Oleh: Zuhairi Misrawi
Arab Saudi mulai berubah dan mengubah haluan kerasnya. Wahabisme yang sejak lama menjadi ideologi resmi negara secara lamat-lamat terlihat lentur, bahkan memudar.
Pasalnya, seperti yang diberitakan sejumlah media asing seperti News Australia, Evening Standard, The Sun, dan The Telegraph Arab Saudi akan meluncurkan proyek destinasi wisata terbesar di Timur-Tengah. The Telegraph menyebut langkah Arab Saudi dengan revolusi pariwisata (tourism revolution).
Laut Merah akan disulap sebagai tempat wisata yang supermegah: modern, bebas bagi wisatawan asing dari Barat, dan aturan ketat yang biasanya menjadi kelaziman di Arab Saudi akan dilonggarkan. Kawasan wisata tersebut akan dimulai pembangunannya pada 2019 dan dijadwalkan rampung pada 2022.
Saat naik haji pada 1998, saya pernah menikmati indahnya Laut Merah dari atas kapal laut sepanjang perjalanan dari Pelabuhan Port Said, Mesir menuju Pelabuhan Jeddah. Selama ini, jemaah haji asal Indonesia biasanya menikmati “Masjid Terapung” yang berada di Laut Merah, Jeddah.
Kabarnya, luas tempat wisata tersebut sepanjang 34.000 km di kawasan Umluf dan Alwajih, termasuk 50 pulau yang akan dibangun resor mewah yang akan memanjakan para wisatawan untuk menikmati indahnya Laut Merah. Di samping, situs bersejarah Mada’in Saleh yang sudah mendapatkan sertifikat dari UNESCO, yang kedudukannya sama dengan Petra di Jordania.
Di kawasan itu akan dibangun seluruh fasilitas pariwisata yang supermegah, termasuk akan dibangun pelabuhan, bandara, dan tol untuk mempermudah transportasi bagi para wisatawan lokal dan mancanegara. Bahkan, Arab Saudi akan memberlakukan bebas visa bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke kawasan ini.
Sesuai dengan visi ekonomi 2030, putera mahkota Pangeran Muhammad bin Salman menargetkan jumlah wisatawan yang akan berkunjung ke Laut Merah nantinya bisa melebihi jumlah jemaah haji dan umrah. Tahun ini saja jumlah wisatawan ke Arab Saudi dari haji dan umrah mencapai 18,7 juta per tahun.
Pada 2027, jumlah wisatawan ditargetkan bisa mencapai 31,5 juta orang. Jika target tersebut terpenuhi, maka Arab Saudi akan mendapatkan pemasukan sekitar 5 miliar dolar AS per tahun, dan menciptakan setidaknya 35.000 lapangan pekerjaan baru bagi warga Arab Saudi.
Langkah tersebut diambil karena negara-negara tetangganya seperti Uni Emirat Arab, Mesir, Turki, bahkan Iran sangat gencar mengembangkan destinasi pariwisata. Negara-negara tersebut telah lama menjadikan pariwisata sebagai sumber pemasukan negara. Khusus untuk pariwisata mewah, sebenarnya Arab Saudi kepincut dengan keberhasilan Uni Emirat Arab dalam menyulap Dubai sebagai kawasan wisata bagi para pesohor dunia.
Proyek Laut Merah ini tidak hanya terlihat istimewa dari segi fasilitas dan anggaran yang digelontorkan, melainkan juga dari segi ketahanan ideologi Wahabisme yang sudah berumur panjang dan lumutan di negeri kaya minyak itu. Nantinya di kawasan wisata Laut Merah ini, wisatawan asing bisa bebas menikmati minuman alkohol, berbikini, dan menikmati musik hingga larut malam, sebagaimana di tempat-tempat wisata lainnya.
Maka dari itu, kebijakan spektakuler yang akan diambil oleh Putera Mahkota, Pangeran Muhammad bin Salman merupakan kebijakan yang terbilang berani, karena menerabas Wahabisme yang mengakar kuat dalam langgam keberagamaan Arab Saudi. Tidak pernah terbayangkan Arab Saudi akan mempunyai keberanian untuk menerabas Wahabisme yang sudah menjadi “identitas” yang bersifat distingtif dengan negara-negara Muslim lainnya. Jangankan dalam hal kebijakan memperkenankan bikini dan minuman alkohol, untuk sekadar memperkenankan perempuan mengemudikan mobil saja masih menjadi hal yang tabu di Arab Saudi.
Pangeran Muhammad bin Salman sudah mengambil kebijakan spektakuler dalam rangka menyelamatkan perekonomian Arab Saudi di masa mendatang. Konsekuensi dari kebijakan ini, Arab Saudi tidak lagi terkungkung dengan identitasnya sebagai jantung Wahabisme. Artinya, Pangeran telah memberikan sinyal kuat untuk mengedepankan kepentingan Arab Saudi dari segi ekonomi daripada untuk mempertahankan ideologi Wahabisme yang sudah mengakar kuat bagi seluruh warganya.
Jujur, sampai sekarang saya tidak bisa membayangkan bagaimana respons ulama-ulama Arab Saudi terhadap langkah yang akan diambil oleh Putera Mahkota. Mungkin saja mereka kecewa dan ingin memberontak. Tapi, karena kebijakan Raja bersifat mutlak dan mengikat, maka para ulama tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka harus tunduk dan patuh sepenuhnya pada Raja.
Tentu saja kebijakan yang diambil Pangeran Muhamammad bisa menjadi batu sandungan bagi masa depan Wahabisme yang sejak era 80-an melakukan ekspansi ideologis ke seantero dunia, termasuk Indonesia. Wahabisme merupakan paham yang sangat rigid, dan tidak mudah menerima perubahan-perubahan mendasar. Mereka mudah mengafirkan kelompok lain, dan mudah sekali mengeluarkan fatwa haram. Misalnya, musik haram, patung haram, ziarah kubur haram, tahlilan haram, dan sejumlah fatwa ‘keras’ lainnya. Wahabisme sangat anti terhadap budaya Barat, karena hingga saat ini tidak ada bioskop di Arab Saudi.
Megaproyek wisata Laut Merah secara eksplisit mengundang orang-orang Barat untuk hadir secara massif ke negara yang selama ini dianggap sakral bagi wisatawan asing. Sementara bagi kelompok ekstremis, orang-orang Barat adalah musuh Islam.
Arab Saudi selama ini dikenal sebagai negara yang menjaga dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah, yang biasa dikenal dengan khadim al-haramayn. Ketika datang ke Arab Saudi yang dibayangkan adalah umrah dan haji. Dengan hadirnya tempat wisata Laut Merah, maka Arab Saudi akan mempunyai dua wajah: tempat suci dan tempat liburan.
Pertanyaannya, apakah Arab Saudi sudah siap untuk meninggalkan Wahabisme? Di permukaan, kebijakan Pangeran Muhammad secara simbolik sebagai upaya melakukan terobosan yang sangat spektakuler untuk menjadikan Arab Saudi pada 2030 sebagai kota modern dan tidak berjarak dengan Barat. Tapi, untuk meninggalkan Wahabisme, Arab Saudi membutuhkan upaya luar biasa untuk melakukan reformasi di kalangan ulamanya.
Karen Elliott House dalam On Saudi Arabia: Its People, Past, Religion, Fault Lines and Future menegaskan bahwa relasi antara Dinasti al-Saud dengan ulama Wahabi tidak mulus. Dinasti al-Saud kerap menghendaki modernisasi dan reformasi, tetapi selalu muncul perlawanan dari ulama Wahabi. Hal tersebut merupakan tantangan yang tidak mudah dipecahkan.
Maka dari itu, upaya Pangeran Muhammad bin Salman menerabas Wahabisme akan menjadi episode baru dalam relasi antara Dinasti al-Saudi dengan Wahabisme. Akankah proyek wisata Laut Merah menjadi akhir kemesraan antara Dinasti al-Saud dan Wahabisme?
(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar