Ilustrasi
Gerakan dan organisasi radikal di pulau Madura sudah sangat kasat mata. Mereka terang-terangan melakukan provokasi dan gerakan yang menjurus kepada kekerasan fisik dan psikologis. Mereka tidak segan-segan menghujat, mengkafirkan, menyesatkan, bahkan menyamakan status kiai dan ulama seperti binatang. Kekejian ini terus disebarkan melalui berbagai varian sosial media. Ada juga publikasi melalui baleho-baleo berukuran raksasa dipasang di beberapa tempat. Ada pula ceramah-ceramah yang direkam secara audio visual dan disebarkan melalui jaringan internet.
Gerakan radikalisme lainnya, seperti aksi demonstrasi menolak ideologi Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Gerakan ini terus menghujat pemerintah sebagai toghut, Pancasila dan demokrasi produk kafir dan haram. Mereka menawarkan sistem pemerintahan baru bernama Khilafah yang transnasional di bawah satu orang pemimpin Islam. Iming-iming gerakan ini, yang mati karena membela dan berjihad demi Khilafah akan masuk surga dan dikumpulkan bersama dengan para bidadari surga.
Dua macam gerakan ini, bersatu padu dalam satu tiang bendera. Dikibar-kibarkan dalam aksi demontrasi yang berjilid-jilid.
Bagi kita orang Madura, harus melakukan perlawanan atas gerakan ini. Status mereka sudah “lawan” bukan “kawan” lagi. Mereka ingin melakukan upaya pembaharuan agama, sosial, politik dengan cara-cara instan, drastis dan ekstrem. Pondasi yang sudah kokoh dibangun oleh para ulama dan pendiri bangsa, akan dibongkar dan dimusnahkan. Siapa yang akan melawan mereka? Hanya Nahdlatul Ulama, bukan yang lainnya yang sudah terkontaminasi ideologi yang memiliki kemiripan dan kesamaan baik pola fikir ataupun pola gerakannya.
Mengapa harus NU yang melawannya? Perlawanan terhadap gerakan radikalisme itu sudah digariskan oleh Syaikhona Cholil Bangkalan ketika menjelang berdirinya NU. Syaikhona Cholil memberikan sinyal kepada santrinya KH Hasyim As’ari melalui KH As’ad Syamsul Arifin untuk mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama.
KH As’ad Syamsul Arifin diutus oleh KH Cholil Bangkalan pada tahun 1925 untuk datang ke KH Hasyim Asyari di Tebuireng Jombang, dengan mengantarkan sebuat tongkat, diiringi pembacaan surat Thoha ayat 17-23 yang berisi tentang cerita Nabi Musa AS berikut tongkat “sakti” dan keajaiban mukjizat lainnya.
Setahun kemudian, KH As’ad Syamsul Arifin diberi tugas lagi oleh Syaikhona Cholil untuk mengantarkan tasbih kepada KH Hasyim Asyari yang dikalungkan di leher Kiai As’ad, disertai pesan agar Kiai Hasyim Asyari mengamalkan bacaan Ya Jabbar ya Qohhar setiap waktu. Pesan itu ditangkap oleh KH Hasyim Asyari sebagai restu dari gurunya untuk segera mendirikan organisasi NU pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926.
Sebelum kejadian ini, Kiai Hasyim Asyari bersama dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, tengah kencang melakukan gerakan anti radikalisme dan puritanisme yang dibawa oleh tokoh-tokoh reformis Islam di abad XIX. Segala bentuk amalan warga NU dinilai salah dan tidak berdasarkan ajaran Islam yang orisinal. Di tahun ini, wahabisme sedang ekspandi besar-besaran pasca runtuhnya dinasti Turki Usmani. Oleh sebab itu, adat istiadat, amalan-amalan kaum ahlussunnah wal jamaah, dinilai melenceng dan tidak sama dengan ajaran Islam secara “lebih benar” seperti yang dilakukan di Tanah Hijaz, Makkah yang sudah dikuasai oleh rezim Wahabi, Raja Su’ud.
Dengan melihat sejarah itu, maka jelas bagi orang Madura jika harus berhadap-hadapan dengan musuh yang terus melakukan gerakan radikalisme, merongrong aqidah NU, merongrong ideologi Pancasila dan NKRI serta UUD 1945 harus dilawan. Mau tidak mau, Madura sebagai pulau NU harus terus digerakkan. Madura sebagai pulau NU harus dideklarasikan. Tidak bisa dibantahkan lagi kalau Madura sebagai pulau NU. Syaikhona Cholil Bangkalan sudah meletakkan pondasinya.
Taufiqurrahman Khafi, Ketua Lakpesdam PCNU Pamekasan
(Duta-Islam/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar