Oleh: Dr. Dina Sulaiman
Kiprah Ormas politik berhaluan radikal Hizbut Tahrir dalam memporakporandakan suatu bangsa sudah tidak diragukan lagi, contoh negara yang dulunya damai dan tentram yang berhasil diporakporandakan Hizbut Tahrir ialah Libya dan Suriah. Propaganda dalam bentuk ujaran-ujaran provokasi dan penyebaran hoaks setidaknya menjadi senjata utama Ormas yang kerap kali mengklaim diri paling Islam ini.
Untuk memahami bagaimana rekam jejak Hizbut Tahrir dalam menghancurkan Libya dan Suriah serta ancamannya bagi Indonesia berikut tulisan dari seorang pengamat Timur Tengah yang diterima oleh redaksi kami:
HTI, Indonesia, Libya, dan Suriah
HTI selalu mengklaim diri sebagai semata-mata organisasi dakwah Islam dan atas alasan itu, UU Ormas (kini UU) secara salah kaprah disebut anti Islam. Padahal yang disasar UU Ormas adalah ormas yang ideologinya membahayakan NKRI (anti Pancasila, pro kekerasan, dll). Tokoh ex-HTI Mereka pun mengajukan gugatan ke PTUN minta pencabutan pembubaran ormas mereka.
Untuk argumen teologis, para pakar sudah dihadirkan pihak pemerintah dalam persidangan. Tentu saja, para pakar ini dibully di medsos oleh para pembela HTI, bahkan dengan cara&tuduhan yang sangat kasar.
Untuk argumen politik, saya bisa menjelaskan, dimana bahayanya HTI, dengan cara menyimak rekam jejak mereka dalam isu Timteng.
HTI selalu mengklaim sebagai organisasi dakwah. Ini bertentangan dengan pernyataan yang dimuat di situs-situs HT di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang secara jelas menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah partai politik yang memiliki tujuan untuk mendirikan kekhalifahan Islam.
Saat diwawancarai oleh Aiman dari Kompas TV (12/6), Ismail Yusanto mengelak menjawab, bagaimana proses terbentuknya kekhilafahan serta siapa dan dari negara mana asal sang khalifah.
Pertanyaan bagaimana proses terbentuknya khilafah adalah poin yang amat krusial dalam mengetes kesahihan klaim-klaim antikekerasan yang disampaikan oleh HTI. Bila kita melacak jejak digital pernyataan-pernyataan HTI terkait upaya pendirian khilafah di Libya dan Suriah, kita justru mendapati bahwa organisasi ini menyebarkan narasi yang menyerukan kekerasan. Menurut HTI, rezim Qaddafi dan Assad adalah rezim taghut, karenanya perlu jihad untuk mendirikan khilafah di kedua negara itu.
HTI dan Libya
Pada 23 Februari 2011, Ismail Yusanto merilis siaran pers berjudul “Seruan HTI untuk Kaum Muslimin di Libya Tumbangkan Rezim Diktator, Tegakkan Khilafah”. Dalam siaran pers itu Ismail menyatakan, “penguasa Libya memimpin dengan penuh kezaliman, menggunakan tekanan, paksaan dan kekangan… rakyatnya hidup dalam kemiskinan yang sangat dan kelaparan yang tiada terkira.”
Lalu pada Agustus 2011, situs HTI merilis siaran pers ucapan selamat atas tumbangnya “rezim tiran Qaddafi”.
HTI mengabaikan data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa sebelum 2011, Libya adalah negara dengan Human Development Index (HDI) tertinggi di Afrika. Pada tahun 2010, HDI Libya berada di peringkat 57 dunia. Ini adalah posisi yang jauh lebih baik darpada Indonesia yang baru sampai di peringkat 112.
Dalam situs UNDP dicantumkan bahwa pengukuran HDI dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kehidupan manusia, dengan berbasis tiga hal berikut ini: kehidupan yang sehat, panjang umur, dan kreatif; memiliki pengetahuan, serta memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk memiliki kehidupan yang layak.
Pada 2010, pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$ 14.582. Bandingkan dengan Indonesia pada saat itu yang hanya US$ 2.149. Warga Libya menikmati pendidikan dan layanan kesehatan gratis, serta subsidi berlimpah di sektor energi dan pangan.
Dan ironisnya, di balik seruan-seruan jihad serta gegap-gempita HTI pasca tergulingnya Qaddafi, yang terjadi di Libya sesungguhnya adalah agenda penggulingan kekuasaan yang dilakukan oleh NATO. Prosesnya diawali dengan demo-demo antipemerintah oleh para “mujahidin” Libya yang berafiliasi dengan Al-Qaidah. Lalu, setelah terjadi bentrokan senjata dengan tentara pemerintah, mereka meminta kepada PBB untuk turun tangan, mengklaim telah terjadi “kejahatan kemanusiaan”.
Hanya dalam waktu sebulan, di luar kewajaran, Dewan Keamanan PBB merilis Resolusi 1973/Maret 2011, yang memberikan mandat kepada NATO untuk memberlakukan no fly zone. Praktis resolusi ini memberi kesempatan kepada NATO untuk membombardir Libya. Negara yang pernah dijuluki “Swiss-nya Afrika” itu pun luluh lantak. Qaddafi terguling dan korporasi multinasional pun berpesta-pora karena mendapatkan proyek-proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak di negara yang amat kaya sumber daya alam itu.
HTI dan Suriah
Peran “mujahidin” sebagai proksi NATO di Libya kembali terulang di Suriah. Bahkan tokoh-tokoh Al-Qaidah Libya-lah yang merintis pembentukan milisi-milisi jihad Suriah. Laporan jurnalis Mary Fizgerald dari Foreign Policy menyebutkan bahwa salah satu komandan pemberontak Libya yang paling terkenal, Al-Mahdi Al-Harati, bersama lebih dari 30 milisi Al-Qaidah Libya datang ke Suriah untuk mendukung Free Syrian Army (FSA) serta membentuk milisi Liwaa Al-Ummah.
Lalu, di mana peran HTI? Sama seperti Libya, HTI menjadi cheerleader yang sangat aktif dalam menyerukan jihad Suriah. Pada Januari 2013, HTI bahkan sangat optimistis menyatakan bahwa “khilafah di Suriah sudah dekat”. Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI, menyatakan, “Hizbut Tahrir terus bekerja keras untuk mengawal Revolusi Islam ini hingga mencapai tujuannya, yaitu tumbangnya rezim kufur Bashar, kemudian menggantikannya dengan khilafah.”
Menurut Hafidz, proses berdirinya khilafah di Suriah bisa dipercepat dengan “…melumpuhkan kekuasaan Bashar. Bisa dengan membunuh Bashar, seperti yang dilakukan terhadap Qaddafi, atau pasukan yang menopang kekuasaan Bashar.”
Dari kalimat ini terlihat bahwa metode yang diusung HTI dalam mendirikan kekhalifahan adalah metode destruktif.
Bila diamati rekam jejak narasi HTI terkait Suriah di situs-situs mereka: sangat jelas mereka memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok teror. Ini pun sudah diakui juga secara terbuka oleh Ismail Yusanto bahwa Hizbut Tahrir pernah mengikuti sumpah setia dengan banyak kelompok “mujahidin” Suriah, termasuk dengan Al-Nusra. Pada 9 September 2014, situs HTI memuat ucapan duka cita atas tewasnya pimpinan pasukan “jihad” Ahrar Al-Sham.
Jabhah Al-Nusrah dan Ahrar Al-Sham adalah organisasi teror yang sangat brutal, yang lahir dari rahim Al-Qaidah. Situs counterextrimism.com menyebutkan bahwa Al-Nusra didirikan oleh Abu Mus’ab Al-Zarqawi yang merupakan mantan anggota HT. Kelompok Al-Muhajirun, yang dituduh bertanggung jawab atas 50% aksi-aksi teror di Inggris sejak 1995, didirikan oleh Omar Bakri Muhammad, yang juga mantan pimpinan HT.
Di Indonesia, kita mengenal nama Muhammad Al-Khaththath yang ditangkap polisi dengan tuduhan makar, serta Bahrun Naim, yang disebut-sebut sebagai dalang bom Sarinah. Keduanya adalah mantan anggota HTI.
Suriah dan Indonesia
Sejak perang Suriah dikobarkan para “mujahidin”, di Indonesia pun muncul gerakan masif mengusung narasi kebencian kepada Syiah (dan parahnya, setiap orang/pihak yang tidak sepakat dengan mereka langsung distempel Syiah). Aksi-aksi penggalangan donasi untuk Suriah dilakukan sangat gencar, dengan membawa narasi kebencian, perang Sunni lawan Syiah, mencaci ulama-ulama Suriah yang menentang “jihad”, menyebarkan foto dan video palsu, dll.
Ini jelas membawa masalah besar buat Indonesia. Apa masalahnya? Karena kebencian itu bagai api, akan membakar ke segala penjuru. Dampaknya sudah sangat terasa di atmosfir Indonesia: kebencian meruyak ke segala arah; melebar ke semua isu. Fasisme atas nama agama dengan cara mengusung kebencian semakin merajalela. Isu yang dimanfaatkan bukan cuma Syiah, tapi PKI, China, dll. Dan siapa yang membawa narasi kebencian ini? Tak lain mereka yang berafiliasi dengan ormas-ormas radikal yang angkat senjata di Suriah.
Kalau mau diperdalam lagi, silahkan cek, kelompok-kelompok yang sering membawa hoax soal Suriah adalah kelompok-kelompok yang sama yang juga aktif menyebarkan hoax soal pemerintah.
Karena itu, sepatutnya melawan hoax soal Suriah gencar dilakukan, terutama oleh mereka yang mengaku aktivis anti Hoax.
Catatan Penting:
Sebenarnya yang paling awal berperan mengobrak-abrik Suriah adalah kelompok Ikhwanul Muslimin (mengaku berjihad, padahal dapat suplai dana dan senjata dari Barat). Saat inipun pasukan “jihad” terkuat di Suriah selain ISIS dan Al Qaida adalah yg berhaluan IM. IM ini ada cabangnya di Indonesia dan mendirikan partai.
#HTISudahlah
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar