Siapakah Syekh Siti Jenar? Meskipun setidaknya Intisari telah menjejaki – yang disebut sebagai – dua kuburan Syekh Siti Jenar, masing-masing di Kemlaten, Cirebon maupun Gedong Ombo, Tuban, agaknya Syekh Siti Jenar tidak bisa dipastikan keberadaan historisnya secara ilmiah dalam kategori positivistik. Keberadaan Syekh Siti Jenar adalah keberadaan sebuah makna, baik dalam bentuk suatu ajaran yang tercatat pada berbagai naskah, maupun makna keberadaan dalam penafsiran politis, sebagai tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali. Suatu konstelasi yang sebetulnya juga merupakan tipologi konstelasi politik duniawi, ketika kerajaan-kerajaan Islam di Jawa telah menjadi dominan, tetapi pusat-pusat kekuasaan pra-Islam dengan segenap aliran kepercayaannya, belum sepenuhnya terleburkan – bahkan sampai hari ini.
Wali yang mencemaskan
Dalam ziarah pustaka ini, gambaran Nancy K. Florida tentang Tiga Guru Jawa (Syekh Siti Jenar, Syekh Malang Sumirang, Ki Ageng Pengging) dalam disertasinya, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) akan dikutip sebagai pengantar:
“Di antara ketiga empu tersebut, Syekh Siti Jenarlah yang paling dikenal, dengan ketenarannya sebagai wali pembangkang yang paling utama di Jawa bahkan hingga saat ini. Berbagai versi kisahnya, baik lisan maupun tulisan, melimpah. Dialah tokoh yang mewakili penyebarluasan, dan yang disebarluaskannya adalah pengetahuan esoteris eksklusif yang keluar dari kalangan elite politik-spiritual ke dalam budaya khalayak ramai. Atas penyebarluasan inilah maka para wali merasa terpanggil untuk memusnahkan Syekh Siti Jenar. Mereka melihat ancaman politik yang benar-benar nyata dalam dirinya; lantaran sebagai sosok penyebarluasan dan populisme dia dengan sendirinya menentang pemusatan dan penyatuan kekuasaan.
“Dalam benak khalayak ramai, Siti Jenar dikenang sebagai patron wong cilik. Garis besar kisah hidupnya menggarisbawahi keterkaitan organisnya dengan lapis terendah masyarakat. Dalam versi kisahnya yang paling tersebar luas, Siti Jenar diceritakan sebagai seekor cacing tanah yang secara ajaib berubah menjadi manusia. Pengubahan ini terjadi karena sang cacing secara kebetulan menerima pengetahuan esoteris yang mengantarnya menuju Hakikat Sejati. Sekali menjadi manusia, dia yang semula cacing ini kemudian berani untuk membuka tabir Pengetahuan Makrifat ini kepada khalayak ramai. Barangkali anggapan bahwa penyampaian pengetahuan semacam itu akan dapat mengubah martabat “cacing-cacing” yang lain adalah kecemasan elite spiritual-politik di ibu negeri Demak.
“Selain dosanya ‘menyingkap sang Rahasia’ kepada khalayak ramai, Siti Jenar juga dipersalahkan karena menyepelekan syariat, hukum suci Islam. Dan di dalam banyak penuturan kisahnya, dia dituduh sebagai orang yang mengaku dirinya Allah. Bagaimanapun juga, yang paling mencuat dan diberitakan adalah dosanya menyebarluaskan Ilmu Gaib; dan lantaran dosa inilah sang wali diadili dan dijatuhi hukuman mati. Terdapat berbagai versi tentang ‘pengadilan’ dan eksekusinya. Masing-masing versi perlu untuk dipahami dengan latar belakang ingatan kolektif masyarakat tentang kisahnya dan dalam bandingan dengan versi lainnya. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah keragaman kisah atas apa yang terjadi dengan jasad sang wali; berkisar dari ekstrem yang satu bahwa jasadnya berubah menjadi bangkai busuk seekor anjing hingga ke ekstrem yang lain (yakni pada versi Babad Jaka Tingkir) bahwa sang wali akhirnya mikraj ke surga.”
Adapun asal nama Kemlaten, kuburan Syekh Siti Jenar di Cirebon, terasalkan dari kisah dalam Babad Cerbon, bahwa ketika para wali membongkar kuburan Siti Jenar setelah dihukum mati, untuk membuktikan kebenaran ajarannya: bahwa jika ia mati di dunia ini artinya hidup abadi di dunia yang sebenarnya -ternyata memang tak menemukan jasad, melainkan sekuntum bunga melati. Seperti juga telah sering ditemukan dalam riwayat wali yang sembilan, istilah “politik dongeng” menegaskan terdapatnya kepentingan ideologis di balik segenap “sejarah” tersebut. Kesadaran tentang perlu diabaikannya keberadaan dongeng-dongeng tersebut sebagai fakta historis, juga tersurat dalam catatan sejarawan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), seperti ketika memberi catatan atas keberadaan Dewan Walisanga:
“Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).”
Ajaran tentang ada
Lantas, ajaran macam apa sebetulnya, yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga? Dalam kenyataannya, buku-buku yang memuat dan menyebarkan teks yang disebut sebagai “ajaran” Syekh Siti Jenar ini beredar luas pada masa kini, beberapa di antaranya bahkan berpredikat best seller alias laris manis tanjung kimpul, yang bukan hanya tidak mengundang kecaman apa pun dari para pemeluk teguh syariat, melainkan justru ditulis oleh para ahli agama itu sendiri. Untuk menyebut beberapa, bisa diperiksa dua buku laris Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (1999) dan Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (2001), Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar (2004), Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf Al-Hallaj di Jawa (2003), dan yang ditulis dengan sapaan hangat serta indah karya Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian” (2002). Namun untuk mengintip apa yang disebut “ajaran rahasia” tersebut, pustaka yang akan diziarahi masih dari karya ilmiah P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1935).
Tidak mungkin memindahkan ulasan panjang lebar dalam disertasi Zoetmulder tersebut, tapi kita mulai saja dengan petikan atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, pada 1922:
Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.
Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.
Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.
Dalam disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”
Bukan Al-Hallaj, tapi India
Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.
Namun karena penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India.
“Akhirnya, juga kematian Siti Jenar – menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Sukma semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.
“Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”
Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) – itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan, bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik Al-Hallaj.”
Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa.”
Lemah Abang serba pinggiran
Dengan konteks pengaruh India dan bukan Islam da lam ajaran Syekh Siti Jenar, menjadi jelas konteks duniawi yang terpadankan dengannya, seperti teruraikan oleh Graaf dan Pigeaud mengenai kedudukan politis Pengging sebagai kerajaan “kafir” terhadap kekuasaan Demak. Dalam legenda, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging adalah murid Syekh Siti Jenar yang membangkang dan tidak bersedia tunduk maupun melawan Sultan Demak – yang membuat kedudukannya sulit diatasi meski Sunan Kudus ia izinkan untuk membunuhnya. “Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap ‘si bid’ah’ Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara: Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh.” Bahwa Pengging sebelumnya disebut-sebut sebagai kerajaan “kafir” yang masih berdiri setelah Majapahit runtuh, jelas menunjukkan personifikasi Syekh Siti Jenar sebagai representasi perlawanan, terhadap dominasi Demak sebagai representasi hegemoni kekuasaan rohani sekaligus duniawi.
Mungkinkah bisa dipahami sekarang, mengapa banyak wilayah di Jawa bernama Lemah Abang, dan selalu terletak di pinggiran?
Teks Lain Mengatakan:
Kitab Ulama Damaskus atas Masalah Syekh Siti Jenar di Nusantara Abad Ke-18
Ini adalah halaman pembuka dari kitab “Risâlah ‘Abd al-Ghanî fî Hukm Syath al-Walî” karangan seorang ulama besar dunia Islam yang hidup di peralihan abad ke-17 dan 18 M, yaitu Syekh ‘Abd al-Ghanî ibn Ismâ’îl al-Nâblusî al-Dimasyqî (dikenal dengan ‘Abd al-Ghanî al-Nâblusî, 1050—1143 H/ 1641—1731 M).
Karya ini sangat penting karena berisi pandangan al-Nâbusî terkait polemik masalah teosofi (tasawuf falsafi) dan pantiesme (wahdatul wujud) yang berkembang di Bumi Nusantara pada masa itu. Al-Nâblusî terpanggil untuk turut serta menuangkan fatwa dan pandangannya terkait masalah pemikiran “wahdatul wujud” di yang berkembang di Nusantara dan erat kaitannya dengan sosok dan ajaran Syekh Siti Jenar yang kontroversial.
Fatwa dan pandangan al-Nâblusî ini dituangkan dalam sebuah risalah yang kini manuskripnya tersimpan di Perpustakaan al-Zhâhiriyyah di Damaskus, Suriah, dengan nomor kode 4008. Risalah ini kemudian disunting (tahqîq) oleh Prof. Dr. ‘Abd al-Rahmân al-Badawî dan disisipkan bersama dalam bunga rampai pemikiran para sufi berjudul “Syathahât al-Shûfiyyah” yang diterbitkan Wikâlât al-Mathbû’ât di Kuwait (tanpa tahun). Oleh al-Badawî, risalah karangan al-Nâblusî ini diberi judul “Risâlah li ‘Abd al-Ghanî al-Nâblusî fî Hukm Syath al-Walî”.
Dalam kolofon, al-Nâblusî mengatakan jika karyanya ini diselesaikan pada sore hari Jum’at, 13 Sya’ban tahun 1139 Hijri (bertepatan dengan 4 April 1727 Masehi). Al-Nâblusî menulis;
فرغ ما جرى به قلم الإمداد ورسمه في الطرس روح الاستعداد بصورة اسم عبد الغني في عشية نهار الجمعة الثالث عشر من شعبان لسنة تسع وثلاثين ومائة وألف
Sebenarnya, risalah ini ditulis oleh al-Nâblusî untuk mengembangkan dan melengkapi apa yang telah ditulis oleh guru beliau, yaitu Syekh Ibrâhîm ibn Hasan al-Kûrânî al-Madanî (w. 1690 M). al-Kûrânî, yang juga mahaguru ulama Nusantara di Haramain pada masa abad ke-16 M, atau generasi Syekh ‘Abd al-Ra’ûf ibn ‘Alî al-Jâwî (Abdul Rauf Singkel, w. 1693 M) dan Syekh Yûsuf al-Tâj al-Khalwatî (Yusuf Makassar, w. 1699 M), menulis sebuah risalah berjudul “al-Maslak al-Jalî fî Hukm Syath al-Walî” untuk merespon polemik pemikiran teosofi dan panteisme yang berkembang di Nusantara pada masa itu.
Nah, risalah “al-Maslak al-Jalî fî Hukm Syath al-Walî” karangan al-Kûrânî ini kemudian dikembangkan oleh al-Nâblusî dalam risalahnya yang (diberi) judul “Risâlah ‘Abd al-Ghanî fî Hukm Syath al-Walî.Dalam kata pengantarnya, al-Nâblusî menulis;
أما بعد. فيقول العبد الفقير الى مولاه الخبير عبد الغني المدرس في المقام الحاتمي والمنزل الحاتمي جامع الشيخ الأكبر خطيب العلوم الإلهية على أوج المنبر، حققه الله تعالى بحقائق العرفان وأمده ببدائع الكشف والبيان. وجدتُ رسالة اسمها "المسلك الجلي في حكم شطح الولي" للشيخ الإمام العلامة العمدة المحقق المدقق الفهامة الملا إبراهيم الكوراني المدني رحمه الله تعالى أجاب بها عن سؤال ورد عليه من بعض جزائر جاوه من أقصى بلاد الهند في سنة ست وثمانين وألف.
(Maka berkatalah seorang hamba yang fakir kepada Tuhannya yang maha mengetahui, ‘Abd al-Ghanî, yang mengajar di maqam al-hâtimî [maqam Ibnu ‘Arabi] dan manzil al-hâtimî [rumah Ibnu ‘Arabi] di Masjid Syekh Akbar Ibnu ‘Arabi [di Damaskus], yang menjadi khatib ilmu-ilmu ilahiah di atas mimbar [masjid tersebut], semoga Allah menuntunnya kepada jalan kebenaran ilmu pengetahuan. Aku telah mendapati sebuah risalah berjudul “al-Maslak al-Jalî fî Hukm Syath al-Walî” karangan Syekh Imam Ibrâhîm al-Kûrânî al-Madanî, semoga Allah merahmatinya, yang menjawab di dalam risalah itu akan sebuah pertanyaan yang datang kepadanya dari salah satu pulau di negeri Jawi [Nusantara] di ujung negeri India, pada tahun seribu delapan puluh enam [hijri/ 1675 masehi]).
Bunyi pertanyaan yang datang dari negeri Jawi (Nusantara) tersebut yang kedepankan kepada Syekh Ibrâhîm al-Kûrânî, sebagaimana tertulis dalam “al-Maslak al-Jalî”, adalah sebagai berikut;
ماذا يقولون في قول بعض أهل جاوة، ممن ينسب الى العلم والورى: إن الله نفسنا ووجودنا ونحن نفسه ووجوده. هل له تأويل صحيح كما قال بعض أهل جاوة، أو هو كفر صريح كما يقوله بعض العلماء الواردين اليها ممن يثني عليه بأنه عالم بالعلم الظاهر والباطن. بينوا لنا ما هو الحق بمقتضى قواعد الشرع والتحقيق. أجزل الله لكم الثواب. وأدام لكم الامداد والتوفيق.
(Apa pendapat anda atas sebuah pemikiran salah seorang dari negeri Jawi [Nusantara], yang mana ia dikenal sebagai sosok yang ahli ilmu dan wara: (menurutnya) “Allah adalah wujud [eksistensi] diri kami dan diri kami adalah wujud Allah. Kami adalah Allah dan wujudNya”. Apakah pemikiran ini mendapatkan landasan penafsiran/ penakwilan yang sahih sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahli Nusantara, ataukah pemikiran itu adalah sebuah kekafiran yang jelas sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama yang terpuji sebagai ahli ilmu zahir dan batin? Mohon berikan kami penjelasan apakah hakikat sebenarnya pemikiran tersebut sesuai dengan kaidah syariat dan hakikat. Semoga Allah memberikan anda ganjaran, dan melanggengkan imdad dan taufiq-Nya untuk anda).
Syekh ‘Abd al-Ghanî mengatakan, bahwa Syekh Ibrâhîm al-Kûrânî telah menjawab pertanyaan tersebut dengan pendapatnya yang proporsional. Kini giliran Syekh ‘Abd al-Ghanî yang hendak menambahkan jawaban atas pertanyaan tersebut dan memberikan perspektif pemikirannya yang baru atas pertanyaan dari Nusantara itu.
Dalam versi suntingan al-Badawî, jawaban dan ulasan Syekh ‘Abd al-Ghanî atas permasalahan di atas yang berasal dari Nusantara itu tertuang dalam 8 (delapan halaman). Beliau sangat detail dan jeli dalam menyikapi seorang ulama Nusantara yang mengatakan bahwa “Allah adalah wujud kami dan wujud kami adalah Allah”, dengan membaginya ke dalam empat maqam tingkatan, yaitu maqam aghyâr (ghayrullâh), af’âl (fi’lullâh), shifât (shifâtullâh), dan dzât (dzâtullâh).
Sosok “orang Nusantara yang memiliki reputasi sebagai sosok seorang ulama yang saleh, ahli ilmu, dan wara’i” ini menarik untuk ditelisik lebih jauh. Siapakah gerangan dirinya? Adakah ia adalah Syekh Hamzah Fanshuri, Syekh Syamsuddîn Samathrânî, atau Syekh Siti Jenar? Yang mana ketiganya dikenal sebagai tokoh penganut ajaran teosofi dan pantheisme di Nusantara.
Hal lain yang tak kalah menariknya untuk juga ditelisik adalah keberadaan Syekh ‘Abd al-Ghanî al-Nâblusî yang tercatat sebagai salah seorang ulama sentral di zamannya, turut serta menuliskan sebuah karya khusus untuk menanggapi, merespon, dan menjawab sebuah permasalahan pemikiran teosofi dan patheisme yang muncul dan berkembang di belahan bumi yang jauh, yaitu negeri bawah angina (Jawi/ Nusantara). (A. Ginanjar Sya’ban - NU Online)
Lalu kita baca disini:
1. http://angkasa-news.blogspot.com/2017/03/kontroversi-seputar-syekh-siti-jenar.html
2. http://angkasa-news.blogspot.com/2014/07/asal-usul-syekh-siti-jenar-sebenarnya.html
3. http://angkasa-news.blogspot.com/2014/12/mengenai-biografi-singkat-syekh-siti.html
4. http://angkasa-news.blogspot.com/2017/03/asmarandana-babad-syekh-siti-jenar.html
5. http://angkasa-news.blogspot.com/2015/04/suluk-abdul-jalil-syekh-siti-jenar.html
(NU-Online/Abdul-Muiz-1966/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar