Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Mengenal Konsep Wilayatul Faqih

Mengenal Konsep Wilayatul Faqih

Written By Unknown on Selasa, 16 Januari 2018 | Januari 16, 2018


Imam Khomeini mengatakan: Kami meyakini wilâyah”, dan bahwa Rasulullah saw menentukan khalifah (pengganti sesudahnya) adalah untuk pemerintahan. Khalifah diinginkan guna menerapkan undang-undang, dan bahwa undang-undang memerlukan pelaksana. Di semua negeri dunia, membuat undang-undang semata tidaklah berguna dan tidak menjamin kebahagiaan manusia. Setelah pensyariatan undang-undang harus ada daya pelaksananya.

Dalam perundang-undangan atau pemerintahan apabila tak ada daya pelaksana, maka terjadi kepincangan. Oleh karena itu, Islam selain membuat undang-undang juga menetapkan daya pelaksana.

Wali amr juga sebagai daya pelaksana. Seandainya Rasulullah saw tidak menentukan khalifah, maka “mâ ballaghta risâlatah (QS: al-Maidah 67); tidak menyampaikan risalah-Nya dengan tuntas. Keharusan menerapkan hukum (undang-undang) dan keharusan serta pentingnya daya pelaksana dalam terwujudnya risalah dan realisasi sistem yang adil sebagai asas kebahagiaan manusia, menjadi sebab keharusan menentukan seorang pengganti. Ia (kedudukannya) sama dengan penuntasan risalah.

Di masa Rasulullah saw, undang-undang tidak hanya disampaikan dan dijelaskan, tetapi dilaksanakan, dan beliau sebagai pelaksananya. Beliau menerapkan hukum pidana seperti memotong tangan si pencuri. Untuk perkara ini juga lah (perlunya) khalifah. Khalifah bukanlah pembuat undang-undang. Tetapi ia adalah untuk menerapkan undang-undang yang dibawa Rasulullah saw. Di sinilah letak keharusan mendirikan pemerintahan dan perangkat pelaksanaan serta penataan.

Meyakini keharusan mendirikan pemerintahan serta perangkat pelaksanaan dan penataan partikular adalah bagian dari wilâyah, sebagaimana bangkit dan upaya untuk itu adalah bagian dari keyakinan pada wilâyah.. Sebagaimana kami meyakini wilâyah dan bahwa Rasulullah saw telah menentukan khalifah; Allah perintahkan beliau supaya menentukan khalifah atau wali amril muslimin, maka kami harus meyakini keharusan mendirikan pemerintahan dan harus melakukan upaya untuk terbentuknya perangkat penerapan hukum-hukum serta manajemen urusan-urusan. Bangkit di jalan mendirikan pemerintahan Islami adalah konsekuensi meyakini wilâyah.


Keharusan Adanya Lembaga Eksekutif

Kumpulan undang-undang tidaklah cukup untuk mereformasi masyarakat. Undang-undang karena menjadi asas reformasi dan kebahagiaan, maka memerlukan pelaksananya. Dengan demikian Allah swt selain mengirim sebuah paket undang-undang, yakni hukum syariat, Dia pun menetapkan sebuah pemerintahan dan perangkat penerapan dan pengaturan.

Rasulullah saw telah mengawali pembentukan-pembentukan penerapan dan manajemen masyarakat muslimin. Selain menyampaikan wahyu, menjelaskan akidah, hukum dan tatanan Islam, beliau serius menerapkan hukum dan membangun sistem Islam untuk merealisasikan pemerintahan Islam. Pada masa itu misalnya, beliau tidak sebatas menjelaskan hukum pidana, tetapi dalam upaya menerapkannya, seperti memotong tangan (pencuri) dan lainnya. Jadi, Rasulullah saw dan khalifah (sesudahnya) memiliki tugas dan kedudukan ini.

Beliau mengangkat khalifah bukan cuma untuk menjelaskan akidah dan hukum. Tetapi juga untuk menerapkan hukum dan undang-undang. Tugas menerapkan hukum dan membangun sistem Islam, menjadikan pengangkatan khalifah sedemikian penting. Tanpa demikian, Rasulullah saw mâ ballafghta risâlatah (tidak menyampaikan risalah Allah dengan tuntas). Sebab, muslimin sepeninggal beliau juga memerlukan seseorang yang menerapkan undang-undang dan membangun sistem Islam di masyarakat, agar terjamin kebahagiaan dunia dan akhirat mereka.

Pada dasarnya hukum dan sistem sosial memerlukan pelaksana. Di semua negeri dunia selalu demikian, bahwa pembuatan undang-undang semata tidaklah berguna dan tidak menjamin kebahagiaan umat manusia. Setelah pensyariatan undang-undang harus ada daya eksekutif yang menerapkan undang-undang dan hukum pengadilan dengan adil- yang buah hasilnya diperuntukkan rakyat. Dengan demikian, Islam selain membuat hukum juga menetapkan daya eksekutif dan wali amr.


Bukti Sunnah Keharusan Mendirikan Pemerintahan

Sunnah Rasulullah saw sebagai bukti atas keharusan mendirikan pemerintahan. Sebab:

Pertama, beliau sendiri saw mendirikan pemerintahan. Sejarah membuktikan bahwa beliau mendirikan pemerintahan, menerapkan undang-undang dan membangun sistem Islam, dan mengatur masyarakat. Rasulullah saw mengutus (menugaskan) wakil kepada pihak-pihak, memutuskan hukum, mengangkat hakim, mengutus duta-duta ke luar kepada para pemuka suku dan raja, mengadakan perjanjian dan memimpin perang. Singkatnya, menerapkan undang-undang pemerintahan.

Kedua, untuk masa sesudah beliau, atas perintah Allah beliau mengangkat seorang pemerintah. Jika Allah swt mengangkat seorang pemerintah bagi masyarakat (umat) sesudah Rasulullah saw, berarti pemerintahan sepeninggal beliau juga perlu. Ketika Rasulullah saw menyampaikan perintah Allah dengan wasiatnya, beliau pun menyampaikan keharusan mendirikan pemerintahan.”


Imam Khomeini mengatakan: “Adalah jelas keharusan menjalankan hukum meniscayakan keharusan mendirikan pemerintahan Rasulullah tak sebatas di masa hidup beliau saw saja. Keharusan ini berlanjut setelah beliau wafat, bahwa hukum-hukum Islam tak terbatas pada masa dan tempat tertentu, dan tetaplah berlaku untuk selamanya serta harus dijalankan.

Sekiranya hanya untuk masa beliau saw saja niscaya setelah itu (hukum-hukum Islam) akan ditinggalkan. Lalu hukuman dan qishash yakni hukum pidana Islam tidak akan dijalankan; atau berbagai macam perkara material tidak akan ditentukan; atau pembelaan tanah dan umat Islam akan berhenti.

Kesimpulan tersebut bahwa undang-undang Islam diliburkan atau terbatas pada masa dan tempat tertentu saja, hal ini bertentangan dengan perkara-perkara aksiomatis dalam akidah Islam. Oleh karena itu, jika menjalankan hukum sepeninggal Rasulullah saw adalah sebuah keharusan untuk selamanya, maka mendirikan pemerintahan dan perangkat pelaksanaan (hukum) serta penataan (urusan masyarakat) diharuskan. Tanpa keharusan ini yang menempatkan semua tindakan orang-orang di bawah sistem yang adil melalui pelaksanaan undang-undang, akan muncul kekacauan-kekacauan dan kerusakan-kerusakan sosial, moral dan keyakinan. Jadi, agar tidak terjadi demikian, solusinya hanyalah mendirikan pemerintahan dan menata semua urusan kenegaraan..”


Keharusan yang tak Diragukan

Imam Khomeini dalam bukunya, “Wilayate Faqih”, dalam menjelaskan masalah (keharusan menjalankan undang-undang Islam berlaku untuk kapanpun dan di manapun) ini melontarkan beberapa soal berikut:

1. Sudah lebih dari seribu tahun dari masa ghaib shugra (kegaiban Imam Mahdi as dengan adanya empat wakil beliau) hingga sekarang ini, dikarenakan suatu maslahat sehingga Imam Mahdi tidak muncul. Di sepanjang waktu yang lama ini, haruskah hukum-hukum Islam tetap eksis tapi tidak dijalankan dan siapapun dapat berbuat semaunya, lalu terjadi kekacauan-kekacauan?

2. Undang-undang yang disampaikan, dijelaskan dan dijalankan Rasulullah selama duapuluh tiga tahun dengan segala upaya, apakah hanya untuk masa terbatas? Apakah Tuhan membatasi (masa) hukum-hukum-Nya selama duapuluh tahun? Dan pasca ghaib shugra, Islam melepaskan semua yang ada pada dirinya (tinggal sebuah nama)?

Tak seorangpun dapat mengatakan: “Kita tak harus membela batas-batas, celah-celah dan segenap tanah air Islam. Atau tak harus menerima keuangan, jizyah (pajak; yang Ahlulkitab harus bayarkan kepada Islam), kharaj (pajak bumi), khumus dan zakat; dan hukum pidana Islam, denda dan qishash dinon aktifkan..” Pernyataan bahwa tiada keharusan mendirikan pemerintahan Islam telah menolak keharusan melaksanakan hukum-hukumnya.

Sepeninggal Rasulullah saw tak seorang muslim pun meragukan konsep keharusan adanya pemerintahan. Semua sepakat atas keharusan ini. Perselisihan hanya mengenai siapa yang akan memegang urusan ini dan menjadi kepala pemerintahan. Oleh karena itu, sesudah Rasulullah saw pemerintahan terbentuk di masa para sohibul khilafah dan masa Amirul mu`minin as, dan telah ada pemerintahan, penataan dan pelaksanaan.


Apa dan Bagaimana Hukum Islam itu?

Dalil lainnya atas keharusan mendirikan pemerintahan ialah subtansi dan kualitas hukum syariat Islam, bahwa untuk mendirikan sebuah pemerintahan dan manajemen -politik, ekonomi dan budaya- masyarakat disyariatkan:

Pertama, hukum syariat yang mencakup aneka undang-undang yang membangun sebuah sistem sosial yang menyeluruh. Dalam sistem ini hak asasi manusia memerlukan kesiapannya meliputi:

Pola interaksi dengan tetangga, anak-anak, keluarga, kaum dan warga kotanya, juga urusan-urusan pribadi dan kehidupan rumah tangga. Hingga undang-undang menyangkut perang dan damai serta menjalin hubungan dengan semua bangsa (negara). Juga hukum pidana, sampai masalah hak-hak perniagaan, pengrajinan, pertanian (dan lainnya).

Untuk urusan-urusan pra nikah dan pembuahan sperma ada undang-undangnya yang mengatur bagaimana nikah terwujud; apa yang harus diperbuat terkait (nafkah) makan di saat itu atau saat terjadi pembuahan sperma; apa tugas-tugas ayah dan ibu terhadap anak mereka di masa menyusui; bagaimana mendidik anak; bagaimana prilaku pria dan wanita terhadap satu sama lain dan terhadap anak-anak. Untuk semua periode tersebut terdapat undang-undang yang membina manusia untuk menjadi manusia yang sempurna. Adalah manusia undang-undang yang bergerak sebagai pelaksana undang-undang yang sadar akan tugas.

Adalah jelas Islam mempunyai perhatian -sampai batas tertentu- pada pemerintahan dan urusan-urusan terkait politik dan ekonomi masyarakat, hingga semua kondisi memungkinkan bersedia membangun manusia yang baik dan utama.

Alquran dan Sunnah mencakup semua undang-undang Islam yang diperlukan manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya. Dalam (kitab hadis) al-Kafi terdapat satu pasal dengan tema “Semua Kebutuhan Manusia Diterangkan dalam Alquran dan Sunnah”.

Alquran adalah kitab “untuk menjelaskan segala sesuatu” (تِبْياناً لِكُلِّ شَيْ‏ءٍ QS: an-Nahl 89), menerangkan segala sesuatu dan semua urusan.

Diriwayatkan dari Murazim dari Abu Abdillah (Imam Shadiq) as bahwa segala yang diperlukan hamba-hamba Allah terdapat di dalam Alquran dan Sunnah. (Ushul al-Kafi juz 1, hal 76, 77, kitab “Fadhlu al-‘Ilm’)



Referensi:

Welayate Faqih/Imam Khomeini

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: