Oleh: Wajidi Sayadi
Terjemahan Hadis ini ialah ‘Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia akan termasuk dari mereka’. Uraian Hadis ini tadi disampaikan pada Pengkajian Hadis Rutin di Masjid Raya Mujahidin Pontianak, Ahad 31 Desember 2017 antara magrib-isya. Tema ini yang dibahas karena hadis ini sangat marak dan populer di media sosial online beberapa hari terakhir ini menjelang memasuki tahun baru 2018.
Hadis ini akan dijelaskan tentang susunan redaksinya, status kualitasnya, makna dan maksudnya.
Dalam pengamatan saya, ada 3 macam bentuk periwayatan redaksi Hadis ini:
1. Secara lengkap, yaitu:
بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبد الله وحده لا شريك له وجعل رزقي تحت ظل رمحي وجعل الذلة والصغار على من خالف أمري ومن تشبه بقوم فهو منهم
Rasulullah SAW bersabda: ‘Aku diutus di zaman sebelum kiamat dengan pedang hingga hanya Allah sajalah yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya, dijadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan dan kenistaan atas siapa saja yang menentang perintahku. “Dan Barangsiapa Menyerupai Suatu Kaum, Maka Ia Termasuk Dari Mereka”.
Teks Hadis yang utuh ini diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Baihaqi dan Abdu bin Humaid dari Ibnu Umar.
2. Periwayatan teks hadis hanya bagian awalnya. Inilah yang diriwayatkan Bukhari dari Ibnu Umar, hanya sampai pada kalimat:
بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبد الله وحده لا شريك له وجعل رزقي تحت ظل رمحي وجعل الذلة والصغار على من خالف أمري
Bukhari tidak meriwayatkan teks hadis bagian terakhirnya, yaitu
من تشبه بقوم فهو منهم .
3. Periwayatan secara khusus teks hadis:
من تشبه بقوم فهو منهم .
Hadis ini diriwayatkan melalui 4 jalur sanad: Jalur 1 melalui sahabat Ibnu Umar diriwayatkan Abu Daud dan Ahmad. Jalur 2 melalui sahabat Abu Hurairah diriwayatkan oleh al-Harawi. Jalur 3 melalui sahabat Anas bin Malik diriwayatkan oleh al-Harawi. Jalur 4 melalui sahabat Hudzaifah diriwayatkan oleh Nasai dan Thabarani.
Pada jalur sanad Ibnu Umar terdapat seorang periwayat bernama Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban yang disebut Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai tertuduh Qadariyah dan hapalannya berubah di akhir hayatnya. Banyak ulama menilai hadisnya lemah. Ahmad menilai bahwa hadisnya munkar. Ia pernah mengatakan, Abdurrahman bin Tsabit bukanlah orang kuat dalam bidang hadis. Ibnu Ma’in, Nasai, al-‘Ajli dan Abu Zur’ah menilai ia lemah.
Dalam jalur sanad Abu Hurairah juga terdapat periwayat bernama Shadaqah bin Abdullah as-Samin, al-Asqalani menyebutnya sebagai lemah. Dalam jalur sanad Anas bin Malik juga terdapat periwayat bernama Bisyr bin al-Husain yang dinilai oleh Bukhari bahwa ia perlu ditinjau. Daraquthni menilainya sebagai matruk (tertolak). Ibnu Adiy mengatakan secara umum hadisnya tidak mahfuzh (terjaga).
Adapun jalur sanad Hudzaifah juga terdapat periwayat bernama Ali bin Ghurab, Abu Daud menilainya bahwa orang-orang meninggalkan hadisnya. Al-Jurjani berkata, Dia itu saqith (jatuh). Ibnu Hibban mengatakan, dia menceritakan hadis-hadis palsu dan cenderung kepada Syi’ah. Dalam kaedah ilmu hadis bahwa karena adanya hadis lainnya lagi yang bisa mendukung dan menguatkan terhadap kelemahan periwayat di atas, maka hadis tersebut status kualitasnya sebagai hadis Hasan.
Adapun pemahaman terhadap makna dan maksud hadis Tasyabbuh menyerupai suatu kaum perlu dipahami konteks sosial politik dan budaya pada zaman Nabi SAW dan lalu dihubungkan dengan konteks masa sekarang. Saya mengutip keterangan Prof. Nadirsyah Hosen bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW identitas keIslaman merupakan sesuatu yang sangat penting. Bagaimana Nabi membedakan antara muslim dan non muslim? Mereka sama-sama orang Arab yang punya tradisi yang sama, bahasa yang sama, bahkan juga pakaian yang sama. Bagi komunitas yang baru berkembang, loyalitas ditentukan oleh identitas pembeda.
Pernah suatu saat, ada orang kafir masuk Islam di pagi hari, dan kemudian ia bergabung bersama-sama dengan komunitas muslim dan ikut pertemuan membahas strategi dakwah. Ternyata sore harinya orang yang tadi masuk Islam, ia menyatakan murtad kembali ke agama lama. Tindakannya ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap loyalitas komunal. Maka dalam konteks inilah Nabi SAW bersabda:
من بدل دينه فاقتلوه
“Barangsiapa murtad, maka hukum matilah” (HR. Bukhari dari Ali).
Tindakannya ini bila dikaitkan dengan konteks masa kini mirip dengan pengkhianat pembocor rahasia negara, maka wajar diberi saksi hukuman mati. Dalam riwayat lain disebutkan, orang murtad yang kemudian menggalang kekuatan untuk memberontak.
Nabi SAW menyikapi kasus seperti ini, maka Beliau mulai melakukan konsolidasi internal, yaitu perlunya loyalitas dibentengi dengan identitas tertentu. Nabi SAW melakukan politik identitas inilah yang kemudian Beliau melarang umat Islam menyerupai Yahudi, Nasrani, Musyrik, atau Majusi sebagai komunitas yang sangat berpengaruh dan menjadi ancaman stabilitas politik di Madinah. Pada situasi dan kondisi inilah lahir hadis-hadis perintah aturan pembeda identitas dengan komunitas Yahudi, Nasrani, Musyrik dan Majusi, misalnya kumis, jenggot, sepatu, sandal, dan pakaian lainnya. Hadis ‘Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia akan termasuk dari mereka’ muncul disabdakan Nabi SAW dalam konteks Beliau sedang membangun politik identitas sebagai bagian dari upaya membentengi loyalitas terhadap komunitas umat Islam saat itu di Madinah.
Apakah pembeda identitas dan loyalitas KeIslaman kita saat ini masih sama dengan identitas komunitas Muslim pada zaman Nabi SAW 15 abad yang lalu? Oleh karena itu, memahami makna dan maksud hadis ini perlu mengerti latar belakang sosial politik, dan budaya serta illatnya atau motivasi dan tujuannya. Apabila situasi dan kondisi sosial politik dan budaya yang melatar belakangi bahkan illatnya sudah berubah dan berbeda dengan saat ini, maka pemahamannya juga berbeda. Abu Yusuf (Pemuka dan tokoh madzhab Abu Hanifah) menggunakan kaedah: ‘Jika suatu nas (al-Qur’an atau hadis) muncul dilatar belakangi oleh sebuah tradisi, kemudian tradisi itu berubah, maka pemahaman kita terhadap nas itu juga berubah’. Misalnya dalam Hadis, Nabi SAW memerintahkan:
خالفوا اليهود فإنهم لا يصلون في نعالهم ولا خفافهم
“Berbedalah dari Yahudi, karena mereka tidak shalat memakai sandal dan sepatu” (HR. Abu Daud dari Syidad bin Aus).
Dalam riwayat Ibnu Hibban ditambahkan ‘Berbedalah dari Yahudi dan Nasrani’.
Apabila hadis ini diamalkan dan dipraktekkan, maka kita shalat memakai sandal dan sepatu, karena dengan cara itu kita berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. Oleh karena situasi dan kondisi serta motivasinya sudah berubah, maka hadis tersebut tidak mungkin diamalkan. Masjid pada zaman Nabi lantainya tanah, pasir atau kerikil, sekarang masjid sudah pakai keramik. Shalat pakai sandal atau sepatu di atas keramik Masjid sesuai perintah hadis, malah justru menyalahi sunnah Nabi.
Demikian juga pemahaman terhadap hadis
خالفوا المشركين وفروا اللحي واحفوا الشوارب
Berbedalah dari orang-orang Musyrik biarkanlah jenggot dan cukurlah kumis. (HR. Bukhari dari Ibnu Umar).
Kata Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, dalam bukunya
الطرق الصحيحة في فهم السنة النبوية
pada masa Nabi, orang-orang musyrik tidak mencukur kumis dan tidak membiarkan jenggot mereka banyak dan lebat. Maka Nabi memerintahkan umat Islam untuk melakukan hal yang berbeda dari mereka, yaitu mencukur kumis dan membiarkan jenggot.
Adapun sekarang kondisi orang-orang musyrik tidak lagi seperti pada masa Nabi, di antara mereka justru ada yang membiarkan jenggotnya tumbuh lebat. Berbeda dengan mereka bisa dengan cara lainnya terutama dengan tampilan akhlak yang baik dan terpuji.
Ash-Shan’ani dalam kitab سبل السلام menjelaskan hadis:
من تشبه بقوم فهو منهم
dengan menghubungkan dengan hadis lain yang diriwayatkan Abu Ya’la dari Ibnu Mas’ud secara marfu’
من رضي عمل قوم كان منهم
“Barangsiapa meridhai perbuatan suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka”
Berdasarkan hadis ini tidak sekedar menyerupai tapi meridhai juga. Penyerupaan dengan komunitas lain yang dilarang adalah yang diiringi dengan niat dan sikap ridha ikut terhadap mereka. Jika ada sesuatu perbuatan yang menyerupai orang lain, tapi tidak ada niat untuk menyerupai apalagi ridha terhadap mereka, maka tidak pantas disebut bagian dari mereka.
Contoh libur pada hari minggu atau libur pada hari besar agama lain. Minggu bagi agama lain ada hubungannya dengan keyakinan tentang Tuhan bagi orang lain. Minggu adalah hari libur dari aktivitas untuk persembahan dan ibadah kepada Tuhan. Kita umat Islam libur pada hari minggu bahkan biasa mengadakan hajatan pernikahan pada hari minggu, tidak ada niat dan urusan dengan keyakinan akan kepercayaan Tuhan agama lain, walaupun menyerupai libur minggu.
Di sinilah perlu kaedah
الأمور بمقاصدها
artinya suatu perbuatan itu berdasarkan tujuan dan niatnya.
Berbeda halnya, ketika yang diserupai itu ada dalilnya secara tegas melarang, misalnya larangan memakai identitas keagamaan tertentu, seperti salib, atau larangan laki-laki menyerupai perempuan dan larangan sebaliknya.
Baru-baru ini masyarakat Indonesia digegerkan dengan ceramah Ustad Abdul Shomad yang mengatakan bahwa memperingati hari ibu termasuk haram karena dinilai menyerupai kaum kafir. Dari pemaparan kontek hadis di atas, jelas pendapat Ustad Shomad terbantahkan (red)
Semoga memasuki tahun baru 2018 loyalitas dan identitas keIslaman kita terpelihara dengan baik dan terhindar dari hal-hal yang dilarang dalam agama. Wallahu A’lam.
Dr. Wajidi Sayadi, Dosen Ilmu Hadist IAIN Pontianak
(Duta-Islam/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar