Oleh: Suryono Zakka
Islam Nusantara adalah Islam yang hidup dan dipahami oleh masyarakat muslim Nusantara. Ia bukan madzhab dan bukan pula sempalan agama baru melainkan Islam yang mengakar dalam tradisi Nusantara. Karakter yang khas dan unik sebagai bagian dari khazanah kearifan lokal yang tidak mudah ditemui oleh masyarakat muslim di negara lainnya.
Apa saja karakter uniknya?
Islam Nusantara sangat sarat dengan tradisi, budaya dan adat istiadat. Islam Nusantara yang diajarkan oleh ulama sembilan tidak bercita-cita untuk merusak dan memberangus budaya lokal secara totalitas. Islam Nusantara bersifat selektif yakni mengambil dan mempertahankan kebudayaan lokal yang senafas dan sejalan dengan prinsip-prinsip universalitas Islam. Islam Nusantara terrefleksi sebagai Islam yang ramah, toleran, moderat, cinta tanah air dan akomodatif terhadap budaya. Kenduri, slametan, kupatan dan lebaran merupakan contoh produk Islam Nusantara.
Islam Nusantara tidak ada dalilnya?
Islam Nusantara bersifat substansi dan bukan Islam tekstual. Dalil bukan hanya tekstual namun juga kontekstual. Bukan hanya tersurat tapi juga tersirat. Islam Nusantara lahir dalam rangka mengakomodasi beragam kebudayaan lokal. Islam yang dipahami masyarakat muslim Nusantara bukan memusuhi dan bukan pula pembunuh adat dan tradisi melainkan memperbaiki dan menyempurnakan wajah tradisi jahiliyah menjadi wajah Islam.
Islamisasi atau Arabisasi?
Masyarakat muslim Nusantara paham bahwa menjadi Islam tidak harus menjadi Arab atau berwajah Arab karena Islamisasi bukan berarti Arabisasi. Jika Islamisasi berarti menyerap budaya apa saja termasuk budaya Arab yang sejalan dengan nilai-nilai Islam sedangkan Arabisasi mengambil dan mempraktikkan secara membabi buta seluruh budaya Arab dan menganggap sesuatu yang berbau islami harus berbau Arab sehinngga menyerang dan menggempur habis-habisan budaya lokal. Meskipun Islam tumbuh besar di jazirah Arab yang dibungkus oleh kebudayaan Arab, tapi Islam universal bukan untuk mengarabkan bangsa-bangsa non Arab. Sesuatu yang berbau Arab belum tentu Islam dan Islam tidak harus ditampilkan dalam bentuk wajah Arab. Meskipun begitu, unsur-unsur Arab tidak bisa dan tidak boleh secara totalitas hilang dalam ajaran Islam karena ia adalah wadah untuk menampung pesan-pesan Tuhan yang terakumulasi dalam bentuk wahyu Al-Qur’an dan Sabda Nabi. Al-Qur’an diturunkan di Arab melalui lisan Nabi yang berbangsa Arab maka tidak salah jika Al-Qur’an dan Sabda menjelma dalam bentuk teks Arab. Walau demikian, kita tidak boleh beranggapan bahwa Allah berasal dari bangsa Arab atau Allah hanya mengetahui bahasa Arab. Maha Suci Allah dari yang demikian.
Apakah Islam Nusantara anti Arab?
Tentu tidak. Karena diawal sudah disampaikan bahwa Islam Nusantara sangat akomodatif dengan budaya manapun termasuk budaya Arab. Budaya lokal dan budaya impor bisa berdamai dan saling mengisi namun budaya keduanya tetap harus diseleksi agar sesuai dengan prinsip Islam dan sesuai misi luhur Islam yakni rahmat sekalian alam. Meskipun berabad-abad lamanya Islam hidup dan dipraktikkan oleh masyarakat muslim Nusantara, tidak pernah ada ceritanya ritual pokok Islam diubah menjadi budaya lokal. Praktik shalat sejak dahulu hingga sekarang tetap berbahasa Arab dan tidak pernah diubah bahasanya menjadi bahasa Jawa meskipun memahaminya boleh menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sansekerta. Membaca Al-Qur’an tetap menggunakan bahasa Arab dan tidak diubah menjadi bahasa melayu meskipun terjemahannya boleh menggunakan bahasa Melayu atau bahasa lokal. Kiblatnya sejak zaman old hingga zaman now tetap mengarah ke negeri Arab (Baitullah Mekah) dan tidak pernah beralih menghadap ke masjid Istiqlal, candi Prambanan atau canti Borobudur. Nabinya tetap nabi yang berasal dari bangsa Arab yakni sayyidina Arabi wal ajam yakni penghulu dan panutan bagi bangsa Arab dan bangsa lainnya. Tidak ada ceritanya masyarakat muslim Nusantara mengangkat nabi tandingan atau nabi pribumi untuk menyaingi atau menolak nabi panutan seluruh alam. Masyarakat muslim Nusantara sangat mencintai nabinya walau nabinya bukan berasal dari bangsanya. Buktinya, mereka masih suka bergamis, bersorban dan berjenggot. Meskipun hal ini kental dengan nuansa Arab tapi dipraktikkan oleh masyarakat muslim nusantara sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan kepada nabinya. Tentunya bukan hanya sampai disini, muslim Nusantara bukan hanya memakai simbol-simbol Islam dalam bentuk bungkus luarnya saja. Lebih dari itu, mereka juga menyerap substansi terdalam dari ajaran Islam yakni berakhlak mulia, berbudi luhur dan menjadi rahmat bagi manusia sebagaimana dicontohkan oleh nabi yang sangat mereka cintai.
Kini, Islam Nusantara bukan hanya untuk bangsa Indonesia melainkan untuk seluruh dunia sebab Islam Nusantara memiliki ciri moderat (moderasi) sebagai jalan tengah dan jalan damai untuk meredakan setiap konflik. Saudi, yang dianggap sebagai pusat Islam dunia kini secara bertahap (step by step) mulai tertarik dengan Islam Nusantara dan akan diterapkan disegala bidang. Dimulai dari ditetapkannya perayaan maulid nabi secara nasional sebagai hari libur, diperbolehkannya wanita menyetir mobil dan penyetaraan gender tentang hak-hak wanita, ditangkapnya pejabat-pejabat yang melakukan tindakan radikalisme dan disahkannya lembaga nasional semacam anti terorisme untuk menumpas radikalisme secara luas.
(HWMI-Cyber-Team/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar