MAKNA KHATAM AL-NABIYYIN
Jika kita membaca al-Quran atau belajar mengaji dari awal hingga menyelesaikannya sampai surat an-Nas, maka pada saat itu kita merayakannya dengan menyebutnya sebagai khatam al-Quran. Dari sini kita mengetahui khatam al-Quran bermakna bahwa kita telah menamatkan membaca al-Quran hingga akhir dan menutupnya. Lalu, bagaimana jika kata khatam tersebut disatukan dengan kata an-nabiyyin sehingga menjadi khatam al-nabiyyin? Ini berarti adalah berakhirnya, tamat, atau penutupan kenabian.
Kata khatam berarti ma yukhtatamu bihi, yaitu segala sesuatu ditutup atau diakhiri dengannya; mengakhiri atau menutup sesuatu. Misalnya, disebutkan khatamtu al-amala yang artinya ‘aku menyelesaikan pekerjaan’; khatamtul amra yaitu ‘aku mengakhirinya’; khatamtul quran yang berarti ‘aku membaca al-Quran hingga akhir’.[1]
Jauhari menyebutkan bahwa kata khatam bermakna sampai akhir dan kata akhtatimu adalah lawan dari kata aftatihu (memulai, mengawali, dan mebuka). Karenanya kata khatam atau khatim memiliki makna yang sama yang merujuk pada akhir sesuatu. Jadi, satu-satunya makna khatam al-nabiyyin adalah berakhirnya kenabian setelah wafatnya Nabi Muhammad saaw, dan tidak akan ada lagi nabi atau rasul yang akan diutus oleh Tuhan untuk membimbing manusia.
ARGUMENTASI PENUTUP KENABIAN
Argumentasi utama penutup kenabian adalah dalil al-Quran dan sunnah nabi. Meskipun begitu, akal berperan besar untuk berakhirnya kenabian tersebut.
Jika diselidiki, banyak ayat-ayat al-Quran yang menegaskan berakhirnya kenabian pasca wafatnya Rasulullah Muhammad saaw. Namun, yang paling populer dan tegas adalah ayat 40 dari surat al-Ahzab yang berbunyi : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah Bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi (khatam al-nabiyyin). Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Ahzab: 40).
Untuk itu ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan agar dapat memahami ayat ini dengan baik,[2] diantaranya :
a. Pembacaan dan Makna Khatam. Khatam memiliki beberapa pembacaan, tetapi tidak merubah makna dasarnya yaitu penutup. Abul Baqa Akbari, saat mengulas ayat di atas menyebutkan beberapa kemungkinan pembacaan dan maknanya, yaitu :
1. Dibaca khatama (dengan huruf ta berharkat fathah) atau dalam bentuk fi’il madhi, merupakan bentuk mufa’alah, yang berarti Nabi Muhammad saaw mengakhiri para utusan ialhi.
2. Dibaca dalam bentuk mashdar yaitu khataman-nabiyyin maka bermakna ‘penutup para nabi, karena mashdar dalam bentuk ini memiliki arti isim fa’il (pelaku).
3. Dibaca khatam dalam bentuk isim, maka bermakna ‘akhir atau terakhir’.
4. Dibaca khatamu dalam bentuk isim maf’ul yaitu khatamun-nabiyyin, maka artinya ‘nabi-nabi diakhiri dengannya’ (makhtum bihi an-nabiyyun), yakni bermakna ‘nabi-nabi utusan Allah diakhiri dengan Nabi Muhammad saaw.’
5. Jika dibaca khatim (dengan huruf ta berharkat kasrah), maka bermakna ‘akhir atau terakhir’.
Kesimpulannya, dari kelima kemungkinan pembacaan, ayat tersebut tetap mengindikasikan makna bahwa ‘Muhammad saaw adalah nabi terakhir utusan Allah dan tidak ada nabi sepeninggal beliau.’[3] Dan jika kita bandingkan dengan ayat-ayat lain yang menyebutkan kata khatam, maka akan menghasilkan makna-makna yang merujuk pada ‘penutup atau mengakhiri’.[4]
b. Secara historis keyakinan berakhirnya kenabian telah diakui umat sejak masa Nabi Muhammad hingga saat ini. Artinya, sejak meninggalnya Nabi Muhammad, telah muncul orang-orang yang mengaku nabi, dan para sahabat-sahabat Rasulullah dengan tegas menolak dan memerangi mereka. Ini membuktikan bahwa para sahabat nabi dan umat pada saat itu, telah menyepakati berakhirnya kenabian, sehingga pengakuan kenabian setelah Muhammad saaw adalah kebatilan. Begitu pula hal ini terjadi dalam masa-masa berikutnya.
c. Semua derivasi dari makna khatam, pada dasarnya kan kembali pada makna ‘penutup atau terakhir’, diantaranya :
1. Khatam dimaknai dengan ‘stempel atau pengecap’. Hal ini, sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena, mengecap surat dengan stempel atau cincin menandakan bahwa surat telah selesai dan berakhir serta menandakan kabenaran isi surat tersebut. Jika surat atau dokumen tidak distempel, maka berarti belum selesai dan tidak berarti.
2. Khatam dimaknai cincin. Hal ini karena pada masa dahulu, cincin yang diatasnya bertuliskan nama pemiliknya digunakan untuk mengecap atau menyetempel surat-surat, dokumen atau tulisan. Rasulullah Muhammad saaw juga memiliki cincin yang sekaligus menjadi stempel untuk mengecap surat-surat.
3. Khatam dimaknai perhiasan. Hal ini pada dasarnya diambil dari pemaknaan khatam sebagai cincin yang disebutkan di dalam Qamus al-Lughah dengan menggunakan istilah ‘sesuatu yang dicetak dan menjadi hiasan jari’ (huliyul ashba’). Dan cincin sebagaimana disebutkan di atas berfungsi sebagai penutup surat-surat.
4. Khatam dimaknai ‘pembenar’. Hal ini tidaklah tepat karena menyimpangkan makna hakikinya tanpa alasan yang kuat. Selain itu, kata mushaddiq lebih tepat digunakan untuk pembenar (seperti dalam Q.S. ash-Shaf: 6; al-Maidah: 46; Ali Imran: 50) daripada kata khatam.
Kesimpulannya, berbagai pemaknaan yang ingin menyimpangkan makna asli dari khatam adalah penyelewengan yang hanya bisa dilakukan jika ada petunjuk yang kuat, masyhur, sering digunakan, atau paling tidak sesuai dengan citra bahasa yang baik. Jika tidak ada alasan kuat, maka makna hakikinya yaitu ‘penutup’ harus digunakan dan tidak boleh diselewengkan.
d. Terminologi Nabi dan Rasul. Nabi dan rasul tidak dapat dibedakan secara mutlak, karena keduanya secara inheren mengandung persamaan yang erat, sehingga dalam berbagai ayat tidak jarang keduanya disandingkan atau bahkan ditukargantikan, tanpa merubah kandungan ayatnya.[5] Para ulama dan mufassir, setelah menyelidiki berbagai ayat yang mengandung terminologi nabi dan rasul berpandangan bahwa nabi dan rasul memiliki hubungan umum dan khsusus artinya, bahwa seorang rasul pastilah seorang nabi, tetapi seorang nabi belum tentu seorang rasul. Dengan demikian jika kenabian telah tertutup, maka pasti pula kerasulan telah tertutup. Artinya, karena seorang rasul haruslah menjadi nabi, maka tidak mungkin ada lagi rasul jika kenabian sudah tidak ada. Mungkinkah kita mengatakan bahwa jika manusia tidak ada, maka manusia pintar itu ada? Bahkan dalam ayat di atas keduanya disebutkan yaitu, “…tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi (walakin rasulallah wa khatam al-nabiyyin).
FALSAFAH DIAKHIRINYA KENABIAN
Selain pandangan al-Quran di atas, maka terdapat bebapa hal yang mengarahkan kita pada penutupan kenabian, dan peralihan bimbingan umat kepada orang-orang saleh dan mulia selain nabi, diantaranya adalah :
a. Universalitas dan Kesempurnaan Syariat Islam. Syariat Islam adalah syariat universal yang sempurna dan diturunkan untuk semua manusia hingga akhir zaman.[6] Universalitas dan kesempurnaan mengindikasikan pada akhir risalah dan syariat, dan akhir risalah atau syariat berarti menggambarkan tertutupnya pintu kenabian. Itulah sebabnya, nabi dengan bantuan para penerusnya berusaha keras untuk dapat menyampaikan risalah Islam keseluruh dunia. Jadi, ini merupakan bukti nyata bahwa kenabian telah berakhir, karena jika tidak, maka, berarti ada lagi umat selain umat Nabi Muhammad saaw. Padahal umat Islam adalah umat yang paling sempurna dan seimbang. Sekiranya ada seorang Nabi yang muncul setelah Nabi Muhammad, maka tidak mungkin nabi yang muncul tersebut dan umatnya kurang sempurna dari umat sebelumnya. Akan tetapi, jika Nabi itu atau umatnya lebih sempurna dari umat Nabi Muhammad, maka hal itu akan bertentangan dengan ayat-ayat yang jelas dalam al-Quran yang menyebutkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik. [7]
b. Kemampuan Umat menjaga wahyu. Salah satu kelebihan Islam dari agama lainnya adalah keterjagaan kitab sucinya dari berbagai penyimpangan, perubahan, atau penghilangan.[8] Karenanya pada masa kenabian terakhir umat telah memiliki kematangan berpikir dan perkembanagn baik dalm bidang agama maupun dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Ini berarti, sekarang adalah masanya umat dibimbing oleh para imam atau ulama, serta ilmu menjadi pengganti kenabian tabligh. Artinya, tugas yang diemban oleh nabi-nabi tabligh yang bertugas hanya menyampaikan dan tidak membawa syariat, pada saat sekarang ini yang menjalankan tugas itu adalah ilmu dan ulama dengan telah sempurnanya berbagai sarana dan terjaganya peninggalan nabi.
c. Ijtihad. Untuk tetap menjaga aktualisasi Islam sebagai agama yang universal dan terakhir, maka ijtihad yang merupakan kreatifitas umat Nabi Muhammad saaw memegang peranan penting bagi perumusan dan implementasi ajaran-ajaran Islam dalam setiap masa dan setiap generasi. Begitu pula pintu hidayah, ilham, kasyaf, dan syuhud, tetap terbuka agar manusia dapat berhubungan dengan alam gaib. Hal ini karena, permasalahan akan senantiasa muncul dengan formulanya yang baru sehingga para ulama Islam, dituntut kesungguhannya menggali sumber-sumber utama Islam untuk menemukan jawabannya.
PEMBIMBING SELAIN NABI
Dengan uraian-uraian di atas maka jelaslah bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir yang menjadi penutup kenabian (khataman nabiyyin). Karena itu setelahnya tidak akan ada lagi orang yang diangkat menjadi Nabi. Siapa saja yang mengaku Nabi setelah Nabi Muhammad maka ia pasti berbohong dan telah keluar dari keyakinan dasar akan kenabian.
Namun penutupan kenabian, juga akan menghasilkan pembahasan mengenai pelanjut kenabian atau pemimpin pasca nabi. Hal ini karena manusia tetap memerlukan bimbingan dan panjaga agama agar tidak diselewengkan dan dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan pemahaman-pemahaman yang keliru dan menyesatkan. Karena kenabian telah berakhir, maka pembimbing tidaklah Nabi lagi melainkan sosok manusia yang telah mencapai tingkatan dan derajat tertentu, yang meyebabkan ia layak untuk menjadi pembimbing umat manusia.
Begitu pula, jika kita telusuri ayat-ayat al-Quran dan hadits nabi, maka, sosok dan jabatan pembimbing manusia bukanlah hanya satu jenis saja yakni kenabian, melainkan banyak istilah lainnya, diantaranya adalah konsep imamah[9], wali/wilayah,[10] khalifah[11], ulul amr/imarah[12], dan juga faqih[13].
Demikian juga, pentingnya persoalan ini, karena bagaimanapun, kebutuhan manusia pada pembimbing tidaklah pernah habis. Jadi, argumentasi akan keharusan dan pentingnya adanya kenabian menjadi argumentasi pula bagi keharusan adanya pelanjut kenabian. Prinsipnya, karena sifat luthf (kasih sayang) dan hikmah (kebijaksanaa)-Nya, Allah tak akan membiarkan suatu umat tanpa bimbingan. Dengan kata lain, Allah selalu mengirim utusan pada setiap umat. Jadi, kesinambungan kepemimpinan sejak nabi, imam, hingga faqih atau ulama adalah suatu keniscayaan keagamaaan. Sebab, Rahmat Tuhan, Kasih Sayang-Nya, Kebijaksanaan-Nya, ataupun keadilan-Nya, senantiasa tercurahkan pada setiap masa dan setiap saat.
Karenanya, jika kita mempelajari sejarah Islam, maka tidak pernah lepas dari persoalan bimbingan dan kepemimpinan umat. Secara defakto, sejak Rasulullah saaw wafat, pada awal-awal Islam, kepemimpinan umat beralih kepada khalifah-khalifah yang diangkat oleh umat saat itu, yang disebut dengan Khulafa al-Rasyidin, dan penguasa daerah disebut amil (pekerja pemerintah, gubernur) sinonim dengan amir.
Gelar lainnya adalah Amir al-Mukminin. Kata amir berasal dari akar kata amr yang berarti “perintah”. Amir bermakna “yang memerintah”, kemudian makna ini berkembang sehingga berarti “pemimpin”. Selama pemerintahan Islam di Madinah, para komandan divisi militer disebut Amir, yaitu amir al-jaisy atau amir al-jund. Para gubernur yang mulanya adalah pemimpin militer yang menaklukkan daerah, juga disebut Amir. Tugas utama amir pada mulanya adalah penguasa daerah, yaitu pengelola administrasi politik, pengumpul pajak, dan pemimpin agama. kemudian pada masa pasca Rasulullah Saw, tugas amir bertambah meliputi memimpin ekpedisi militer, menandatangani perjanjian damai, memelihara keamanan taklukan Islam, membangun mesjid, menjadi Imam salat Jumat, mengurus administrasi pengadilan, dan bertanggung jawab kepada khalifah di Madinah. Hal ini juga tetap berlangsung terus sampai masa dinasti-dinasti Islam. [14]
Catatan Kaki:
[1] Lihat Ja’far Subhani. Siapa Nabi Terakhir? (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 14-18.
[2] Disadur dari Ja’far Subhani. Siapa Nabi Terakhir? (Jakarta: Al-Huda, 2006); Murtadha Muthahhari. Kenabian terakhir. (Jakarta: Lentera, 2001).
[3] Lihat Ja’far Subhani. Siapa Nabi Terakhir? (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 14-15.
[4] Perhatikan ayat-ayat berikut ini : “Allah telah mengunci mati (khatama) hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup.” (Q.S. al-Baqarah: 7); “Pada hari ini, Kami tutup (nakhtimu) mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka.” (Q.S. Yasin: 65). Lihat juga al-Muthaffifin: 25-26; al-Jatsiyah: 23.
[5] Perhatikan ayat-ayat berikut ini : ““Ingatlah Musa dalam kitab (al-Quran) sesungguhnya ia seorang yang ikhlas, seorang rasul sekaligus nabi.” (Q.S. Maryam: 51); “Sesungguhnya dia (Ismail) adalah orang yang mengamalkan janjinya dan dia adalah rasul sekaligus nabi.” (Q.S. Maryam: 54); “Sesungguhnya Isa putra Maryam adalah rasulullah” (Q.S. an-Nisa: 171) dan “Sesungguhnya aku (Isa) adalah hamba Allah, Allah yang menurunkan padaku kitab dan menjadikanku nabi.” (Q.S. Maryam: 30); “Orang-orang yang mengikuti rasul dan nabi yang ummi.” (Q.S. al-A’raf: 157).
[6] Allah berfirman : “Mahasuci Zat yag telah menurunkan al-Furqan (al-Quran) pada hamba-Nya sebagai peringatan bagi seluruh alam.” (Q.S. al-Furqan: 1); lihat juga Saba: 28.
[7] Allah berfirman: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.” (Q.S. al-Baqarah: 143). Lihat juga Q.S. Ali Imran: 110.
[8] Allah berfirman : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. al-Hijr: 9). Lihat juga Q.S. al-Fushilat: 41-42;
[9] Allah berfirman : “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ’sesungguhnya Aku menjadikan engkau imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman: “Janjiku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 124).
[10] Allah berfirman: “Sesunguhnya pemimpin (wali) kamu adalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat selagi mereka ruku” (al-Maidah: 55).
[11] Allah berfirman : “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”(Q.S. Sad: 26)
[12] Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, tatatilah Allah dan tatatilah rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. al-Nisa: 59);
[13] Allah berfirman : “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (liya tafaqqah fiddin), dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka itu telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga diri.” (Q.S. al-Taubah: 122).
[14] Taufik Abdullah. et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid III. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 204-206.
(Abu-Thalib/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar