Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Taqiyah Dalam Mazhab Hanafi

Taqiyah Dalam Mazhab Hanafi

Written By Unknown on Jumat, 22 Desember 2017 | Desember 22, 2017


Keluasan taqiyah dalam mazhab Hanafi, fuqahanya membolehkannya sampai dalam perkara-perkara yang amat detail. Dapat dilihat di sebagian kitab fundamental mereka, seperti dalam kitab “Fatawa Qadhikhan” karya Farghani al-Hanafi (295), yang menerangkan tentang banyak masalah di dalamnya dibolehkan taqiyah di antaranya:


1. Jika seseorang dipaksa membunuh, atau anggota badannya (terancam) akan dilumpuhkan kalau tidak membunuh seorang muslim, kemudian ia membunuhnya. Apakah dibenarkan (taqiyah) dalam keterpaksaan ini baginya? Apakah hukum bagi si pembunuh adalah qishash, ataukah tidak?

Abu Hanifah dan Muhammad berkata: “Wajib qishash bagi si pemaksa saja, tidak bagi yang disuruh.” Tapi menurut Abu Yusuf tidak wajib bagi yang manapun, dan mengatakan: “Bagi si pesuruh membayar diyah (denda) atas yang terbunuh dari hartanya selama tiga tahun.”

Kemudian ia menukil dari Zafar, bahwa paksaan ini batil, dan qishash wajib bagi si pembunuh, yaitu orang yang disuruh (dengan paksa). Ia juga menukil dari Malik dan Syafi’i bahwa pesuruh dan yang disuruh dibunuh (diqishash).

Patut disampaikan bahwa seluruh ulama Syiah Imamiyah sepakat atas keharaman taqiyah terkait darah, dan tak ada keterpaksaan di dalamnya. Pembunuh yang dipaksa adalah seperti orang yang membunuh sengaja dengan ikhtiarnya. Imam Baqir berkata:

انما جعلت التقية ليحقن بها الدم فإذا بلغ الدم فليس تقية; 

“Taqiyah disyariatkan untuk mencegah (tumpahnya) darah. Maka bukanlah taqiyah jika sampai menyangkut darah.” (al-Kulaini, kitab al-Iman, bab at-Taqiyah).


2. Jika penguasa menekan seseorang untuk memotong tangan orang lain, lalu ia memotongnya; kemudian memotong tangan lainnya atau kakinya tanpa paksaan dan penguasa tidak menyuruh dia demikian, yakni memotongnya dengan ikhtiar dia, wajibkah berlaku qishash baginya terkait perbuatan yang dia lakukan dengan ikhtiarnya itu?

Jawab: tak ada qishash baginya, juga bagi yang menyuruhnya. Tetapi wajib diyah bagi keduanya dari harta keduanya, -menurut Abu Yusuf. (Fatawa Qadhikhan 5: 486).


3. Sekiranya shâim (yang berpuasa) membatalkan puasanya satu hari di bulan Ramadan dengan sengaja, kemudian dipaksa oleh penguasa –satu atau dua jam setelah itu- bepergian jauh (safar) pada hari itu, apakah ia menjadi orang yang dipaksa membatalkan puasa dan menjadi gugur kafarah baginya, ataukah tidak?

Jawab: Ibnu Ziyad menukil dari Abu Hanifah, bahwa kafarah gugur baginya. (Fatawa Qadhikhan 5:487).


4. Orang yang dipaksa membunuh maurûts (orang yang meninggalkan warisan baginya) dengan ancaman akan dibunuh (jika tidak melakukannya), lalu dia membunuhnya, si pembunuh tidak haram (menerima) warisan. Sedangkan orang yang menekan dia, dibunuh sebagai qishash, -menurut Abu Hanifah dan Muhammad.

Demikian itu artinya, orang itu (si pelaku) membunuh ayahnya dalam taqiyah (untuk menjaga keselamatan) dirinya dari dibunuh.

Sekiranya (seseorang) dipaksa untuk menzhihar isterinya maka ia pelaku zhihâr (macam perceraian; orang laki mengatakan pada isterinya: “Punggungmu bagiku seperti punggung ibuku”). Jika dipaksa îlâ` (sumpah untuk tidak berhubungan dengan isterinya dalam masa tertentu), maka sah îlâ`nya. Jika dipaksa mentalak, maka jatuhlah talak (Fatawa Qadhikhan 5:489). Jadi, tiada perbedaan antara keterpaksaan (ijbâr) dan pilihan atau kesengajaan (ikhtiar) dalam talak dan zhihâr.


5. Hal boleh taqiyah jika melakukannya lebih utama dari meninggalkannya, dan bisa menjadi wajib kalau meninggalkannya itu berdosa. Seperti dipaksa makan bangkai atau daging babi atau minum khamar. Boleh bagi orang yang dipaksa mengucapkan kata kufur dan (na’udzubillah) mencela Nabi saw, tetapi hatinya mantap dalam keimanan.

Kalau wanita dipaksa dengan diikat atau dipenjara (sehingga) berzina, tak ada hukuman baginya. Karena, walaupun dia tidak dipaksa, tidak kurang dari syubhah (tak jelas hukumnya).


6. Jika orang laki dipaksa berhubungan dengan isterinya di siang hari, atau makan atau minum, pada bulan Ramadan, lalu ia melakukannya, tak ada kafarah baginya, tapi wajib mengqadha puasanya.

Menurut Abu Hanifah, keterpaksaan itu sendiri tidak akan terwujud kecuali dari penguasa. Tetapi menurut Muhammad dan Abu Yusuf terwujud dari siapapun yang menekan yang mampu mewujudkan ancamannya. Lalu Farghani mengatakan: “Oleh karena itu, keterpaksaan terjadi walaupun penguasa menyuruh tanpa ancaman.”

Jashash al-Hanafi (wafat 370 H) mengatakan: “Orang yang menolak kemubahan, ia menjadi pembunuh dirinya. Menurut semua ahli ilmu dia sebagai orang yang menghabisi nyawanya sendiri. Bila dia mati dalam keadaan ini, ia telah bermaksiat (durhaka) kepada Allah swt.” Kemubahan yang Jashash sebut sebelum itu adalah makan bangkai dan perbuatan maksiat lainnya dalam keadaan terpaksa. Karena itu, taqiyah wajib dalam perkara yang dibolehkan oleh keadaan terpaksa. Ia membolehkan taqiyah dalam minum khamar, makan bangkai dan menuduh wanita berzina.”


Referensi:

Waqi’ at-Taqiyah ‘inda al-Madzahib wa al-Firaq al-Islamiyah min Ghairi asy-Syi’ah al-Imamiyah/Tsamir Hasyim Habib al-‘Amidi.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: