Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Drajat: Simbol Wirausahawan Sosial
Kudus cermin politisi formal yang konsevatif. Kalijaga cermin tokoh kultural yang membasis ke massa rakyat. Jenar cermin pribadi individualis yang progresif. Bagaimana kita mencari cermin sosok manusia yang berjiwa sosial tinggi? Bukankah di tengah-tengah masyarakat kita juga selalu ada karakter manusia yang penuh perhatian terhadap kesejahteraan ekonomi dan spiritual?
Kalau ini pertanyaannya, maka Bong Tak Keng, Syarifudin alias Raden Kosim, atau yang dikenal luas Sunan Drajat adalah jawabannya. Anak Sunan Ampel ini sejak kecil sangat perhatian dengan gerakan sosial, khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan. Sekalipun karakter ini juga dimiliki oleh Kalijaga dan Jenar, tetapi dalam hal kepemimpinan membangun ekonomi kaum miskin Drajat memiliki strategi yang lebih jelas. Di Paciran Lamongan ia mendirikan pesantren yang sekarang dikenal sebagai Pondok Pesantren Sunan Drajat.
Pesantren ini sampai sekarang dikenal melahirkan wirausahawan-wirausahawan mandiri. Drajat punya pemikiran bahwa untuk mencapai harkat kehidupan yang baik seseorang harus memiliki kemandirian ekonomi. Agama bagi Drajat juga ditafsirkan sebagai jalan meraih kemandirian ekonomi.
Ia sangat terinspirasi oleh prinsip Nabi Muhamad bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah. Kemandirian ekonomi dalam pandangan Drajat bisa dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, etos kerja. Apapun pekerjaan seseorang jika ditekuni akan menghasilkan sesuatu yang baik. Kedua pembangunan manusia dengan jiwa sosial. Dalam pandangan Drajat manusia satu sama lain saling membutuhkan. Jika seseorang ingin meraih kesuksesan dalam usahanya maka harus memegang prinsip kerjasama secara baik. Ketiga, memberi adalah strategi investasi yang baik.
Atas jasa kreativitasnya membangun kegiatan wirausaha sosial, pada tahun 1520 ia mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Fatah, Raja Demak dan diberikan hadiah berupa tanah perdikan di Paciran.
Beberapa prinsip yang terkenal dari Drajat sangat terkenal dalam lirik teks berikut ini:
Menehono teken marang wong kang wuto/ Menehono mangan marang wong kang luwe/Menehono busono marang
wong kang wudo/Menehono ngiyup marang wong kang kudanan.
Terjemahan literalnya:
Berilah tongkat kepada orang buta/ berilah makan kepada orang lapar/ berilah pakaian pada orang yang tidak memiliki sandang. Berilah tempat pada orang yang sedang tertimpa hujan.
Terjemahan kontekstual:
Berbagilah ilmu-pengetahuan kepada mereka yang bodoh agar menjadi pandai. Sejahterakan kehidupan orang miskin agar tidak menjadi beban kehidupan masyarakat. Ajarilah kesusilaan pada orang yang amoral. Berikanlah perlindungan bagi orang yang menderita.
(Abdul-Muiz-1966/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar