MAKNA ILMU
Pengetahuan (ilmu) merupakan salah satu konsep paling jelas dan swanyata (badihi/self evident). Bukan saja tidak membutuhkan defenisi, pengetahuan tidak mungkin didefenisikan, lantaran tidak ada kata atau istilah lain yang lebih jelas untuk kita pakai mendefenisikannya. Pemaknaan yang selalu digunakan dalam filsafat dan logika untuk mendefenisikan pengetahuan bukanlah sebagai defenisi dalam arti yang sesungguhnya. Melainkan hanya sekedar pemaknaan untuk memberikan pemahaman atau memberikan contoh-contoh (mishdaq atan instance) atau jenis-jenis ilmu pengetahuan yang ada dalam bidang kajian tertentu.[1]
Dalam konteks seperti di ataslah para filosof mendefenisikan pengetahuan sebagai berikut :
1. Al-Ilmu ibaratan hudhuru shuratu syai’ li al-mudrik (pengetahuan adalah hadirnya gambaran sesuatu pada pencerap).
2. Al-Ilmu hudhuru shurat al-syai’ inda al-aql (Pengetahuan adalah hadirnya gambaran sesuatu pada akal).[2]
Kedua defenisi ini pada hakikatnya sama. Defenisi ini sendiri sebenarnya hanya menunjukkan salah satu pembagian pengetahuan yaitu pengetahuan perolehan (ilmu hushuli) bukan pengetahuan kehadiran (ilmu hudhuri). Karena itu, dalam makna yang lebih luas, pengetahuan merupakan hadirnya non-materi (objek) pada wujud non-materi lainnya (yakni akal atau subjek).[3] Defenisi ini mencakup keseluruhan jenis pengetahuan manusia.
SISI ONTOLOGIS SUBJEK DAN OBJEK ILMU
Dalam analisis tentang teori pengetahuan, istilah ‘subjek’ berarti pikiran yang melaksanakan tindak pengetahuan melalui mengetahui sesuatu, sedangkan ‘objek’ mengacu pada benda atau proposisi yang diketahui oleh subjek tersebut. Istilah ‘subjek’ dan ‘objek’ adalah dua esensialis dari kesatuan pengetahuan.[4]
Para filosof Muslim, pada umumnya mengklassifikasikan wujud pada tiga jenis. Pertama, materi mutlak yaitu benda-benda yang dapat kita indera di alam semesta ini seperti pohon, hewan, rumah, dll. Kedua, non-materi tidak mutlak yaitu wujud yang pada dirinya sendiri bersifat non-materi, tetapi dalam aktivitasnya memerlukan dan berhubungan dengan materi. Misalnya, alam barzakh, ruh yang yang pada dirinya sendiri bersifat non-materi, tetapi untuk melihat, merasa, mengecap, mendengar, dan sebagainya, memerlukan sarana-sarana material tubuh manusia. Ketiga, non-materi mutlak yaitu wujud yang secara dirinya sendiri dan juga aktivitasnya tidak berhubungan sama sekali dengan alam materi secara langsung. Misalnya, Tuhan dan akal. [5]
Sesuai dengan defenisi pengetahuan yang bersifat ‘kehadiran’ maka dari sudut pandang ontologis, subjek dan objek pengetahuan bersifat non-material. Kenon-materialan subjek sangatlah jelas, karena dalam pengetahuan dituntut adanya kesadaran, dan kesadaran itu jelas tidak dimiliki oleh materi. Sedangkan non-materi memiliki kesadaran dan dapat mengetahui wujud non-materi lainnya yang berada dalam derajat yang sama (longitudinal), serta dapat mengetahui wujud non-materi lain yang berada di atas atau di bawah derajat dirinya (latitudinal). Karena subjek pengetahuan adalah non-materi, maka objek pengetahuan juga bersifat non-material. Dan berdasarkan pada hierarki wujud di atas, maka ada dua jenis non-materi yang menjadi objek pengetahuan yakni non-materi mutlak dan non-materi tidak mutlak.
Pada dasarnya kenon-meterialan subjek, objek, dan pengetahuan adalah hal yang sangat jelas. Sebagai misal, kita setiap hari saling mengajarkan pengetahuan dari seseorang ke orang lain atau dari guru ke murid. Akan tetapi, kita pasti juga mengetahui bahwa orang yang mengajar dan memberikan pengetahuannya kepada orang lain (guru), tidak akan mengalami kehilangan atau pengurangan pada pengetahuannya, meskipun pengetahuan itu telah ditransferkan atau diterima oleh murid-muridnya. Jika, pengetahuan itu adalah material, maka seorang pengajar akan mengalami kehilangan atau berkurangnya pengetahuannya karena diberikan kepada orang lain. Namun, hal itu tidak terjadi, karenanya terbuktilah bahwa pengetahuan itu bersifat non-material.
Diantara alasan penting bagi non-materialnya subjek dan objek pengetahuan adalah mustahilnya materi hadir ke dalam subjek yang mengetahui sehingga melanggar hukum “mustahilnya yang besar masuk kedalam yang kecil”. Artinya, jika pengetahuan bersifat material, maka bagaimana bisa terjadi, bumi yang besar ini masuk atau hadir ke dalam otak manusia yang kecil? Selain itu beberapa premis di bawah ini dapat menjadi argumentasi bagi non-materialnya pengetahuan :
1. Materi dapat di bagi, sedangkan pengetahuan tidak.
2. Meteri terikat pada ruang dan waktu, sedangkan pengetahuan tidak.
3. Materi mengalami transformasi dan perubahan, sedangkan pengetahuan tidak.
JENIS ILMU KENABIAN
Ilmu, sesuai makna di atas adalah kehadiran objek pada subjek. Jika diselidiki secara deduktif-rasional berdasarkan kehadiran eksistensi objek pada subjek, maka ada dua jenis kehadiran. Pertama, kehadiran objek secara tidak langsung pada subjek, yaitu hadirnya gambaran (shurah) objek pada subjek. Ilmu ini disebut korespondensi atau ilmu hushuli (representational knowledge). Kedua, kehadiran objek secara langsung pada subjek. Ilmu ini disebut dengan Ilmu hudhuri (prentational knowledge; atau knowledge by presence).
Dari kedua jenis ilmu tersebut, ilmu kenabian termasuk jenis yang kedua yaitu ilmu hudhuri, yang memiliki beberapa ciri penting, yaitu :
1. Hadir secara eksistensial di dalam diri subjek. Ini berarti tidak ada perantara antara subjek dan objek pengetahuan.
2. Bukan merupakan konsepsi yang dibentuk dari silogisme yang terjadi pada mental. Atinya, ilmu hudhuri bukan dihasilkan dari proses berpikir, karena ia merupakan keadaan esensial jiwa. Jika keadaan ini dikomunikasikan atau dipikirkan, maka ia akan menjadi ilmu hushuli.
3. Bebas dari dualisme kebenaran dan kesalahan. Artinya, ilmu hudhuri senantiasa benar dan tidak akan mengalami kesalahan. Hal ini dikarenakan ilmu hudhuri tidak diperantarai oleh apa pun sehingga tidak ada proses korenpondensi dengan objek eksternal, yang mana proses korespondensi itulah yang menjadi sebab bagi kesalahan pengetahuan manusia. Karena kebenaran adalah kesesuaian subjek dengan objek, maka ilmu hudhuri yang kehadiran objek pada subjek secara langsung dan menyatu, maka ia mengimplementasikan kebenaran secara nyata.
4. Bersifat spiritual, artinya subjek yang terlatih secara spiritual akan mendapatkan ilmu hudhuri tersebut.[6]
SUMBER ILMU NABI
Perlu diketahui bahwa Allah menurunkan dua hujjah bagi manusia. Pertama, yang berada di dalam diri manusia yaitu akal; kedua, yang berasal dari luar diri manusia yaitu wahyu dan kenabian.
Ini berarti, manusia meskipun belum datang padanya wahyu, syariat, atau agama, maka akal menjadi hujjah, pembimbing dan dalil Tuhan bagi manusia untuk memahami dan melaksanakan keyakinan serta amalan-amalannya. Akal yang ada pada diri manusia senantiasa mengalami proses dari potensi sampai aktualisasi, dari tidak mengetahui hingga memiliki pengetahuan, sejak bayi hingga menuju mati.
Karena dalam filsafat Islam (epistemologi) bahwa subjek yang mengetahui (alim), objek yang diketahui (ma’lum), dan pengetahuan (ilmu) adalah wujud immateri, maka ruh akal yang ada pada manusia jika senantiasa dilatih dan diaktualisasikan akan mendapatkan pengetahuan dari sumbernya yakni wujud yang lebih tinggi darinya (alam malakuti) yang merupakan sebab keberadaannya, dan alam malakut ini, mendapat ilmu dari wujud yang lebih tinggi darinya, dan begitu seterusnya, hingga berhenti pada wujud Allah swt yang memancarkan ilmu-Nya kepada wujud di bawah-Nya.
Dengan demikian jelaslah bahwa manusia dalam menggapai pengetahuan pada dasarnya senantiasa berhubungan dan dibimbing oleh alam gaib (malaikat dan Allah) setiap saat baik dengan mudah atau sulit, sadar atau tidak, sedangkan aktivitas di alam materi seperti membaca, berdiskusi, belajar, dan sebagainya hanya merupakan sebab-sebab perantara saja untuk mendapatkan ilmu.
Imam Khumaini menjelaskan bahwa selaras dengan pandangan para ahli, premis-premis memiliki hubungan persiapan dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk menerima pengetahuan melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi (mabadi-ye ‘aliyeh-ye ghaibiyyeh). Ini berarti, pengetahuan dan makrifat itu dipancarkan dari alam gaib melalui hubungan—dan pencerapan—jiwa dengan alam tersebut, sebagaimana disebutkan Allah, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu…” (Q.S. al-Baqarah: 282) dan disabdakan hadits : “pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, tetapi melalui cahaya yang Allah pancarkan kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya.”[7]
Jadi, setiap jiwa yang berhubungan dengan alam malakuti yang tinggi—yakni alam para malaikat yang suci—bakal menerima inspirasi yang berwatak malaikat (suci), dan pengetahuan yang dipancarkan ke dalam jiwa manusia yang demikian adalah pengetahuan sejati yang berasal dari alam malaikat. Oleh karena itu, kaum arif yang berpengetahuan hakiki memandang penyucian jiwa, pengikhlasan niat, dan pelurusan tujuan sebagai langkah awal dalam menuntut ilmu pengetahuan, khususnya ilmu ilahi dan ilmu syariat, lantaran hubungan dengan sumber-sumber yang tinggi akan menguat apabila jiwa telah tersucikan. Ketakwaan seseorang dapat menyucikan jiwa dan menghubungkannya dengan alam gaib yang kudus, sehingga pengajaran dan pengilhaman ilahi turun kepadanya. Sumber-sumber yang tinggi tidak mengenal kekikiran, sehingga setiap jiwa yang berhubungan dengannya pasti akan mendapat segala yang didambanya. Pancaran dari Sumber Mutlak itu bersifat niscaya (wajib), karena Wajib Al-Wujud bersifat niscaya dalam segala sisi dan aspeknya.[8]
Akan tetapi, setelah diangkat menjadi nabi, maka Ilmu para nabi bersumber dari jalan wahyu yang dipancarkan dari ilmu Tuhan yang tidak terbatas. Wahyu tersebut juga berbentuk syariat yang menunjukkan jalan-jalan kesempurnaan manusia melalui pengenalan atau ma’rifat terhadap Tuhan, alam, manusia, dan dirinya sendiri. Dan semua ilmu tersebut bersifat hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran) yang tidak mungkin salah, dan tidak didahului atas pemikiran pribadi.[9]
Dengan demikian ilmu kenabian mencakup diri Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya, baik yang terindera (alam syahadah) maupun yang tidak terindera (alam gaib). Karenaya, status para nabi sebagai hamba-hamba Alah tidak menghalangi mereka untuk mengetahui perkara-perkara masa lalu, sekarang, dan atau yang akan datang, dengan izin Allah. Sehingga tidak ada alasan untuk menolak bahwa para nabi dapat menginformasikan hal-hal ghaib yang diperolehnya dari wahyu dan dengan izin Allah Swt. [10]
Kesimpulannya, Nabi sebelum menjadi Nabi tidak dibimbing oleh wahyu yang merupakan firman Allah (wahyu syariat), akan tetapi sesuai dengan aktualisasi akal, maka Nabi mampu menggapai pengetahuan yang benar dan berakhlak yang benar (pancaran ilmu) sehingga mencapai derajat tinggi yaitu nubuwah dan siap menerima limpahan wahyu Allah.
WAHYU : MODEL KOMUNIKASI TUHAN
Wahyu merupakan salah satu bentuk komunikasi tersembunyi. Berasal dari kata awha, yuhi yang artinya meyampaikan secara tersembunyi, berbisik, atau isyarat.
Wahyu menjadi kemestian dalam kenabian, karena sesuai dengan argumentasi kenabian terdahulu, kita telah menegaskan bahwa akal membutuhkan sarana lain untuk mengungkap rahasia Tuhan dan ciptaan-Nya, sehingga dapat mengantarkan manusia dengan benar, baik dan cermat menuju evolusi kesempurnaan (teleologis). Jika kita kaitkan dengan makna umum wahyu, maka nabi meskipun delum menjadi nabi telah menerima wahyu umum yang berarti ilmu yang benar dan tindakan yang benar. Sedangkan wahyu khusus yang berbentuk syariat diterima setelah ia diangkap menjadi nabi.
Kita juga telah mengetahui bahwa ilmu kenabian senantiasa berhubungan dengan alam yang lebih tinggi dari alam dunia. Begitu pula, ilmu ada dua jenis yaitu ilmu hushuli (pengetahuan dengan perolehan) dan ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran), ilmu yang diperoleh melalui perantara dan ilmu yang diperoleh langsung. Dan ilmu nabi adalah bersifat hudhuri.
Sesuai dengan kemaksuman nabi dan sifat ilmu hudhuri, maka ilmu kenabian tidak mungkin dihinggapi kekeliruan, kesalahan, dan penyimpangan. Dengan demikian, perkataan nabi dan perbuatannya menjadi alasan bagi umat untuk meyakini suatu bentuk informasi yang benar, sehingga wahyu bisa dijadikan dalil atau digunakan sebagai landasan argumentasi bagi manusia untuk menjelaskan persoalan-persoalan kehidupan, ilmu pengetahuan, keagamaan, dan sebagainya, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, zahir maupun batin, syahadah ataupun gaib.
Secara asumtif kita bisa merumuskan beberapa alternatif komunikasi dengan Tuhan dengan nabi :
1. Tuhan menyampaikan langsung kepada nabi, dengan metode nabi ‘mendatangi’ Tuhan. Hal ini mungkin jika seorang nabi telah melakukan tazkiyat al-nafsi sehingga ruhnya naik ke alam yang lebih tinggi hingga sampai ke alam ketuhanan. Dengan posisinya yang tinggi tersebut, maka nabi akan senantiasa menerima limpahan wahyu Tuhan secara langsung. Artinya, karena nabi memiliki ruh suci yang dapat menerawang ke alam ketuhanan hingga mencapai tingkatan makhluk pertama (akal 1), maka dari sisi keruhaniannya, nabi berhubungan langsung dengan Tuhan, akan tetapi dari sisi fisiknya di dunia, nabi tetap berhubungan dengan makhluk-makhluk yang lebih tinggi dari fisiknya sehingga tidak berhubungan lansung dengan Tuhan.
2. Tuhan menyampaikan wahyu kepada nabi, dalam arti Tuhan ‘mendatangi’ nabi. Hal ini hanya mungkin, jika yang dimaksud adalah secara majazi, artinya Tuhan membisikkan ke dalam hati nabi akan wahyunya. Namun hal ini juga harus diartikan, adanya hierarki wujud yang menjadi perantara bisikan wahyu Tuhan tersebut. Hirarki inilah yang menjadi hijab-hijab bagi manusia.
3. Tuhan mengirim utusan yang bukan manusia untuk menyampaikan kepada nabi wahyunya. Hal ini juga mungkin dikarenakan Tuhan tidak mungkin secara langsung berhubungan dengan alam materi di mana nabi hidup. Selain itu, sesuai dengan keteraturan hierarki wujud—seperti dijelaskan dalam Tauhid Penciptaan—maka dalam berhubungan dengan makhluk-Nya,—selain dari makhluk pertama yang diciptakan Tuhan secara langsung—Tuhan senantiasa menggunakan perantara (wasilah). Dalam terminologi agama, perantara ini disebut malaikat.
Ketiga cara di atas dibenarkan oleh al-Quran, “Dan tidak seorang manusia pun yang (diajak) berdialog oleh Allah kecuali melalui wahyu atau dari belakang hijab (tabir), atau dengan jalan (Allah) mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya (nabi) dengan seizin Allah menurut kehendak-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Syura: 51).
Catatan Kaki:
[1] Lihat ulasannya dalam Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Buku Daras Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 82-83.
[2] Khalid al-Walid. Tasauf Mulla Shadra. (Bandung: Muthahhari Press, tt), h. 105-106.
[3] Lihat Allamah Thabathabai. Nihayah al-Hikmah. (Qum: Islamic Publications Centre, 1983), h. 24.
[4] Mehdi Hairi Yazdi. Menghadirkan Cahaya Tuhan. (Bandung: Mizan, 2003), h. 75.
[5] Secara sederhana dalam filsafat Islam tingkatan wujud (alam) dibagi pada empat tingkat yaitu alam ketuhanan (alam lahut), alam akal (malakut), alam mitsal (barzakh), dan alam material (alam syahadah). Dari keempat alam tersebut yang dapat diindera adalah alam material sedangkan ketiga alam di atasnya tidak dapat di indera karena bersifat immateri. Sedangkan ilmuwan Muslim lainnya memandang ada lima hierarki realitas wujud yang disebut dengan al-Hadharat al-Ilahiyah al-Khamis (Lima Kehadiran Ilahi), yaitu alam nasut (alam materi), alam malakut (alam kejiwaan), alam jabarut (alam ruh), alam lahut (sifat-sifat uluhiyah), dan alam hahut (wujud zat ilahi).
[6] Lihat Khalid al-Walid. Tasawuf, h. 113; Mehdi Ha’iri Yazdi, Menghadirkan, h. 103-108; Misbah Yazdi, Buku Daras, h. 93-99.
[7] Imam Khumaini. 40 Hadits. (Bandung: Mizan, 2004), h. 448-449.
[8] Imam Khumaini. 40 Hadits, h. 449.
[9] Allah berfirman : “Dan tidaklah apa yang dikatakannya itu berdasarkan hawa nafsunya. Sesungguhnya apa yang dikatakannya adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Q.S. an-Najm: 3-4).
[10] Perhatikan ayat-ayat berikut ini : “Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu.” (Q.S. Ali Imran : 44); “Itu adalah berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepadamu.” (QS. Yusuf :102); “Allah Mahamengetahui yang ghaib. Dia tidak akan memberitahukan rahasia keghaiban-Nya kepada siapa pun kecuali kepada rasul yang dipilihnya.” (QS. 72: 26-27). Lihat juga Q.S. Ali Imran : 49 dan 179; al-Jin: 26-27; al-Takwir: 19-25. Ada juga ayat yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang memiliki pengetahuan ghaib, seperti: “Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak (pula) mengetahui yang ghaib dan tidak pula mengatakan bahwa aku adalah malaikat”. (QS. Al-An’am :50); “Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah…” (Q.S. an-Naml: 65) lihat juga Q.S. Yunus: 20; al-An’am: 59; al-A’raf: 188. Sesuai dengan sifatnya bahwa ayat-ayat al-Quran saling menafsirkan, maka ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya Rasulullah saw memang tidak memiliki pengetahuan ghaib, akan tetapi dia memperolehnya dari Allah Swt.
(Abu-Thalib/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar