Oleh: Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki
Syi’ah adalah golongan yang berpegang teguh pada Sunnah Nabawiyah yang bersumber dari penghulu para nabi Saw dan mereka sedikit pun tidak akan pernah berpaling darinya selamanya. Mereka berpegang pada al- ‘urwâtul wusqâ (buhul tali yang amat kuat), berjalan pada jalannya yang lurus, dan mengambil dari para imam yang suci yang dipelihara dari kesalahan dan dosa (al-ma’shumin). Mereka mengikuti Sunnah yang tidak ada keraguan dan kebimbangan di dalamnya, Sunnah yang lurus yang tidak ada kebengkokan padanya. Mereka hanya mengambil riwayat hadis dari jalur para imam mereka dengan sanad yang kuat dan dipercaya, dari imam yang maksum dan juga sepertinya dan demikian seterusnya sampai Rasulullah Saw dari Jibril, dari Allah Yang Maha Agung.
Para sejarawan tidak pernah meriwayatkan kepada kita bahwa seorang pun dari para imam Ahlulbait itu mengambil atau berguru kepada seorang sahabat, tabiin, atau lainnya. Bahkan, orang-orang yang berguru kepadanya, sedangkan para imam Ahlulbait tidak pernah berguru kepada seorang pun.
Imam Ja’far ash-Shadiq As berkata, “Sungguh mengherankan orang-orang itu, mereka berkata bahwa mereka mengambil ilmu mereka semuanya dari Rasulullah Saw lalu mereka mengetahuinya dan mendapatkan petunjuk. Mereka memandang bahwa kami Ahlulbait tidak mengambil ilmu Rasulullah Saw dan tidak mendapatkan petunjuk dengannya. Sesungguhnya kami adalah keluarga dan keturunannya, di rumah kamilah wahyu turun, dan dari rumah kami pula ilmu menyebar kepada manusia. Maka, apakah kalian berpendapat bahwa mereka mengetahui dan mendapatkan petunjuk, sedangkan kami bodoh dan sesat?”
Imam Muhammad al-Baqir As berkata, “Seandainya kami menceritakan kepada orang-orang dengan pendapat dan hawa nafsu kami, niscaya kami akan binasa. Akan tetapi, kami menceritakan kepada mereka dengan hadis-hadis yang kami menyimpannya dari Rasulullah Saw sebagaimana mereka menyimpan emas dan perak mereka.”
Imam Ja’far ash-Shadiq As berkata, “Hadisku adalah hadis ayahku, hadis ayahku adalah hadis kakekku, hadis kakekku adalah hadis al-Husain, hadis al-Husain adalah hadis al-Hasan, hadis al-Hasan adalah hadis Amirul Mukminin (‘Ali As), hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah, dan hadis Rasulullah adalah firman Allah.”
Imam Ja’far ash-Shadiq As juga berkata, “Barang siapa menceritakan hadis dari kami, niscaya pada suatu hari kami akan menanyakannya. Apabila dia berkata benar tentang kami, maka sesungguhnya dia berkata benar terhadap Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, apabila dia mengada-adakan kedustaan terhadap kami, maka sesungguhnya dia mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sebab, kami apabila meriwayatkan hadis, kami tidak berkata, “Berkata fulan dan fulan”. Akan tetapi, kami berkata, “Allah berfirman dan Rasul-Nya bersabda.”
Selain itu, Syi’ah hanya mau menerima hadis yang tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh para imam Ahlulbait dan tidak pula bertentangan dengan al-Quran. Sebab, mereka mengetahui secara yakin apa yang terjadi pada masa kekuasaan Bani Umayyah, khususnya pada masa tirani Mu’awiyah, yaitu suatu masa yang hadis menjadi barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Pada masa itu, seorang perawi hadis dibayar nilai hadisnya sesuai dengan kadar pengaruhnya pada jiwa, seperti pujian dan celaan.
Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan Mu’awiyah, “Yang dipercaya itu ada tiga, yaitu: aku, Jibril, dan Mu’iiwiyah.”
Di antaranya hadis Fathu Makkah (Penaklukan Makkah), yaitu, “Barang siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, maka dia aman,” seakan-akan rumahnya menjadi tempat yang suci, seperti Baitul Haram.
Di antaranya, khutbah-khutbah yang berisikan cacian kepada Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As dan keluarganya, bahkan cacian ini mencapai tujuh puluh ribu mimbar, sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai sumber Ahlus Sunnah.
Oleh karena itu, Syi’ah tidak mau menerima riwayat-riwayat dari mereka para perawi pembohong dan pemalsu hadis. Pada masa yang diliputi kegelapan tersebut, Mu’awiyah telah menamakan dirinya, demikian juga para pengikutnya, “Ahlus Sunnah wal Jamaah” sebagai tipu muslihat terhadap Syi’ah ‘Ali. Akan tetapi, pada hakikat dan realitasnya, Syi’ahlah yang layak disebut sebagai Ahlus Sunnah karena mereka mengambil Sunnah dari sumbemya yang murni, yaitu para imam Ahlulbait, yang sumbemya dari Rasulullah Saw. Mereka menerima hadis para imam Ahlulbait tersebut tanpa keraguan sedikit pun, dan mereka senantiasa bertanya kepada mereka (para imam Ahlulbait) tentang segala sesuatu yang mereka butuhkan.
Misalnya, Imam Ja’far Ash-Shadiq As, berkumpul di sekeliling tokoh-tokoh ulama terkemuka yang jumlah yang sangat besar. Bahkan, Abul Hasan al-Wasya berkata kepada sebagian penduduk Kufah, “Aku menjumpai dalam masjid ini, yaitu Masjid Kufah, empat ribu Syaikh dari kalangan ahli wara’ dan agama, yang semuanya berkata, “Imam Ja’far bin Muhammad menceritakan kepadaku.”
Berikut ini, kami akan menyebutkan kepadamu sebagian hadis yang menjadi bukti kebenaran keyakinan Syi’ah, yang kami akan meriwayatkannya dari sumber-sumber Ahlus Sunnah.
Hadis Peringatan
Nabi Saw bersabda, “Ini ‘Ali adalah pembantuku, washiy (penerima wasiat)-ku, dan khalifahku sepeninggalku.” Hadis di atas banyak diriwayatkan oleh para imam hadis dan sejarah, baik dari Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, dalam kitab-kitab sahih mereka dan Musnad mereka. Mereka mengakui kesahihan hadis tersebut.
Ath-Thabari menyebutkan dalam Târikh-nya dari Abil Hamid yang berkata, “Salamah menceritakan kepada kami, ia berkata, “Muhammad bin Ishaq menceritakan kepada saya, dari ‘Abdul Ghafar bin Qasim, dari al-Minhal bin ‘Umar, dari ‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal bin al-Harits bin’ Abdul Muthalib, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dari ‘Ali bin Abi Thalib As yang berkata, “Ketika ayat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmua yang terdekat.” (Qs. asy-Syu’ara’ [26]: 214)
Rasulullah Saw memanggilku, lalu ia bersabda, “Wahai ‘Ali, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku, Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!
Maka, menjadi sempitlah dadaku karenanya, dan aku pun tahu, kapan saja aku memulal berkata perkara ini kepada mereka, niscaya aku akan melihat sesuatu yang tidak aku sukai dari mereka. Oleh karena itu, aku diam saja sehingga Jibril datang seraya berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kamu jika tidak mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya Tuhanmu akan menyiksamu.” Maka, buatkan untuk kami (wahai ‘Ali) satu mangkuk makanan, yang di dalamnya ada sepotong kaki kambing, dan semangkuk penuh susu. Kemudian kumpulkanlah untukku Bani ‘Abdul Muthalib sehingga aku berkata kepada mereka dan menyampaikan apa yang telah diperintahkan (Allah) kepadaku.”
Kemudian aku memanggil mereka, sedangkan jumlah mereka pada hari itu sekitar empat puluh orang laki-laki, di antara mereka terdapat paman-pamannya, yaitu: Abu Thalib, Hamzah, al-‘ Abbas, dan Abu Lahab.
Ketika mereka sudah berkumpul di rumah Rasulullah Saw, ia menyuruhku untuk mengeluarkan makanan yang telah kubuatkan untuk mereka, lalu aku pun mengambilkan makanan itu. Ketika aku meletakkan makanan itu, ia mengambil daging kambing itu seraya memotongnya dengan giginya, kemudian ia melemparkan daging itu ke pinggiran mangkuk yang berisi makanan, kemudian ia bersabda, ‘Makanlah dengan nama Allah!’ Lalu, mereka pun makan sekenyang-kenyangnya. Demi Allah, yang jiwa ‘Ali berada dalam genggaman-Nya, semua yang hadir memakan makanan yang aku hidangkan itu.
Kemudian ia bersabda kepadaku, “Berilah mereka minum!’ Lalu, aku mengambilkan mangkuk yang berisi susu itu, mereka pun semuanya minum sepuasnya. Ketika Rasulullah Saw hendak memulai berbicara, Abu Lahab mendahuluinya, ia berkata, “Sungguh, kawan kalian ini (Muhammad Saw.) telah menyihir kalian.” Maka, orang-orang pun berpencar (meninggalkan Rasulullah Saw) sebelum Rasulullah Saw sempat berbicara kepada mereka.
Lalu Rasulullah Saw bersabda kepadaku, ‘Wahai ‘Ali, orang ini (Abu Lahab) telah mendahuluiku, sebagaimana yang kamu dengar ucapannya, sehingga orang-orang pun berpencar (meninggalkanku) sebelum aku sempat berbicara kepada mereka. Oleh karena itu, ulangilah besok membuat makanan sebagaimana yang telah kamu buat, kemudian kumpulkanlah mereka kepadaku!’
‘Ali As berkata, aku tunaikan perintah itu. Kemudian aku kumpulkan (kembali) mereka, lalu ia menyuruhku menghidangkan makanan, aku pun mendekatkan makanan kepada mereka, lalu ia melakukan sebagaimana yang ia lakukan kemarin. Kemudian mereka makan sekenyang-kenyangnya, lalu ia bersabda kepadaku, ‘Berilah mereka minum!’ Aku mengambilkan mangkuk yang berisi susu itu, lalu mereka pun minum sepuasnya.
Kemudian Rasulullah Saw berbicara, “Wahai Bani ‘Abdil Muththalib, sesungguhnya aku, demi Allah, tidak mengetahui seorang pemuda pun di kalangan orang Arab yang datang kepada kaumnya lebih utama daripada apa yang aku datang dengannya. Sesungguhnya aku telah datang kepada kalian dengan membawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan sesungguhnya Allah Swt telah menyerukan kalian kepada seruan-Nya. Lalu, siapakah di antara kalian yang akan membantuku dalam perkara ini sehingga ia akan menjadi saudaraku, washiyy (penerima wasiat)-ku, dan khalifahku di tengah-tengah kalian?”
Semua orang diam, lalu aku berkata, sedangkan aku orang yang paling muda di antara mereka, “Aku wahai Nabi Allah, yang akan menjadi pembantumu atas seruanmu ini.” Kemudian, ia memegang leher belakangku, kemudian ia bersabda, “Sesungguhnya orang ini (‘Ali As) adalah saudaraku, washiyy-ku, dan khalifahku di tengah-tengah kalian, maka dengarkanlah dan taatilah dia!”
Maka, orang-orang bangkit dari tempat duduknya sambil tertawa di antara sesama mereka, lalu mereka berkata kepada Abu Thalib, “Sesungguhnya ia (Muhammad Saw) telah memerintahkan kepadamu agar engkau mendengarkan anakmu (‘Ali) dan menaatinya.”
AI-‘Allamah al-Hujjah al-Amini berkata dalam kitabnya al-Ghadir,[1] setelah menyebutkan hadis tersebut, “Hadis dengan lafal tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ja’far al-Iskafi al-Mutakallim al-Mu’tazili al-Baghdadi, wafat pada tahun 240 Hijriah, dalam kitabnya Naqdhul ‘Utsmaniyyah dan ia berkata, “Sesungguhnya hadis ini diriwayatkan dalam riwayat yang sahih.” [2]
Al-Faqih Burhanuddin menukil hadis tersebut dalam Anbâ ‘u Nujabâ ‘ul Abnâ’, halaman 44-48.
Ibnul Atsir dalam al-Kâmil, halaman 24.
Abul Fida’ ‘Imaduddin ad-Dimasyqi dalam Târikh-nya, jil. 1, hal. 116.
Syihabuddin aI-Khafaji dalam Syarhusy Syafâ, karya al-Qadhi ‘Iyadh, jil. 3, hal. 37, dan ia berkata, “Disebutkan di dalam ad-Dalâ ‘il, al-Baihaqi, dan lainnya dengan sanad yang sahih.
Al-Khiizin ‘Ala’uddin al-Baghdadi dalam tafsimya, halaman 390.
Al-Hafizh as-Suyuthi dalam Jam ‘ul Jawâmi’ kamâ fi Tartibihi, jil. 6, hal. 392, yang ia nukil dari ath-Thabari, dan pada halaman 397 dari enam orang hafizh, yaitu: Abu Ishaq, Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, Abu Nu’aim, dan al-Baihaqi.
Ibn Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah, jil. 3, hal. 254.
Sejarawan George Zaidan menyebutkannya dalam Târikh at-Tamaddun alI-Islâmi, jil. 1, hal. 31.
Dan Ustad Muhammad Husain Haikal di dalam Hayâtu Muhammad, hal. 104, cetakan pertama.
Para perawi hadis tersebut di atas semuanya tepercaya, kecuali Abu Maryam ‘Abdul Ghaffar bin al-Qasim, ia dilemahkan oleh sebagian kalangan tertentu hanya karena ia berpaham Syi’ah. Akan tetapi, Ibn ‘Uqdah memuji Abu Maryam dengan pujian yang sangat tinggi, sebagaimana disebutkan di dalam Lisânul Mizân,jil. 4, hal. 43.
Para hafizh dan imam hadis serta tokoh-tokoh ulama terkemuka lainnya telah meriwayatkan dar!nya hadis tersebut, dan tidak seorang pun dari mereka yang mencela atau berkata bahwa hadis tersebut lemah karena di antara perawinya adalah Abu Maryam (‘Abdul Ghaffar bin al-Qasim), bahkan mereka berhujah dengannya dalam Dalâ’ilun Nubuwwah wa Khashâ’ishun Nabawiyyah (Tanda-Tanda Kenabian dan Kekhususan-Kekhususan Nabi Saw).
Abu Ja’far al-Iskafi dan Syihabuddin juga telah mensahihkan hadis tersebut, dan demikian as-Suyuthi dalam Jam’ul Jawâmi’ kama fi Tartibihi, jil. 6, hal. 396, yang menyebutkan bahwa Ibn Jarir ath-Thabari mensahihkan hadis tersebut dan menyebutkan bahwa hadis ini juga diriwayatkan dengan sanad yang lain, yang para perawinya semuanya tsiqah (tepercaya).
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis tersebut dalam Musnad-nya, jil. 1, hal. 111, dengan sanad yang semua perawinya adalah perawi hadis sahih, yang tidak diragukan lagi, yaitu: Syarik, al-A’masy, al-Minhal, dan ‘Ibad.
Kemudian al-‘Allamah al-Amini berkata, “Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, jil. 1, hal. 159, dari ‘Affan bin Muslim ‘tsiqah (tepercaya)’ dari Abu ‘Iwanah ‘tsiqah’, dari ‘Utsman bin al-Mughirah ‘tsiqah’, dari Abu Shadiq Muslim al-Kufi tsiqah’, dari Rabi’ah bin Najidz “tabi’in al-Kufi tsiqah”, dari ‘Ali Amirul Mukminin.”
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Târikh-nya, jil. 1, hal. 217, dan al-Hafizh an-Nasa’i dalam al-Khashâ’ish, halaman 18.
Dan al-Hafizh al-Kanji asy-Syafi’i juga meriwayatkan hadis tersebut i dalam al-Kifâyah, hal. 89, dan Ibn Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah, jil. 3, hal. 255.
Al-Hafizh Ibnu Mardawaih meriwayatkan, sebagaimana dinukil oleh as-Suyuthi di dalam Jam’ul Jawâmi’, juga disebutkan dalam Kanzul ‘Ummâl, jil. 6, hal. 401, setelah menyebutkan permulaan hadis tersebut, kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Bani ‘Abdul Muththalib, sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada makhluk secara umum, dan kepada kalian secara khusus. Dia berfirman, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Qs. asy-Syura [26]: 214)
Aku menyeru kepada kalian dengan dua kalimat yang ringan di lisandan berat dalam mizân (timbangan), yaitu kesaksian tidak ada Tuhan kecuali Allah dan aku adalah Rasul Allah. Siapakah yang bersedia menyambut seruanku ini dan membantuku, niscaya ia menjadi saudaraku, pembantuku, washiyy-ku, ahli warisku, dan khalifahku sepeninggalku?” Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang menyambut seruan itu, lalu ‘Ali berdiri seraya berkata, “Aku wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Duduklah kamu!”
Kemudian ia mengulangi lagi untuk yang kedua kalinya, tetapi mereka tetap diam saja. Kemudian, ‘Ali kembali berdiri seraya berkata, “Aku wahai Rasulullah.”
Nabi Saw bersabda. “Duduklah kamu'”
Kemudian beliau mengulangi lagi untuk yang ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada seorang pun di antara mereka yang menyambut seruan itu. Lalu, ‘Ali berdiri seraya berkata, “Aku wahai Rasulullah.”
Ia bersabda, “Duduklah! Engkau adalah saudaraku, pembantuku, washiyy-ku, ahli warisku, dan khalifahku sepeninggalku.”
AI-Imamul Akbar as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin Ra berkata dalam kitabnya al-Murâja ‘ât (Dialog Sunnah Syi’ah), hal. 119, “Hadis ini (hadis peringatan Nabi Saw. kepada para kerabatnya terdekat) juga disebutkan oleh Muhammad Husain Haikal al-Mishri dalam kitabnya Hayâtu Muhammad, cetakan pertama, tetapi ia tidak menyebutkannya kembali pada cetakan kedua dan ketiga dalam kitabnya tersebut.
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh-nya, Ahmad dalam Musnad-nya, ‘Abdullah bin Ahmad di dalam Ziyâdât al-Musnad, Ibnu Hajar al-Haitsami di dalam Jam ‘ul Fawâ’id, Ibnu Qutaibah dalam ‘Uyûnul Akhbâr, Ibnu ‘Abdi Rabbih dalam al- ‘Iqdul Farid, AI-Jahizh dalam Risâlah-nya tentang Bani Hasyim, dan Ats-Tsa’iabi dalam Tafsir-nya.
Aku katakan, hadis ini (hadis peringatan) Nabi Saw kepada para kerabatnya terdekat) merupakan dalil yang terang dan hujah yang meyakinkan bahwa khalifah sepeninggal Rasulullah Saw adalah ‘Ali bin Abi Thiilib As. Sebab, Rasulullah Saw mengeluarkan penyataan tentang perkara ini pada awal dakwahnya dan menjadikan ‘Ali As sebagai pembantunya dalam dakwahnya ini, dimana ketika itu orang-orang yang hadir di rumahnya tidak ada satu pun yang menyambut seruan itu kecuali ‘Ali As. Rasulullah Saw hingga menawarkan tiga kali kepada mereka untuk membantunya dalam dakwahnya, yang orang itu akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Akan tetapi, setiap kali tawaran itu diajukan, setiap kali itu pula hanya ‘Ali As yang bangkit berkata, “Aku wahai Rasulullah.”
Akbirnya, pada kali ketiganya, Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali As, “Engkau (wahai ‘Ali) adalah saudaraku, pembantuku (dalam dakwah ini), washiyy-ku, dan khalifahku sepeninggalku.”
Demi Allah, wahai pembaea yang berpikiran bebas dan objektif, apakah ada nash lain yang lebih tegas daripada nash ini tentang kekbalifahan ‘Ali As ini sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung?
Wahai kaum Muslimin, mengapa masih saja ada kefanatikan setelah adanya nash yang tegas tentang kekbalifahan ‘Ali As langsung sepeninggal Rasulullah Saw yang diriwayatkan sendiri oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Hadis Tsaqalain
Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga). yaitu: Kitabullah (al-Quran) dan keturunanku Ahlulbaitku, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya nisacaya kalian tidak akan sesat selamanya.”
Hadis di atas sangat terkenal sehingga tidak perlu lagi disebutkan sumbernya karena ia diriwayatkan oleh dua golongan, Ahlus Sunnah dan Syi’ah, dan keduanya pun mengakui kesahihan hadis tersebut. Hadis ini dikenal oleh kalangan khusus dan umum, bahkan dihafal oleh anak kecil, orang besar, alim, dan orang bodoh sekali pun.
Akan tetapi, para perawi berselisih dalam redaksi hadis yang mulia ini, namun perselisihan ini tidak mengubah makna dan substansi hadis tersebut.
Perbedaan ini membuktikan bahwa Rasulullah Saw mengucapkan sabdanya tersebut dalam beberapa tempat dan kesempatan, sebagaimana banyaknya perawi hadis tersebut menunjukkan bahwa beliau mengucapkan sabdanya tersebut dalam beberapa tempat yang berbeda.
Di antaranya, ketika Nabi Saw melaksanakan Haji Wada’ pada hari Arafah di hadapan kumpulan orang banyak; dan juga pada hari Ghadir Khum dalam khutbahnya yang terkenal itu; dan di antaranya pula, ketika ia sakit menjelang kewafatannya, yaitu ketika ia berwasiat bagi umatnya.[3]
Kami akan menyebutkan kepadamu wahai pembaca yang budiman, sebagian Imam Ahlus Sunnah yang meriwayatkan hadis tsaqalain tersebut di dalam kitab-kitab sahih mereka, sunan, musnad, tafsir, sejarah, dan lainnya, dengan sanad dan jalur yang beragam agar menambah kejelasan dan ketenangan.
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi Saw, ia bersabda, “Sesungguhnya telah dekat bagiku untuk dipanggil (Tuhanku), aku pun akan memenuhi panggilan itu. Dan sesungguhnya aku tinggalkan tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) kepada kalian, yaitu: Kitabullah ‘Azza wa Jalla dan keturunanku. Kitabullah adalah tali (Allah) yang terbentang dari langit ke bumi, dan keturunanku Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui telah memberi tahuku bahwa keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya berjumpa denganku di Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. “[4]
Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam sumber yang sama, halaman 26, dari Abu Sa’id al-Khudri hadis yang lain. Demikian juga pada halaman 59, dari Abu Sa’id al-Khudri hadis yang lain.
Ia juga meriwayatkan pada juz keempat, halaman 367, dari Zaid bin Arqam hadis yang lain.
Disebutkan dalam Shahîh Muslim bahwa Nabi Saw bersabda, “Dan aku tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang berharga), salah satunya adalah Kitabullah (al-Qur’an) yang dalamnya mengandung petunjuk dan cahaya. Ambillah kitabullah itu dan berpegang teguhlah kepadanya,” ia menganjurkan dengan dorongan yang kuat agar umatnya berpegang teguh kepada Kitabullah. Kemudian ia bersabda, “Dan Ahlulbaitku, aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku.”[5]
Imam Muslim juga menyebutkan hadis yang lain (berkenaan dengan perintah berpegang teguh pada al-Quran dan Ahlulbait) dalam Shahîh-nya,jil. 7, halaman 122.
Al-Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dalam Kanzul ‘Ummal[6] hadis yang redaksinya hampir sarna dengan yang diriwayatkan oleh Muslim sebelum ini.
Di dalam Shahîh at-Tirmidzi diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah AI-Anshari yang berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw. di dalam Haji Wada’ (Haji Perpisahan) di atas untanya ‘AI-Qushwa’ (nama unta Rasulullah Saw.)’, beliau berkhutbah. Aku mendengar beliau bersabda, “Ayyuhannas, sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan tersesat, yaitu: Kitabullah (Al-Quran) dan keturunanku Ahlulbaitku.” [7]
At-Tirmidzi juga menyebutkan di dalam Shahîh-nya dari Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, yaitu: Kitabullah (al-Quran), ia adalah tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan keturunanku Ahlulbaitku. Keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di telaga Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya sepeninggalku.”
At- Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadis tersebut, “Hadis ini adalah hadis hasan.”
Ath-Thabari meriwayatkan hadis ini di dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 16. AI-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Saw bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain: Kitabullah (al-Quran) dan keturunanku. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab, sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.”[8]
Al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dalam al-Mustadrak, halaman 148 dan 532, dan setelah menyebutkan hadis tersebut, ia berkata, “Hadis ini sahih sesuai syarat (yang ditetapkan oleh) al-Bukhari dan Muslim.”
Adz-Dzahabi juga meriwayatkan hadis tersebut dalam Talkhîsh al-Mustadrak. AI-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan hadis tsaqalain ini dalam Yanâbi’ul Mawaddah.
Dan ia juga meriwayatkan, halaman 36, dari Imam ‘Ali ar-Ridha As sesungguhnya ia berkata tentang al-‘itrah (keturunan Rasulullah Saw.) ini, “Dan mereka inilah yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yaitu: Kitabullah (al-Quran) dan Itrah (Ahlulbaitku). Ketahuilah! Sesungguhnya keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga keduanya berjumpa denganku di Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku.
At-Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadis tersebut, “Hadis ini adalah hadis hasan.”
Ath-Thabari meriwayatkan hadis ini dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 16. Al-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Saw bersabda pada Haji Wada “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain: Kitabullah (AI-Quran) dan keturunanku. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab, sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh..”
Al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dalam al-Mustadrak, halaman 148 dan 532, dan setelah menyebutkan hadis tersebut, ia berkata, “Hadis ini sahih sesuai syarat (yang ditetapkan oleh) al-Bukhari dan Muslim.”
Adz-Dzahabi juga meriwayatkan hadis tersebut dalam Talkhîsh al-Mustadrak. AI-Qundfizi al-Hanafi meriwayatkan hadis tsaqalain ini dalam Yandâi’ul Mawaddah.
Dan ia juga meriwayatkan, halaman 36, dari Imam ‘Ali ar-Ridha As sesungguhnya ia berkata tentang al- ‘itrah (keturunan Rasulullah Saw.) ini, “Dan mereka inilah yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw., ‘Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yaitu: Kitabullah (al-Quran) dan keturunan (itrah) Ahlulbaitku. Ketahuilah! Sesungguhnya keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga keduanya berjumpa denganku di Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Ayyuhannas, janganlah kalian mengajari mereka karena sesungguhnya mereka itu lebih tahu daripada kalian.”
Ibn Katsir meriwayatkan hadis tsaqalain ini dalam Tafsir-nya, jil. 3, halaman 486. Ibn Hajar meriwayatkan dalam Shawâ’iq-nya hadis tsaqalain ini dengan jalur riwayat yang banyak, dan pada Bab Kesebelas dalam kitab tersebut, ia berkata, “Ketahuilah! Sesungguhnya hadis yang memerintahkan (kaum Muslim) berpegang teguh pada Kitabullah dan Ahlulbait Nabi Saw itu mempunyai jalur riwayat yang banyak, ia diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat Nabi Saw. Dalarn suatu riwayat, ia mengucapkan hadisnya tersebut pada waktu Haji Wada’ di ‘Arafah; dalam riwayat lain, ia sabdakan di Madinah, yaitu ketika ia sakit parah dan di kamarnya yang ketika itu para sahabatnya berkumpul; dalam riwayat lain, ia mengucapkannya di Ghadir Khum; dan pada riwayat yang lain, beliau mengucapkannya ketika ia berkhutbah sepulangnya ia dari Thaif.
Riwayat-riwayat tersebut sama sekali tidak bertentangan karena sangat mungkin Nabi Saw mengulangi sabdanya tersebut kepada para sahabatnya di beberapa tempat yang berbeda. Sebab, ia sangat memperhatikan hal yang sangat penting tersebut, yaitu: al-Quran dan al- ‘itrah ath-thahirah (keturunan Nabi Saw yang suci).”
Di dalam Târikh al-Ya’qubi disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, “Ayyuuhannas, sesungguhnya aku akan mendahului kalian (menghadap Tuhanku), sedangkan kalian akan mendatangiku di Haudh. Dan sesungguhnya aku akan menanyakan kepada kalian tentang tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga). Oleh karena itu, perhatikanlah dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku.:
Para sahabat bertanya, “Apakah itu tsaqalain wahai Rasulullah?”
Rasulullah Saw menjawab, ‘Tsaqal (peninggalan yang sangat berharga) yang salah satunya adalah Kitabullah, ujung talinya yang satu berada di tangan Allah, sedangkan ujung yang satunya lagi berada di tangan kalian. Maka, berpegang teguhlah kalian dengannya, janganlah kalian sampai tersesat dan jangan pula mengubahnya. Dan Keturunanku Ahlulbaitku.”
Masih banyak para imam hadis yang meriwayatkan hadis tsaqalain ini, di antara mereka adalah:
Ad-Darimi dalam Sunan-nya,jil. 2, halaman 432. An-Nasa’i dalam Khashâ ‘ish-nya, halaman 30.
AI-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, Bab Pertama, halaman 2.
Abu Dawud dan Ibnu Majah al-Quzwaini dalam kitab keduanya.
Abu Na’im aI-Ishfahani dalam Hilyah-nya, jil. I, halaman 355.
Ibnu al-Atsir dalam Asadul Ghâbah, jil. 2, halaman 12, dan jil. 3. halaman 147.
Ibn ‘Abdi Rabbih dalam AI-‘lqdul Farid, jil. 2, halaman 158 dan 346.
Ibn AI-Jauzi dalam Tadzkiratul Khawâsh, bab kedua belas, halaman 332.
Al-Halibi asy-Syiifi’i dalam lnsânul ‘Uyûn, jil. 3, halaman 308.
Ats-Tsa’iabi dalam al-Kasyfu wal Bayân tentang tafsir ayat al- i’tishâm dan tafsir ayat ats-tsaqalân.
AI-Fakhrur Razi dalam Tafsir-nya, jil. 3, halaman 18, tentang tafsir ayat al-i’tishâm.
An-Naisaburi dalam Tafsir-nya, jil. I, halaman 349, tentang tafsir ayat al-i’tishâm.
Al-Khazin dalam Tafsir-nya, jil. I, halaman 257, tentang tafsir ayat al-a’tishâm, dan dalam jil. 4, halaman 94, tafsir ayat al-mawaddah. Dan tentang tafsir ayat, ar-rahman.
Ibn Katsir ad-Dimasyqi dalam Tafsir-nya, jil. 4, halaman 113, tentang tafsir ayat al-mawaddah., dan jil. 3, halaman 485, tentang tafsir ayat at-tathhir, dan juga dalam Târikh-nya, jil. 5, tentang hadis Ghadir Khum.
Ibn Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah, jil. 6, halaman 130, tentang makna al- ‘itrah.
Asy-Syablanji dalam Nurul Abshâr, halaman 99.
Ibn Shibagh al-Maliki dalam al-Fushulul Muhimmah, halaman 25.
Al-Hamuyini dalam Farâ’idus Simthain dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas.
Dan al-Baghawi asy-Syafi’i dalam Mashâbilush Sunnah, jil. 2, halaman 205-206.
Al-Imam Syarafuddin al-Musawi Ra berkata dalam kitabnya al-Murâja’ât (Dialog Sunnah Syi’ah), halaman 22, “Hadis yang menunjukkan keharusan berpegang teguh kepada tsaqalain (al-Quran dan Ahlulbait) adalah hadis yang sahih, bahkan mutawatir, yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat. Rasulullah Saw telah menyampaikan hadis tersebut dalam beberapa tempat dan kesempatan.
Nabi Saw pernah menyampaikan hadis tsaqalain itu pada hari Ghadir Khum, ia juga pernah menyampaikannya pada hari Arafah pada waktu Haji Wada’, pernah ia sampaikan sepulang dari Thaif, pernah ia sampaikan di atas mimbarnya di Madinah, dan pernah juga ia sampaikan di kamarnya yang diberkati, yang ketika itu ia sedang sakit dan kamarnya waktu itu dipenuhi oleh para sahabat. Ia bersabda, “Ayyuhannas sudah dekat saatnya nyawaku akan dicabut dengan cabutan yang cepat, lalu aku pun akan meningalkan kalian. Sungguh, aku telah memberikan nasihat kepadamu. Maafkanlah aku. Ketahuilah! Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepadamu Kitabullah dan Itrah Ahlulbaitku.”
Kemudian ia meraih tangan ‘Ali dan mengangkatnya, ia bersabda, “Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama ‘Ali, keduanya tidak akan berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.”
Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani, an-Nabhani dalam Arba’inal Arbâi’in, dan as-Suyuthi dalam Ihyâ’ul Mayyit.
Dan engkau tahu bahwa khutbah Rasulullah Saw, itu tidaklah terbatas pada kalimat itu saja. Sebab, tidaklah mungkin dikatakan kepada orang yang hanya mengucapkan kalimat pendek seperti itu bahwa ia berkhutbah kepada kami. Akan tetapi, politik sungguh telah mengunci lisan para perawi hadis dan menahan pena para penulis. Kendati demikian, setetes air dari lautan tersebut telah memadai dan mencukupi, dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Ihwal hadis tsaqalain, al-Allamah al-Hujjah al-Kabir as-Sayid Hasyim al-Bahrani menyebutkan dalam bukunya Ghayatul Maram, hal. 211, tiga puluh sembilan jalur riwayat dari Ahlus Sunnah, sebagaimana ia menyebutkannya dalam buku yang sama, hal. 217, delapan puluh dua jalur riwayat dari Syi’ah dari Ahlulbait.
Hadis tsaqalain ini juga disebutkan oleh as-Sayid al-Ajal al-Mubajjal (yang diagungkan) al-Imam al-Akbar pemuka mazhab Ahlulbait Ayatullah al-Uzmah as-Sayid Mir Hamid Husain an-Naisaburi, kemudian al-Hindi, dalam ‘Aqabât-nya.
Masih banyak lagi yang meriwayatkan hadis tsaqalain ini, bahkan jumlah mereka mencapai sekitar dua ratus ulama dari berbagai mazhab, dan lebih dari tiga puluh sahabat Nabi Saw, yang seluruhnya meriwayatkan hadis tersebut dari Nabi Saw.
Aku katakana, siapa saja yang berpikiran jernih dan objektif, niscaya ia akan mengakui kesahihan hadis tsaqalain tersebut, yang menunjukkan bukti yang nyata dan jelas atas kekhalifaan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As dan anak keturunannya, sebelas Imam Maksum. Sebab, Nabi Saw, telah menyandingkan mereka (Ahlulbait) dengan al-Qur’an. Al-Qur’an adalah rujukan utama bagi umat Islam, tidak ada yang meragukan hal itu, dari mulai awal dakwah sampai akhir dunia, demikian juga ‘Ali dan anak keturunannya yang diberkati, sebelas Imam Ahlulbait As.
Rasulullah Saw juga telah menjadikan berpegang teguh kepada keduanya, al-Qur’an dan Ahlulbait, sebagai syarat terbebas dari kesesatan, sedangkan barangsiapa yang berpaling dari keduanya, niscaya akan celaka dan binasa. Oleh karena itu, ia menyandingkan Ahlulbait dengan al-Qur’an dan memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh kepada keduanya secara bersamaan. Dengan demikian, tidak diperbolehkan bagi kaum Muslimin untuk hanya mengikuti salah satu dari keduanya dan meninggalkan yang lainnya.
Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib berpegang teguh kepada tsaqalain, al-Qur’an dan Ahlulbait, secara bersamaan; bukan hanya mengikuti al-Qur’an lalu meninggalkan Ahlulbait, atau sebaliknya. Al-Qur’an dan Ahlulbait merupakan satu tali ikatan yang kuat, yang tidak mungkin diputuskan di antara keduanya, satu sama lainnya saling bergandengan erat. Akan tetapi Ahlulbait adalah lisan yang berbicara, sedangkan al-Qur’an diam, tidak berbicara.
Kita tidak akan mampu berpegang teguh kepada al-Qur’an, tanpa melalui jalan Ahlulbait. Lantaran, pengetahuan tentang al-Qur’an, seperti menyingkap rahasia-rahasianya, membedakan antara yang muhkam dan mutasyabihat, dan nasikh dan mansukhnya tidak akan benar, kecuali dengan keterangan dan penjelasan mereka. Oleh karena itu, mengikuti keduanya secara bersamaan adalah jalan keselamatan, tidak ada keraguan tentang hal itu.
Adapun orang yang berpaling dari keduanya, atau salah satu darinya, ia akan binasa dan merugi, ia tidak akan mendapatkan keselamatan. Lantaran, Rasulullah Saw sendiri yang memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh kepada keduanya secara bersama-sama, sedangkan ia tidaklah pernah memerintahkan atau melarang sesuatu yang sia-sia. Ia tidaklah mengucapkan sesuatu mengikuti hawa nafsunya, ucapannya itu tidak lainya hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Oleh karena itu, merupakan keharusan dan kewajiban berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan, demi mendapatkan keselamatan dan keberuntungan yang besar serta kenikmatan yang abadi.
Imam Syarafuddin al-Musawi berkata dalam al-Murâja’ât (Dialog Sunni-Syiah), hal. 23 (dalam edisi Arabnya), “Sesungguhnya pemahaman (yang benar) dari sabda Nabi Saw, “Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Itrahti (keturunanku),” adalah siapa saja yang tidak berpegang teguh kepada keduanya secara bersamaan, niscaya ia akan tersesat.
Hal ini dikuatkan dalam sabda Nabi Saw, ihwal hadis tsaqalain yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani, ia bersabda, “Janganlah kalian mendahului keduanya sehingga kalian akan binasa, janganlah kalian tertinggal dari keduanya sehingga kalian akan binasa, dan janganlah kalian mengajari mereka karena sesungguhnya mereka itu lebih tahu daripada kalian.”
Ibnu Hajar berkata, “Sabda Rasulullah Saw, Janganlah kalian mendahului keduanya sehingga kalian akan binasa, janganlah kalian tertinggal dari keduanya sehingga kalian akan binasa, dan janganlah kalian mengajari mereka karena sesungguhnya mereka itu lebih tahu daripada kalian,” menunjukkan bahwa mereka (Ahlulbait) harus didahulukan dalam kedudukan-kedudukan yang tinggi dan tugas-tugas keagamaan…”[9]
Aku katakan, “Sesungguhnya Rasulullah Saw menamakan keduanya (al-Qur’an dan Ahlulbait) “tsaqalain” lantaran keduanya sangat penting dan sangat berharga. Dalam bahasa Arab, sesuatu yang sangat serius dan agung serta sangat berharga nilainya biasanya disebut sebagai “tsaqal.” Sebab berpegang teguh kepada keduanya bukanlah perkara yang mudah dan sederhana. Beramal dengan apa yang telah diwajibkan Allah Swt berkenaan dengan hak-hak keduanya sangatlah berat, di antaranya Ibnu Hajar dalam ash-Shawâ’iq, bab “wasiat Nabi Saw” dan juga as-Suyuthi.
Oleh karena itu, hal itu menunjukkan bahwa khilafah dan imamah terbatas pada mereka saja. Semoga Allah Swt merahmati orang yang melantunkan syair ini:
Mereka (Ahlulbait) sejajar dengan Kitabullah
Hanya saja, Kitabullah itu diam sedangkan mereka itu kitab yang berbicara
Hadis tsaqalain ini juga dapat dijadikan dalil kemaksuman Ahlulbait, sebagaimana al-Qur’an merupakan kitab yang maksum, tidak ada keraguan tentang kemaksumannya. Sebab, Nabi Saw telah memerintahkan umatnya untuk merujuk kepada mereka sepeninggalnya, yang hal ini tidak terwujud kecuali terhadap orang-orang yang telah dipelihara Allah Swt dari kesalahan dan dosa.
Kemaksumam mereka (Ahlulbait) juga merupakan petunjuk jelas bahwa khilafah dan imamah hanya berlaku bagi mereka karena ia merupakan syarat dalam khilafah dan imamah. Sedangkan orang-orang selain mereka tidaklah maksum dari kesalahan dan dosa, sebagaimana disepakati oleh kaum Muslimin.
Hadis Manzilah
Hadis manzilah ini merupakan sabda Nabi Saw kepada ‘Ali As, “Apakah engkau tidak puas wahai ‘Ali, kedudukanmu di sisiku ibarat kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku.”
Kaum Muslimin sepakat terhadap kesahihan hadis yang mulia tersebut, dan mereka meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab-kitab sahih dan musnad mereka, dengan sanad-sanad yang kuat dan jalur yang banyak.
Sebab mengapa Rasulullah Saw menyampaikan hadis yang mulia ini adalah, sebagaimana yang diriwayatkan para ahli hadis dan sejarah, bahwa ketika ia hendak berangkat dalam perang Tabuk, ia menugaskan ‘Ali untuk menggantikan Nabi Saw dalam mengurus Madinah. ‘Ali As berkata kepada Nabi Saw, “Aku tidaklah merasa tenang bila engkau pergi ke suatu tempat, kecuali aku ikut bersamamu.” Nabi Saw bersabda, “Apakah engkau tidak puas (tenang) wahai ‘Ali, kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku.”
Kita tidak mungkin menyebutkan semua sumber yang meriwayatkan hadis ini dalam buku sederhana ini lantaran perawi dan sumbernya sangat banyak dengan jalur yang beragam. Akan tetapi, kami akan mencoba menyebutkan beberapa perawi dan sumber hadis tersebut kepada Anda untuk mengukuhkan hujjah kami dan menambah faidah untuk kita semua.
Al-Bukhari meriwayatkan hadis manzilah ini dalam Shahîh-nya, jil. 3, hal. 54, bab “Peperangan”, subbab “Perang Tabuk”, juga dalam jil. 2, hal. 185, bab “Permulaan Ciptaan,” bab “Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib As.”
Muslim meriwayatkan hadis manzilah ini dalam Shahîh-nya, jil. 3, hal. 236 dan 237, bab “Keutamaan Sahabat,” subbab “Keutamaan-keutaman ‘Ali As.”
Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya, jil. 1, hal. 98, 118 dan 119.
Al-Hakim dalam al-Mustadrak, jil. 3, hal. 109 dan ia mensahihkanya sesuai syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim.
Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkannya dalam al-Isti’âb, jil. 2, hal. 473, dalam biografi ‘Ali.
Al-Muttaqi al-Hindi dalam Kanzul ‘Ummâl, jil. 6, hal. 152-153.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Ishâbah, jil. 2, hal. 507, dalam biografi ‘Ali.
Ibnu Hajar dalam ash-Shawâiqul Muhriqah, hal. 30 dan 74.
Asy-Syablanji dalam Nurul Abshâr, halaman 68.
Ibnu ‘Abdi Rabbih dalam al- ‘Iqdul Farîd, jil. 2, halaman 94. An-Nasa’i dalam Khasâ’ish-nya, halaman 7 dan 15. Al-Hafizh Abu Na’im dalam Hilyatul Auliyâ’, jil. 7, halaman 96
Ibnu Hisyam dalam as-Siyar, jil. 2, halaman 520.
Abul Fida’ dalam al-Bidâyah wan Nihâyah, jil. 7, halaman 339.
Al-Muhibb ath-Thabari dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 63. Al-Qunduzi dalam Yanâbi’ul Mawaddah, halaman 204. AI-Khawarizmi dalam al-Manâqib, halaman 79. Ibnu ‘Asakir dalam Târikh-nya, jil. 4, halamn 96. Ibnu al-Atsir dalam Asadul Ghâbah, jil. 4, halaman 26. Ibnu Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah, jil. 2, halaman 495.
Al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, halaman 148.
Ibn AI-Jauzi di dalam Shafwatush Shafwah, jil. 1, halaman 120.
Abu Bakar al-Baghdadi dalam Târikh Baghdâd, jil. 2, halaman 432.
As-Sibth Ibnu al-Jauzi dalam at-Tadzkirah, halaman 22. Adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul Hufâzh, jil. 2, halaman 95. Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabâqatul Kubra, jil. 3, halaman 24. Al-Hamuyini dalam Farâ’idus Simthain, masih berupa manuskrip.
Ibnu al-Maghazili asy-Syafi’i dalam kitabnya Manâqib Amirul Mu’minin ‘alaihis Salam, masih berupa manuskrip.
Kelompok yang meriwayatkan hadis manzilah dari Ahlus Sunnah ini jumlahnya mencapai tiga puluh orang, yang kami tuturkan kepada Anda agar membuktikan kebenaran yang kami yakini, tentang wilâyah dan imâmah Ahlulbait.
Selain itu, hadis manzilah ini tidak diragukan lagi kesahihannya sesuai kesepakatan (ijma) kaum Muslim dari semua mazhab dan aliran. Bahkan, Mu’awiyah, imam kelompok durjana dan musuh Amirul Mukminin ‘Ali As, orang yang memeranginya, melaknatnya di atas mimbar-mimbar kaum Muslimin, dan memerintahkan mereka untuk melaknat Imam’ Ali As, tetapi meskipun permusuhannya yang demikian besar itu terhadap Imam’ Ali As, ia tidak membantah hadis manzilah.
Karena besarnya kebencian Mu’awiyah al-mujrim (pelaku kejahatan) terhadap ‘Ali As, ia pada suatu hari berkata kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, “Apa yang mencegahmu untuk mencaci Abu Turab (‘Ali As)?” Sa’ad menjawab, “Adapun setelah aku mendengar tiga hal yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw, oleh karena itu aku tidak akan pemah mencacinya, seandainya aku mendapatkan satu dari ketiga hal itu, niscaya lebih aku sukai daripada mendapatkan sekawanan unta merah (harta yang paling berharga di kalangan Arab). Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda (kepada ‘Ali As), ketika itu ia memerintahkannya dalam suatu peperangan (Perang Tabuk) untuk tetap tinggal (menggantikan posisinya mengurus penduduk di Madinah), “Apakah engkau tidak puas (wahai ‘Ali), kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku?[10]
Hadis manzilah ini juga dinukil oleh setiap penulis yang membahas Perang Tabuk dari kalangan ahli hadis dan sejarah.
Ia juga dinukil oleh setiap penulis yang menuliskan biografi Imam’ Ali As dari semua mazhab, baik terdahulu maupun yang terkemudian.
Dan juga diriwayatkan oleh setiap ulama dan para imam yang menulis tentang manakib Ahlulbait dan keutamaan-keutamaan sahabat.
Hadis manzilah (kedudukan ‘Ali di sisi Nabi Saw seperti kedudukan Harun di sisi Musa) ini diakui kesahihannya oleh para ulama terdahulu dan terkemudian.
Aku katakan, hadis manzilah yang mulia ini secara jelas menunjukkan keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali As menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung.
Imam Syarafuddin Ra. berkata dalam kitabnya al-Murâja’ât (Dialog Sunnah-Syi’ah), “Hadis (manzilah) ini secara jelas menunjukkan dalil yang kuat lagi meyakinkan dan keterangan yang nyata bahwa ‘Ali adalah putra mahkota Rasulullah Saw dan khalifah sepeninggalnya. Bukankah Anda melihat bahwa Nabi Saw telah menjadikan ‘Ali sebagai walinya di dunia dan akhirat, ia mengutamakannya atas semua kerabat, menempatkan posisi ‘Ali di sisinya seperti Harun di sisi Musa, dan ia tidak mengecualikan dalam semua kedudukan kecuali kenabian.
Anda mengetahui kedudukan yang paling terang bagi Harun di sisi Musa adalah pembantunya (dalam misi dakwahnya), meneguhkan dengannya kekuatannya, sekutunya dalam urusannya, dan menggantikannya dalam memimpin kaumnya serta diwajibkan bagi seluruh umatnya untuk menaatinya, sebagaimana firman Allah Swt, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, yaitu Harun, saudaraku, teguhkanlah denganya kekuatanku, dan jadikanlah ia sekutu dalam urusanku.”(Qs. Thaha [20]: 29-32).
Firman Allah Swt, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (Qs. al-A’raf [7]:142)
Dan firman Allah Swt, “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.” (Qs. Thaha [20]: 36)
Dengan demikian, ‘Ali sesuai nash tersebut adalah khalifah Rasulullah Saw pada kaumnya, pembantunya dalam keluarganya, dan sekutunya dalam urusannya berkenaan dengan kekhalifahan, bukan kenabian dan orang yang paling utama di kalangan umatnya serta orang yang berhak terhadapnya, baik selama hidup maupun setelah kematian, dan ia wajib ditaati oleh umatnya, seperti Hamn yang wajib ditaati oleh umat Musa pada zaman Musa.
Rasulullah Saw juga telah menerangkan perkara ini lebih jelas sehingga tampak sangat terang dengan sabdanya, “Sesungguhnya tidak patut bagiku untuk pergi, kecuali engkau menjadi khalifahku.” Sabda ini merupakan nash yang sangat jelas bahwa ‘Ali As adalah khalifah Rasulullah, bahkan ia adalah nash yang terang bahwa bila Nabi Saw pergi, sedangkan ia tidak menjadikan ‘Ali sebagai khalifahnya, maka ia telah melakukan sesuatu yang tidak patut ia lakukan. Sebab, hal ini merupakan perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla untuk menjadikan ‘Ali sebagai khalifahnya, sebagaimana diriwayatkan berkenaan dengan tafsir tirman Allah Swt, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika engkau tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. (Qs. al-Maidah [5]: 67)
Kemudian perhatikanlah secara saksama sabda Nabi Saw, “Sesungguhnya tidak patut bagiku untuk pergi, kecuali engkau menjadi khalifahku,” niscaya engkau akan mendapati keduanya menuju pada satu tujuan. Dan hendaknya Anda juga jangan melupakan sabda Nabi Saw kepada ‘Ali As, “Engkau adalah wali (pemimpin) setiap Mukmin sepeninggalku” karena sesungguhnya ia merupakan nash yang jelas bahwa ‘Ali As adalah pemimpin (khalifah) dan yang menggantikannya dalam memimpin umatnya (sepeninggal Nabi Saw), sebagaimana dikatakan oleh al-Kumait Rah, “Dan sebaik-baik pimpinan setelahnya adalah walinya (‘Ali As) Sumber ketakwaan dan sebaik-baik yang terdidik.”
Al-‘Allamah al-Hujjah al-Amini berkata dalam kitabnya al-Ghadir, sabda Nabi Saw, “Apakah engkau fidak puas wahai ‘Ali, kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku,”[11] ia memberikan penetapan, yaitu derajat, amal, kedudukan, kekuasan, dan pemerintahan bagi Amirul Mukminin ‘Ali As kecuali apa yang telah dikecualikan berupa kenabian.
Sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, ‘Ali As juga khalifah Nabi Saw dan ia menempatkan kedudukan ‘Ali As seperti kedudukannya sendiri, bukan sekadar menugaskannya di Madinah, sebagaimana yang diduga sebagian orang. Sebab, sebelum penugasan ini, Rasulullah Saw telah menugaskan beberapa sahabatnya yang lain di beberapa negeri dan Madinah.
Rasulullah Saw biasa memerintahkan para sahabatnya dalam suatu misi peperangan, tetapi ia tidak pemah berkata kepada seorang pun di antara mereka, sebagaimana yang ia katakan kepada ‘Ali As, sesungguhnya kedudukan ini khusus bagi ‘Ali As saja, bukan untuk yang lainnya.
Hadis manzilah ini juga merupakan dalil kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung, dan juga menunjukkan kemaksuman Imam ‘Ali As, sama sebagaimana kemaksuman Harun, kecuali kenabian, sebagaimana yang telah Anda ketahui.
Hadis Safinah Nuh
Hadis ini merupakan sabda Nabi Saw, “Perumpamaan Ahlulbaitku seperti bahtera Nub, barang siapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat; dan barang siapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.”
Seluruh ulama Islam sepakat akan kesahihan hadis di atas (hadis safinah) dan termasuk hadis yang sangat terkenal, dimana riwayatnya hampir mencapai batas mutawatir. Hadis safinah tersebut diriwayatkan oleh tokoh-tokoh ulama dari dua golongan Islam, Ahlus Sunnah dan Syi’ah, yang jumlahnya melampaui seratus hafizh (penghafal Qur’an), imam hadis, dan ahli sejarah dalam kitab-kitab sahih dan musnad mereka. Mereka mengakui kesahihan hadis tersebut dan menerimanya dengan penerimaan yang baik.
AI-Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak dengan sanad dari Hanasy al-Kinani, ia berkata, “Aku mendengar Abu Dzar berkata, sedangkan ia memegang pintu Ka’bah, “Barangsiapa mengenalku, maka aku sebagaimana yang kalian kenali; dan barang siapa yang tidak mengenalku, maka perkenalkanlah aku adalah Abu Dzarr. Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Perumpamaan Ahlulbaitku seperti bahtera Nuh barangsiapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.”[12] Al-Hakim berkata, “Hadis ini sahih sesuai syarat Muslim.”
Ath-Thabrani meriwayatkan di dalam Al-Ausath dari Abu Sa’id dari Nabi Saw, ia bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku di tengah-tengah kalian seperti bahtera Nuh barangsiapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat, sedangkan orang yang tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam.”
Ibnu Hajar meriwayatkan di dalam Shawâ’iq-nya, yang bersumber dari jalur yang berbeda-beda, dimana satu sama lainnya saling menguatkan, sabda Nabi Saw, “Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku di tengah-tengah kalian seperti bahtera Nuh barangsiapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat.”[13]
Di dalam riwayat Muslim disebutkan, “… dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam. ” Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, “… binasa.”
Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku di tengah-tengah kalian seperti pintu pengampunan bagi Bani Israil, barangsiapa yang memasukinya, niscaya ia akan diampuni. ” Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, “… diampuni dosa-dosanya.” Nabi Saw bersabda di tempat yang lain dengan jalur yang banyak, dimana sebagiannya menguatkan yang lain, “Perumpamaan Ahlulbaitku…,” dalam riwayat yang lain disebutkan, “Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku…,” dalam riwayat yang lain disebutkan, “Bahwa perumpamaan Ahlulbaitku…,” dan dalam riwayat yang lain disebutkan, “Ketahuilah, sesungguhnya perumpamaan Ahli Bailku di tengah-tengah kalian seperti bahtera Nuh di tengah-tengah kaumnya; barangsiapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Barangsiapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat, sedangkan barangsiapa yang meninggalkannya, niscaya ia akan tenggelam. Dan sesungguhnya perumpaman Ahlulbaitku di tengah-tengah kalian seperti pintu pengampunan Bani Israil, barangsiapa yang memasukinya, niscaya ia akan diampuni.”
Kemudian Ibnu Hajar berkata, sesudah menyebutkan hadis safinah tersebut dan hadis lainnya yang semisalnya, “Sisi perumpamaan mereka (Ahlulbait) dengan bahtera Nuh adalah bahwa barangsiapa yang mencintai mereka dan mengagungkan mereka, sebagai bentuk pengungkapan terima kasih karena nikmat yang Dia karuniakan kepadanya, serta mengikuti petunjuk ulama mereka (Ahlulbait), niscaya ia akan selamat dari kegelapan pembangkangan. Dan barangsiapa yang tertinggal dari mereka, niscaya ia akan tenggelam dalam laut kekufuran terhadap nikmat (yang dikaruniakan kepadanya) dan binasa dalam kesesatan…”[14]
Al-Hamuyini meriwayatkan dalam Farâ’idush Shimthain dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Wahai ‘Ali, aku adalah kota hikmah. sedangkan engkau adalah pintunya, dan kota tidaklah didatangi kecuali dari pintunya. Bohonglah orang yang mengaku, bahwa ia mencintaiku, namun ia membencimu. Sebab, sesungguhnya engkau dariku dan aku darimu. Dagingmu dari dagingku, darahmu dari darahku, ruhmu dari ruhku, rahasiamu dari rahasiaku, dan hal-hal yang jelas darimu adalah dariku. Engkau adalah imam umatku dan khalifahku sepeninggalku. Berbahagialah orang yang menaatimu, celakalah orang yang menentangmu, beruntunglah orang yang menjadikanmu sebagai walinya (pemimpinnya), merugilah orang yang memusuhimu, beruntunglah orang yang mengikutimu, dan binasalah orang yang meninggalkanmu. Perumpamaanmu dan perumpamaan para imam dari keturunanmu sepeninggalku, seperti bahtera Nuh. Barangsiapa yang naik dalamnya, ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya, ia akan tenggelam. Dan perumpamaan kalian seperti bintang-bintang, setiap kali ada bintang yang terbenam, muncul bintang lain sampai hari kiamat.”
Ibnu al-Maghazali asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Fadhâ’il-nya dengan sanad dari Harun ar-Rasyid, dari al-Mahdi, dari al-Manshur, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu ‘Abbas Ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Perumpamaan Ahlulbaitku seperti Nuh, barangsiapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya ia akan binasa.”
Asy-Syablanji meriwayatkan dalam Nurul Abshâr dari sekelompok para imam hadis dari beberapa sahabat Nabi Saw sesungguhnya Nabi Saw. bersabda, “Perumpamaan Ahlulbaitku di tengah-tengah kalian seperti bahtera Nub, barangsiapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya ia akan binasa.”
Hadis yang mulia ini juga telah sampai pada derajat mutawatir di kalangan Syi’ah.
Aku katakan, ini merupakan ringkasan hadis dari topik kita ini yang kami persembahkan kepada pembaca budiman, dan sebenamya masih banyak lagi yang sengaja kami tinggalkan untuk menghemat tempat dan waktu. Kami akan menyebutkan kepadamu wahai pembaca yang mulia, sebagian nama yang meriwayatkan hadis yang mulia tersebut (hadis safinah) dari kalangan ulama Ahlus Sunnah, yaitu Muslim dalam Shahîh-nya, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Târikh-nya, al-Hakim an-Naisaburi dalam Mustadrak-nya, al-Hamuyini dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, Abu Na’im al-Ishfahani dalam Hilyah-nya dan dalam Dalâ’ilun Nubuwwah, al-Khathib al-Baghdadi dalam Târikh Baghdâd, Ibnu al-Atsir dalam Asadul Ghâbah, al-Fakhrurazi dalam Tafsir-nya, Ibnu Thalhah asy-Syafi’i dalam Mathâlibus Sa’ul, Muhibb ath-Thabari asy-Syafi’i dalam ar-Riyâdhun Nadhrah, Ibnu al-Jauzi dalam at-Tadzkirah, Ibnu ashShibagh al-Maliki dalam al-Fushulul Muhimmah, as-Suyuthi dalam al-Jâmi’ush Shaghir, Ibnu Hajar dalam Shawâ’iq-nya, asy-Syablanji dalam Nurul Abshâr, ash-Shabban al-Mishri dalam al-Is’âf dalam catatan kaki Nurul Abshâr, al-Qunduzi al-Hanafi dalam Yanâbi’ul Mawaddah, al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, as-Samhudi, Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani, as-Sakhawi, dan masih banyak lagi dari ulama-ulama terkemuka Ahlus Sunnah.
Dan yang termasuk mengakui kesabihan hadis tersebut adalah Imam asy-Syafi’i, al-‘Ujaili telah menisbatkan kepadanya di dalam Dzakhîratul Ma’âli bait-bait syair berikut ini,
Ketika aku telah menyaksikan manusia
Telah terbawa oleh mazhab-mazhab mereka
Dalam lautan kesesatan dan kebodohan
Aku naik dengan nama Allah bahtera keselamatan
Mereka adalah Ahlulbait Bail al-Musthafa penutup para rasul.
Kemudian ketahuilah wahai pembaca yang budiman, sesungguhnya hadis yang mulia ini yang diriwayatkan dari pengemban risalah Saw. telah menutup jalan-jalan yang bercabang-cabang serta tidak meninggalkan kecuali satu jalan, yaitu jalan Ahlulbait yang terang benderang.
Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbait dengan bahtera Nuh oleh Nabi Saw merupakan kewajiban yang nyata dalam mengikuti mereka, baik dalam perkataan maupun perbuatan mereka, dan diharamkannya mengikuti siapa saja yang menentang mereka. Sesungguhnya selamatnya orang yang menaiki sebuah bahtera dari musibahg karam disebabkan oleh bahtera itu bebas dari cacat, seandainya bahtera itu terdapat cacat (kerusakan) di dalamnya, niscaya akan binasalah orang yang menaikinya, tanpa sedikit pun ada keraguan tentang hal itu. Sebab, gelombang dan badai di lautan sangatlah besar, saling berbenturan laksana gunung, sebagaimana dihikayatkan oleh al-Qur’an.
Allah Swt berfirman, “Dan bahtera itu itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke bahtera) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Qs. Hud [11]: 42)
Akan tetapi, anaknya itumenolak menaiki kapal itu karena durhaka. Allah Swt berfirman, “Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah. .. (Nuh menjawab perkataan anaknya itu dengan ucapannya), “Tidak ada (sesuatu pun) yang melindungi hari ini dari azab Allah (sarna sekali) selain Allah saja, Yang Maha Penyayang (dengan menaiki bahtera). (Akan tetapi, orang kafir itu terus-menerus menentang karena kesombongan yang melampaui batas).
“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Qs. Hud [11];43) Yaitu, orang-orang yang tetap dalam kekafiran mereka, mereka dibinasakan oleh gelombang badai dan Allah memusnahkan mereka. Segala puji bagi Allah atas binasanya orang-orang kafir.
Demikian juga dengan keadaan para Imam Ahlulbait ‘alaihimus salam (semoga salam kesejahteraan senantiasa dilimpahkan kepada mereka) bersama umat ini. Yaitu, barangsiapa yang kembali kepada mereka (para Imam Ahlulbait), mengikuti jalan mereka yang lurus, dan berpegang teguh pada tali mereka yang kukuh, yang tidak akan pernah putus, serta mengambil dari mereka pokok-pokok agama ini (ushuluddin) dan cabang-cabangnya (furu’uddin), berperilaku dengan akhlak mereka yang agung, beradab dengan adab mereka yang mulia, dan tetap kukuh dalam ber-wilâyah kepada mereka (menjadikan mereka sebagai imam dan pemimpin) serta tulus dalam kecintaan kepada mereka, dengan tidak mendahulukan orang lain atas mereka, niscaya ia akan selamat dari petaka karam (dari lautan kesesatan) dan mendapatkan keberuntungan yang paling besar serta memperoleh keamanan dari azab Allah dan di hari kiamat kelak, sesuai janji Allah dan Rasul-Nya.
Akan tetapi, barang siapa yang tertinggal dari mereka (para Imam Ahlulbait, yakni tidak mau mengikuti mereka) adalah seperti orang yang mencari perlindungan pada hari terjadinya banjir yang hebat ke gunung untuk melindunginya dari azab Allah, maka ia disambar oleh gelombang badai sehingga ia tenggelam dan binasa. Demikianlah keadaannya orang yang tidak mengikuti para Imam Ahlulbait, ia akan dibinasakan oleh gelombang-gelombang fitnah yang berlapis-lapis, yang sebagiannya mengikuti yang lain, seperti gelombang air bah yang terjadi pada zaman Nuh As, sarna persis tidak ada perbedaan, sesuai nash hadis.
Al-Imamul Akbar, al-Mujtahid ash-Shalih, al-Mujahid, as-Sayyid al-Muhsin al-Amin al-‘Amili Rah berkata dalam kitabnya A ‘yânusy Syi’ah, jil. 3, halaman 265, ketika ia menyebutkan hadis yang mulia tersebut (hadis safinah), “Ungkapan mana lagi yang lebih mengandung makna yang jelas daripada sabda Nabi Saw, “Barangsiapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat, dun barangsiapa yang terlinggal darinya, niscaya ia akan hinasa atau tenggelam?” Oleh karena itu, sebagaimana setiap orang yang naik bersama Nuh ke dalam bahteranya akan selamat dari tenggelam, sedangkan orang yang tidak mau naik bersamanya akan tenggelam dan binasa, demikian juga setiap orang yang mengikuti Ahlulbait, sesungguhnya ia telah menempuh di atas jalan kebenaran dan selamat dari kemarahan Allah serta beruntung dengan mendapatkan keridhaan-Nya.
Adapun orang yang menentang Ahlulbait, pasti ia akan binasa dan jatuh dalam kemurkaan Allah dan azab-Nya. Ini merupakan bukti kemaksuman mereka (para Imam Ahlulbait). Sebab, jika tidak demikian halnya, maka tidaklah setiap orang yang mengikuti mereka pasti akan selamat, sedangkan orang yang menentang mereka pasti akan binasa.
Dan ini adalah hal umum yang bersifat khusus, sebagaimana yang telah lalu di dalam hadis tsaqalain, dan yang dimaksudkan hanyalah para Imam Ahlulbait yang telah disepakati keutamaan mereka. Mereka terkenal dengan ilmu, keutamaan, kezuhudan, kewara ‘-an, dan ibadah. Demikian juga telah disepakati bahwa selain mereka (para Imam Ahlulbait) tidak ada yang maksum, sedangkan orang yang tidak maksum tidaklah dijamin bahwa pengikutnya akan selamat dan penentangnya akan binasa…”
Aku katakan, sesungguhnya hadis yang mulia ini merupakan hujjah yang tidak terbantahkan dan dalil yang kuat atas keyakinan Syi’ah dan pengikut Ahlulbait bahwa khalifah sepeninggal Rasulullah Saw adalah ‘Ali bin Abi Thalib As dan sesudahnya adalah keturunannya yang terpilih, dan ini sesuai dengan nash hadis bahwa siapa saja yang berpegang teguh dengan Ahlulbait akan selamat, sedangkan yang menentang mereka pasti akan binasa.
Oleh karena itu, tidaklah benar bagi seseorang untuk menyanggah hujah Ahlulbait dan mengikuti selain mereka, lalu ia mengaku mendapatkan keselamatan. Aku memohon kepada Allah Swt agar memberikan petunjuk kepada kaum Muslimin pada jalan yang lurus dan menyatukan mereka untuk mengikuti kebenaran serta mengilhamkan kepada mereka pendapat yang benar. Sesungguhnya Dia adalah Zat Yang Memberi petunjuk pada jalan yang lurus.
Hadis Kota IImu
Hadis ini merupakan sabda Nabi Saw, “Aku adalah kota ilmu. Sedangkan ‘Ali pintunya.”
Sesungguhnya hadis yang mulia ini (hadis kota ilmu) termasuk hadis sahih yang disepakati oleh seluruh ulama Islam, yaitu: para hafizh (penghafal Qur’an), sejarawan, dan imam hadis. Hadis ini telah dinukil secara mutawatir dari para sahabat Nabi Saw dan tabiin dari kalangan ulama Islam dari berbagai aliran.
Adapun dari kalangan sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut sangatlah banyak, di antara mereka adalah:
Al-Imam Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As;
Al-Imam al-Hasan bin ‘Ali As;
‘Abdullah bin’ Abbas, Jabir bin’ Abdillah al-Anshari;
‘Abdulliih bin Mas’ud, Hudzaifah bin al-Yaman, ‘Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik, dan’ Amru bin Ash.
Sedangkan dari kalangan tabiin yang meriwayatkan hadis tersebut di antara mereka adalah:
Al-Imam Zainal ‘Abidin ‘Ali bin al-Husain As dan anaknya (al-Imam Muhammad al-Baqir As), Asbagh bin Nubatah, Jarir, al-Harits bin’ Abdillah al-Hamdani al-Kufi, Sa’ad bin Tharif al-Hanzhali al-Kufi, Sa’ad Ibnu Zubair al-Asadi al-Kufi, Salamah bin Kuhail al-Hadhrami al-Kufi, Sulaiman bin Mihran al-Asadi al-A’masy al-Kufi, ‘Ashim bin Hamzah as-Saluli al-Kufi, ‘Abdullah bin ‘Utsman Ibnu Khainam al-Qari’ al-Makki, ‘Abdurrahman bin ‘Utsman, ‘Abdullah bin Husailah al-Muradi Abu ‘Abdillah ash-Shunabihi, dan Mujahid bin Jubair Abul Hajja al-Makhzumi al-Makki.
Adapun dari kalangan ulama yang mensahihkan hadis tersebut atau menghasankannya sangatlah banyak, di antara mereka adalah:
Ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsâr, al-Hakim dalam al-Mustadrak, as-Suyuthi dalam Jam’ul Jawami, al-Bairuni dalam Asnal Mathâlib, al-Muttaqi dalam Kanzul ‘Ummâl, Fadhlullah bin Rauzabahan asy-Syirazi dalam kitabnya Ibthâul Bâthil, al-Fairuzi Abadi dalam Naqdush Shahîh, Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam sebagian fatwanya, sebagaimana disebutkan oleh as-Suyuthi dalam al-La’âli al-Mashnû’ah dan Jam ‘ul Jawâmi’, as-Sakhawi dalam al-Maqâshid al-Hasanah, Muhammad bin Yusuf asy-Syami dalam Subulul Hudâ war Rasyâd fi Asmâ’il Khairil ‘Ibâd, Ibnu Hajar dalam ash-Shawâ’iqul Muhriqah dan al-Munahil Makkiyyah fi Syarhil Qashidah al-Kamziyyah, al-Manawi dalam Faidhul Qadir Syarhul Jâmi ‘ush Shaghîr, ‘Abdul Haqq ad-Dahlawi dalam al-Luma ‘ât, dan ash-Shabban al-Mishri dalam Is’âfur Râghibin.
Sumber-sumber ini yang dapat kami sebutkan, sedangkan yang tidak kami sebutkan masih lebih banyak lagi, dimana semuanya merupakan para ulama terkemuka.
Hadis safinah ini diriwayatkan oleh para ulama terkemuka di dalam kitab-kitab sahih dan musnad mereka, di antaranya:
Al-Hakim menyebutkan dalam al-Mustadrak, ia berkata, “Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub menceritakan kepada kami, Muhammad bin ‘Abdur Rahim al-Harawi menceritakan kepada kami di Ramlah, Abush Shalt Abdus Salam bin Shalih menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari al-A’masy, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas Ra yang berkata, “Rasulullah Saw, bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan ‘Ali adalah pintunya, Barangsiapa yang ingin masuk ke sebuah kota, hendaklah dia mendatangi pintunya.”[15]
Hadis ini sahih sanadnya, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.
Al-Khathib al-Baghdadi menyebutkan dalam Târikh Baghdâdi, ia berkata, “Yahya bin ‘Ali ad-Daskuri menceritakan kepada kami, Abu Bakar Muhammad bin al-Muqri menceritakan kepada kami di Isfahan, Abu ath-Thayyib Muhammad bin’ Abdush Shamad ad-Daqqaq aI-Baghdadi menceritakan kepada kami, Ahmad bin ‘Abdillah Abu Ja’far al-Maktab menceritakan kepada kami, ‘Abdur Razzaq menceritakan kepada kami, Sutyan Ats- Tsauri menceritakan kepada kami dari ‘Abdullah bin ‘Utsman bin Khaitsam, dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman yang berkata, “Aku mendengar Jabir bin’ Abdillah Ra berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw, sambil memegang tangan ‘Ali bin Abi Thalib As, bersabda, “Ini adalah pemimpin orang-orang yang saleh, yang memerangi orang-orang yang durhaka. Allah akan menolong orang yang menolongnya dan menelantarkan orang yang menelantarkannya. Aku adalah kota ilmu sedangkan ‘Ali adalah pintunya, barangsiapa hendak memasuki suatu kota, hendaklah ia mendatangi (melewati) pintunya.”[16]
Al-Qunduzi menyebutkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah, ia berkata, “Ibnu ‘Adi dan al-Hakim meriwayatkan dari Jabir yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan ‘Ali pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu, hendaklah dia mendatangi pintunya.”[17]
Ibnu Hajar menyebutkan dalam Shawâ’iq-nya, ia berkata, “Diriwayatkan dari al-‘Uqaili dan Ibnu ‘Adi dari Ibnu ‘Umar yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan ‘Ali adalah pintunya.” Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, “Barangsiapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya.”[18]
Ibn Katsir menyebutkan dalam al-Bidâyah wan Nihâyah, ia berkata, “Suwaid bin Sa’id meriwayatkan dari Syarik, dari Salamah, dari ash-Shunabihi, dari ‘Ali secara marfu’, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan ‘Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintu kota. “[19]
AI-Muttaqi menyebutkan di dalam Kanzul ‘Ummâl yang dicetak pada catatan kaki al-Musnad, ia berkata, “Diriwayatkan hadis dari ‘Ali sama seperti yang tercantum dalam al-Bidâyah wan Nihâyah.“[20]
Ibnu ‘Abdil Barr menyebutkan dalam al-Isti’âb, ia berkata, “Diriwayatlkan dari Nabi Saw sesungguhnya ia bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan ‘Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya.”[21]
Al-Muhibb ath-Thabari menyebutkannya dalam ar-Riyâdhun Nadhrah.[22]
Ia juga meriwayatkan hadis tersebut dari jalur Ibnu ‘Umar seperti yang telah disebutkan dalam al-Isti’âb.
Ia juga menyebutkan hadis tersebut dalam Dzakhâ’irul Uqbâ.[23]
Ibnu Abil Hadid al-Mu’tazili menyebutkannya dalam Syarh Nahjul Balâghah.[24]
Masih banyak lagi para ulama Ahlus Sunnah yang meriwayatkan hadis yang mulia tersebut di dalam kitab-kitab karangan mereka dan kitab-kitab sahih dan musnad, seperti Ibnu al-Atsir dalam Asadul Ghâbah, jil. 4, halaman 22.
Al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, halaman 99.
Al-Hamuyini dalam Farâ’idus Simthain, manuskrip.
Adz-Dzahabi dalam Talkhishul Mustadrak. jil. 3, halaman 126.
Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Lisânul Mizân, jil. 1, halaman 432, dan dalam Tahdzib at-Tahdzib, jil. 6, halaman 320.
As-Sakhawi dalam al-Maqâshidul Hasanah, halaman 97.
An-Nabhani dalam al-Fathul Kabir, jil. 1, halaman 276.
As-Suyuthi dalam Târikhul Khulafâ’, halaman 170, dan dalam al-Jâmi’ush Shaghîr, jil. 1, halaman 364.
Ibnu al-Jauzi dalam Tadzkiratul Khawâsh, halaman 53.
Dan masih banyak lagi selain mereka yang tidak mungkin disebutkan semuanya dalam buku ini.
Singkat kata, hadis dalam topik kita ini (hadis kota ilmu) secara nyata menunjukkan kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung, yaitu sabda Nabi Saw, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan ‘Ali pintunya.” Sebab, Rasulullah Saw telah menjadikan ‘Ali As sebagai pintu kota yang didatangi oleh para pencari ilmu dari semua penjuru.
Ia tidak memberikan mandat yang mulia ini kepada seorang pun dari sahabatnya, keeuali kepada ‘Ali As karena tidak adanya kemampuan seorang pun dari mereka dalam menjalankan tugas yang berat ini.
Al-Imamul Akbar, al-Mujadid al-A’zham, Sayyidu ath-Tha’ifah, as-Sayyid Mir Hamid Husain an-Naisaburi al-Hindi menyebutkan dalam kitabnya ‘Aqabâtul Anwâr hadis Nabi Saw, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan ‘Ali pintunya.” Kemudian ia menjadikan hadis tersebut sebagai dalil kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali As sepeninggal Nabi Saw secara langsung.
Ia mengemukakan delapan puluh dalil yang kuat dan hujjah yang kukuh serta keterangan yang sangat jelas tentang hal tersebut. Silakan Anda rujuk kitab Aqabâtul Anwâr.[25]
Kesimpulan
Sesungguhnya kelima hadis yang telah kami sebutkan adalah hadis-hadis sahih yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah, yang semuanya membuktikan kebenaran apa yang menjadi keyakinan kami perihal kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung, yaitu:
1. Hadis Peringatan
2. Hadis Tsaqalain
3. Hadis Manzilah
4. Hadis Safinah Niill (Bahtera Nuh)
5. Hadis Kota IImu
Kelima hadis tersebut kami persembahkan kepadamu wahai pembaca budiman setelah sebelumnya kami sampaikan lima ayat al-Quran, maka kesemuanya menjadi bilangan sepuluh yang sempurna.
Dengan sepuluh dalil yang sempurna ini, yang ditetapkan dan disahihkan oleh oleh para ulama Islam, baik dari golongan Ahlus Sunnah apalagi Syi’ah, dengan demikian menjadi nyata dan tidak ada dasarnya lagi mengingkari kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib as sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung.
Oleh karena itu, besar sekali harapan kami agar saudara-saudara kami dari kalangan Ahlus Sunnah mau mengikuti kebenaran ini dan meninggalkan cacian terhadap saudara-saudara mereka dari kalangan Syi’ah. Sebab, mereka itu (Syi’ah) mengikuti jalan Ahlulbait Nabi Saw sepenuhnya. Mereka tidak akan pernah sekali-kali meninggalkan Ahlulbait dan berpaling kepada selain mereka atau berpaling dari mereka. Mereka berlepas tangan dari tuduhan-tuduhan dusta dan keji yang dialamatkan kepada mereka oleh musuh-musuh mereka, seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Hazm, Ibnu Hajar, Ahmad Amin al-Mishri, Musa Jarullah, Muhammad Tsabit al-Mishri, al-Hafnawi, al-Jabhan, dan Syaikh Nuh yang mengeluarkan fatwa dengan mengafirkan Syi’ah, memerangi mereka, menawan istri-istri mereka, dan memperbudak anak keturunan mereka serta merampas harta benda mereka, baik mereka itu bertobat maupun tidak bertobat, dan juga orang-orang yang mengikuti jalan mereka yang batil dari kalangan pengikut Bani Umayyah dan Bani Marwan.
Kami berlindung kepada Tuhan Pemilik ‘Arsy yang agung dari golongan yang berlaku zalim terhadap kami, pengikut mazhab Ahlulbait Nabi Saw.
Kami juga berharap dari saudara-saudara kami Ahlus Sunnah untuk mengemukakan fakta-fakta tentang Syi’ah serta meninggalkan cacian dan semua hal yang tidak mendatangkan keridhaan Allah Swt, dan hendaknya mereka juga tidak menuliskan tentang Syi’ah hal-hal yang tidak ada dalam kitab-kitab mereka (menyebar fitnah), atau yang bukan merupakan prinsip-prinsip mazhab mereka. Sebab, pada faktanya, sekarang ini banyak orang dari berbagai agama dan aliran yang mengikuti mazhab Ahlulbait secara berbondong-bondong setelah mereka menemukan kebenaran mazhab ini.
Sesungguhnya aku menyampaikan nasihatku yang berharga ini karena aku mengetahui bahwa banyak penulis dari kalangan Ahlus Sunnah, yang sangat disayangkan, yang tulisan mereka penuh dengan cacian dan tuduhan keji yang tidak berdasar terhadap saudara-saudara mereka dari kalangan Syi’ah, para pengikut mazhab Ahlulbait Nabi Saw., yang tulisan mereka ini sarna sekali tidak dapat diterima oleh jiwa yang bersih dan akal yang sehat.
Demi Allah, sesungguhnya mereka, para pengikut mazhab Ahlulbait, adalah kelompok Muslim dan golongan yang beriman pada setiap yang datang (bersumber) dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka tetap dalam keadaan yang demikian dari awal kenabian sampai hari kiamat. Aku tidak mendapatkan dosa dan kesalahan pada mereka, kecuali mereka ini tidak mau mendahulukan orang lain atas Ahlulbait Nabi Saw.
Apakah hal itu merupakan dosa wahai kaum Muslim, sedangkan dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah menguatkan keyakinan mereka itu?
Setelah aku menyampaikan nasihat-nasihatku ini, sebagian di antara mereka ada yang merasa puas dan mau menerima. dan sebagian lain di antara mereka ada yang berkata kepadaku, “Engkau telah menyimpang dari mazhabmu dan condong pada mazhab Syi’ah.”
Maka, aku jawab sebagaimana jawaban Imam asy-Syafi’i,
Jika mencintai keluarga Nabi dikatakan Syi ‘ah,
Maka saksikanlah jin dan manusia bahwa aku adalah Syi ‘ah.[]
Catatan Kaki:
[1]. Lihat, al-‘Allamah al-Hujjah al-Amini, al-Ghadir , jil. 2, hal. 279.
[2]. Lihat, Syarh Nahjul Balâghah, jil. 3, hal. 263.
[3] . Lihat, al-Imam al-Hujjah asy-Syaikh, Muhammad al-Husain al-Muzhaffar Rah, ats-Tsaqalain.
[4] . Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil. 3, hal. 17.
[5] . Lihat, Muslim, Shahîh Muslim, jil. 2, hal. 238.
[6] . Lihat, Al-Muttaqi al-Hindi, Kanzul ‘Ummal, jil. 7, hal. 112.
[7] . Lihat, At-Tirmidzi, Shahîh at-Tirmidzi, jil. 2, hal. 308.
[8] . Lihat, AI-Hakim, al-Mustadrak, jil. 3, hal. 109.
[9] . Kemudian Imam Syarafuddin al-Musawi Rah mengatakan dalam komentarnya atas pernyataan Ibnu Hajar tersebut, “Lihatlah dalam bab wasiat Nabi Saw, hal. 153 dalam kitabnya ash-Shawâiq, “Kemudian tanyalah kepadanya mengapa ia lebih mendahulukan al-Asy’ari daripada mereka (para Imam Ahlulbait) dalam ushuluddin dan imam fiqih yang empat (Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan asy-Syafi’i) daripada mereka? Dan mengapa ia juga lebih mengedepankan ‘Imran ibnu Haththan dan semisalnya dari golongan Khawarij daripada mereka, lebih mendahulukan Muqatil bin Sulaiman seorang penganut paham Murji’ah dalam ilmu tafsir daripada mereka, dan lebih mendahulukan Ma’ruf dan semisalnya dalam ilmu akhlak dan perilaku serta obat-obat dan penyembuhan jiwa mereka? Kemudian bagaimana mungkin ia mengakhirkan kekhilafahan umum dari Nabi Saw, saudara dan walinya, yang tidak ada seorang pun yang dapat menyampaikan sesuatu dari Nabi Saw selain melaluinya, yaitu Ali bin Abi Thalib As, kemudian ia mengutamakan urusan khilafah kepada anak-anak cecak (Marwan bin Hakam) daripada anak-anak Rasulullah Saw?” Oleh karena itu, barangsiapa yang berpaling dari Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan itu dari semua yang telah kami sebutkan itu, yaitu dari kedudukan-kedudukan yang tinggi dan tugas-tugas keagamaan, lalu ia mengikuti para penentang Ahlulbait Nabi Saw tersebut, bagaimana mungkin ia dapat dikatakan sebagai orang yang berpegang teguh kepada Ahlulbait Nabi Saw, menaiki bahteranya, dan masuk dalam pintu pengampunannya.”
[10] . Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, jil. 2, hal. 234. Bab “Keutamaan-keutamaan ‘Ali”, al-Hakim dalam al-Mustadrak, pada permulaan hal. 109, jil. 3, dan ia mensahihkanya sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, dan adz-Dzahabi dalam Talkhish-nya, dan ia mengakui kesahihan hadis ini sesuai syarat Muslim.
[11] . Lihat, Al-‘Allamah al-Hujjah al-Amini, al-Ghadir, jil. 3, hal. 199.
[12] . Lihat, Al-Hakim, al-Mustadrak, jil. 2, hal. 343.
[13] . Lihat, Ibnu Hajar, Shawâ’iqul Muhriqa, hal. 151.
[14] . Imam Syarafuddin berkata dalam al-Murâja ‘ât (Dialog Sunnah Syi’ah), halaman 25, ketika menyebutkan hadis yang mulia ini (hadis safmah), ia menukilkan hadis tersebut dari Ibnu Hajar, kemudian ia mengomentari ucapan pendusta dan an-nashibi ini (yaitu Ibnu Hajar), “Perhatikanlah ucapannya, kemudian katakanlah kepadaku, mengapa ia (Ibnu Hajar) sedikit pun tidak mengikuti petunjuk ulama mereka (ulama Ahlulbait) dalam furu‘uddin (cabangcabaang agama) dan akidah-akidahnya, tidak sedikit pun dalam masalah Ushul Fiqih dan kaidah-kaidahnya, tidak sedikit pun dalam hal ilmu-ilmu Sunnah dan Kitab, dan juga tidak sedikit pun mengikuti ulama Ahlulbait dalam hal akhlak, perilaku, dan adab. Dan mengapa ia (Ibnu Hajar) tertinggal dari mereka (ulama Ahlulbait) serta menenggelamkan dirinya dalam lautan kekufuran nikmat dan membinasakan dirinya dalam kebinasaan kesesatan? Semoga Allah memaatkannya atas setiap kebohongan-kebohongannya yang dituduhkan kepada kami.”
[15] . Lihat, Al-Hakim, al-Mustadrak, jil. 3, hal. 126.
[16] . Lihat, Al-Khathib al-Baghdadi, Târikh Baghdâdi, jil. 2, hal. 377.
[17]. Lihat, Al-Qunduzi, Yanâbi’ul Mawaddah, hal. 183, cetakan Istanbul.
[18]. Lihat, Ibnu Hajar, Shawâ’iq, hal.37.
[19] . Lihat, Ibn Katsir, al-Bidâyah wan Nihâyah, jil. 7, hal. 358.
[20] . Lihat, AI-Muttaqi, Kanzul ‘Ummâl, jil. 5, hal. 30.
[21] . Lihat, Ibnu ‘Abdil Barr, al-Isti’âb, jil. 2, hal. 461.
[22] . Lihat, Al-Muhibb ath-Thabari, ar-Riyâdhun Nadhrah, jil. 2, hal. 193.
[23]. Lihat, Al-Muhibb ath-Thabari Dzakhâ’irul Uqbâ, hal. 77.
[24] . Lihat, Ibnu Abil Hadid al-Mu’tazili, Syarh Nahjul Balâghah, jil. 2, hal. 236.
[24]. Sesungguhnya kitab ‘Aqabâtul Anwâr adalah termasuk kitab yang paling agung dan paling penting. Ia merupakan mutiara dari mutiara-mutiara zaman dan merupakan barang berharga yang langka serta kebanggaan masanya. Belum pemah seorang penulis pun yang mengarang kitab sebagus itu. Demi Allah, pena ini tidak sanggup menyifatkan mutiara yang berharga ini, yang dengannya Allah Swt memberikan petunjuk-Nya kepada kepada manusia dan golongan-golongan dalam jumlah yang sangat besar, di India dan negeri-negeri lainnya. Mereka menerima dan menjadi pengikut mazhab Ahlulbait, yang tidak ada sedikit pun keraguan tentang kebenarannya. Kitab ini pada permulaannya ditulis oleh al-Imamul Akbar dan seorang marji’ tertinggi pada masanya, yaitu Ayatullah al-‘Uzhma as-Sayyid Mir Hamid Husain anNaisaburi al-Hindi, yang nasabnya bersambung kepada Imam Musa al-Kazhim As. Ia menulis beberapa jilid di antaranya, lalu ia menghadap Tuhannya (wafat) sebelum sempat menyelesaikan kitabnya tersebut. Kemudian penulisan buku tersebut dilanjutkan oleh anaknya yang tertua, yaitu al-Imam al-Mujahid al-Marji’ al-‘Azhim Ayatullah al-Hujjah as-Sayyid Nashir Husain, ia menulis beberapa jilid di antaranya, lalu ia pun memenuhi panggilan Tuhannya sebelum sempat menyelesaikan tulisannya itu. Kemudian datang giliran cucunya, yaitu Samahatul ‘Allamah al-Hujjah al-Mujahid Maulana as-Sayyid Muhammad Sa’id, ia menyempumakan pusaka yang agung ini sehingga jumlahnya mencapai seratus jilid.
(Syiah-Sunni/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar