahu kalian mampu melakukan semua semua pekerjaan ini, akan tetapi Allah Swt. tidak suka kepada orang yang mengistimewakan dirinya di tengah teman-teman seperjalanannya.” Lalu Beliau pun segera bangkit dan mengumpulkan kayu bakar.[1]


Pemuka Kabilah

Tatkala Nabi Saw. menyiapkan bala tentara untuk perang Tabuk salah satu dari tokoh Bani Salmah yang bernama Jad bin Qais (yang belum sempurna imannya) menemui beliau seraya berkata, “Berilah izin kepadaku untuk tidak ikut serta dalam perang ini, dan jangan kau jerumuskanku ke dalam lembah dosa dan kenistaan! Karena aku adalah orang yang suka mengumbar nafsu. Setiap pandanganku jatuh pada perempuan membuatku terpedaya dan terbuai olehnya, hingga aku akan menjadi korban tipu daya mereka dan tidak mampu lagi berperang serta berlumuran dosa.”

Nabi Saw. pun memberikan izin kepadanya untuk tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Berkenaan dengan peristiwa ini turun sebuah ayat yang berbunyi:

“Di antara mereka ada orang yang berkata, “Berilah aku izin (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah!” Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (QS at-taubah: 49)

Dalam ayat ini, Allah Swt. mengecam perbuatan orang tersebut. Seketika itu pula, Nabi Saw. menghadap kabilah Bani Salmah dan bertanya, “Siapa pemimpin kalian?”

Mereka menjawab, “Jad bin Qais, si bakhil dan penakut itu.”

Maka, Nabi Saw. bersabda, “Seburuk-buruknya penyakit adalah bakhil.” Beliau melanjutkan, “Pamimpin kalian sekarang adalah Basar bin Bara‟; pemuda berkulit putih itu. Dialah lelaki pemberani, dermawan dan orang yang menyenangkan.”[2]








Sumber: Dikutip dari Percikan Hikmah dalam Kisah Jilid V  oleh Mahmoud Nashiri


Catatan Kaki:

[1] Bihar Al-Anwar: jil. 76; hal. 273.
[2] Bihar Al-Anwar: jil. 21; hal. 193.


(Karimah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kisah Si Bahlul


BAHLUL DUDUK DI SINGGASANA HARUN AR RASYID 

Suatu hari, Bahlul datang ke istana Harun dan melihat bahwa singgasana dalam keadaan kosong. Tak ada seorang pun yang menghen-tikannya, sehingga ia tanpa ragu-ragu dan tanpa takut duduk di singga-sana Harun itu. Ketika para budak istana melihat hal tersebut, mereka dengan segera mencambuknya dan menariknya dari singgasana. Bahlul pun menangis. Harun datang dan melihatnya, ia mendekat dan bertanya mengapa Bahlul menangis. Seorang budak menceritakan kejadiannya. Harun pun memarahi mereka dan mencoba untuk menghibur Bahlul.

Bahlul berkata bahwa ia tidak menangisi keadaannya, tetapi ia menangisi keadaan Harun.

Ia berkata, "Aku duduk di kursi kekhalifahan dengan tidak sah untuk beberapa saat, akibatnya aku menerima pukulan dan menanggung kemalangan seperti tadi. Tetapi engkau telah duduk di singgasana itu selama hidupmu! Alangkah banyak kesulitan yang mesti kau tanggung, namun masih saja engkau tidak takut akan akibatnya. [1]







Catatan Kaki:

[1] Dikutip dari buku si bahlul halaman 7

(Karimah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Anekdot Mencium Kuburan


Salah seorang dari ulama Syiah bercerita, “Pada suatu hari aku berada di Madinah, di Masjid Nabawi. Aku melihat di sebelahku ada peziarah yang datang dari Iran mencium dinding dan pagar makam Rasulullah saw. Lalu tiba-tiba imam jama’ah setempat, yang mana ia adalah seorang alim Wahabi, mendatanginya membentak dengan berteriak: “Mengapa kamu mencium dinding yang tidak bisa berbuat apa-apa?! Kamu telah syirik!”

Aku pun merasa kesal dengan sikapnya lalu kudatangi dan kukatakan, “Kami mencium dinding masjid ini karena kecintaan kami kepada Rasulullah saw. Tak ada bedanya seperti seorang ayah yang mencium anaknya karena rasa cinta. Tidak ada kesyirikan dalam hal seperti ini.” Ia berkata, “Tidak! Perbuatan ini tetaplah syirik.”

Aku berkata, “Bukankah anda pernah membaca ayat yang berbunyi: “Ketika pembawa berita gembira datang kepada Ya’qub dan memberikan baju anaknya kepadanya, Ya’qub mengusap baju itu ke mukanya lalu ia dapat melihat kembali.” (QS Yusuf: 96). Pertanyaanku adalah, baju itu hanya sekedar kain. Lalu bagaimana bisa menyembuhkan mata nabi Ya’qub as? Apa bukan karena baju itu milik anak kecintaannya sehingga baju tersebut begitu istimewa bagi beliau?”

Imam jama’ah Wahabi itu terlihat kebingungan dan tidak bisa menjawab. Demikian aku berusaha memberitahu ia tentang bagaimana kami berkeyakinan. Penjelasannya yang lebih detil begini: Bukannya nabi Ya’qub as pernah mencium bau anaknya dari jarak yang sangat jauh karena begitu cintanya ia pada nabi Yusuf as? “Sungguh aku mencium wangi Yusuf.” (QS Yusuf: 94)

Oleh karena itu kami begitu mempercayai keistimewaan wali-wali Allah ini. Perbuatan kami ini bukanlah Syirik. Bahkan kami berani bertaruh inilah Tauhid yang sebenarnya!” Lalu kujelaskan lebih detil, “Saat menziarahi nabi, kami marasa diri kami tidak pantas untuk menghadap Allah swt secara langsung, oleh karena itu kami ingin menjadikan nabi sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah Tawasul. Tak jauh beda dengan seorang anak yang nakal yang tidak berani menemui ayahnya lalu meminta tolong orang lain yang dikenal baik ayahnya untuk datang bersamanya meminta maaf dari sang ayah.

Dalam Al Qur’an hal ini pun dijelaskan dengan sangat jelas. Saat anak-anak nabi Ya’qub as merasa berdsa, mereka berkata kepada ayahnya: “Hai ayah kami, mintakanlah ampun Allah untuk kami karena kami sungguh orang-orang yang salah.” (QS Yusuf: 97). Dari ayat itu dapat kita fahami bahwa bertwasul dan menjadikan hamba-hamba terdekat Allah sebagai perantara adalah hal yang wajar dan boleh-boleh saja. Sedangkan mereka, orang-orang Wahabi menyebut Tawasul sebagai perbuatan syirik, bertentangan dengan Tauhid, dan lain sebagainya. Allah swt juga pernah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, carilah wasilah (perantara) kepada-Nya.” (QS Al Maidah: 35)

Bukannya ayat itu mengajak kita untuk ber-Tawasul? Wasilah atau perantara yang dimaksud oleh ayat di atas tidak hanya terbatas pada menjalankan kewajiban dan meninggalkan yang haram saja, namun juga menjalankan hal-hal mustahab, yang salah satunya adalah Tawasul itu sendiri. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Mansur Dawaniqi (Khalifah kedua Dinasti Abbasiah) bertanya kepada Imam Malik bin Anas (pemimpin Madzhab Maliki), “Di makam Rasulullah saw kita harus berdoa menghadap Kiblat atau menghadap makam beliau?”

Ia menjawab, “Mengapa kamu harus memalingkan wajahmu dari nabi? Ia adalah perantara bagimu dan juga bagi ayahmu, nabi Adam As, di hari kiamat nanti. Menghadaplah kepada nabi dan mintalah ia untuk menjadi pemberi syafaat kepadamu. [1] Allah swt berfirman: “Dan ketika orang-orang yang menzalimi dirinya datang kepada nabi untuk dimintakan ampunan, lalu nabi memohon ampunan Allah untuk mereka, niscaya mereka mendapati bahwa Allah maha maha penerima taubat dan pengasih.” (QS An Nisa’:64)

Dalam riwayat-riwayat Syiah maupun Suni disebutkan bahwa Nabi Adam as saat bersimpuh di pintu Ka’bah berdoa kepada Allah dan menjadikan nama Rasulullah Saw sebagai perantara taubatnya. Ia berdoa, “Ya Allah, demi Muhammad ampunilah aku.”[2] Kembali ke permasalahan. Sederhana saja, bukti bahwa mencium kubur hamba-hamba dekat Allah swt adalah beberapa riwayat ini:

Seseorang pernah mendatangi nabi dan bertanya, “Wahai nabi, aku telah bersumpah untuk mencium pintu surga… Lalu (jika terlanjur begini), apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab, “Kalau begitu ciumlah kaki ibu dan kening ayahmu.” “Bagaimana jika ayah dan ibuku telah mati?”, tanya lelaki itu. Nabi menjawab, “Maka ciumlah kuburan mereka.”[3] Riwayat yang lain… Saat nabi Ibrahim as datan dari Syam untuk menemui anaknya, nabi Ismail as di Makkah, anaknya tidak ada di rumah. Lalu saat nabi Ismail as datang, istrinya menceritakan bahwa tadi ayahnya datang mencarinya. Segera setelah itu ia mencari jejak kaki ayahnya lalu sebagai penghormatan ia mencium jejak kaki tersebut.

Riwayat yang lain juga, diriwayatkan bahwa Sufyan Tsauri (seorang sufi Ahlu Sunah) mendatangi Imam Ja’far Shadiq as dan berkata, “Mengapa orang-orang suka menciumi kain Ka’bah padahal kain itu tidak akan berbuat apa-apa dan tak berguna?” Imam Shadiq as menjawabnya dengan berkata, “Hal itu bagai kejadian seseorang yang bersalah terhadap sesamanya lalu berusaha menarik bajunya dengan berlutut dan menciumnya agar mau menerima permintaan maafnya.”[4]


Catatan Kaki:

[1] Wafa’ul Wafa’, jilid 2, halaman 1376; Ad Durr As Sunniyah, Dzaini Dahlan, halaman 10.
[2] Ad Durr Al Mantsur, jilid 1, halaman 59; Mustadrak Al Hakim, jilid 2, halaman 615; Majma’ul Bayan, jilid 1, halaman 89.
[3] Al A’lam, Quthbuddin Hanafi, halaman 24.
[4] Seratus Satu Dialog, Muhammad Muhammadi Isytihardi, halaman 175.

(Hauzah-Maya/Tarikrafii/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Referensi dan Kisah: Doa Qunut Imam Ali a.s Terhadap Muawiyyah dan Pengikutnya


حدثنا هشيم قال أخبرنا حصين قال حدثنا عبد الرحمن بن معقل قال صليت مع علي صلاة الغداة قال فقنت فقال في قنوته اللهم عليك بمعاوية وأشياعه وعمرو بن العاص وأشياعه وأبا السلمي وأشياعه وعبد الله بن قيس وأشياعه

Telah menceritakan kepada kami Husyaim, yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hushain, yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ma’qil, yang berkata: Aku shalat bersama Ali dalam shalat fajar dan kemudian ketika qunut beliau berkata:

“YA ALLAH, HUKUMLAH MUAWIYAH DAN PENGIKUTNYA, AMRU BIN ASH DAN PENGIKUTNYA, ABU AS SULAMI DAN PENGIKUTNYA, ABDULLAH BIN QAIS DAN PENGIKUTNYA” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah. Jilid 2. Hlm 108. No 7050].


Atsar diriwayatkan dengan sanad shahih sampai ke imam Ali as:

• Husyaim adalah Husyaim bin Basyiir, seorang perawi kutub as sittah. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib [Jilid 11. No 100] dandinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim memuji hafalannya. Dalam At Taqrib [Jilid 2. Hlm 269] Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf [No 5979] menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat.

• Hushain adalah Hushain bin Abdurrahman as Sulami Al Kufi, seorang perawi kutub as sittah. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib [Jilid 2. No 659] dan menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Al Ajli, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib [Jilid 1. Hlm 222] menyatakan ia tsiqat. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf [No 1124] menyatakan ia tsiqat hujjah.

• Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud, seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menuliskan biografinya dalam At Tahdzib [Jilid 6. No 543] dan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah. Dalam At Taqrib [Jilid 1. Hlm 591] ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hajar.
*****

Arbitrase (Tahkim) antara Muawiyah dan Ali bin Abu Thalib


Sekitar 6 bulan paska Perang Shiffin (yang berlangsung sekitar bulan Muharram-Safar tahun 37 H, bertepatan Mei – Juli 657M), delegasi Ali bin Abu Thalib dan delegasi Muawiyah bin Abu Sofyan akhirnya sepakat bertemu di Kota Dumatul-Jandal, yang secara geografis terletak antara Madinah dan Damaskus (dan kini masuk wilayah Arab Saudi).

Menurut beberapa sumber, pertemuan ini digagas Amr bin Ash dari kubu Muawiyah, setelah pasukan Muawiyah terpojok dalam pertempuran Shiffin, yang berlangsung di wilayah Raqqa (kini masuk wilayah Suriah).

Delegasi Ali bin Abu Thalib berjumlah 400 orang dipimpin Abu Musa Al-Asy’ari, dan sebagian di antaranya para sahabat Nabi.

Delegasi Muawiyah juga berjumlah 400 orang dipimpin Amru bin Ash, sebagian di antaranya juga dari para sahabat Nabi.

Sebelum puncak pertemuan itu, terjadi dialog antara Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin Ash.

Abu Musa Al-Asy’ari sempat menawarkan untuk mengangkat Abdullah bin Umar. Tapi Amru bin Ash menjawab dengan pertanyaan: “Kenapa bukan anak saya saja, yang Anda mengenalnya?”

Abu Musa Al-Asy’ari: “Dia (putra Amru bin Ash) adalah orang jujur, tapi Anda sudah mencocokinya dan merusaknya dengan fitnah”.

Amru bin Ash: “kekhalifaan ini hanya untuk lelaki yang memiliki geraham untuk makan (kuat), dan dia (Abdullah bin Umar) memiliki cacat”.

Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Wahai Amru bin Ash, bangsa Arab mengandalkan Anda setelah terjadi pertempuran dengan pedang, dan janganlah Anda mendorong umat untuk kembali ke fitnah/pertempuran”.

Amru bin Ash: “Lantas bagaimana pendapat Anda, wahai Abu Musa Al-Asy’ari?”

Abu Musa Al-Asy’ari menjawab, “Saya berpendapat bahwa kita berdua (lebih dulu harus) mencopot dua khalifah itu (Ali Abu Thalib dan Muawiyah) dari jabatan khalifah, kemudian kita serahkan kepada umat untuk memilih khalifah yang mereka yang inginkan”.

Amru bin Ash mengatakan: “Saya setuju dengan pandangan/usulah Anda”.

Lalu keduanya berjalan ke tengah para hadirin, yang sedang menunggu hasil perundingan (Tahkim). Dan Amru bin Ash sudah sejak awal meminta dan mendorong Abu Musa Al-Asy’ari untuk berbicara lebih dulu di depan hadirin, dengan alasan lebih dulu masuk Islam dan faktor usia yang lebih tua, dan berkata “Wahai Abu Musa, silahkan memberitahu kepada hadirin tentang kesepakatan kita”.

Lalu Abu Musa mengumumkan, “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdoa semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”.

Saat itu, Ibnu Abbas dari kubu Ali bin Abu Thalib, mencoba menasehati Abu Musa Al-Asy’ari dengan mengatakan, “Amru bin Ash telah menipumu, jangan mau bicara duluan di depan hadirin. Biarkan Amru bin Ash yang bicara duluan!” Namun Abu Musa Al-Asy’ari menolak permintaan Ibnu Abbas.

Lalu di depan hadirin dari dua kubu yang berjumlah sekitar 800 orang, Abu Musa Al-Asy’ari mengumumkan, “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dulu akan mencopot Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya nyatakan telah mencopot Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah”.

Dan seperti yang diduga Ibnu Abbas, begitu tiba giliran Amru Ash berbicara, di depan semua hadirin, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Muawiyah adalah pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”.

Mendengar pernyataan Amru bin Ash tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa Al-Asy’ari, yang menjawab “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, Amru bin Ash telah menipuku", dan kemudian mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai Amru bin Ash, celaka kamu, kamu telah menipu dan berbuat jahat”.

Dua orang dari kubu Ali bin Thalib, yaitu Syarih dan Ibnu Umar sempat memukul Amru bin Ash dengan pedang, tapi kemudian dilerai oleh para hadirin.

Dan bisa dibayangkan bagaimana kacaunya dan gaduhnya pertemuan Tahkim tersebut. Seluruh jajaran kubu Ali bin Abu Thalib tentu akan kecewa. Sebaliknya, kubu Muawiyah akan senang bersuka ria.

Setelah kejadian aneh dan kacau itu, Abu Musa Al-Asy’ari meninggalkan kota Dumatul-Jandal menuju Makkah. Sementara Amru bin Ash dan anggota delegasinya meninggalkan Dumatul-Jandal untuk menemui dan memberitahu Muawiyah tentang hasil pertemuan Tahkim dan sekaligus mengucapkan selamat kepada Muawiyah sebagai khalifah. Dan inilah awal kekuasaan Dinasti Umawiyah di Damaskus.

Sementara Ibnu Abbas dan Syarih menemui Ali bin Abu Thalib untuk memberitahu hasil pertemuan Tahkim. Dan sejak itu, setiap menunaikan shalat subuh, Ali bin Abu Thalib melakukan qunut dengan doa yang berbunyi: “Ya Allah, jatuhkan laknat-Mu kepada Muawiyah, Amru bin Ash, Habib, Abdurrahman bin Mukhlad, Ad-Dhahhak bin Qayyis, Al-Walid, dan Abu Al-A’war”.

Setelah mendengar kabar tentang doa qunut Ali bin Abu Thalib, akhirnya Muawiyah juga melakukan qunut dengan doa yang berbunyi “Ya Allah, jatuhkan laknat-Mu kepada Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abbas, Hasan, Husain, dan Asytar”.


Catatan:

Pertama, peristiwa Tahkim di kota Dumatul-Jandal antara Amru bin Ash dari kubu Muawiyah dengan Abu Musa Al-Asy’ari dari kubu Ali bin Abu Thalib, adalah sebuah peristiwa politik. Dan Amru bin Ash telah memanfaatkan momentum Tahkim untuk merebut kekuasaan (kekhalifaan) dari Ali bin Abu Thalib, dengan cara dan gaya seorang politisi yang genuine.

Kedua, pernyataan Amru bin Ash yang berbunyi – sekali lagi – “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Muawiyah adalah pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya” adalah pernyataaan, yang dalam kajian-kajian sejarah Islam, sebagai awal dari ungkapan yang melekat pada diri Muawiyah, yaitu “sya’ratu Muawiyah” (???????? ??????????) yang secara bahasa bermakna “rambut halus Muawiayah”, dan secara terminologi bermakna kelicikan dan tipu daya Muawiyah.

Ketiga, peristiwa Tahkim juga mengubur ambisi Ali bin Abu Thalib dan keturunannya dari Bani Hasyim untuk berkuasa, yang berlangsung selama berabad-abad. Dan peristiwa ini juga semakin mengkristalkan bibit-bibit sebuah gerakan dan aliran keagamaan yang kemudian kita kenal dengan nama Syiah. Karena itu, sulit menemukan pujian dalam buku-buku karya ulama Syiah ketika membahas tentang Muawiyah dan para pendukungnya. Apalagi setelah Yazid bin Muawiyah (putra Muawiyah) berkuasa setelah ayahnya, dan melancarkan operasi pembunuhan terhadap para pendukung Ali bin Abu Thalib.

Keempat, ketika muncul gagasan Tahkim (arbitrase atau perundingan damai) dari kubu Muawiyah: yang ditandai dengan menancapkan Quran di ujung tombak, sebenarnya telah muncul kelompok dari kubu Ali bin Abu Thalib yang menolaknya sejak awal. Dan begitu Tahkim berakhir dengan tragis bagi kubu Ali bin Abu Thalib, kelompok penolak Tahkim ini kemudian memisahkan diri Ali bin Abu Thalib, dan mereka inilah yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai kelompok Khawarij (secara bahasa bermakna keluar atau menyempal dari Ali bin Abu Thalib).

Kelima, bagi sebagian besar kalangan Sunni, peristiwa Tahkim memang akhirnya menjadi sebuah dilema etis, sebelum menjadi dilema hukum fikhi. Sebab agak sulit menciptakan “kombinasi yang ideal” antara tipu-tipu dan kelicikan Amru bin Ash yang merupakan sahabat Nabi, dengan hadits Nabi yang menegaskan “Jangan mencaci maki sahabat-sahabatku!”.

Keenam, peristiwa Tahkim – mau tidak mau – akhirnya menjadi peristiwa yang amat kontroversial, bukan hanya antara kubu Syiah dan Sunni, tapi juga di kalangan Sunni sendiri. Dan jarang sekali buku yang mengulasnya secara detail. Buku “Sejarah Ibnu Khaldun” merupakan salah satu sumber Sunni, yang cukup detail mengulas proses terjadinya Tahkim. Dan ini sejalan dengan posisi Ibnu Khaldun sebagai peletak dasar-dasar ilmu sosiologi Islam.

Ketujuh, sekali lagi, saya ingin menegaskan catatan pertama di atas bahwa Tahkim dengan segala kontroversi dan konsekuensinya adalah sebuah peristiwa politik secara par excellence. Karena itu, ketika peristiwa Tahkim coba dianalisis dengan menggunakan teks-teks hukum keagamaan, memang akhirnya berujung pada kesan dipaksa-paksakan.

Syarifuddin Abdullah | Senin, 24 April 2017 / 27 Rajab 1438H.

Sumber tulisan: disadur dan disari dari buku “Sejarah Ibnu Khaldun (????????? ????? ?????????)”, karya Ibnu Khaldun, yang juga penulis buku “Al-Muqaddimah” (????????????).
*****

Muawiyah dan Pelaknatan Imam Ali as Dalam Literatur Hadis Sunni

Sejarah yang mengungkap bahwa Muawiyah memerangi Ali merupakan satu kenyataan yang sangat dikenal. Dan berdasarkan hadis di atas, Nabi Muhammad SAW menyatakan perang kepada Muawiyah.

“Mencintai Ali adalah tanda keimanan, membencinya adalah tanda kemunafikan.” – Rasulullah saww [1]

Hadis tersebut menunjukkan pendapat Nabi Muhammad SAW mengenai orang-orang yang memerangi, membenci dan menganiaya Ahlulbaitnya. Hadis tersebut begitu terkenal sehingga beberapa orang sahabat sering berkata, “Kami mengetahui kemunafikan seseorang dari kebenciannya terhadap Ali.”[2] Dalam kitab sahihnya, Muslim juga meriwayatkan hadis ini dari Zirr bahwa Ali berkata:

Demi Dia yang membelah bebijian dan menghidupkan sesuatu, Rasulullah berjanji padaku bahwa tiada orang yang mencintaiku kecuali orang mukmin dan tiada orang yang menyimpan kebencian kepadaku kecuali orang munafik.[3]

Abu Hurairah meriwayatkan: Nabi Muhammad memandang Ali, Hasan, Husain dan Fhatimah. la berkata,

“Aku memerangi orang-orang yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan orang-orang yang berdamai dengan kalian.”[4]

Sejarah yang mengungkap bahwa Muawiyah memerangi Ali merupakan satu kenyataan yang sangat dikenal. Dan berdasarkan hadis di atas, Nabi Muhammad SAW menyatakan perang kepada Muawiyah. Mengapa kita masih mencintai orang yang Nabi Muhammad sendiri memeranginya? Nabi Muhammad berkata, “Barang siapa yang menyakiti Ali, berarti ia menyakiti aku!”[5]; “Barang siapa mengutuk Ali, berarti ia mengutuk aku.”[6]


Muawiyah Membuat Ketentuan Pengutukan Terhadap Imam Ali

Muawiyah bin Abu Sufyan tidak hanya memerangi Imam Ali bin Abi Thalib tetapi ia juga mengutuknya. Lebih jauh lagi, ia memaksa setiap orang untuk mengutuk Imam Ali. Sebagai buktinya, kami akan mulai dengan hadis dari Shahih Muslim. Diriwayatkan Sa’d bin Abi Waqqash bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan memberi perintah kepada Sa’d. la berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu berhenti mengutuk

Abu Turab (nama kecil Ali)?” Sa’d menjawab, “Tidakkah engkau ingat bahwa Nabi Muhammad menyatakan tiga tentang kebaikan Ali? Karenanyalah aku tidak akan pernah mengutuk Ali.”[7]

Hadis di atas memperlihatkan bahwa Muawiyah terkejut mengapa Sa’d tidak mematuhi perintahnya untuk mengutuk Imam Ali, sebagaimana yang dilakukan orang lain. Ini menunjukkan bahwa pengutukan terhadap Imam Ali sudah menjadi sunnah (kebiasaan) orang-orang masa itu. Siapa yang menciptakan sunnah ini? Apakah Imam Ali, atau orang-orang yang memeranginya?

Lalu, siapa yang memerangi Imam Ali? Bukankah ia adalah Muawiyah (sahabat Nabi yang dipuja kaum Wahabi)? Hal. ini menyiratkan arti bahwa Muawiyah lah yang telah membuat-buat kebiasaan itu (sunnah mengutuk Imam Ali).

Berikut ini referensi hadis lainnya dalam kitab Shahih Muslim mengenai sunnah mengutuk Imam Ali, untuk membuktikan bahwa Orang – orang dipaksa untuk mengutuk Imam Ali di depan umum, karena jika tidak mereka akan mendapatkan hukuman berat. Hadis ini diriwayatkan dari Abu Azim, Gubernur Madinah saat itu, yang merupakan salah satu anggota keluarga Marwan, memanggil Sahl bin Sa’d dan memerintahkannya untuk mengutuk Ali. Sahl menolak.

Gubernur tersebut berkata, “Jika kamu tidak ingin mengutukAli, katakan saja bahwa Allah mengutuk Abu turab (nama kecil Imam Ali).” Sahl berkata, `Ali tidak menyukai nama lain bagi dirinya selain Abu Turab, dan ia senantiasa bahagia ketika seseorang memanggilnya dengan sebutan Abu Turab.”[8]

Pengutukan terhadap Imam Ali merupakan perintah sejak pertarnn kali Muawiyah memerintah selama 65 tahun. Umar bin Abdul Aziz lah yang menghentikan perintah terebut setelah berlangsung lebih dari setengah abad. Beberapa sejarahwan bahkan yakin bahwa keturunan Muawiyah telah meracuni Umar bin Abdul Aziz karena telah mengubah sunnah yang salah satunya adalah sunnah mengutuk Imam Ali.[9]

Salah satu perubahan paling buruk yang telah dimulai sejak awal mula pemerintahan Muawiyah adalah bahwa Muawiyah sendiri dan dengan perintah kepada gubernur nya, biasa menghina Imam Ali saat berkhutbah di Mesjid. Hal. ini bahkan dilakukan di mimbar mesjid Nabi di Madinah di,hadapan makam Nabi Muhammad SAW, sehingga sahab:Usahabat terdekat Nabi, keluarga dan kerabat terdekat Imam Ali mendengar sumpah serapah ini.[10]

Mengenai penghinaan dan pengutukan terhadap Imam Ali paHa periode Umayah, yang dimulai sejak Muawiyah memerintah, diriwayatkon bahwa Ali bin Abi Thalib dikutuk di mimbar dari ujung barat hingga ujung timur pada masa pemerintahan Muawiyah.[11]

Dalam isi suratnya, Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad, berkna kepada Muawiyah, “…Engkau sedang mengutuk Allah dan Rasul-Nya H i mi mbarmu karena engkau mengutuk Ali bin Abi Thalib. Barang siapa yang nu•ncintainya, aku bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya mencintainyn.” I’rterhi tidak seorangpun memperhatikan ucapannya.’[12] Kejadian itu terjadp pada masa kekuasaan bani Umayah. Di lebih dari 70 ribu mimbar

Muawiyah menyerukan pengutukan kepada Imam Ali bin Abi Tholib. Dan pada beberapa mesjid, Muawiyah menjadikannya sebagai sunnah bagi mereka.[13]

Syekh Ahmad Hafizh Syafi’i, menulis 9 syair puisi yang menceritakan kisah yang telah diriwayatkan Suyuthi pada kutipan sebelumnya. Kami menerjemahkan 3 syair pertama.

Itulah yang telah mereka jadikan sebagai ‘sunnah’ Sebanyak 70 ribu mimbar dan 10 mimbar lainnya Mengutuk Haidar Ali

Demikianlah dosa paling besar terlihat kecil. Namun kesalahan harus dilontarkan.

Mari kita lihat pendapat putranya Muawiyah, Yazid, tentang ayah dan kakeknya, sebagai saksi dari keluarga kerajaan. Muawiyah menyerahkan tampuk kekuasaan kepada anaknya, Muawiyah kedua, agar bendera kekhalifahan terus berkibar di tangan keluarga Abu Sufyan.

Setelah ia meninggal, Muawiyah kedua, mengumpulkan orang-orang di suatu hari besar. Ia menyampaikan khutbah di hadapan mereka, ia berkata:

Kakekku Muawiyah telah merampas kekuasaan dari orang-orang yang lebih pantas menerimanya dan dari ia yang lebih berhak karena pertaliannya yang sangat dekat dengan Nabi dan sebagai orang pertama yang memeluk Islam. ia adalah Ali bin Abi Thalib. Ia (Muawiyyah) merampasnya dengan bantuan kalian padahal kalian sangat mengetahui.

Setelah itu ayahku, Yazid, meneruskan kekuasaan sepeninggalnya dan ia pun tidak patut memegangnya. Ia bertengkar dengan putra Fathimah, putri Nabi karena hal. itu, ia memperpendek usianya. Ia membunuhnya dan harapan meninggalkannya. (Kemudian ia menangis dan melanjutkan):

Sesungguhnya, masalah terbesar kami adalah bahwa kami mengetahui perbuatan yang buruk dan akhir hidupnya yang mengerikan, karena ia telah membunuh keturunan (itrah) utusan Allah, mengizinkan meminum minuman keras, berperang di kota suci Mekkah dan menghancurkan Kabah!

Dan aku bukan penerus dalam memegang kekuasaanmu ataupun bertanggung jawab atas pengikut-pengikutmu… Engkaulah yang memilih demikian untuk diri kalian sendiri…!”[14]

Mengenai Muawiyah dan Yazid yang membunuh Imam Hasan bin Ali dengan meracuninya telah diriwayatkan oleh banyak hadis. Tidak perlu disebutkan sumber referensi hadis yang meriwayatkan bahwa Yazid dan pasukannya telah membunuh putra Ali bin Abi Thalib lainnya, cucu Nabi Muhammad, Imam Husain beserta kurang lebih 70 orang anggota keluarga dan pengikut setianya.

Berikut ini referensi hadis Sunni berkenaan kejahatan yang dilakukan Muawiyah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata bahwa ia bertanya tentang Ali dan Muawiyah kepada ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menjawab:

Ketahuilah bahwa Ali memiliki banyak musuh yang berusaha keras untuk mencari-cari kesalahan dirinya. Tetapi mereka tidak dapat menemukannya. Lalu, mereka mengajak seorang lelaki (Muawiyah, seperti yang disebutkan pada catatan kaki) yang sangat memeranginya. Mereka mengelu-ngelukan Muawiyah secara berlebihan, membuat perangkap untuknya.

Thabari meriwayatkan bahwa ketika Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat Mughirah bin Syu’bah menjadi Gubernur Kufah pada 41 Jumada (2 September-30 Oktober 661) ia memanggilnya. Setelah memuji dan mengagungkan Allah, ia berkata,

Mulai sekarang, seseorang yang sabar telah diperingatkan…orang-orang bijak mungkin melakukan apa yang engkau inginkan tanpa perlu diperintah. Meskipun aku ingin menasehatimu tentang banyak hal., aku membiarkan mereka, aku percayakan kepadamu semua yang menyenangkanku, membantu kektiasaanku dan mengatur persoalan- persoalanku dengan benar.

Aku nasehatkan kamu tentang kemampuan dirimu; “Janganlah kamu berhenti menganiaya dan Mengkritik Ali dan jangan berhenti mendoakan Utsman agar Allah memberkatinya dan mengampuninya. Teruslah mempermalukan sahabat-sahabat Ali! Janganlah engkau dekati mereka dan jangan mendengarkan mereka! Agungkanlah kelompok Utsman, dekati mereka dan dengarkan mereka!”


Referensi :

1. Referensi hadis Sunni: Shahih Muslim, jilid 1, hal. 48; Shahih at-Turmudzi, jilid 3, hal. 643;

2. Referensi hadis Sunni: Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2,639, hadis 1086; al-Istiab, Ibnu Abdul Barr, jilid 3, hal. 47; ar-Riyadh an- Nadhirah, Muhib Tabri, Jilid 3, hal. 242; Dharkha’ir al-Uqbah. Muhib Tabri, hal. 91.

3. Shahih Muslim, versi bahasa Inggris, bab 34, hal. 46, hadis

4. Referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 5, hal. 699;

5. Referensi hadis Sunni: Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 3, hal. 483; Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 580, hadis 981; Majma az- Zawa’id, Haitsami, jilid 9, hal. 129; ash-Sawaiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab II, bag I, hal. 263, Ibnu Habban, Ibnu Abdul Barr, dll.

6. Referensi hadis Sunni: al-Mustadrak, Hakim jilid 3, hal. 121. Hakim menyebutkan bahwa hadis ini shahih; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 6, 323; Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 594,

7. Referensi hadis Sunni: Shahih Muslim, bab mengenai ‘Keutamaan Para Sahabat’, bagian ‘Keutamaan-keutamaan Imam Ali , versi bahasa Arab, jilid 4, hal. 1871, hadis 32.

8. Referensi hadis Sunni: Shahih Muslim, bab mengenai ‘Keutamaan Para Sahabat’, bagian ‘Keutamaan Ali’, versi bahasa Arab, jilid 4, hal. 1874, hadis 38.

9. Lihat kitab Sunni berjudul ‘Sejarah Banga Arab’oleh Amir Ali, bab X, hal. 126- 127.

10. Referensi hadis Sunni: Tarikh ath-Thabari, jilid 4, hal. 188; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 234, jilid 4, hal. 154; al-Bidayah wa Nihayah, jilid 8, hal. 259; jilid 9, hal. 80.

11. Referensi hadis Sunni: Mu’jam al-Butdan, Hamawi, jilid 5,

12. Referensi hadis Sunni: al-Aqd al-Farid, jilid 2, hal.

13. Referensi hadis Sunni: Rabiah al-Barar, Zamakhsyari; Hafizh Jalaluddin

14. Referensi hadis Sunni: Khulafa ar-Rasul, Muhammad Khalid, hal. 531 (kutipan di atas termasuk tanda-tanda baca yang diberikan penulis); Sawaiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, akhir Bab II,
*****

Mahabbah (Terinspirasi dari Doa Imam Ali AS)

Ya Allah, peliharalah kehormatan wajahku dengan kecukupan.

Jangan jatuhkan martabatku dengan kehinaan, sehingga aku terpaksa mengharapkan dari manusia yang justru mengharapkan dari-Mu.

Atau memohon belas kasihan hamba-hamba-Mu yang jahat.

Atau tertimpa bala’ dengan memuji siapa yang memberiku atau mencela siapa yang menolakku. Sedangkan Engkau-lah di balik semua itu yang sebenarnya memberi dan menolak. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Kuasa atas segalanya.

Engkau-lah Yang paling dekat menghibur, Yang paling menjamin kecukupan bagi siapa saja yang bertawakkal kepada-Mu. Engkau melihat sampai ke lubuk hati, menembus jauh dalam nurani dan mengetahui kedalaman perasaan.

Semua rahasia terbuka di hadapan-Mu. Semua bisikan hati mendamba Cinta mengharap dari-Mu.

Bila menderita keterasingan, aku segera terhibur dengan sebutan-Mu. Dan bila tercurah atas ku aneka ragam musibah, akupun berlindung kepada-Mu.

Aku benar-benar menyadari bahwa kendali segalanya berada di Tangan-Mu, pun dalam Cinta, sebagaimana kemunculannya berasal dari ketentuan-Mu.

Tuhanku, aku tak mampu mengutarakan permohonanku, atau tak kuasa melihat keinginanku. Tunjukilah aku sesuatu yang akan mendatangkan maslahat bagiku, dalam Cinta. Sebab ia tak mengherankan di antara jalan hidayah-Mu, bukan pula sesuatu yang baru di antara kemampuan-Mu.


Ali bin Abi Thalib dan Golongan Qasithin (Pasukan Shiffin)

Persiapan Muawiyah

Pemindahan ibukota pemerintahan Islam oleh Ali bin Abi Thalib ke Kufah sangat menggusarkan Muawiyah bin Abu Sufyan, sebab dia melihat bahwa pemindahan itu dengan maksud menyatukan negara Islam dan membangun kekuatan Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunah Nabi saw. Reaksi pertama yang dilakukannya ialah meminta bantuan Amr bin Ash sebagai konsultannya, karena Amr terkenal dengan tipu muslihatnya, terutama adanya kesamaan dalam membenci Islam dan Ali bin Abi Thalib.

Setelah menerima surat Muawiyah, Amr bin Ash tidak membuang-buang waktu. Selama ini yang menjadi keinginan Amr adalah ketamakannya kepada dunia. Ia tidak menganggap penting agama, sekalipun dapat menjaminnya masuk surga.

Sesaat ketika tiba di Syam, Amr bin Ash langsung melakukan siasat awalnya, yaitu membohongi masyarakat dengan menangis tersedu-sedu seperti seorang wanita menangisi keluarga terdekatnya yang meninggal. Setelah menyusun rencana tipu muslihat, Muawiyah dan Amr tawar menawar harga yang harus diterima. Amr memberikan syarat; bila rencananya berhasil dalam menghadapi Ali bin Abi Thalib, ia menjadi gubernur di Mesir. Muawiyah menerima syarat tersebut dan membuat surat perjanjian.

Dari kesepakatan itu mereka menyiapkan rencana dan taktik menghadapi dan menjatuhkan Ali bin Abi Thalib a.s. Seperti biasa, rencana dan taktik yang akan diambil tidak jauh dari tipu muslihat. Tanpa tipu muslihat, mereka tidak akan mencapai tujuannya dan gagal menghadapi Ali selaku pewaris sejati kekhalifahan dan pembawa bendera kebenaran dan keadilan.

Mereka sepakat untuk memanfaatkan baju Utsman bin Affan; orang yang sebelumnya sengaja ditinggalkannya sampai terbunuh. Baju Utsman ini dipakai untuk mengecoh emosi dan akal masyarakat yang tidak sadar. Mereka berdua mengangkat baju Utsman bin Affan di atas mimbar-mimbar setelah dibawa ke Syam oleh Nu’man bin Basyir. Ketika orang-orang melihat baju Utsman yang dikenakannya ketika ia dibunuh, serentak mereka menangis tersedu-sedu. Tanpa disadari, rasa kebencian menguat dan membara di dada mereka. Mereka menjadi seoleh-oleh buta akan petunjuk dan kebenaran.

Muawiyah membutuhkan dukungan yang lebih kuat dari masyarakat. Untuk itu, Amr bin Ash menggunakan rencana lain lagi. Dia memanfaatkan Syarahbil bin Samth Al-Kindi sebagai provokator awal. Syarahbil dikenal sebagai orang yang banyak ibadah dan ditokohkan oleh kabilah-kabilah Syam. Syarahbil membenci Jarir selaku utusan Ali bin Abi Thalib yang datang ke Syam menemui Muawiyah. Sifat yang membuat Syarahbil mudah dimanfaatkan oleh Amr ialah karena ia tidak mendapatkan informasi dari sumber-sumber langsung. Hasutan ini berlangsung sempurna karena Syarahbil ternyata menuntut Muawiyah untuk membalas dendam atas darah Utsman bin Affan. Tanpa sadar ia telah menjadi alat cuma-cuma di tangan Muawiyah untuk mempengaruhi masyarakat dalam rangka memerangi Ali bin Abi Thalib.


Menguasai Sungai Furat

Setelah mobilisasi warga Syam untuk berperang, Muawiyah meminta baiat dari mereka dan menulis surat kepada Ali bin Abi Thalib a.s. untuk menantangnya berperang yang dibawa oleh Jarir; seorang yang taat kepada Ali. Kemudian Muawiyah membawa pasukannya dengan cepat bergerak ke dataran yang lebih tinggi dari sungai Furat; di lembah yang bernama Shiffin. Ia sengaja menduduki tempat itu untuk menahan Ali bin Abi Thalib dan pasukannya dari air sungai Furat.

Dalam strategi perang Muawiyah, menguasai daerah sungai Furat adalah kemenangan pertama. Dan benar demikian; keterlambatan Ali bin Abi Thalib sampai di daerah itu memaksanya meminta kepada Muawiyah untuk membiarkan pasukannya meminum air sungai Furat. Permintaan Ali itu ditolak mentah-mentah olehnya.

Rasa haus mencekik pasukan Ali yang sebagian besar mereka terdiri dari orang Irak. Keadaan ini semakin mempersulit dirinya, karena mereka menuntut untuk tidak perlu lagi mengambil posisi bertahan di hadapan pasukan Muawiyah. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib memberi izin kepada pasukannya untuk menyerang pasukan Muawiyah yang berada di pinggiran sungai. Serangan itu berhasil mengusir kekuatan Muawiyah dari daerah itu.

Kini, pasukan Ali bin Abi Thalib a.s. menguasai sungai Furat. Ternyata, ia tidak melakukan pembalasan dengan melakukan cara yang telah digunakan oleh Muawiyah. Ali a.s. memperkenankan pasukan Muawiyah untuk mengambil air dari sungai Furat.


Usaha Perdamaian

Ali bin Abi Thalib telah berusaha untuk terus melayangkan surat dalam rangka melakukan rekonsiliasi guna mencari jalan keluar dari konfrontasi militer, bahkan ia telah membuka beberapa kanal yang dapat menampung maksud Muawiyah agar tetap setia pada baiatnya. Namun demikian, Muawiyah bersikeras untuk memeranginya. Ia mantap dengan niatnya untuk menghancurkan Ali dan pasukannya dengan segala cara.

Melihat itu, Ali bin Abi Thalib belum putus asa untuk tercapainya perdamaian kedua pasukan. Setelah menguasai sungai Furat, ia mengusulkan agar dilakukan gencatan senjata sementara. Dan ia memanfaatkan kondisi ini dengan mengirim beberapa utusan kepada Muawiyah. Para utusan itu adalah Basyir bin Muhsin Al-Anshari, Said bin Qais Al-Hamadani dan Syibts bin Rub’i At-Tamimi. Ali bin Abi Thalib berpesan kepada mereka: “Temui lelaki itu (Muawiyah) dan ajaklah ia kepada Allah, ketaatan dan jama’ah (persatuan)!”.

Namun, jawaban Muawiyah lagi-lagi pedang dan perang. Kepada para utusan Ia mengatakan: “Enyahlah kalian dari sisiku. Antara kita tidak ada lagi yang tersisa selain pedang”.


Perang Pasca Gencatan Senjata

Telah terjadi kontak senjata sporadis antara kedua pasukan sebelum menjadi peperangan besar. Segera setelah itu kedua pasukan berbaris dengan kekuatan penuh, saling berhadapan. Perang pun pecah dan terhenti ketika memasuki bulan Muharam tahun 37 H. Segera gencatan senjata disepakati untuk kedua kalinya.

Selama gencatan ini, Ali bin Abi Thalib berusaha untuk mencapai perdamaian dengan Muawiyah. Strateginya adalah mengajak untuk duduk berdamai, menyatukan kalimat dan tidak menumpahkan darah muslimin. Sementara itu, Muawiyah mengajak pasukan Ali untuk mencampakkan baiat mereka kepadanya sekaligus menuntut darah Utsman bin Affan.

Gencatan senjata berlangsung selama satu bulan penuh. Perang kecil-kecilan yang terjadi cukup lama mengakibatkan kedua belah pasukan mengalami kelelahan. Kemudian Ali bin Abi Thalib a.s. menyiapkan pasukannya untuk peperangan besar, hal yang sama juga dilakukan oleh Muawiyah. Kembali kedua pasukan saling berhadapan dan siap memulai peperangan yang sangat hebat dan mencekam.

Kepada pasukan, Ali senantiasa berpesan: “Jangan kalian membunuh musuh sebelum mereka melakukannya terlebih dahulu. Alhamdulillah kalian berada di atas kebenaran”. Ia melanjutkan: “Bila mereka memerangi kalian, pasti kalian dapat mengalahkan mereka. Jangan membunuh panglima, orang yang terluka! Jangan pula membuka aurat dan berpura-pura mati!”.

Peperangan terus berlanjut. Ada yang melarikan diri dari medan pertempuran, ada pula yang masih banyak tinggal dan bertempur. Jumlah yang mati dan terluka dari kedua belah pihak sangat banyak; mencapai angka puluhan ribu.


Kematian Ammar bin Yasir

Diriwayatkan bahwa Ammar bin Yasir keluar dari barisan pasukan dan berkata: “Sesungguhnya aku melihat wajah-wajah yang senantiasa saling membunuh sehingga para penumpas kebatilan mulai ragu. Demi Allah! Seandainya kami berhasil mengalahkan musuh, mereka bagaikan orang-orang yang berpenyakit kurap yang ditelantarkan. Kami melakukan perang atas dasar kebenaran, sementara mereka ata dasar kebatilan”. Setelah itu, Ammar maju ke depan dan menyerang pasukan Muawiyah sambil melantunkan syair:

Sebelumnya kami perangi mereka karena tanzil (dzahir wahyu)

Kini kami perangi mereka karena takwil (batin wahyu)

Perang yang melenyapkan angan-angan dari orangnya

Yang membinasakan kecintaan dari sang pecinta

Atau kebenaran kembali di atas jalannya

Ammar bin Yasir yang terkenal dengan kebenaran, ketulusan dan keberanian terus maju dan menerobos pertahanan musuh. Anak-anak panah telah menghunjam di tubuhnya, sampai akhirnya Abu Adiyah dan Ibnu Jun As-Siksiki menikamnya sehingga menemui ajal. Ketika berada di atas kepala Ammar, dua orang ini berselisih tentang siapa yang akan memenggal dan mengirimkannya kepada Muawiyah, sementara Abdullah bin Amr bin Ash sedang duduk di tempat kejadian. Ia menukas: “Berusahalah kalian berdua menunjukkan budi pekerti yang baik kepada tuannya. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. berkata kepada Ammar bin Yasir: ‘Wahai Ammar! Sekelompok orang yang zalim akan membunuhmu”.

Adapun Ali bin Abi Thalib a.s. sangat resah ketika Ammar bin Yasir muncul ke medan perang. Ia tak henti-hentinya menanyakan keadaan Ammar, sampai akhirnya orang-orang memberitakan kesahidannya. Mendengar itu, Ali a.s. segera menuju tempat terbunuhnya Ammar. Ia tampak begitu sedih dan menitikkan air matanya. Telah berpisah darinya seorang penolong setia, pemberi nasihat dan saudara yang tepercaya. Kemudian ia menyalati dan mengebumikannya.

Berita kematian Ammar bin Yasir menyebar ke dua belah pihak. Menghadapi berita itu, pasukan Muawiyah mulai gentar dan ragu, karena mereka tahu ihwal Ammar dan hadis Rasulullah saw. tentang kematiannya. Namun, krisis itu tidak berlangsung lama karena lagi-lagi tipu muslihat Muawiyah mampu meredamnya. Itu dipermudah dengan keluguan bala tentaranya. Muawiyah meyakinkan mereka bahwasanya yang membunuh Ammar adalah mereka yang membawanya ke medan perang. Ironisnya, orang-orang Syam yang lugu itu malah mempercayainya.

Diriwayatkan bahwa kabar tipu muslihat yang diberitakan oleh Muawiyah akhirnya sampai ke telinga Ali bin Abi Thalib dan akhirnya beliau berkata, ‘Kami juga yang membunuh Hamzah karena mengajaknya ikut perang di Uhud?


Muslihat di Balik Angkat Mushaf

Peperangan berlanjut berhari-hari. Tampak pasukan Ali bin Abi Thalib a.s. masih menyimpan ketabahan dan ketegaran, karena tujuan mereka adalah memperjuangkan kebenaran. Lalu Ali a.s. berpidato dan memberi semangat kepada pasukannya untuk terus berjihad di jalan Allah. Ia mengatakan: “Wahai para sahabatku! Kalian telah sampai pada tujuan kalian, dan itulah musuh seperti yang kalian lihat. Yang tersisa dari mereka adalah nafas terakhir. Jika situasi perang ini berbalik, maka yang akhir akan berubah menjadi awal. Mereka telah bersabar melakukan peperangan melawan kita, walaupun tidak di jalan agama. Sementara jihad yang kita lakukan telah melibas mereka. Dan besok, dini pagi, aku akan menghakimi mereka atas dasar hukum Allah.”

Kabar pidato Ali bin Abi Thalib itu terdengar oleh Muawiyah. Ia melihat kekalahan sudah di depan mata pasukannya. Segera ia memanggil Amr bin Ash sebagai konsultannya agar mencarikan rencana peperangan esok hari. Ia berkata kepada Amr: “Sekarang ini malam, bila besok pagi kita belum punya rencana, Ali akan mengalahkan kita. Apa pendapatmu?”

Amr bin Ash berkata: “Menurutku, pasukanmu sudah tidak seperti bala tentara Ali, dan kau juga bukan dia. Ali akan memerangimu karena kebenaran, sedangkan kau memeranginya karena perkara lain. Kau berperang untuk tetap hidup, tetapi dia berperang agar cepat mati. Orang-orang Irak takut kepadamu bila kau memenangkan peperangan ini. Sementara penduduk Syam tidak takut bila Ali yang memenangkan peperangan ini. Sekarang, lemparkan sebuah isu yang bila diterima oleh pasukan Ali sekaligus membuat mereka berselisih satu dengan lainnya, dan bila mereka menolaknya, tetap saja dampaknya sama; mereka akan berselisih. Ajak mereka untuk meletakkan Al-Quran sebagai pemutus dan hakim antara engkau dan mereka”.

Muawiyah segera memerintahkan pasukannya untuk mengangkat mushaf (kitab) Al-Quran ke atas dengan cara menancapkannya di ujung tombak. Orang-orang Syam kemudian berteriak memanggil seterunya dari Irak: “Wahai orang-orang Irak! Ini adalah Kitab Allah di antara kami dan kalian, lengkap dari awal hingga akhir ayat. Siapakah di belakang Al-Quran yang berada di dalam lobang orang-orang Syam, dan siapa pula di belakangnya yang berada di lobang orang-orang Irak?”

Seruan yang penuh dengan tipu muslihat ini bagaikan petir yang menyambar kepala pasukan Ali bin Abi Thalib a.s. Keadaan mulai tidak tenang, timbul bisik-bisik di sana sini. Akhirnya, mereka pun terpengaruh dengan seruan tersebut dan mengatakan: “Kami akan menyambut seruan itu dan mengikutinya. Kami akan kembali kepada Al-Quran”. Dari pasukan Ali yang paling getol mengampanyekan seruan tersebut ialah seorang komandan yang bernama Al-Asy’ats bin Qais.

Menyaksikan keadaan yang semakin kacau dan tak terkendali, Ali bin Abi Thalib a.s. berkata kepada mereka: “Wahai hamba-hamba Allah! Lanjutkan rencana kalian sebagai hak kalian yang berada di atas kebenaran, dan perangi musuh-musuh kalian. Muawiyah, Amr bin Ash, Ibnu Abi Mu’ith, Habib bin Abi Maslamah dan Ibnu Abi Sarh serta Ad-Dhahhak bukanlah orang yang teguh pada agama dan Al-Quran. Aku lebih mengenal mereka daripada kalian. Aku telah mengenal mereka sejak masih kecil sampai besar dan tua. Sejak masa kanak-kanak, mereka adalah orang-orang yang tidak baik. Aku ingin mengingatkan kalian, demi Allah, bahwa tujuan mereka mengangkat Al-Quran hanyalah untuk menipu dan melemahkan kalian. Kalimat yang mereka ucapkan memang benar, namun maksud ucapan mereka adalah kebatilan”.

Mayoritas orang Irak itu berkata kepada Ali bin Abi Thalib dengan memanggil namanya: “Wahai Ali! Kabulkan keinginan mereka sesuai dengan Kitab Allah bila engkau diajak untuk berpegang padanya. Seandainya kau menolak seruan tersebut, kami akan meninggalkanmu seorang diri dan berperanglah dengan mereka, atau kami akan melakukan sebagaimana yang telah dilakukan terhadap Utsman bin Affan!”

Ali bin Abi Thalib a.s. tidak dapat berbuat apa-apa di depan pasukannya yang telah termakan tipu muslihat musuh. Akhirnya ia berkata: “Bila kalian masih menaati aku, mari kita bergerak dan berperang. Namun bila kalian ingin membangkang dari perintahku, lakukanlah sesuka kalian”.

Di medan pertempuran, Malik Al-Asytar maju dengan gagah berani dan penuh keyakinan. Ia berhasil merangsek ke depan dan memukul mundur barisan musuh sampai mendekati posisi Muawiyah. Sebagian pasukan Ali bin Abi Thalib yang melihat Malik demikian berkata kepada Ali: “Perintahkan bala tentara untuk menemui Malik agar kembali!” Akan tetapi, Malik Al-Asytar tidak menggubris dan mendesak maju. Ia tahu bahwa pengangkatan mushaf Al-Quran hanyalah tipu daya Muawiyah.

Namun, mereka tidak diam dan mengancamnya akan membunuh Ali bin Abi Thalib. Melihat kenyataan itu, Malik Al-Asytar kembali dan langsung menuding mereka sambil mengatakan: “Demi Allah! Kalian telah termakan tipu muslihat musuh. Kalian diminta untuk menghentikan peperangan lalu kalian menerimanya. Wahai orang-orang yang berdahi hitam! Bukankah kita percaya shalat kalian sebagai tameng dari godaan dunia dan menambah kerinduan berjumpa dengan Allah? Apa yang aku lihat hanyalah pelarian kalian dari kematian menuju dunia”.

Mereka maju ke depan dan menjawab bahwa Ali bin Abi Thalib setuju dengan seruan Muawiyah. Padahal, Ali hanya terdiam, tidak berkata satu patah kata pun sambil mengelus kepala dengan sedih. Pasukannya benar-benar telah termakan oleh tipu daya dan perang urat syaraf yang dilancarkan oleh musuh, sampai akhirnya mereka menjadi pembangkang. Ali tidak lagi sanggup berbuat apa-apa. Ia mengungkapkan apa yang mengganjal di hatinya: “Bila kemarin aku adalah pemimpin kalian, kini aku menjadi rakyat yang dipimpin. Dan bila kemarin aku melarang kalian untuk berbuat sesuatu, kini aku yang dilarang oleh kalian”.


Tahkim (Penghakiman) dan Rekonsiliasi

Ternyata, ujian yang menimpa Ali bin Abi Thalib tidak hanya datang dari pasukannya yang telah teperdaya. Karena, mungkin sekali setelah itu pasukan musuh akan mendapatkan kepentingan politis lewat perundingan yang akan diadakan sebagai konsekuensi menerima seruan sebelumnya. Peluang tersebut akan semakin terbuka bila para pembangkang perintah Ali a.s. mau mengikuti permainan yang sedang dijalankan musuh; dengan memilih seorang juru runding dalam proses rekonsiliasi tersebut. Bila itu sampai terjadi, Ali sudah mempersiapkan orang untuk berunding dengan pihak Muawiyah. Orang itu adalah Abdullah bin Abbas atau Malik Al-Asytar, sebab ia percaya pada keikhlasan dan kewaspadaan dua sahabat ini.

Namun pada saat yang sama, orang-orang yang telah teperdaya oleh provokasi Muawiyah bersikeras agar Abu Musa Al-Asy’ari dijadikan sebagai juru runding mereka. Ali bin Abi Thalib segera berbicara tegas: “Sebelum ini, kalian telah membangkang perintahku, maka sekarang jangan kalian membangkang lagi. Aku tidak mengutus Abu Musa karena dia tidak bisa dipercaya. Dia telah memisahkan dirinya dariku dan menjauhkan orang-orang dariku; ketika hendak berperang dengan pasukan Aisyah di Kufah, kemudian ia lari dariku lalu aku memberi jaminan keamanan kepadanya beberapa bulan setelah kejadian itu”.

Muawiyah dan Amr bin Ash mampu memorak-porandakan kubu Ali bin Abi Thalib karena dibantu dari dalam oleh Al-Asy’ats bin Qais yang memainkan peran musuh dalam selimut. Secara aklamatif, Amr bin Ash terpilih menjadi juru runding kubu Muawiyah untuk merumuskan poin-poin kesepakatan bersama Abu Musa Al-Asy’ari. Amr tidak menyetujui penyantuman kata ‘Amir Mukminin’ di akte perjanjian. Ali a.s. langsung teringat dan berkata: “Inilah hari yang sama pada perjanjian damai Hudaibiyah, ketika Suhail bin Umar berkata kepada Nabi: ‘Engkau bukan rasul Allah’. Lalu Nabi berkata kepadaku: “Apa yang terjadi padaku kelak akan menimpamu. Engkau terpaksa menerimanya karena kondisimu waktu itu tertekan”.

Poin penting dalam perjanjian itu adalah gencatan senjata dan pembubaran perang, dan kedua pihak harus kembali kepada Kitab Allah dan Sunah Nabi dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Pelaksanaan kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak ditunda hingga bulan Ramadhan tahun 37 H. Perjanjian itu sendiri ditulis pada bulan Safar di tahun yang sama.

Yang aneh adalah masalah penuntutan balas atas pembunuhan Utsman bin Affan. Masalah ini sama sekali tidak dicantumkan, walaupun hanya sekedar sinyalemen saja. Padahal sebelumnya, penuntutan balas ini telah dijadikan alasan peperangan oleh orang-orang seperti Muawiyah dan kroni-kroninya; mereka yang diberi amnesti pasca pembebasan kota Mekkah.

Dan telah disepakati bahwa tempat perundingan dua juru itu untuk prose tahkim akan diadakan di Daumatul Jandal.


Langkah Cerdas Malik Al-Asytar

Diriwayatkan bahwa Malik Al-Asytar diminta untuk menjadi saksi tahkim dan perjanjian rekonsiliasi tersebut dan hendaknya membubuhkan tanda tangan di dalamnya. Malik Al-Asytar berkata: “Tangan kanan dan kiriku tidak dapat membantuku untuk menuliskan nama di atas akte perjanjian ini. Bukankah ini akan menjadi bukti di hadapan Tuhanku atas kebenaran sikapku dalam menghadapi musuh? Dan bukankah kalian telah melihat kemenangan di hadapan mata?!”

Mereka mencoba mengadukan sikap Malik itu kepada Ali bin Abi Thalib a.s., bahwa ia tetap menolak apa yang telah disepakati dalam perjanjian, dan bahwa ia menginginkan agar terus berperang dan mengalahkan musuh.

Ali bin Abi Thalib a.s. menjawab: “Demi Allah! Aku sendiri tidak rela dan belum memberikan jawaban atas apa yang telah kalian lakukan”. Lalu ia menambahkan: “Aku sangat berharap bila saja aku memiliki dua orang seperti Malik Al-Asytar di antara kalian. Andai ada seorang saja dari kalian yang sepertinya; dalam memandang musuh sebagaimana aku memandang, tentu ia akan meringankan bebanku dari kalian. Aku sangat berharap ada sebagian yang tetap bertahan untuk melanjutkan peperangan, dan ini akan membuatku rela pada kalian. Aku telah melarang, namun kalian tetap saja membangkang laranganku. Demi Allah! Kalian telah melakukan perbuatan yang menghancurkan kekuatan kita, meruntuhkan kenikmatan serta meninggalkan kelemahan dan kehinaan”.


Ali Kembali dan Khawarij Menyempal

Ali bin Abi Thalib a.s. kembali ke Kufah dengan berat hati, perasan yang berkecamuk dan dengan kesedihan yang dalam. Ia melihat kebatilan yang diusung oleh Muawiyah mulai menguat dan hampir sempurna. sementara dari sisi lain, ia melihat pasukannya yang telah menjadi pembangkang yang tidak lagi taat pada perintahnya.

Ali bin Abi Thalib a.s. memasuki kota Kufah dan melihat penduduk kota sedih meratapi mereka yang terbunuh di medan perang. Pada saat yang sama, ada sekelompok orang dari pasukannya yang berjumlah dua belas ribu memisahkan diri dari induk pasukan. Mereka tidak ikut dengan pasukan Ali memasuki kota Kufah, namun melintasi daerah Bahrwara’.

Kelompok ini kemudian mengangkat panglima perang dari mereka sendiri. Dia bernama Syabts bin Rub’i. Sementara sebagai imam shalat, mereka mengangkat Abdullah bin Kawai Al-Yasykari. Setelah itu, mereka bersama-sama mencampakkan baiat mereka kepada Ali bin Abi Thalib lalu menyerahkannya ke proses pemilihan kaum muslimin sendiri. Sikap mereka ini muncul setelah penulisan perjanjian damai antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Muawiyah. Ini sungguh aneh, karena dengan begitu berarti mereka tidak setuju dengan semboyan “Tidak ada hukum selain hukum Allah”, padahal merekalah yang mendesak Ali bin Abi Thalib untuk menerima tahkim (penghakiman) atas dasar Kitab Allah.

Ali bin Abi Thalib berusaha meluruskan cara pandang mereka melalui nasihat. Untuk itu, ia mengirim Abdullah bin Abbas sebagai utusannya dan mewanti-wantinya agar tidak terburu-buru terlibat dalam perdebatan dengan mereka, karena itu bisa membangkitkan kebencian dan emosi permusuhan mereka. Kemudian ia menyusul Abdullah bin Abbas. Di sana ia berbicara, berargumentasi dan meruntuhkan klaim mereka. Kelompok sempalan ini kemudian menerima apa yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib dan ikut bersama-sama memasuki kota Kufah.


Pertemuan Dua Utusan

Tibalah saatnya pertemuan kedua juru runding dari Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ali mengutus empat ratus orang yang dipimpin oleh Syuraih bin Hani. Ia juga memerintahkan Abdullah bin Abbas untuk menyertai mereka, menjadi imam shalat jama’ah dan mengatur urusan mereka. Abu Musa Al-Asy’ari juga berada dalam rombongan. Sedangkan Muawiyah mengutus empat ratus orang yang dikepalai oleh Amr bin Ash. Kedua kelompok ini kemudian bertemu di Daumatul Jandal.

Sebelum segala sesuatu, beberapa orang dari sahabat tepercaya Ali bin Abi Thalib a.s. segera memberikan pengarahan kepada Abu Musa Al-Asy’ari. Mereka berusaha sekuat tenaga mengarahkannya agar memahami secara baik bagaimana mengambil keputusan. Mereka sangat kuatir akan tipu muslihat Amr bin Ash.


Keputusan Tahkim (penghakiman)

Bertemulah dua juru runding dari kedua belah pihak; Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash. Abu Musa adalah seorang yang buta politik, lemah akidah dan kurang percaya pada Ali bin Abi Thalib a.s. Sementara Amr bin Ash terkenal sebagai ahli diplomasi, cerdik, ahli muslihat dan senang melihat Ahlul Bait a.s. enyah dari medan politik. Selain itu, ketamakannya akan kekuasaan yang didukung oleh mitra politiknya; Muawiyah bin Abu Sufyan.

Tidak berapa lama pertemuan itu berlangsung, Amr bin Ash sudah dapat mengetahui titik-titik lemah Abu Musa Al-Asy’ari dan bagaimana cara menguasainya sehingga dia dapat melakukan keinginannya. Mereka berdua sepakat untuk bertemu di ruang tertutup untuk menggugurkan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Kemudian, kedua-duanya memilih Abdullah bin Umar bin Khatthab sebagai khalifah kaum muslimin.

Ketika itu, Ibnu Abbas memperingatkan Abu Musa Al-Asy’ari agar berhati-hati dan tidak tidak terjebak ke dalam kelicikan Amr bin Ash. Kepadanya Ibnu Abbas berkata: “Waspadalah! Demi Allah, aku punya firasat bahwa Amr bin Ash telah menipumu, dan kalian berdua telah bersepakat atas satu perkara yang tidak engkau kehendaki. Ingat! Aku mengusulkan kepadamu agar memberikan kesempatan lebih dahulu kepada Amr bin Ash untuk berbicara, setelah itu giliranmu untuk berbicara. Amr bin Ash adalah seorang yang cerdik dan licik. Aku tidak percaya bahwa dia akan memberikan engkau kesempatan yang membuatmu dan dia rela dan sepakat. Bila engkau berdiri di hadapan manusia, ia akan membelakangimu dan tidak akan menyetujui keputusanmu”.

Namun, Abu Musa Al-Asy’ari berdiri dan berbicara di hadapan khalayak. Kemudian dia menurunkan Ali bin Abi Thalib a.s. dari kekhilafahan. Setelah itu, giliran Amr bin Ash berdiri dan berpidato lalu menegaskan kembali penurunan Ali yang dilakukan Abu Musa itu. kemudian, dia menetapkan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah.

Dengan tipu muslihat itulah Muawiyah memenangkan pertarungannya dengan Ali bin Abi Thalib a.s. Orang-orang Syam kemudian mengucapkan selamat kepadanya sebagai pemimpin kaum muslimin. Sementara di sisi lain, orang-orang Irak tenggelam dalam fitnah dan mulai percaya akan kesalahan apa yang telah mereka lakukan selama ini. Setelah peristiwa itu, Abu Musa Al-Asy’ari segera melarikan diri ke kota Mekkah. Sedangkan Ibnu Abbas dan Syuraih kembali ke Kufah menemui Ali bin Abi Thalib a.s.


Ali bin Abi Thalib dan Mariqin (Khawarij)

Dapat dikatakan bahwa, secara alami, munculnya Khawarij karena peperangan yang terjadi di Jamal dan Shiffin. Sebagaimana tidak dapat di pisahkan penyimpangan yang terjadi pada mereka dalam masalah kekhalifahan dikarenakan penyimpangan mereka dari garis Ahlul Bait a.s. Salah satu sifat penting orang-orang Khawarij adalah kebekuan, kejumudan, kontekstual dalam memahami agama,, fanatisme, kekerasan dan ketidakmampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Mereka sangat cepat dipengaruhi oleh isu dan dengan sedikit keraguan mereka akan kembali kepada sikap awalnya.

Nabi sendiri sebelumnya telah menjelaskan sifat-sifat mereka. Diriwayatkan dari Nabi saw.: “Akan keluar dari umat ini—tanpa menyebutkan nama—sebuah kelompok yang meremehkan shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka. Mereka membaca Al-Quran, tapi tidak lebih dari pelasnya suara dari tenggorokan. Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya”.

Ali bin Abi Thalib tidak mampu mengobati penyakit dan penyimpangan orang-orang Khawarij. Pemberontakan dan peperangan di perang Jamal dan Shiffin dalam waktu singkat lebih dahulu dari usaha yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. Barangkali dapat dianalisis kemunculan golongan Khawarij ini pada beberapa poin:

Frustrasi dan lemah dalam mewujudkan kemenangan, khususnya peperangan Ali bin Abi Thalib a.s. melawan pembangkangan orang-orang yang mengaku muslim secara lahiriah. Golongan Khawarij gagal memahami upaya Ali a.s. untuk menyelesaikan masalah dengan para pembangkang. Mereka tidak kuasa menerima hasil tahkim. Pada waktu yang sama, mereka sendiri yang memaksa Ali bin Abi Thalib a.s. untuk menerima proses tahkim. Mereka tidak berani menghadapi diri sendiri setelah menemukan penyimpangan yang dilakukan. Akhirnya mereka berusaha untuk membiarkan dan melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain yang tidak lain Ali bin Abi Thalib a.s.

kejumudan mereka terhadap kebebasan berpikir yang telah dibuka lebar-lebar oleh Ali bin Abi Thalib a.s. agar umat dapat berusaha dan memahami risalah Islam. Diriwayatkan bahwa golongan Khawarij bahkan mengkritik Ali a.s. di tengah-tengah pidatonya dengan klaim, La hukma illa lillah; tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Jawaban Ali kepada mereka tidak lain adalah, “Ungkapan benar dengan maksud buruk”. Ali a.s menambahkan: “Kalian memiliki tiga kekhususan di sisi kami; Kami tidak melarang kalian untuk melakukan salat di masjid-masjid kami, Kami tidak mencegah kalian untuk mendapatkan ganimah selama kalian ikut berperang dengan kami, dan kami tidak akan memerangi kalian sampai kalian yang mendahului”. Dari sini, pergerakan orang-orang Khawarij yang pada mulanya bersifat individual menjadi terorganisir dalam sebuah golongan.


Ali dan Keputusan Tahkim

Begitu mendengar hasil perundingan Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin ‘Ash, Ali bin Abi Thalib sangat terpukul dan tersiksa. Kemudian ia berpidato di hadapan khalayak umat, mendorong mereka dan menunjukkan bagaimana cara memperbaiki kesalahan fatal yang telah mereka lakukan. Ia mengatakan: “Sesungguhnya mencoba berpaling dari nasihat orang yang berpengalaman dan amat prihatin terhadap masalah hanya akan menghasilkan penyesalan di kemudian hari. Pelaku pemimpin, aku telah memerintahkan kalian untuk tetap berperang. Aku telah memilih untuk kalian dari khazanah pandanganku; yang bila ditaati akan mencapai tujuan lebih cepat. Namun, kalian enggan mengikutinya, bahkan berpaling bak oposan yang bermaksiat sehingga penasihat pun menjadi ragu dengan nasihatnya, dan tangan yang kikir pun ragu dengan keburukannya. Aku telah memperingatkan kalian senada kalimat saudara Hawazin:

“Sungguh aku tlah perintahkan kalian dengan menurunkan bendera

Kalian tak dapat kejelasan dari nasihat kecuali di pagi esok

“Ketahuilah kedua orang ini! Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang kalian pilih sebagai utusan kalian telah mencampakkan hukum Al-Quran ke belakang. Mereka menghidupkan apa yang telah dihancurkan oleh Al-Quran. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu tanpa tuntutan dari Allah swt. Hukum dan keputusan yang diambil oleh keduanya tidak dapat diterima, karena bukan argumentasi yang jelas dan sunah yang tegas. Keduanya berselisih dalam hukum dan keputusan, sementara mereka tidak mendapat hidayah. Allah berlepas tangan dari keduanya, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang saleh. Persiapkan diri kalian untuk bergerak menuju Syam. Berkumpullah kalian dalam pasukan kalian, Insya Allah!”.

Ali bin Abi Thalib kemudian menulis surat kepada Abdullah bin Abbas agar mempersiapkan orang-orang Basrah untuk bergabung dengan pasukannya dan memerangi Muawiyah. Abdullah bin Abbas segera mengumpulkan orang-orang Basrah dan bergabung di kota Kufah dengan pasukan Ali. Akan tetapi, kelompok Khawarij malah melakukan tindakan-tindakan provokatif; di mana pada awalnya mereka berkumpul di Basrah dan Kufah malah bergerak menuju Nahrawan. Penyempalan kelompok Khawarij secara diam-diam ini sangat menggusarkan Ali bin Abi Thalib a.s., karena ada kemungkinan mereka melakukan pembelotan; yakni berangkat ke Syam lalu bergabung dengan Muawiyah. Oleh karena itu, pasukan meminta Ali agar lebih dahulu menghabisi Khawarij.

Provokasi lain yang dilakukan oleh golongan Khawarij ialah menangkap Abdullah bin Khabbab dan istrinya lalu membunuhnya. Mereka membelah perut istrinya kemudian memasukkan barang saja yang bisa dimasukkan. Demikian juga mereka membunuh Al-Harits bin Murrah Al-Abdi; utusan Ali bin Abi Thalib a.s.


Perang dengan Khawarij

Golongan Khawarij berkumpul di dekat Nahrawan sebagai basis kekuatan. Ali bin Abi Thalib berkali-kali berusaha meyakinkan mereka agar meninggalkan sikap, pemikiran, pembangkangan dan usaha mereka untuk tetap berperang. Yang menguasai mereka hanyalah kebodohan, kesesatan dan aksi pemaksaan dan kekerasan.

Kemudian Ali bin Abi Thalib menyiapkan pasukannya dan memberikan arahan akhlak Islam tentang cara bersikap dengan golongan Khawarij, terutama dalam kondisi seperti ini. Hal yang sama pernah dilakukannya pada peperangan sebelumnya. Ketika sampai di tempat mereka, Ali mengutus seseorang untuk menuntut pembunuh Abdullah bin Khabbab, istrinya dan utusan sebelumnya; Al-Harits bin Murrah. Mereka menjawab sepakat: “Kami semua yang membunuhnya, maka kami semua juga yang harus kalian qisas”.

Ali bin Abi Thalib mengutus Qais bin Saad dan Abu Ayub Al-Anshari kepada kelompok Khawarij untuk menasihati mereka. Ali bin Abi Thalib masih berusaha agar mereka masih dapat memahami kejadian apa sebenarnya yang terjadi serta berusaha agar tidak lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih antara sesama muslim. Setelah itu Ali bin Abi Thalib sendiri yang menemui mereka dan berkata:

‘Wahai kelompok yang muncul dikarenakan permusuhan yang pada akhirnya tidak mau lagi melihat kenyataan dan kebenaran. Kelompok yang mengikuti ketamakan yang pada akhirnya akan menemui hasil yang tidak diinginkan. Aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian. Jangan berbuat sesuatu yang kelak umat akan melaknat kalian dan terpelanting di dalam lembah ini, menuai bau busuk tanpa alasan dan argumentasi yang jelas dari Tuhan kalian’. Ali bin Abi Thalib kemudian menjelaskan kepada mereka kalau ia sejak awal tidak suka dengan proses penghakiman (tahkim). Ali bin Abi Thalib juga tidak lupa menerangkan sebab-sebab ketidaksetujuannya dengan jelas bahkan beliau menyalahkan mereka yang telah memaksanya untuk menerima penghakiman. Ali bin Abi Thalib juga menambahkan bahwa kedua orang yang menjadi wakil dari kedua belah pihak tidak bersandarkan Al-Quran dan Sunah Nabi. Saat ini Ali bin Abi Thalib ingin menghadapi Muawiyah bin Abu Sufyan untuk yang kedua kalinya. Oleh karenanya, beliau menyayangkan mengapa mereka harus keluar dari barisannya. Semua yang diucapkan tidak didengar oleh kelompok Khawarij bahkan menuntutnya agar segera bertaubat dengan cara mengkafirkan dirinya sendiri kemudian mengumumkan taubatnya. Mendengar itu Ali bin Abi Thalib lantas menjawab:

‘Kalian telah diterpa angin yang disertai debu, tidak ada seorang pun dari kalian yang keimanannya dapat melebihiku terhadap Rasulullah saw. Aku melakukan hijrah bersamanya dan bagaimana aku berjihad di jalan Allah. Dengan semua ini aku harus mengatakan kekafiranku? Bila memang demikian berarti kalian telah betul-betul sesat sedangkan aku adalah orang yang termasuk dari orang-orang yang mendapat hidayah. Ali kemudian meninggalkan mereka. Kelompok Khawarij maju ke depan dan memilih untuk berperang. Ali tidak punya pilihan lain. Ia kemudian menyiapkan pasukannya untuk menghadapi kelompok Khawarij. Pada saat-saat terakhir Ali masih sempat mengirim Abu Ayub Al-Anshari untuk mengangkat bendera pengamanan kepada kelompok Khawarij sambil berteriak lantang, ‘Barang siapa yang kemudian menuju bendera ini maka ia akan aman. Barang siapa yang kemudian tidak ingin melanjutkan peperangan dan kembali ke Kufah dan daerah Madain maka ia aman. Kami tidak akan menyulitkan orang-orang seperti yang telah kami sebutkan. Kami hanya berurusan dengan orang-orang yang telah membunuh saudara-saudara kami’.

Sejumlah besar orang-orang dari kelompok Khawarij yang kemudian meninggalkan induk pasukannya. Ali bin Abi Thalib kemudian berkata kepada sahabatnya, ‘Biarkan dan jangan berperang sampai mereka yang mendahului!

Kelompok Khawarij kemudian mulai menyerang dengan meneriakkan ‘tidak ada hukum kecuali Allah. Mari dengan tenang kita menuju surga. Peperangan terjadi. Tidak lebih dari satu jam peperangan terjadi, banyak dari kelompok Khawarij yang terbunuh. Yang selamat dari mereka tidak lebih dari sepuluh orang. Sementara dari pihak Ali bin Abi Thalib yang terbunuh tidak lebih dari sepuluh orang.

Ketika medan perang menjadi tenang dan perang telah berakhir, Ali bin Abi Thalib memerintahkan untuk dihadapkan seseorang yang bernama Dzu As-Tsudyah, salah satu komandan pasukan kelompok Khawarij. Ali bin Abi Thalib bersikeras agar orang tersebut didatangkan karena Rasulullah saw pernah berkata kepadanya bahwa dalam peperangan dengan kelompok Khawarij ada salah satu komandannya yang bernama Dzu As-Tsudyah. Ketika mereka mencari dan menemukan orang yang bernama Dzu As-Tsudyah segera mereka menghadapkannya ke depan Ali bin Abi Thalib. Ali kemudian berkata, ‘Allahu Akbar! Engkau tidak berbohong dan engkau, Rasulullah saw, tidak pernah membohongi siapa pun. Seandainya aku tidak khawatir kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang fitnah niscaya aku ceritakan kepada kalian tentang apa yang diceritakan Allah lewat lisan Nabi-Nya siapa saja yang akan membunuh kalian. Rasulullah saw tahu dengan pasti apa yang sedang kita lakukan sekarang’. Setelah itu beliau kemudian melakukan sujud syukur kepada Allah swt.


Pendudukan Mesir

Setelah terjadi pembunuhan Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib mengangkat Qais bin Saad bin Ubadah Al-Anshari sebagai gubernur Mesir. Setelah itu beliau melihat bahwa Muhammad bin Abu Bakar lebih tepat menduduki jabatan itu dan kemudian menggantikan Qais bin Saad dengan Muhammad bin Abu Bakar. Muawiyah bin Abu Sufyan masih merasa gelisah karena Mesir belum dikuasainya. Dan itu setelah kekacauan yang terjadi dalam masyarakat Islam setelah perang. Untuk itu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash bergerak menuju Mesir untuk mendudukinya sekaligus sebagai upah dari jerih payah Amr bin Ash yang dengan ide dan tipu muslihat berhasil merusak pemerintahan Ali bin Abi Thalib dan menghancurkan agama. Ali bin Abi Thalib berusaha mensuplai Muhammad bin Abu Bakar dengan pasukan dan bahan-bahan lain yang dibutuhkan setelah mendengar Muawiyah bin Abu Sufyan ingin menguasai Mesir. Namun tidak lama ketika terdengar kabar bahwa Mesir telah dikuasai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan dan pasukannya sementara Muhammad bin Abu Bakar mati dibunuh oleh mereka. Mendengar kematian Muhammad bin Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib sangat bersedih. Setelah itu, Ali kemudian menetapkan Malik Al-Asytar sebagai wali kota Mesir akan tetapi Muawiyah yang melakukan apa saja dengan menghalalkan segala cara berhasil membunuh Malik Al-Asytar dengan racun.


Kehancuran dan Perpecahan Umat Islam

Penyimpangan yang terjadi sejak peristiwa Saqifah dan tampak secara jelas di masa-masa akhir kepemimpinan Ali bin Abi Thalib a.s. Muawiyah dan orang-orang sejenisnya mulai melakukan rongrongan terhadap Islam dari dalam dengan memecah belah ikatan yang masih tersisa dalam masyarakat muslim sebelum merusaknya. Setelah aksi perusakan itu, mereka kemudian membangun sebuah masyarakat yang sesuai dengan maksud dan kepentingan mereka.

Dengan memperhatikan secara seksama keadaan umat setelah tiga pertempuran yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib a.s., terdapat beberapa poin penting yang bisa diuraikan:

Ali bin Abi Thalib dan umat Islam menanggung musibah dengan ketiadaan para sahabat yang sadar dan berpengaruh dalam masyarakat dan pergerakan risalah Islam. Keberadaan mereka dapat memudahkan pembangunan umat yang saleh yang sesuai dengan metode Al-Quran dan Sunah dengan dipimpin oleh Ali a.s.. Kini, ketiadaan mereka membuatnya sangat bersedih. Hal itu dapat dilihat dari caranya memperkenalkan budi dan kebaikan mereka: “Sahabat-sahabat kita yang telah mengucurkan darahnya di perang Shiffin tidak lagi merasakan kesulitan bila mereka hidup saat ini, tetntu mereka akan menjalani kesedihan dan kepahitan. Demi Allah! Sungguh mereka telah menemui Allah dan Dia telah memberikan pahala mereka dan menempatkan mereka di tempat yang damai setelah masa ketakutan. Sekarang, mana sahabat-sahabatku yang menempuh jalan ini memperjuangkan kebenaran? Mana Ammar? Mana Abu At-Tihan? Mana Dzu Syahadatain? Mana orang-orang yang telah sepakat untuk melakukan kejahatan?”

Kemudian, Ali bin Abi Thalib meletakkan tangannya di atas anak perempuannya dan melanjutkan tangisannya. Setelah itu, beliau berkata keluh: “Aaah, terasa berat bagiku akan sahabat-sahabatku yang membaca Al-Quran lalu menguatkan kesadaran mereka akan kewajiban memahami dan melaksanakannya. Mereka menghidupkan Sunah Nabi dan melenyapkan bid’ah. Ketika diajak untuk melakukan jihad, mereka menyambutnya. Mereka percaya pada pemimpin dan menaatinya”.

Pembangkangan pasukan, perpecahan dan munculnya kelemahan lantaran keletihan dalam berperang dan saking banyaknya orang Irak yang menjadi korban. Sementara warga Irak adalah tulang punggung pasukan Ali bin Abi Thalib. Semua ini membuat Khalifah muslimin ini tidak mampu, meski dengan segenap kekuatan retorika yang luar biasa, mendorong mereka untuk bertahan dan menjadi basis untuk melanjutkan peperangan. Dari sisi lain, untuk mengacaukan pasukan Ali, Muawiyah senantiasa membujuk para tokoh kabilah dan orang-orang yang tampaknya menantikan keuntungan duniawi. Ia selalu mengiming-imingi mereka dengan harta dan posisi bila mereka mau bekerja sama untuk melemahkan kekuatan Ali dan pasukannya. Usaha ini berhasil sehingga Ali bin Abi Thalib gagal menyiapkan pasukan An-Nakhilah (nama tempat berbasisnya pasukan Ali untuk memerangi Muawiyah pada kali terakhir) untuk menyerang pasukan Muawiyah setelah perang Nahrawan. Kegagalan ini terjadi lantaran mayoritas pasukan itu kembali ke kota Kufah secara diam-diam, sehingga Ali a.s. membubarkan pasukan yang telah disiapkan untuk menyerang Muawiyah, dan rencana perang pun ditunda sampai ada kesiapan.

Kondisi yang ada sat itu lebih memihak kubu Muawiyah ketimbang ke Ali bin Abi Thalib dan umat Islam, seperti banyaknya aksi perampokan dan penyiksaan, belum lagi tingginya tinggi pembunuhan dan teror di dalam negara Islam. Kondisi ini dimulai dengan kerusuhan di sekitar Irak. Muawiyah mengutus Nu’man bin Basyir Al-Anshari untuk melakukan perampokan di daerah Ain At-Tamr. Sufyan bin Auf diperintahkan untuk melakukan perampokan dan pembunuhan di daerah Hit kemudian menyebar ke Al-Anbar wa Al-Madain sampai ke daerah Waqishah. Di samping itu, Muawiyah juga mengutus orang-orang seperti Dhahhak bin Qais Al-Fihri ke daerah-daerah lain. Setiap kali terjadi aksi kerusuhan, Ali bin Abi Thalib senantiasa menyeru masyarakat untuk mempertahankan diri dalam menghadapi aksi kejahatan yang terorganisir di bawah perintah Muawiyah. Namun, masyarakat tidak tanggap mendengarkan seruannya. Di sini, kekuatan Ali a.s. semakin melemah; kebalikan dari kekuatan Muawiyah yang semakin bertambah.

Belum puas melakukan kerusuhan di sekitar Irak, Muawiyah juga mengutus Basar bin Urthah untuk melanjutkan tindak kriminalnya di daerah Jijaz dan Yaman. Pada masa-masa itu, pelanggaran hukum dan kerusuhan menjadi pemandangan yang biasa yang acapkali diakhiri dengan teror terhadap orang-orang baik. Melihat kondisi yang semakin buruk, Ali bin Abi Thalib a.s. sangat sedih dan tertekan dengan aksi para perusuh yang menghina dan merendahkan manusia. Ia mengungkapkan perasaannya: “Ya Allah! Aku sudah berusaha menasihati, mengingatkan dan mengubah mereka sampai aku benar-benar merasa jemu, sementara perilaku mereka membuatku putus harapan. Gantikan mereka dengan orang-orang yang lebih baik, atau gantikan aku dengan pemimpin buruk untuk mereka!”.

Pada dasarnya, Ali bin Abi Thalib a.s. telah memperingatkan umat Islam akan gelapnya masa depan yang akan mereka jalani sebagai akibat dari keengganan membela kebenaran. Bahkan sebaliknya, mereka berusaha menghinakan kebenaran. Ali a.s. berkata: “Ketahuilah! Sepeninggalku nanti kalian akan mengalami kehinaan di bawah pedang tajam yang menguasai kalian. Kalian akan dizalimi dan kezaliman ini akan menjadi kebijakan dan teladan bagi penguasa yang datang setelahnya. Kesatuan umat kalian akan dicabik-cabik. Air mata kalian akan mengucur dan meratapi nasib kalian sementara kalian hidup dalam kesengsaraan. Sebagian kecil saja dari kalian yang peduli pada kondisiku dan mau membelaku. Kelak kalian akan melihat nanti bahwa apa yang kukatakan inikepada kalian adalah kenyataan”.


Usaha Terakhir Ali bin Abi Thalib

Melihat kondisi yang semakin sulit lantaran aksi-aksi kerusuhan di berbagai tempat dan keberhasilan Muawiyah dalam menebarkan kekacauan dan ketakutan di negeri-negeri Islam, Ali bin Abi Thalib a.s. bersiap-siap untuk melakukan penyerangan besar-besaran. Untuk itu, ia berusaha membangkitkan kembali umat Islam. Ia berpidato dan memperingatkan mereka:

“Ketahuilah! Aku telah letih menasihati dan berbicara kepada kalian. Sekarang, katakan kepadaku apa yang telah kalian lakukan? Bila kalian siap menyertaiku memerangi musuh, tentu ini yang aku inginkan. Bila kalian tidak ingin melakukan apa-apa, biarkan aku yang menujukkan dan memutuskan apa yang harus kalian lakukan. Demi Allah! Bila kalian semua tidak keluar bersamaku untuk memerangi musuh kalian lalu Allah menurunkan hukum-Nya kepada kita dan mereka—Sungguh Allah sebaik-baik yang menghakimi—niscaya aku akan berdoa kepada Allah agar kalian celaka lalu ditawan oleh musuh kalian. Aku akan tetap keluar menyerang musuh, walaupun dengan sepuluh orang”.

Melalui peringatan ini, Ali bin Abi Thalib berharap dapat menggugah jiwa masyarakat dan agar mereka yakin bahwa Ali akan keluar sendiri dengan keluarga dan beberapa sahabat khususnya melawan Muawiyah, sekalipun tidak ada yang membelanya. Keyakinan mereka begitu kuat sehingga bila tidak mengikuti Ali bin Abi Thalib, niscaya akan celaka di Hari Akhirat. Oleh karena itu, para tokoh masyarakat menyambut seruan Ali untuk memerangi Muawiyah dan menghancurkan para perusuh. Orang-orang pun keluar dan berkumpul dengan segala perlengkapan militernya di daerah An-Nakhilah di luar kota Kufah. Sebagian komandan dari induk pasukan bergerak lebih dahulu dari yang lain bersama Ali. Namun demikian, mereka tetap menunggu hingga akhir bulan Ramadhan untuk memulai penyerangan.


Sang Syahid Mihrab

Kejahatan telah menguasai dunia Islam. Kebenaran tidak lagi dapat mengibarkan benderanya, tidak ada tangan yang diulurkan untuk melakukan perbaikan, tidak ada suara yang dapat diteriakkan guna menyingkap kejahatan orang-orang zalim. Kemarin, Abu Sufyan melakukan muslihat untuk membunuh Nabi Muhammad saw. agar risalah ilahiah terkubur untuk selama-lamanya. Namun semua usaha itu tidak dikehendaki oleh Allah swt. Kehendak Allah hanyalah menyempurnakan cahaya-Nya.

Sekarang, dengan memanfaatkan penyimpangan yang berlangsung sejak peristiwa Saqifah, Muawiyah berusaha menyempurnakan apa yang telah dimulai oleh ayahnya dalam rangka menghancurkan Islam. Di bantu oleh potensi kebodohan dan kesesatannya, dia menyiapkan rencana untuk membunuh jantung umat Islam, penyambung lisan kebenaran, pembawa panji Islam dan penghidup syariat.

Kesesatan yang telah lama menuntun kaki mereka sekali lagi menyeret mereka untuk mematikan cahaya hidayah dan melanggengkan kegelapan demi menyiapkan penyelewengan dan kejahatan. Kemudian, tangan-tangan setan itu berjabatan tangan dengan Ibnu Muljam di kegelapan malan. Pedang itu menebas kepala seorang yang telah lama membelakangi dunia dan menghadap rumah Allah dalam keadaan sujud. Ia pun dibiarkan begitu saja.

Sekelompok orang-orang sesat telah berkumpul untuk membunuh Ali bin Abi Thalib a.s. Tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa aktor intelektualnya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Kesepakatan mereka adalah membunuh Ali a.s. ketika ia melaksanakan shalat subuh. Karena, tidak satu pun dari mereka yang berani berhadap-hadapan langsung dengan singa Allah.

Pada waktu itu, tepat malam kesembilan belas dari bulan Ramadhan. Ali bin Abi Thalib a.s. banyak melakukan perenungan dengan melihat-lihat angkasa. Ia senantiasa mengulang-ulang kalimat ini: “Engkau tidak berbohong dan tidak pernah membohongi orang lain. Malam ini adalah waktu yang engkau janjikan”.

Ali bin Abi Thalib menghabiskan malamnya dengan berdoa dan bermunajat kepada Allah swt. Setelah itu, beliau keluar dari rumah menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh. Sesampainya di masjid, ia membangunkan orang-orang yang terbiasa beribadah di sana lalu terbawa tidur. Beliau membisikkan: “Shalat... shalat...!”

Setelah itu, Ali bin Abi Thalib a.s. menunaikan shalatnya. Ketika beliau tengah asyik bermunajat kepada Allah, tiba-tiba seorang durjana celaka bernama Abdurrahman bin Muljam mengucapkan semboyan kelompok Khawarij dengan suara lantang: La hukma illa lillah; Tiada hukum kecuali milik Allah. Secepat kilat dia mengayunkan pedangnya dan menghujam tepat di kepala Ali. Kepala Ali merengkah akibat tebasan tersebut. Seketika itu pula Ali bin Abi Thalib mengucapkan kalimat: Fuztu wa Rabbul Ka’bah; Sungguh aku menang, demi Tuhan pemilik Ka’bah!”.

Terdengarlah suara riuh di dalam masjid. Orang-orang cepat berlarian mendekati Ali bin Abi Thalib a.s.. Mereka mendapatkannya tergeletak di mihrabnya lalu membawanya pulang ke rumahnya dalam kedaaan kepala diikat balut, sementara masyarakat dari belakang mengikuti sambil menangis.

Orang-orang berhasil menangkap Ibnu Muljam. Ali bin Abi Thalib a.s. berwasiat kepada anak tertuanya, Imam Hasan a.s., juga kepada anak-anaknya yang lain serta keluarganya; agar berlaku baik dengan tahanan. Ia berkata: “Nyawa dibalas dengan nyawa. Maka, bila aku mati, kalian harus mengqisasnya. Dan bila aku hidup, aku akan mengambil keputusan sesuai dengan pertimbanganku”.


Wasiat Ali

Ali bin Abi Thalib a.s. menasihati kedua putranya; Hasan dan Husein, dan seluruh keluarganya dengan wasiat umum. Ia berkata: “Aku berwasiat kepada kalian berdua. Bertakwalah kepada Allah, jangan mengikuti dunia sekalipun ia menginginkan kalian! Jangan bersedih terhadap sesuatu yang hilang dari tangan kalian! Berkatalah tentang kebenaran dan beramal untuk mendapat balasan dari Allah! Jadilah pembela orang mazlum dan bersikap keras terhadap orang zalim! Berbuatlah sesuai dengan perintah dalam Al-Quran! Dan jangan kuatir akan cemooh orang selama di jalan Allah”.

Lukanya yang parah tidak memberikan kesempatan lagi untuknya. Ali bin Abi Thalib telah mendekati ajalnya. Kalimat terakhir yang keluar dari bibirnya sebelum ajal menjemput ialah firman Allah swt.: “Demikianlah seyogyanya orang-orang yang beramal baik mesti berbuat’. Kemudian, ruh yang suci itu naik menemui surga yang dijanjikan.


Pemakaman dan Pidato Pujian atas Ali

Imam Hasan dan Imam Husein a.s. melakukan segala keperluan pemakaman ayahanda tercinta mereka; Ali bin Abi Thalib a.s. Mereka berdua memandikan dan mengkafani. Setelah itu, Imam Hasan a.s. melakukan shalat mayat untuk sang ayah diikuti oleh sejumlah keluarga dan sahabat-sahabat. Kemudian mereka membawanya ke tempat peristirahannya yang terakhir. Ali bin Abi Thalib dimakamkan di kota Najaf, dekat kota Kufah. Pemakaman selesai pada malam hari.

Baru saja pemakaman itu tuntas, Sha’sha’ah bin Shuhan berdiri lalu berpidato dan mengenang Ali bin Abi Thalib a.s. dengan puji syukur. Ia berkata:

‘Wahai Abu Al-Hasan (panggilan Ali bin Abi Thalib)! Kini engkau dalam keadaan lebih baik. Engkau lahir dengan baik, kesabaranmu kuat, jihad dan perjuanganmu sungguh agung. Engkau berhasil dengan pendirianmu, engkau untung dalam perniagaanmu. Engkau menemui penciptamu dan Dia menerimamu dengan janji mulia-Nya, sementara engkau diiringi para malaikat. Kini, engkau berada di samping Al-Musthafa saw. Semoga Allah memuliakanmu berada di samping Muhammad saw. Engkau telah bergabung sama dengan derajat saudaramu, Muhammad saw. Engkau minum dari gelasnya. Kini, engkau memohon kepada Allah agar memberikan kepada kami taufik mengikuti jejakmu, berbuat sesuai dengan perilakumu, mengikuti orang yang engkau ikuti, memusuhi orang yang memusuhimu. Semoga Allah mengumpulkan kami dalam golongan orang-orang yang mencintaimu. Engkau telah meraih sesuatu yang belum pernah diraih oleh seorang pun. Engkau telah merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan oleh seorang pun. Engkau telah berjuang dengan sungguh-sungguh di samping saudaramu, Muhammad saw. Engkau telah menegakkan agama Allah dengan sunguh-sungguh. Engkau telah menegakkan Sunah Nabi dan memerangi fitnah dengan keras, sehingga Islam dan iman tetap tegak. Kuucapkan salawat dan salam yang paling utama dan terbaik kepadamu!”.

Sha’sha’ah melanjutkan: “Sesungguhnya Allah telah memuliakan derajatmu. Engkau adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. dari sisi keturunan dan yang paling awal memeluk agama Islam. Engkau adalah orang yang paling teguh keyakinan dan yang iman hatinya paling kuat. Engkaulah orang yang paling keras berjuang demi agama Islam. Engkaulah orang yang paling besar baktinya dalam kebaikan. Maka, jangan ditahan pahalanya untuk mengalir kepada kami, dan kami tidak akan hina sepeninggalmu. Demi Allah! Kehidupanmu adalah kunci pintu-pintu kebaikan dan penutup keburukan dan kejahatan. Hari ini adalah terbukanya pintu keburukan dan tertutupnya pintu-pintu kebaikan. Andai sebelum ini manusia menerima arahanmu, mereka akan cukup dia atas segala-galanya. Sayang, mereka lebih memilih cinta dunia daripada akhirat”.

(Berbagai-Sumber/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Imam Ali dan Lelaki Kristiani Yang Buta


Pada suatu malam, ada seorang lelaki buta yang tidak dapat melelapkan matanya. Hatinya seperti langit yang diselubungi awan. Dia mengeluh dan merintih sayu.

Keesokan paginya, lelaki buta itu bangun dari tempat pembaringannya, mencari sesuatu untuk mengisi perut. Perlahan-lahan tangannya meraba-raba ke seluruh penjuru kamar tersebut, tetapi, tidak ada yang dapat ditemui selain dari sekeping roti yang sudah kering. Kemudian, sebagaimana biasanya, dia memakai pakaiannya yang sudah robek, lalu berjalan melewati lorong-lorong kota dengan tongkatnya.

Seperti biasa, dia duduk di satu sudut kota, di bawah sebuah pohon dan mendengarkan langkah kaki orang-orang yang melewati tempat duduknya.

Dia menanti seseorang yang akan melontarkan kepingan uang atau makanan dalam tangannya, tetapi seolah-olah, tidak ada seorang pun yang menghiraukannya.

Tiba-tiba terdengar suara tapak kaki mendekatinya. Lelaki tua yang buta itu menumpukan sepenuh perhatiannya kepada langkah tersebut, tetapi beberapa saat kemudian, suara langkah tersebut tidak lagi terdengar.

Meskipun lelaki tua itu buta dan tidak melihat sesuatu, tetapi dia dapat merasakan bahwa seseorang sedang memperhatikannya. Dia berkata sendirian, "Siapakah gerangan orang tersebut?"

Ketika dia tenggelam dalam pikirannya, terdengar suara orang memberi salam. Lelaki tua itu menjawab salamnya dengan berkata, "Salam, selamat pagi." Bersamaan dengan itu, orang-orang dan pedagang yang melewati tempat tersebut melihat kehadiran Imam Ali as di sisi lelaki buta itu.

Mereka menghampirinya dan memberi salam kepada beliau sebagai tanda penghormatan.

Kini pahamlah lelaki tua yang buta itu bahwa lelaki yang memandanginya itu ternyata adalah pemimpin umat Islam, Imam Ali as. Imam Ali as menjawab salam orang-orang itu dan bertanya, "Kenalkah kalian dengan lelaki tua ini?"

Mereka yang mengenali lelaki tua itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, lelaki tua ini adalah seorang Kristiani, isterinya telah meninggal dunia. Dia adalah seorang lelaki yang amat baik dan bekerja keras. Tetapi sejak dia menjadi buta, dan dikarenakan dia tidak mempunyai siapapun, dia terpaksa mencari uang dengan meminta sedekah."

Imam Ali as berkata, "Sungguh menakjubkan! Ketika lelaki ini mempunyai kemampuan, dia telah bekerja keras dan kini bila dia berada dalam keadaan lemah, dia ditinggalkan? Ketika dia bisa melihat dan mempunyai kemampuan, dia bekerja keras untuk masyarakat. Kini, ketika dia sudah tua dan tidak lagi mampu untuk bekerja, maka menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menyediakan keperluannya."


SALUUNI YA MAASYIRAN NAAS

Ketika Imam Ali (as) diangkat menjadi khalifah secara aklamasi (dengan suara mayoritas) dan umat Islam membaiatnya dengan sukarela, beliau pergi ke masjid dengan memakai sorban dan selendang Rasulullah saw, memakai sandal Rasulullah saw, lalu belliau naik mimbar dan duduk di atasnya sambil menyilangkan jari-jari kedua tangannya dan meletakan dekat perut. Kemudian beliau berkata:
"Maasyirannas...bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku. Inilah wadah ilmu. Inilah air liur Rasululah saw. Inilah yang Rasulullah saw tuangkan padaku berkali-kali. Bertanyalah kepadaku karena aku mempunyai ilmu-ilmu orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang...”

Perkataan Imam Ali (as) itu tentu bukan sekedar omong kosong, tetapi sebuah kenyataan dan bukti kesiapan beliau untuk memberikan jawaban segala persoalan dan memberikan solusi yang tepat terhadap segala problema umat manusia. Said bin al Musayib berkata, “tidak ada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang mengatakan itu kecuali Ali bin Abi Thalib. Beliau berkali-kali mengatakan itu diatas mimbar” (Usud Al-Ghabah 4/22).

Sepanjang sejarah umat Islam ada beberapa orang yang sesumbar seperti perkataan di atas, tapi akhirnya dipermalukan karenanya, seperti: Muqotil bin Sulaiman, pada suatu saat duduk dan berkata, ”betanyalah kepadaku tentang apa yang ada di bawah Arsy sampai Luyana.”

Seorang bertanya kepadanya, “Adam ketika haji, siapa yang memotong rambutnya?” Lalu dia (Muqotil) menjawab, “ini bukan pertanyaanmu, tetapi Allah berkehendak mempermalukanku atas keujubanku” (Tarikh Al-Khatib Al-Baghdadi 13 hal. 163).

Qatadah berkata, “Bertanyalah kepadaku tentang Al-Qur’an! (niscaya aku menjawabnya). Abu Hanifah lalu bertanya kepada Qatadah, “bagaimana pendapatmu tentang Firman Allah: Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip" (Q.S 27:40). Siapakan orang itu?” Qatadah menjawab, “Dia adalah anak pamannya Sulaiman bin Dawud. Dia mengetahui nama Allah yang Sangat Agung.

“Apakah Sulaiman mengetahui nama (yang sangat agung) itu?” tanya Abu Hanifah lagi. “Tidak”. Jawab Qatadah yakin. “Subhanallah, berarti di hadapan seorang Nabi ada orang yang lebih pandai darinya.” Ujar Abu Hanifah. “Tanyakan persoalan lainnya!” kata Qatadah. “Apakah engkau orang yang beriman?” tanya Abu Hanifah. “Saya berharap seperti itu,” jawab Qatadah. “Mengapa Anda tidak menjawab seperti Nabi Ibrahim “ya, aku beriman” (Q.S 2:260) “Penganglah tanganku! Demi Allah, aku tidak akan datang ke kota ini lagi!” ujar Qatadah dengan malu (Al-Intiqa`, hal. 156).

Riwayat di atas dikutip dari Muhammad Ridha Al-Hakimi, Mengungkap Untaian Kecerdasan Sayidina Ali Bin Abi Thalib (MUKSA), hal 11-16.

Lalu bagaimana dengan Imam Ali sendiri? Beliau berkata, “Sebelum aku meninggalkan kalian, tanyakanlah kepadaku tentang Al-Qur’an. Demi Allah! Tidak satupun dari ayat Al-Qur’an yang turun, kecuali RAsulullah membacakannya untukku, dan mengajarkan tafsirannya.”

Ibnu Abil Hadid menuturkan: Umar Ibn Khatab berkata kepada Ali bin Abi Thalib,” aku heran kepadamu wahai Ali, karena setiap kesulitan yang aku tanyakan kepadamu, engkau tidak pernah mengatakan tidak tahu, dan engkau selalu dapat menjawabnya secara langsung, bahkan tanpa berpikir sejenak pun.” Lalu Imam Ali menunjukan lima jarinya ke hadapan Umar seraya berkata: “Wahai Umar, berapakah ini?” Seketika Umar menjawab, “lima.” “Ketahuilah wahai Umar! Sesungguhnya bagiku semua ilmu pengetahuan dan jawaban dari segala masalah adalah semudah engkau menjawab pertanyaanku tadi.” (Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu jelas bagi Ali, seperti jelasnya Umar melihat lima jari tangan Ali).

Ammar bin Yasir bertutur: Pada satu peperangan, aku dan Imam Ali bin Abi Thalib as melewati sebuah gurun yang dipenuhi oleh semut. Aku pun berkata kepada Imam Ali, “wahai Tuanku, apakah ada yang mengetahui jumlah semut ini?” “Ya Wahai Ammar, aku mengetahuinya.” Jawab Imam Ali. “Bagaimana engkau mengetahuinya?” tanya Ammar lagi. “Wahai Ammar, tidakkah engkau membaca surah Yasin? Yang mengatakan:

وكل شيء أحصيناه في إمام مبين

“Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam imam yang nyata” (Q.S 36:12) ?”

“Demi Allah, jiwaku kukorbankan untukmu, sesungguhnya aku telah membaca surah itu berkali-kali.” Ujar Ammar. “Maksud dari Imamim-mubin yang tersebut dalam Surah Yasin itu adalah diriku” (Tafsir Jami’, jilid 5).

(Tarikrafii/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: