Amal ibadah terkadang harus dilakukan dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu, puasa bulan Ramadan, membayar zakat fitrah di malam Idul Fitri dan naik haji pada bulan Dzulhijjah. Terkadang juga tak harus demikian, bisa dilakukan kapan saja dalam setiap waktu, seperti shalat qadha dan lainnya.
Waktu bagi shalat yaumiyah (lima waktu) khususnya, adalah salah satu di antara syarat-syaratnya. Berikut adalah pembagian waktunya:
1. Bagi shalat zuhur dan asar -dalam Mazhab Ja’fari- dari zawâl (waktu matahari tergelincir) sampai ghurûb (waktu terbenamnya).
Masyhur berpendapat bahwa awal waktu zuhur adalah milik khusus zuhur; artinya, di waktu ini tak ada tempat bagi asar, maka tidaklah sah shalat asar di dalamnya. Juga bahwa akhir waktu ashar adalah milik khusus ashar; artinya, di waktu ini tak ada tempat bagi shalat zuhur, maka tidaklah sah shalat zuhur di dalamnya. Bila sudah di waktu khusus asar belum melaksanakan shalat zuhur, maka harus mengqadhanya.
2. Bagi shalat magrib dan isya, dari ghurub sampai pertengahan malam –kecuali bagi yang dalam keterpaksaan, waktu keduanya memanjang sampai fajar shadiq (subuh). Masyhur berpendapat, juga ada waktu khusus bagi masing-masing keduanya seperti halnya di atas.
3. Bagi shalat subuh, dari fajar sampai terbit matahari.
Dalil-dalilnya:
Zawâl sebagai waktu zuhur dan asar adalah muttafaqun ‘alaihi (disepakati) muslimin, dan merupakan dharuratuddin (perkara yang jelas dalam agama).
QS: al-Isra 78 menjadi dalil yang menunjukkan atas itu:
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلى غَسَقِ اللَّيْلِ وَ قُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كانَ مَشْهُوداً
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (pertengahan malam) dan (dirikanlah pula) salat Shubuh. Sesungguhnya salat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat malam dan siang).” Dulûk dalam ayat suci ini adalah zawâl.
Puluhan riwayat di dalam kitab-kitab hadis sahih juga menunjukkan atas itu. Salah satunya, riwayat Ibnu Babuweih dari Zurarah dari Abu Ja’far (Imam Baqir) salamullah ‘alaih:
اذا زالت الشمس دخل الوقتان الظهر والعصر فإذا غابت الشمس دخل الوقتان المغرب والعشاء الاخرة
“Bila matahari tergelincir masuklah dua waktu; zuhur dan asar, dan bila terbenam masuklah dua waktu; magrib dan isya.”
Menjawab Soal
Di hadapan semua riwayat semacam itu, terdapat banyak riwayat yang menunjukkan ketentuan waktu yang tak sama dengan di atas, yaitu: lewat beberapa saat setelah zawâl, dengan ukuran bayangan satu hasta setelah zawal, atau satu kaki atau satuan panjang lainnya. Hal ini menjadi soal, bahwa apakah waktu zuhur dan asar adalah zawal, ataukah lewat beberapa saat sesudahnya?
Dengan memperhatikan apa yang diterangkan dalam riwayat-riwayat itu, dipahami bahwa:
1. Tujuan dari ta`khîr (menunda sesaat dari awal waktu zuhur, yakni zawâl) ialah untuk menunaikan shalat sunnah (nâfilah sebelum shalat zuhur).
2. Atau karena adanya hal yang berwenang memutuskan pandangan yang pertama (zawal). Yaitu, riwayat dengan sanad sampai pada Sa’ad bin Abdullah dari Muhammad bin Ahmad bin Yahya, yang artinya mengatakan:
“Sebagian sahabat menulis surat kepada Abul Hasan; “Diriwayatkan dari ayah Anda, (bahwa waktu zuhur dan asar) adalah satu-dua sampai empat kaki, dan atau satu-dua tinggi badan dan bayangan sepertimu, dan atau satu-dua hasta.”
Beliau membalasnya dengan mengatakan:
لا القدم ولا القدمين اذا زالت الشمس فقد دخل وقت الصلاتين وبين يديها سبحة وهي ثمان ركعات فإن شئت طولت وان شئت قصرت ثم صل الظهر فإذا فرغت كان بين الظهر والعصر سبحة وهي ثمان ركعات فإن شئت طولت وان شئت قصرت ثم صل العصر
“Tidak satu-dua kaki (dan lainnya). Bila matahari tergelincir, maka telah masuk waktu dua shalat (zuhur dan asar). Ada subhah (amalan zikir dan shalat sunnah) pada saat ini, yaitu delapan rakat nafilah; jika kamu ingin memanjangkannya atau jika kamu ingin menyingkatnya, lalu laksanakan shalat zuhur. Setelah itu, ada subhah antara zuhur dan asar, yaitu yaitu delapan rakat nafilah; jika kamu ingin memanjangkannya atau jika kamu ingin menyingkatnya, lalu laksanakan shalat asar.”
Riwayat ini menyinggung dua pandangan itu (yaitu, zawal dan beberapa saat melewati zawal) dan mengkonfirmasikan pandangan yang pertama, yaitu zawal sebagai waktu zuhur dan asar.
Sekiranya terlepas dari dua jawaban tersebut, maka pandangan yang kedua (yaitu, beberapa saat melewati zawal) kontra dengan ketegasan ayat di atas dan yang kukuh secara jelas di kalangan ulama Syiah Imamiyah.
Referensi:
- Durus Tamhidiyah fi al-Fiqh al-Istidlali (1)/Syaikh Baqir al-Irwani.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar