Bondan Winarno lebih populer di telinga masyarakat Indonesia sebagai pembawa acara kuliner yang kerap muncul di TV.
Namun rupanya, sosok yang sering melantunkan umpatan ajaib 'maknyus' ini adalah seorang Jurnalis Indonesia yang sempat bikin heboh di medio tahun 1997.
Di waktu itu lah, Pak Bondan menggungcang khalayak umum dengan menerbitkan buku berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi.
Inilah kisah yang menyibak tabir kebohongan pengusaha dan pengambil kebijakan pertambangan menjelang lengsernya Soeharto.
Bolak-balik Jakarta ke kalimantan, terbang ke negara Filipina, Kanada, serta berbagai tempat lain dijabani.
Kutipan kalimat berbahasa Inggris dari Mark Twain menghiasi halaman pertama di buku Pak Bondan.
"Sebuah tambang tak ubahnya seperti sebuah lubang dalam tanah yang dipunya seorang penipu," kurang lebih begitu terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Kisah bermula saat Pak Bondan menceritakan seorang gelolog asal Belanda, John Felderhof.
Sosok ini diceritakan berusaha meyakinkan David Walsh, seorang promotor saham asal Kanada.
Felderhof merayu Walsh untuk mengakuisisi lahan yang telah diekspolari sejak 1987 hinga 1989 di Busang Kalimantan Timur.
Sebelumnya tempat ini telah dieksplorasi oleh Montague Gold NL.
Geolog asal Belanda itu menyebut ada potensi emas di tanah Borneo.
Kedua orang tersebut akhirnya sepakat, dan masing-masing segera memulai perannya.
Walsh banting-tulang menjelaskan potensi Busang, sementara Felderhof mulai mengebor sejak September 1993.
Bermodalkan kliping korang dan persetujuan menaikkan saham Bre-X di Alberta Stock Exchange menjadi 40 sen, Walsh berhasil mengumpulkan 200 ribu dollar Kanada.
Cerita makin luar biasa ketika Felderhof memberi tahu Walsh sudah ditemukan cadangan emas sebesar 1,5 hingga 2 juta ton.
Kabar dari Felderhof membuat Walsh makin bersemangat sampai berhasil meraih 1 juta dollar Kanada.
Dalam urusan gali-menggali, Felderhof tak sendiri.
Ia ditemani seorang geolog asal Filipina bernama Michael de Guzman.
Sebenarnya, yang membuat yakin Walsh bukanlah Felderhof.
Temuan awal de Guzman yang dipakai oleh Felderhof lah yang meyakinkan Walsh.
Felderhof membuat nama Busang meroket dibantu de Guzman dan anak buahnya.
Sejumlah temuan dipublikasi yang intinya menggabarkan ada gudang emas kelas wahid di Busang.
Saham Bre-X mendadak meroket derastis dan laku keras.
Terhitung April 1996, Busang menjadi primadona.
Pada momen ini pula silang-sengkarut bengisnya dunia bisnis mulai tersibak.
Barrick Gold Corporation berhasrat menguasai Bre-X.
Namun Walsh menolak tawaran dari raksasa tambang asal Kanada tersebut.
Lewat jalur normal tak bisa, tentu masih ada jalan lain.
Pihak Barrick Gold Corporation menggunakan cara lain dengan mendekati birokrasi Indonesia.
Sejumlah menteri terkait, dalam buku Pak Bondan, dijelaskan mereka diajak untuk bekerjasama.
Lantas, buah dari lobi-lobi ini, Surat Izin Penelitian Pendahuluan (SIPP) Bre-X dimentalkan.
Masuk babak baru, seorang pengusaha lokal menggandeng Felderhof agar mendapat sejumlah kompensasi atas jasa konsultasi teknis dan administratif.
Di momen ini lah konflik jadi panjang hingga menteri terkait pada saat itu berinisiatif mempertemukan keduanya pada 14 November 1996.
Diputuskan agar dilakukan pembagian saham.
Meski pada akhirnya, kata sepakat tak dicapai oleh kedua pihak.
Lalu mendadak muncul pihak baru.
Pihak baru ini punya pengalaman cukup panjang soal eksplorasi tambang emas di Indonesia.
Namun klaim melimpahnya emas di Busang direspon dengan kritis oleh pihak baru ini.
Perlu diverifikasi dan dikonfirmasi terkait angka cadangan emas yang dikalim oleh Bre-X.
Saat dilakukan pengeboran ulang, ternyata hanya ada sedikit kandungan emas di sana.
Jauh beda dengan klaim yang digembar-gemborkan sebelumnya.
Namun Bre-X berdalih pengeboran dilakukan di tempat yang tak tepat.
Atas alasan inilah de Guzman, manajer eksplorasi PT Bre-X Corp. diterbangkan ke Kalimantan.
19 Maret 1997, de Guzman rencananya terbang dari Temindung, Samarinda, menuju base camp tambang emas Busang di Mekarbaru.
Ngeri, tiba-tiba de Guzman terjatuh dari helikopter Alouette III.
Sang pilot, Letnan Kolonel Edi Tursono, bersama juru mesin, Andrean, tak tahu bagaimana warga negara Filipina itu bisa jatuh.
Yang diketahui, pintu kanan terbuka dan bangku belakang kosong pada ketinggian 800 kaki.
Baru 4 hari berikutnya, Tim SAR berhasil menemukan jenazah yang diklaim sebagai de Guzman dalam keadaan telungkup di dekat rawa di areal penebangan hutan milik sebuah perusahaan.
Mayat yang ditemukan telah busuk, sebagian mata dan pipinya telah hilang.
Di fase inilah muncul rasa penasaran Pak Bondan.
Tak samapi sepekan, jenazah berhasil ditemukan.
Padahal Kalimantan dikenal punya hutan yang lebat.
Baginya, kondisi temuan jenazah dan kondisi seseorang yang jatuh dari ketinggian 800 kaki adalah cerita yang ganjil.
Maka dari itu, Pak Bondan berminat melakukan sebuah investigasi.
Dikutip wartawan Grid.ID dari balasan email Pak Bondan kepada Oryza Ardyanshah Wirawan dalam artikel Pantau.or.id yang berjudul 'Bre-X', berikut kalkulasi waktu yang dibutuhkan untuk menggarap investigasi ini.
"Seingat saya, total waktu investigasi sekitar 4 minggu," tulis Pak Bondan dalam email.
"Naskah sudah selesai saya tulis 8 minggu setelah mulai investigasi, dan dicetak dalam waktu 2 minggu."
Pak Bondan punya dugaan bahwa jenazah yang ditemukan adalah de Guzman.
Dalam bukunya, digambarkan bahwa de Guzman bukanlah orang yang akan mengambil keputusan untuk bunuh diri.
Dijelaskan oleh sejumlah temuan dan hasil wawancara orang terdekat, de Guzman bukan tipikal orang yang benci dengan kehidupan.
Jadi tak ada alasan untuk melakukan bunuh diri.
Kisah semakin mengejutkan, di jenazah yang ditemukan tak memiliki gigi palsu.
Padahal semasa hidup, de Guzman punya gigi palsu.
Kecuriaan semakin menguat, orang yang jatuh dari ketinggian 800 harusnya tak seperti itu.
Jenazah yang ditemukan dalam posisi telungkup serta sejumlah bekas trauma malah lebih mirip tanda trauma orang jatuh dari pohon kelapa.
Sejumlah temuan-temuan mengejutkan disibak dalam buku Pak Bondan.
Memang, pada akhirnya belum berhasil dibuktikan apakah de Guzman masih hidup.
Akan tetapi, karya jurnalistik Pak Bondan membuka banyak kemungkinan tentang kasus ini.
De Guzman diduga adalah dalang yang meracuni inti bor untuk mengklaim telah menemukan potensi emas di Busang.
Sejumlah emas ditaburkan di atas inti bor yang akan terkesan pengeboran telah menembus tanah dengan kandungan emas.
Karya Pak Bondan akhirnya dicetak dan diedarkan terhitung sejak Juli 1997.
Tabloid Kontan menyebut Pak Bondan telah memenangi perlombaan penulisan tentang Busang.
Namun buku ini langsung dicekal oleh pihak-pihak yang tak senang.
Pak Bondan malah kepikiran untuk menghancurkan buku yang sudah dicetak sebanyak 5 ribu eksemplar.
Saat Soeharto lengser pada Mei 1998, karya ini kembali beredar.
Namun Pak Bondan malah kembali diserang lewat jalur hukum dan dirinya dituntun 2 triliun rupiah.
Beliau dituduh mencemarkan nama baik seorang menteri.
Dituntut sebesar 2 triliun rupiah, Pak Bondan merasa dosanya 160 kali lebih besar daripada dosa Osama Bin Laden.
Osama yang dituduh berada di balik penghancuran World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001, menewaskan ribuan orang, hanya dituntut 1,25 juta dolar AS setara 12 miliar rupiah.
Kisah terkait Busang sendiri pernah diangkat ke layar lebar dengan judul Gold, rilis pada tahun 2016.
Kini, Bondan Winarno telah berpulang pada hari rabu (29/11/2017).
Pihak Rumah Sakit Harapan Kita membenarkan perihal kabar tersebut kepada wartawan Grid.ID.
"Iya betul, almarhum meninggal tadi pagi sekitar jam 8 atau sembilan di sini," ungkap Edi, bagian humas rumah sakit.
Pak Bondan meninggal dunia di ruang ICU rumah sakit tersebut.
"Kami kurang detail sejak kapan beliau dirawat."
"Tapi almarhum meninggal di ruang ICU dewasa Rumah Sakit Harapan Kita."
(Grid/Info-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar