Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » , » Fatimah Putri Nabi dan Wahyu

Fatimah Putri Nabi dan Wahyu

Written By Unknown on Sabtu, 24 Februari 2018 | Februari 24, 2018


Imam Khomeini dalam ceramah peringatan syahadah Sayyidah Fatimah binti Muhammad SAW menukil sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa pemuka para wanita sepanjang masa itu menerima wahyu melalui Jibril beberapa kali seusai wafat ayahnya. Video ceramah yang telah dilengkapi dengan subtitle bahasa Indonesia ini ditayangkan oleh beberapa media online, antara lain safinah-online, situs Dewan Syura ABI.


Kata wahyu bukanlah sesuatu yang asing bagi setiap Muslim. Tapi boleh jadi tak banyak yang memahaminya secara utuh sehingga sebagian orang menganggap pemahamannya yang sempit sebagai pemahaman final dan berlaku umum tanpa perbedaan.

Karena itu, diperlukan sebuah deskripsi yang cukup tentang kata dan pengertian wahyu serta macam-macamnya agar wawasan keagamaan kita terus meluas.

Secara semantik wahyu adalah produk sebuah aksi pewahyuan yang memerlukan minimal dua unsur, yaitu apa (pengertian) dan siapa (pemberi dan penerima).
Pengertian etimologis dan terminologis

Kata wahyu dan derivatnya terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 78 kali sebagaimana dikutip Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Qur’an Al-Karim.

Secara umum, wahyu adalah isyarat atau sesuatu yang disampaikan. Mewahyukan secara etimologis berarti menyampaikan yang lebih samar dari isyarat dengan cara tersembunyi dan cepat. Ibn Manzhur dalam Lisan Al-‘Arab berkata bahwa wahyu adalah pemberitahuan secara samar, karena itu ilham disebut sebagai wahyu.


Dari makna etimologi tersebut, terdapat macam-macam wahyu.

Pertama: wahyu suci kepada manusia, seperti Ibunda Nabi Musa.

Dan Kami wahyukan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.” (QS. Al-Qashash [28]: 7).


Kedua: wahyu instingtif untuk hewan, seperti wahyu untuk lebah.

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia,” (QS. An-Nahl [16]: 68)

Ketiga: kode singkat sebagaimana isyarat Nabi Zakaria as kepada kaumnya.

Maka dia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia memberi isyarat (اوحى) kepada mereka; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang. (QS. Maryam [19]: 11)


Keempat: bisikan syaitan ke dada manusia.

Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan (يوحون) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. (QS. Al-An’am [6]: 121)


Kelima: perintah Allah kepada para malaikat-Nya.

(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” (QS. Al-Anfal [8]: 12)


Keenam: sebagaimana wahyu bersifat bisikan rahasia, maka Al-Qur’an menyebutkan manusia ‘mewahyukan’ (memberikan wahyu kepada) manusia lain.

Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan (يوحي) kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. (QS. Al-An’am [6]: 112).


Ketujuh: wahyu Allah Swt kepada para Nabi as yang merupakan pengetahuan tertinggi.

Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya; Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud. (QS. An-Nisa’ [4]: 163).

Ayat yang terakhir ini sekaligus membatasi makna wahyu Allah yang khusus untuk para nabi dan rasul as.


Gradasi Wahyu

Dari makna-makna, dari konteks siapa yang menerima, dan konten wahyu, para ahli tafsir membagi wahyu dalam dua kategori; wahyu yang positif dan suci; dan wahyu negatif (seperti pada poin 4 di atas). Wahyu suci pun memiliki gradasi.

Wahyu juga bersifat vertikal (poin 1, 2, 5 dan 7) dan horizontal (seperti poin 6 di atas)

Wahyu vertikal adalah ilmu dari yang lebih mulia kepada yang di bawahnya. Wahyu vertikal bisa berperingkat sesuai gradasi kesucian dan kecahayaan penerimanya. Wahyu tertinggi adalah ilmu Allah yang memancar tanpa perantara. Penerimanya pastilah mempunyai kualitas kesucian.

Ada dua macam wahyu tanpa jeda; yaitu wahyu yang bermuatan hukum (permanen); dan wahyu yang bermuatan pesan-pesan khusus terkait sebuah peristiwa khusus yang diterima oleh nabi atau lainnya. Ada kalanya wahyu bersifat personal yang diterima seorang Nabi tentang sesuatu seperti perintah Allah kepada Nabi Musa as untuk pergi ke gunung Sinai.

Wahyu yang diterima Nabi Muhammad adalah cahaya dalam pengertian eksistensial.

Wahyu yang disampaikan oleh Jibril as adalah wahyu yang berjeda (perantara), berdasarkan peristiwa-peristiwa (berkonteks dengan asbabun nuzul).

Ada juga wahyu yang langsung utuh dari Allah tanpa perantara, langsung Allah pindahkan (cangkokkan) kepada Nabi Saw.

Wahyu utuh boleh jadi tidak bermushaf, tidak ditulis. Segala yang disampaikan nabi adalah wahyu. Tak semua wahyu yang diterima Nabi SAW termaktub dalam al-Quran. “Tidaklah yang diucapkannya itu menurut keinginannya. Ucapan beliau adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS. An-Najm [53]: 3-4).


Gradasi Penerima Wahyu

Penerima wahyu juga berbeda-beda. Adakalanya nabi. Kesucian dan kualitas kecahayaan para nabi pun bertingkat-tingkat. Wahyu tertinggi adalah bagi para Nabi Ulul ‘Azm as, karena mereka menjadi imam-imam bagi Nabi selainnya, seperti Nabi Ibrahim yang menjadi imam bagi Nabi Ismail as, Ishaq as, Ya’qub as, dan lainnya, atau Nabi Musa yang menjadi imam bagi Nabi Harun as, dan tentu saja Nabi Muhammad Saw yang menjadi imam bagi seluruh nabi. Semua berada dalam wahyu vertikal ini.

Baca:

Tingkat Kemaksuman Nabi Muhammad saw

Bukhari dari Abul Walid dari Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Abi Mulaikah dari Miswar bin Makhramah, menukil bahwa Rasulullah bersabda:

فاطمة بضعة مني فمن اغضبها اغضبني; 

“Fatimah (putriku) belahan diriku. Siapa yang membuat ia marah, telah membuat aku marah” (Shahih al-Bukhari, juz 4, Fadhail ash-Shahabah, bab Manaqib Qarabatu Rasulillah saw, hal 210, hadis 3510; dan bab Manaqib Fathimah, hal 219, hadis 3556).


Pengkajian riwayat ini dari dua sisi; dalil dan makna:

Sisi yang pertama, kesahihan riwayat ini jelas tanpa dipersoalkan lagi. Dzahabi (Mizan al-I’tidal, juz 2, hal 491) juara pengkritik di kalangan Ahlussunnah menilai hadis (serupa di atas) ini,

فاطمة بضعة مني يريبني ما رابها ويؤذيني ما اذاها; 

“Fatimah (putriku) belahan diriku. Meragukan aku siapa yang meragukan dia, dan menyakiti aku siapa yang menyakiti aku.” adalah sahih. Selain itu, riwayat terkait mencapai tingkat kemutawatiran ijmali (secara global). Datangnya dari Rasulullah saw dipastikan tanpa disangsikan.


Ridha Tingkat Akal dan Hati

Sisi yang kedua, riwayat (sebagaimana dari Sahih Bukhari) di atas merupakan premis bagi riwayat yang kedua berikut ini:

Rasulullah saw bersabda kepada Fatimah:

ان الله يغضب لغضبك ويرضى لضاك; 

“Sesungguhnya Allah murka dengan murkamu dan ridha dengan ridhamu.” (al-Ahad wa al-Matsani/adh-Dhahhak, juz 5, hal 313, dan kitab-kitab hadis lainnya). Bahwa, ridha dan murka tersebut berasal dari tabiat alami (haiwani) yang sampai pada kehidupan insani. Level kehidupan manusiawi dicapai ketika prinsip ridha dan murka sepenuhnya adalah akal. Karena,

دعامة الانسان العقل; 

“Tonggak identitas manusia adalah akal.” (al-Kafi, juz, hal 25).

Insaniyah ini takkan dicapai oleh orang yang ridha karena suatu kedudukan, walau bukan –dan termasuk- karena masalah perut dan syahwat. Atau ketika seseorang berpaling darinya, dia menjadi tertekan. Atau dia menjadi kesal karena orang itu lebih unggul darinya. Tetapi insaniyah hanya bisa dicapai bila ridha dan murkanya itu bersumber dari akal.

Dalam hidup seseorang apabila ridhanya satu kali bersumber dari akal, pada saat itu satu kali ia menjadi manusia, yakni menjadi yang berakal. Jika ridhanya mutlak, bukan kesekian kalinya tetapi seterusnya demikian itu, maka ia menjadi manusia yang selalu berakal; “Ia ridha karena akalnya ridha dan murka karena akalnya murka.” Namun bila satu kali ridhanya karena perut atau kedudukan, pada saat itu juga ia menjadi binatang, dan sampai ketika ridhanya bersumber dari akalnya saat itu ia menjadi manusia.

Kemudian, level di atas akal (insaniyah) tersebut menurut Ayatullah Uzhma Wahid Khurasani ialah maqam yang kehendaknya menjadi fana dalam kehendak Allah. Bila kehendak hamba fana dalam kehendak Tuhan, maka “Ia ridha karena Tuhan ridha dan murka karena Tuhan murka.”

Mengenai siapa yang telah mencapai maqam akal saja -sebagaimana di atas- Ayatullah Wahid Khurasan mengatakan: “Kenalkan dan tunjukkan kepada saya di mana dia di atas bumi ini, kita akan datang untuk menemuinya, akan saya cium tangannya bahkan debu di kakinya.” Yang sampai pada tingkat ini, ia adalah calon pencapai tingkat “ridha karena Tuhan ridha dan murka karena Tuhan murka.” Dalam semua urusan keberadaannya, termasuk seandainya orang-orang membunuh anaknya, lalu dia murka maka itu karena Allah, dan apabila mereka tidak membunuhnya, lalu dia ridhamaka itu juga karena Allah.

Hal tersebut susah dibayangkan, apalagi diwujudkan. Demikian itulah puncak kedudukan yang disebut oleh Ayatullah Wahid Khurasani, maqam ishmah khatamiyah (penutup kenabian saw). Kemaksumannya tiada tara. Yakni, cinta dan benci seorang yang mencapai kedudukan ini menjadi lenyap dalam cinta dan benci Tuhan. Ia suka sesuatu yang Allah suka dan tidaknya juga demikian. Ialah kemaksuman khatamiyah yang di atas level kemaksuman para nabi. Ialah kemaksuman Sang Nabi Penutup saw.

Pribadi agung yang demikian mencapai apa yang Allah firmankan:

وَما يَنْطِقُ عَنِ الْهَوى‏ إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحى; 

“dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS: an-Najm 3-4). Inilah maqam “yurdhi li ridha ar-rabb wa yaghdhabu li ghadabi ar-rabb”; ridha karena Allah ridha dan murka karena Allah murka.


Referensi:

Halaqe-e Washle Resalat wa Emamat/Ayatullah Syaikh Wahid Khurasani


Wahyu positif dan vertikal tidak hanya diberikan kepada Nabi. Mengapa? Karena tingkat kesuciannya yang meniscayakan itu.

Al-Qur’an menyinggung beberapa ayat tentang para wanita yang diajak bicara oleh para Malaikat. Tentu saja hal ini bukanlah wahyu kenabian namun wahyu kewalian mereka. Antara lain:
Wahyu Allah kepada Sayidah Maryam putri Imran as, ibunda Nabi Isa as:

Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 42)
Wahyu Allah kepada Sayidah Sarah, istri Nabi Ibrahim as:

Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya (Sarah) kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub. (QS. Hud [11]: 69-73)
Wahyu Allah kepada Ibunda Nabi Musa as. Sebagaimana telah disebutkan pada poin pertama (QS. Al-Qashash [28]: 7)
Wahyu untuk Fathimah as

Bagaimana halnya wahyu dalam konteks Ahlul Bait as, seperti Sayidah Fathimah as, putri Rasulullah Saw yang telah Allah sucikan di dalam Al-Qur’an? Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab [33]: 33).

Baca:

Sayidah Fatimah Harus Diagungkan dan Diteladani

Jika ulama besar seperti Imam Khomeini mengaku qâshir (tak mampu) berbicara tentang Sayidah Fatimah, penulis juga ingin mengatakan tak mampu berbicara tentang Imam Khomeini. Siapa-di mana Imam Khomeini dan siapa-di mana Saya bila berbicara tentang beliau seakan Saya mengenal beliau. Ada nilai-nilai yang layak dikaji soal pengakuan beliau itu.

Penulis percaya bahwa apa yang Imam Khomeini katakan itu benar adanya, tidak dalam arti tawadu, apalagi basa-basi. Tetapi satu hal yang kita ketahui, ialah bahwa kaum Syiah berdasarkan ayat at-Tathhir (QS: al-Ahzab 33) meyakini Sayidah Fatimah seorang yang ma’shum. Siapapun yang tak tercakup dalam ayat suci itu (terkecuali para nabi, Sayidah Maryam dan lainnya) sekalipun dikenal suci, tak dapat dibandingkan dengan manusia-manusia pilihan Allah yang Dia kukuhkan ebagai para ma’shum.

Satu makna yang dapat disampaikan di sini terkait pengakuan Imam Khomeini tersebut, ialah bahwa seorang alim yang berma’rifat seperti beliau, semakin dalam dan luas ilmunya semakin merasa banyak sesuatu yang tidak ia tahu.

Syiah berdasarkan hadis ats-Tsaqalain dan lainnya, memandang bahwa Sayidah Fatimah adalah manusia Alquran, atau yang mereka sebut dengan “Quran Nâthiq” (Alquran yang berbicara). Sebagaimana kitab suci Alquran yang terkandung di dalamnya ketinggian, keluasan dan kedalaman ilmu, dan hanya Allah dan Rasul-Nya (saw) yang tahu. Sayidah Fatimah pun demikian, sama dengan Alquran. Maka tak heran bila ulama Syiah ketika berbicara tentang Penghulu kaum wanita seluruh alam ini, mereka mengatakan, “Fatimah adalah Fatimah.” Titik.


Puncak Keutamaan Fatimah Zahra as

Imam Khomeini kemudian mengatakan: “Saya cukupkan satu riwayat mengenai beliau, yang terdapat di dalam al-Kafi dengan sanad (kesahihannya) yang diakui, ialah bahwa Imam Shadiq berkata: “Fatimah –salamullah ‘alaiha– hidup selama 75 hari sepeninggal ayahnya (saw) dalam diliputi dukacita yang mendalam. Jibril al-Amin datang dan menyampaikan turut berduka kepadanya.”

Lalu Imam memberi penjelasan bahwa yang tampak pada riwayat ini, dalam tujuhpuluh lima hari (sisa hidup Sayidah Fatimah) tersebut artinya malaikat Jibril kerap sekali datang menjenguk putri Nabi Agung saw ini. Beliau mengatakan: “Masalah kedatangan Jibril pada seseorang bukanlah perkara sederhana. Tak terbayang, bagaimana Jibril bisa datang kepada seseorang. Meskipun tidak mustahil, harus ada keselarasan antara jiwa seorang yang Jibril datangi dan posisi Jibril sebagai ruh yang agung.”

Penulis melihat sebuah penekanan dari penjelasan beliau, yaitu banyaknya kedatangan Jibril kepada Sayidah Fatimah pada hari-hari akhir hayatnya di dunia. Dalam hemat beliau, para nabi dan imam as tidak sedemikian itu malaikat Jibril datang kepada mereka. Tetapi untuk Sayidah Fatimah -salamullah ‘alaiha, Jibril banyak datang kepadanya dalam tujuhpuluh lima hari itu. Dari sini Imam Khomeini kemudian menyimpulkan, inilah puncak keutamaan Fatimah Zahra di antara semua keutamaan yang beliau miliki.


Anjuran Meneladani Sayidah Fatimah

Imam Khamenei mengungkapkan (yang kira-kira maknanya demikian): “Sayidah Fatimah dalam usia muda yang singkat telah mencapai kedudukan-kedudukan spiritual, keilmuan dan kema’rifatan yang dicapai para nabi dan kekasih Allah (as).”

Sayidah Fatimah yang sangat dimuliakan ayahnya, Rasulullah saw, dan suaminya, Imam Ali as, serta para imam suci, penghormatan besar para kekasih pilihan Allah kepada beliau ini merupakan seruan praktis mereka bagi muslimin bagaimana semestinya memuliakan Sayidah Fatimah Zahra as. Namun demikian, beliau yang pernah hadir di dunia fana ini dan diperingati oleh para pecintanya, tak sekedar untuk diagungkan, tetapi untuk diteladani, dan tak hanya bagi kaum wanita, tetapi bagi seluruh umat manusia.

Imam Khamenei menyampaikan (demikian kira-kira maknanya): “Sayidah Fatimah harus dijadikan figur bagi seluruh muslimah dan diteladani dalam berfikir, berma’rifat, berjuang, bermasyarakat, berumah tangga, bersuami dan menjadi ibu yang mendidik anak-anaknya..

Pemahaman yang keliru tentang kepribadian wanita dari budaya-budaya non islami, yang mempengaruhi cara berfikir orang-orang Islam, menyeret pada kesimpulan bahwa Sayidah Zahra as tak lebih seorang putri Nabi saw dan ibu bagi para imam. Sehingga sisi “langit” yang sangat berperan dalam terbentuknya kehidupan dan kepribadian beliau, dan sifat-sifat keutamaannya tak diketahui untuk dapat diteladani oleh semua wanita bahkan seluruh manusia.”


Referensi:

Shahife-e Nur, juz 19, hal 278.


Demikian halnya riwayat muktabar yang menegaskan kesucian para Ahlul Bait Nabi Saw. Suci adalah konsekuensi penerimaan wahyu. Karena menerima sesuatu yang suci dari Yang Mahasuci, maka Ahlul Bait as yang menerima wahyu haruslah suci. Ahlul Bait Nabi disucikan bukan berarti pernah kotor. Kesucian mereka adalah akibat niscaya pancaran cahaya kesucian dari Allah Swt Yang Mahasuci sebagai Sebab Sejati.

Az-Zahra sebagai manusia suci, secara duniawi suci, lahir dari Nabi yang suci, tidak pernah menyembah berhala, tidak pernah syirik, dan tidak pernah bermaksiat. Karena itu, Az-Zahra menerima wahyu (dalam pengertian yang luas) adalah keniscayaan.

Jangankan manusia selain Nabi, seperti Sayidah Maryam as, Sayidah Sarah as, Ibunda Nabi Musa as dan Sayidah Fathimah as, makhluk Allah Swt yang lain pun disebutkan dalam Al-Qur’an menerima wahyu:
Hawariyun, para sahabat setia Nabi Isa as:

Dan (ingatlah), ketika Aku wahyukan kepada pengikut-pengikut Isa yang setia, “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku.” Mereka menjawab, “Kami telah beriman, dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (Muslim).” (QS. Al-Maidah [5]: 111)
Lebah, sebagaimana telah disebutkan pada poin 2 di atas. (QS. An-Nahl [16]: 68)
Langit:

Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. (QS. Fusshilat [41]: 12)
Bumi:

karena sesungguhnya Tuhanmu telah mewahyukan (yang sedemikian itu) padanya. (QS. Az-Zalzalah [99]: 5)

Dalam ranah ilmu tasawuf adalah suatu hal yang biasa para wali menerima kasyaf, syuhud (penyingkapan), dan sebagainya. Itu semua adalah wahyu yang dalam pemahaman orang umum disebut ilham, padahal sebenarnya dalam makna primer ia adalah wahyu.

Bagi sebagian besar pengikut Ahlulbait, hal itu merupakan keniscayaan dari kesucian Fatimah Zahra. Tapi sebagian awam, kata wahyu dipahami secara kaku, apalagi para aktivis teologi pengkafiran selalu berupaya menciptakan aneka fitnah.

(Dikutip dari rubrik Opini, Buletin Al-Wilayah, edisi 21, Februari 2018, Jumada Al-Akhirah 1439).

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: