Pada musim panas tahun 1384, Imam Khomeini memenuhi permintaan pihak penyelenggara untuk mengisi bahtsul masail kekinian yang perlu diketahui. Banyak pelajar yang hadir yang haus ilmu di kelas beliau. Tema yang beliau bahas ialah Asuransi. Beliau menjelaskan:
Tak diragukan, asuransi adalah penjaminan menutupi kerugian yang mungkin terjadi terkait kepemilikan atau jiwa, dengan dana dalam jumlah yang ditentukan. Sikap menolak muamalah yang berlaku di masyarakat umum kini bukan sikap yang bijak. Asuransi termasuk di antara akad-akad yang berlaku pada umumnya, dan mengenai hasilnya secara akal tak beda dengan akad-akad lainnya. Oleh karena itu dalil-dalil umum atas pemenuhan akad dan syarat, seperti ayat suci:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ;
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS: al-Maidah 1)
Juga seperti riwayat:
المؤمنون عند شروطهم;
“Orang-orang beriman itu menurut persyaratan yang telah dibuat mereka sendiri.” (Wasail asy-Syiah, juz 15, hal 3, cet. Islamiyah, Tehran).
Dan semua dalil-dalil umum terkait perjanjian dan penjaminan mencakup asuransi yang disahkan oleh syariat suci.
Menjawab Soal Sahnya Asuransi
Apa yang mungkin menjadi sebab dipersoalkannya kesahan asuransi secara syari ialah beberapa isykal berikut:
Isykal Pertama
Dalil-dalil umum yang mencakup suatu akad dan syarat di masa shudûr (pensyariatan) dalil-dalil umum yang semacam telah berjalan di tengah masyarakat.
Di masa itu asuransi tak tercakup yang berlaku atas dalil-dalil umum ini, dan kita tidak mempunyai dalil lain selain dalil-dalil umum yang syariat mensahkan asuransi. Oleh karena itu, akad asuransi adalah batil (tidak sah) dan dalam larangan QS: an-Nisa 29:
لا تَأْكُلُوا أَمْوالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْباطِلِ;
“Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil..!?
Jawab:
Kesimpulan tersebut diambil dari makna-makna lahiriah ayat-ayat dan riwayat-riwayat, jelas tidaklah tepat. Sebab, klaim bahwa dalil-dalil umum di atas terbatas pada muamalah yang berlaku di masa pensyariatan adalah aplikasi yang tidak benar. Pandangan dangkal terhadap lafaz-lafaz general ini jauh dari hamparan syariat suci yang lapang dan mudah.
Tidaklah terkira orang yang mengenal lisan urf dan bersih dari was-was, berpemikiran bahwa ayat أَوْفُوا بِالْعُقُودِ (“penuhilah akad-akad itu”) yang turun sebagai pembuat undang-undang yang kokoh hingga hari kiamat, terbatas pada hanya akad-akad dan muamalah yang berlaku di zaman itu. Kejumudan semacam ini –yang naudzubillah darinya, persis kejumudan kaum Hanabilah (wahabisme) yang banyak bermasalah terhadap makna-makna lahiriah agama- jauh dari metode fikih dan bahkan dari memahami agama.
Isykal Kedua
Asuransi adalah muamalah gharari (yang tidak jelas), yang juga dilarang. Sementara larangan dalam muamalah menunjukkan kebatilan (tidak sahnya), maka asuransi adalah akad yang fasid (tidak sah)!?.
Jawab:
Pertama, riwayat pelarangan yang sanadnya melalui jalur Ahlussunnah adalah lemah (menurut Syiah, dan begitu juga sebaliknya melainkan keduanya meriwayatkan hal yang sama,-penerj).
Kedua, jika kelemahan sanad dapat diatasi dengan hal fuqaha bersandar padanya dalam fatwa dan menerima kandungannya dengan riwayat Syiah, seperti riwayat Hammad dari Imam Shadiq:
یکره أن یشتري الثوب بدینار غیر درهم؛ لانه لایدري کم الدینار من الدرهم
“Tidaklah patut membeli baju dengan satu dinar selain satu dirham. Karena tak diketahui satu dinar berapa dirham.” (Wasail asy-Syi’ah, juz 12, hal 398, cet. Islamiyah, Tehran).
Sakuni meriwayatkan dari Imam Shadiq as tentang seseorang membeli barang dengan harga satu dinar selain satu dirham dalam bentuk nasyah (kredit). Imam menukil dari ayahnya sampai dari Imam Ali:
فاسد، فلعلّ الدینار یصیر بدرهم;
“Itu adalah batil. Sebab, seringkali dinar dan dirham sebanding.” Dan riwayat lainnya (ibid).
Kami jawab, (pertama) hanya dalam jual-beli bisa diklaim bahwa gharar menjadi sebab tidak sahnya muamalah.
(Kedua) Perluasan dan pembatasan akibat itu mengikuti perluasan dan pembatasan sebabnya. Misal medis melarang makan delima dikarenakan masam. Sebab kemasamannya tidak meniscayakan keterbatasan terlarangnya (makan delima). Oleh karena itu, klaim bahwa hal-hal umum terbatas pada muamalah yang berlaku di masa wahyu adalah predikasi yang tidak benar. Manis, tak tercakup larangan ini.
Misal lain jika dikatakan, Jangan percaya pada pengobatan orang-orang usia lanjut, karena kamu takkan aman dari bahaya. Sebab ini, sebab perluasan larangan, merujuk pada kasus-kasus di mana pengobatan pada mereka tak aman dari bahaya.
Masalah yang sedang dibahas adalah bagian yang kedua. Karena walaupun riwayatnya khusus terkait membeli, tetapi sebab tersebut bahwa hal tidak diketahuinya soal dinar dan dirham menyebabkan berlakunya pada semua muamalah gharari (yang tidak jelas), sebagaimana telah dijelaskan dalam contoh.
Dalam menjawab isykal kita katakan bahwa perluasan dan pembatasan sebab tidak menolak untuk diterapkan pada apa yang merupakan akibatnya. Namun perluasan dan pembatasan ini dibenarkan khusus terkait hukum saja. Sebagai gambarannya, pada contoh yang pertama, orang tidak mengira bahwa jual-beli delima yang masam dilarang bagi yang sakit. Atau selain pengobatan tersebut (merambat) tidak diperkenankan bercengkrama dengan orang lanjut usia.
Maksud pembahasan kita, walaupun sisi sebab (yakni, gharar; ketidak jelasan) adalah umum, dan cakupan jual beli kain dan selain dirham serta dinar meliputi semua harga, tetapi tak merambat lebih dari batasan jual-beli.
Masalah ini menjadi jelas dengan sedikit perhatian, dan bahwa isykal di atas lahir dari hal kurang seksama.
Referensi:
Majaleh Feghe Ahle Bait, juz 1
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar