Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Perang Aceh, Perang Terlama dan Terberat Bagi Penjajah Belanda

Perang Aceh, Perang Terlama dan Terberat Bagi Penjajah Belanda

Written By Unknown on Sabtu, 02 Desember 2017 | Desember 02, 2017


Ketika penjajah Belanda melakukan agresi dan menduduki ibukota kesultanan Aceh Darussalam, sultan dan ulama mengobarkan perang sabil, jihad fi sabilillah, perlawanan total melawan dan mengusir penjajah Belanda dari negeri Aceh. Seruan jihad itu terbukti berhasil mengobarkan perlawanan seluruh elemen masyarakat muslim Aceh terhadap penjajah dan para pendukungnya. Sejarah telah mencatat bahwa perlawanan perang sabil rakyat Aceh menjadi perang terlama dan terberat bagi penjajah Belanda.

Belanda tidak pernah melakukan perang yang lebih besar dari Perang Aceh. Perang berlangsung dalam kurun yang sangat panjang, 69 tahun (1873 – 1942). Perang panjang ini telah menelan korban meninggal dari kedua belah pihak lebih dari seratus ribu jiwa. Secara militer, Perang Aceh juga merupakan perang terbesar melawan penjajah Belanda di Indonesia.

Sejak dimulainya agresi Belanda pada tanggal 6 April 1873 sampai dengan tahun 1914 saja, menurut data pihak Belanda, perang telah menimbulkan korban sebagai berikut: pihak Belanda tewas 37.500 orang dan pihak Aceh 70.000 orang. Jadi korban meninggal dari kedua belah pihak berjumlah tidak kurang dari 100.000 orang ditambah lagi dengan yang luka-luka sejumlah 500.000 orang.

Belanda begitu mudah memulai perang namun sangat sulit untuk mengakhirinya. Perang telah menguras begitu banyak sumber daya dan sumber dana sehingga Belanda berusa sekuat tenaga untuk segera mengakhirinya. Berbagai upaya telah dilakukan, baik cara halus maupun keras. Namun semuanya tak membuahkan hasil yang menggembirakan. Istana kesultanan Aceh Darussalam pun sempat dikuasai penjajah Belanda, para pemimpinnya berhasil mereka bunuh, dan sebagian ditangkap.

Tahun 1903 Sultan terakhir berhasil ditangkap penjajah, sekaligus menandai berakhirnya eksistensi negara Aceh Darussalam. Dengan keberhasilan tersebut Belanda berharap perang segera usai. Namun kennyataannya pertempuran tetap berkobar di berbagai tempat, perlawanan tetap berlanjut.

Ketika sebagian pemimpin Aceh dari kalangan uleebalang memberikan seruan agar para pemimpin agama (ulama) yang masih meneruskan perang sabil melawan penjajah Belanda untuk menyerah. Mereka beralasan bahwa Belanda tidak mengubah dan tidak melarang agama Islam, sebagaimana rekomendasi dari Snouck Hourgronje bahwa umat Islam tidak dilarang untuk melakukan ibadah mahdhah, namun harus dijauhkan dari kancah hukum (hudud) dan politik. Namun, seruan tersebut tidak dihiraukan oleh para ulama dan teungku yang terus mengobarkan perang sabil melawan penjajah. Perlawanan masih terus berlangsung sampai penjajah Belanda meninggalkan Aceh pada tahun 1942.

Seorang komandan tentara Belanda, Zentgraaff, dalam bukunya berjudul Atjeh di halaman 1 dan 63 menyatakan ketakjubannya; “orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita sangat gigih dalam memperjuangkan agama kepentingannya. Dari semua pemimpin peperangan yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.”

Dalam bukunya tersebut Zentgraaff secara khusus menulis pengalamannya selama memimpin peperangan di Aceh. Di halaman 100 ia menggambarkan para pemimpin perang Aceh yang paling gigih dan tidak takut mati, yaitu para Teungku atau para ulama, “Teungku dan ulama-ulama termasyhur di daerah itu (Aceh) lebih menyukai ‘mati syahid’ daripada ‘melaporkan diri’ (menyerah kalah pada lawan).”

Seorang jurnalis Eropa yang terjun langsung di daerah peperangan Aceh saat itu, Paul van ‘t Veer juga memberikan data dan kesimpulan menarik. Menurut pengamatannya, Aceh adalah daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Dalam bukunya yang berbahasa Belanda, De Atjeh-oorlog halaman 301 ia menulis:
“Aceh adalah derah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan merupakan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari sana pada ahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih dari cukup.”

Kepergian Belanda pada tahun 1942 sebelum kedatangan Jepang adalah saat terakhir bangsa penjajah tersebut berada di bumi Aceh dan tidak kembali lagi. Berbeda dengan di Jawa, Belanda pergi tetapi kembali lagi dengan agresi militer untuk menjajah. Dan pada tahun-tahun ketika Belanda meninggalkan Aceh (1942), Belanda belum berhasil menghentikan perlawanan sepenuhnya, masih terjadi bergai perlawanan dari muslim Aceh.

Perang Belanda di Aceh tidak berakhir pada tahun 1903 atau 1914. Dari tahun 1914 masih berlangsung perlawanan sampai dengan tahun 1942, ketika penjajah Belanda angkat kaki dari Aceh. Puluhan “pertempuran Aceh” yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui di seluruh Hindia Belanda.


Referensi:

1. Paul van’t Veer, Perang Aceh Kisah kegagalan Snouck Hourgronje, terjemahan buku berhasa Belanda De Atjeh-Oorlog, Grafiipers Jakarta 1985.
2. Ismail Sofyan dkk, Perang Kolonial Belanda di Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh Jalan Jendral Sudirman No. 5 Banda Aceh Indonesia, Cetakan I, 1977.
3. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1987.

(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: