Mukadimah
Salah satu konsep yang paling mendasar dalam ilmu-ilmu humaniora, khususnya dalam ilmu politik adalah konsep keadilan. Pernyataan ini bukan berlebihan, sebab urgensi keadilan dan peranannya yang sangat menentukan dalam sosial adalah hal yang tidak dapat dipungkiri. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa pembahasan keadilan berada pada sentral pemikiran para pakar politik.
Keadilan merupakan sebuah sifat yang dicintai oleh Tuhan dan dicintai oleh manusia, bahkan Tuhan pun memuji diri-Nya dengan sifat ini.[1] Ketika kita memerhatikan seluruh agama, baik agama samawi maupun agama non-samawi, kita mengetahui bahwa semua agama memberi perhatian khusus kepada unsur keadilan dan setiap agama menganggap keadilan sebagai tujuan utama atau salah satu dari tujuan penting dalam misi keagamaan.
Dalam pandangan agama Islam, masalah ini pun mendapat perhatian yang khusus, dan tidak kurang dari 29 ayat Alquran secara langsung turun berkaitan dengan masalah keadilan. Dan sekitar 290 ayat yang lain berbicara tentang kezaliman yang merupakan lawan dari keadilan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sekitar sepersepuluh ayat-ayat Alquran, baik secara langsung maupun tidak langsung mengisyaratkan masalah keadilan. Hal ini menunjukkan perhatian Islam terhadap masalah keadilan.
Ketika kita melihat kata keadilan dari sisi sejarah, kita dapat mengetahui bahwa selalu di sepanjang sejarah terjadi pertarungan antara para pecinta keadilan dan orang-orang yang zalim. Dan tidak pernah ditemui dalam perputaran sejarah sebuah masyarakat yang tidak mengharapkan dunia yang dipenuhi dengan keadilan, dan tentu sepanjang sejarah selalu ada orang-orang yang teraniaya yang selalu mencari hakikat keadilan, dan ketika mereka menemukannya, maka mereka akan mempertahankannya dengan segenap jiwa dan tenaga mereka.
Syahid Allamah Murtadha Muthahari yang hidupnya diwakafkan untuk tujuan ini, berkaitan dengan masalah keadilan mengatakan, “Pemikiran mengikuti perut. Mustahil seseorang kaya yang perutnya kenyang dan hidupnya berfoya-foya akan dapat membela prinsip keadilan, sebagaimana mustahil juga seorang yang terpinggirkan dan miskin akan mengingkari dasar keadilan”.[2] Jadi, setiap manusia yang berhadapan dengan kezaliman, kejahatan, kekufuran, kerusakan dan menderita karenanya tentu akan merindukan keadilan dan kebenaran.”[3]
Manfaat Pembahasan Keadilan
Terdapat manfaat besar di balik pembahasan tentang keadilan. Yaitu, bila kita menerima bahwa dalam Islam itu terdapat kebenaran dan keadilan, dan itu adalah sebuah realitas yang Islam menerimanya sebagai fakta yang tak terbantahkan, maka kita akan mampu membangun filsafat sosial Islam dan bidang dasar-dasar hukum Islam di mana berdasarkan keadilan akan bisa dijelaskan prinsip-prinsip yang tegak berasaskan keadilan dan alasan penetapan sebagian undang-undang. Dan bila ada suatu masalah baru yang hukum dan ketetapannya tidak kita temukan dalam Islam, maka berdasarkan prinsip tersebut kita bisa mengeluarkan hukum Islam.
Makna Keadilan
Keadilan secara bahasa bermakna, “Kesetaraan di antara dua hal atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan secara tepat yang tidak dipengaruhi oleh perasaan dan kecenderungan tertentu.”
Keadilan merupakan sebuah kata yang manusia untuk memahaminya tidak perlu kepada definisi dan manusia secara fitrah memahami bentuk-bentuk riil dan konkrit darinya. Karena masalah keadilan adalah hal yang sesuai dengan fitrah, sehingga pelbagai definisi yang disampaikan itu sangat berdekatan. Alhasil, banyak ilmuan dan cendekiawan yang mendefinisikan keadilan dan betapa banyak pemahaman-pemahaman tentang keadilan dalam pelbagai budaya itu sangat dekat.
Bila kita memerhatikan pembagian-pembagian definisi keadilan, kita akan memahami bahwa umumnya definisi-definisi tersebut dilihat dari satu wujud yang konkrit itu satu, dan satu-satunya penyebab perbedaan dalam masalah ini adalah karena setiap definisi melihat satu aspek khusus dari wujud konkret keadilan dan perbedaan dalam pelbagai definisi itu disebabkan oleh perbedaan dalam memandang wujud konkret keadilan.
Bila kita ingin menemukan sebuah titik temu atas pelbagai definisi keadilan, maka keadilan harus kita definisikan sebagai “Meletakkan sesuatu pada tempatnya.” Namun tentunya meletakkan sesuatu pada tempatnya ini tergantung kepada sesuatu/obyek dan bisa berbeda. Dengan kata lain, adil sebagaimana ilmu itu tidak memiliki pemahaman yang lebih dari satu, tetapi dilihat dari wujud konkretnya dia memanifestasikan pelbagai macam hal.[4] Supaya hal ini menjadi jelas, maka kami akan menyinggung pelbagai definisi yang disampaikan oleh para pemikir, sehingga maksud dari keadilan dan batasannya itu menjadi jelas bagi kita dan kita tidak terperosok dalam kesalahan penggunaan lafal, sebab mungkin saja nama keadilan disebutkan, tetapi satu bagian darinya yang dimaksudkan.
Makna-makna Keadilan
Keadilan memiliki dua definisi universal dan utama di mana banyak dari definisi-definisi lain itu terkait dengan dua definisi ini. Dan dua definisi yang dimaksud adalah:
1. Meletakkan sesuatu pada tempatnya.
2. Memberikan hak kepada setiap yang berhak menerimanya.
Plato dalam sebagian karyanya mendefinisikan keadilan, baik dalam batasan sosial maupun batasan individual, sebagai “Keharmonisan melaksanakan tugas.”[5] Definisi ini ingin menjelaskan bahwa sesuatu tidak boleh dilakukan secara berlebihan (ifrath) atau kurang maksimal dari yang seharusnya (tafrith), tetapi sebaiknya sesuatu itu dilakukan secara proporsional. Dan tentu definisi ini kembali kepada dua definisi di atas.
Plato dalam penjelasan lainnya mengatakan bahwa keadilan adalah, “Seorang yang berusaha untuk mendapatkan haknya dan melakukan sebuah pekerjaan yang memang sesuai dengan potensi dan kelayakannya.”[6] Dalam sebagian karya Plato yang lain kita bisa temukan bahwa keadilan itu dianggap identik dengan keindahan.[7] Dan dijelaskan bahwa bila sebuah masyarakat itu adil, maka masyarakat itu akan indah, dan bila tidak maka masyarakat tidak akan pernah disebut dengan indah.
Sementara, Aristoteles memaknai keadilan seperti ini, “Makna khusus keadilan adalah kesetaraan individu-individu dan benda-benda. Yang penting adalah antara manfaat dan mudarat tugas dan hak-hak individu-individu itu disesuaikan dan diseimbangkan.
Jadi, dalam definisi keadilan dapat dikatakan: ia adalah sebuah keutamaan yang ketika itu diperhatikan, maka setiap orang akan mendapatkan haknya.[8]
Makna Keadilan dalam Kitab Nahj al-Balaghah
Keadilan begitu penting dalam pembahasan sosial dan politik. Keadilan memiliki peran penting dalam pembahasan manajemen pemerintahan. Di sini, kami akan mengisyaratkan keadilan menurut pandangan Sayidina Ali ibn Abi Thalib. Dalam kitab Nahj al-Balaghah, dua definisi keadilan yang telah disebutkan sebelumnya atau ungkapan-ungkapan yang serupa dengannya, juga terdapat di dalam kitab Nahj al-Balaghah dan kedua makna keadilan tersebut juga diterima dalam kitab Nahj al-Balaghah. Dalam kitab monumental ini, keadilan dijelaskan seperti ini, “Segala sesuatu diletakkan pada tempatnya.” Dan di tempat yang lain keadilan didefinisikan seperti ini, “Menjaga hak-hak dalam mengembangkan potensi dan anugerah wujudnya/keberadaannya dan tidak menghalangi dari memberi sesuatu yang mungkin dapat tumbuh dan berkembang.”[9]
Pembagian-pembagian Keadilan
Dengan memperhatikan secara teliti definisi-definisi keadilan yang telah dijelaskan, kita dapat memahami bahwa keadilan itu terletak pada dua hal: yang pertama terkait dengan masalah takwini (penciptaan), dan yang kedua terkait dengan masalah tasyri’i (hukum). Yakni, keadilan itu dapat dilihat berbarengan dengan penciptaan satu maujud (keberadaan) dan juga terkait dengan hubungan makhluk ini dengan makhluk-makhluk lainnya. Jadi, keadilan itu dapat dibagi seperti ini:
Keadilan dalam Takwini (Penciptaan)
Pembagian ini diintisarikan dari definisi keadilan yang pertama yaitu, meletakkan sesuatu pada tempatnya. Pembagian ini kembali kepada penciptaan pelbagai hal dan keadilan dalam penciptaan. Terkadang, dalam Alquran keadilan disebut dengan “Timbangan Tuhan dalam penciptaan.” Ayat-ayat yang lain yang terdapat dalam Alquran menjelaskan bahwa, “Langit dan bumi itu tegak berdasarkan keadilan.” Semua ini mengisyaratkan tentang bentuk keadilan ini, seperti ayat ketujuh dari Surah Ar-Rahman yang berbunyi, “Dan Allah telah meninggikan langit, dan Dia meletakkan neraca (keadilan)].”[10]
1. Keadilan dalam Tasyri’i (Hukum)
Pembagian ini diintisarikan dari definisi keadilan yang kedua yaitu, memberikan hak kepada setiap yang berhak menerimanya, yang terkait dengan perbuatan-perbuatan ekternal. Allamah Murtadha Muthahari menjelaskan bahwa, keadilan tasyri’i berarti sistem pembuatan dan penetapan undang-undang selalu memperhatikan dasar keadilan.[11]
Perlu diperhatikan dalam poin ini ketika dijelaskan bahwa salah satu tujuan pengutusan para nabi adalah penegakan keadilan maka yang dimaksud adalah keadilan dalam pembagian ini. Dan di kesempatan yang lain, Allah juga berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya (pemimpin yang zalim).”[12] Perlu diperhatikan bahwa tujuan keberadaan keadilan takwini adalah tegaknya keadilan tasyri’i.
2. Nilai Keadilan dalam Agama Islam
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti dan mukjizat yang jelas nyata dan Kami telah menurunkan bersama-sama mereka Kitab Suci dan keterangan yang menjadi neraca keadilan, supaya manusia dapat menjalankan keadilan.[13]
Dalam pembahasan kedudukan keadilan, salah satu pembahasan yang penting adalah: apakah keadilan dalam Islam dikenalkan sebagai salah satu tujuan atau sarana untuk mencapai tujuan? Jawaban atas pertanyaan ini akan dengan baik menjelaskan kedudukan keadilan. Dalam pemikiran kaum Muslim Syi’ah, utamanya di bidang politik dan pemerintahan makna keadilan atau prinsip keadilan itu bersifat Ilahi dan rasional di mana dalam pembahasan teologi itu dikemukakan dalam ungkapan kebaikan dan keburukan rasional.[14]
Keadilan dalam Islam itu memiliki akar yang kuat dalam Alquran, dan Alquran yang menebarkan benih keadilan di jantung masyarakat Islam. Dan masalah ini begitu pentingnya dalam agama Islam, sehingga terkadang Tuhan disebut dari maqam (kedudukan) Pembuat dan Pengatur kepada maqam Penegak keadilan.[15]
Catatan Kaki:
[1] Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). (QS. Ali ‘Imran: 18)
[2] ‘Adl Ilahi, Murtadha Muthahari, hal. 39.
[3] Khadamat Mutaqabil Islam wa Iran, juz 1 dan 2, hal. 33, cetakan Shadra, Teheran).
[4] Falsafah Huquq Basyar, karya Jawadi Amuli, hal. 200, cetakan Markaz Nasy Isra’, 1375).
[5] Daurah Atsar Aflathun, Muhammad Hasan Luthfi, juz 2, hal. 849, cetakan Khawarizmi, Teheran 1380.
[6] Ibid, hal. 874.
[7] Ta’lim wa tarbiyat dar Islam, Murtadha Muthahari, hal. 148, cetakan Shadra, Teheran.
[8] A’dalat Huquq Daulat, hal. 8, cetakan Muthala’at.
[9] Nahj al Balaghah, terjemahan Faidh al Islam, hikmah 429.
[10] QS. Al Rahman: 7.
[11] ‘Adl Ilahi,Murtadha Muthahari, hal. 36, cetakan Shadra.
[12] QS. al-A’raf: 3.
[13] QS. Al hadid: 25.
[14] Jaigoh ‘Adolat dar Andisyih Siyasi Muhaqqiq Narraqi, Sayid Abdul Qayyum Sajjadi, hal. 130.
[15] QS. Al Rahman: 7.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar