Puisi ‘Ibu Indonesia‘ yang belakangan mendadak viral di media sosial, membuat sebagian kalangan di tengah masyarakat Muslim di Tanah Air kembali mencari makna sejati azan di dalam Islam. Apakah azan sekadar panggilan salat bagi kaum Muslimin? Tepatkah bila lantunan azan dibandingkan dengan suara kidung, seperti dimaksud puisi karya Sukmawati Soekarnoputri itu?
Lima kali dalam sehari, umat Islam terbiasa mendengar panggilan azan dari pengeras suara musala dan masjid. Boleh jadi, saudara-saudara non-Muslim juga telah hapal bait azan tersebut. Meski bukan tak mungkin ada yang merasa terganggu dengan panggilan salat itu karena volume speaker masjid yang pengaturannya kurang pas.
Sementara kidung adalah kata yang diucapkan dengan irama, maka azan tak bertentangan dengan kidung karena azan kerap atau selalu dikidungkan.
Rasulullah Saw di masa hidupnya sesekali atau boleh jadi acap kali menyeru sahabat Bilal bin Rabah untuk menyerukan azan, “Bangkitlah wahai Bilal, hiburlah hati kami (dengan azan) untuk salat!”[1]
Maksudnya bahwa Nabi merasa terhibur dengan senandung azan yang disampaikan oleh Bilal, muazin pertama dalam Islam.
Kemudian pada masa setelah Rasulullah Saw wafat, Bilal enggan mengumandangkan azan lagi. Sekembalinya Bilal dari Damaskus, Imam Hasan dan Imam Husein, cucu kesayangan Rasulullah menyambutnya. Bilal pun menciumi keduanya. Al-Hasan dan Al-Husein berkata kepada Bilal,
“Kami merindukan suara azan yang engkau kumandangkan di hadapan Rasulullah Saw saat sahur.” Bilal pun naik ke atap masjid dan melaksanakan titah cucu Rasulullah tersebut. Tatkala menyebut Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Bilal justru pingsan.
Itulah azan autentik yang mengingatkan kembali tentang Rasulullah Saw, sehingga semua yang mendengarnya menangis karena rindu seolah Rasulullah telah diutus kembali.[2]
Lalu bagaimana sesungguhnya kedudukan azan dalam pandangan para imam setelah Al-Hasan dan Al-Husein? Tentu saja sama, yaitu panggilan bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan salat, dan sangat dianjurkan mengumandangkannya sebelum mendirikan salat sendirian, lalu ditutup dengan ikamah.
Sedikit perbedaannya adalah terkait kedudukan azan seperti yang disampaikan oleh penjaga dan pelanjut risalah Nabi Muhammad Saw pascatragedi Karbala.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pasukan Yazid telah menumpas kebangkitan Imam Husein dengan membunuh seluruh keluarga dan para sahabatnya, kecuali beberapa wanita dari keluarga Nabi dan Imam Ali Zainal Abidin.
Bagi para pembenci keluarga Nabi Saw, peristiwa Karbala adalah pertanda kekalahan bagi pasukan Islam yang dipimpin Imam Husein a.s. Karena itulah seorang bernama Ibrahim bin Thalhah bin Ubaidillah mengejek Imam Ali Zainal Abidin, “Wahai Ali putra Husein, siapakah yang menang?” Dia menutupi kepalanya sementara Imam terbelenggu.
Imam Ali Zainal Abidin, yang dijuluki As-Sajjad ini menjawab, “Jika engkau ingin mengetahui siapa yang menang, tunggulah waktu salat tiba, azan kemudian ikamahlah.”[3]
Maknanya, selama masih ada kumandang azan, ikamah dan salat, maka Islam tetaplah sebagai pemenang.
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Yazid memerintahkan seorang muazin untuk memotong khotbah panjang cucu Rasulullah Saw ini dengan azan.
Ketika muazin mengumandangkan azan ”Allahu Akbar Allahu Akbar”, Imam Ali Zainal Abidin a.s. berkata, “Tidak ada yang lebih besar dari Allah.”
Ketika muazin sampai pada kalimat “Asyhadu anla Ilaha illallah!”, Imam Ali Zainal Abidin a.s. berkata, “Rambutku, kulitku, tulangku, dagingku, serta darahku turut bersaksi atas keesaan-Nya.”
Ketika muazin sampai pada kalimat ”Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, dari atas mimbar Imam Ali Zainal Abidin menoleh ke arah Yazid seraya berkata, ”Wahai Yazid, Muhammad ini kakekku atau kakekmu? Jika engkau mengaku bahwa dia (Muhammad Saw) adalah kakekmu, Engkau telah berdusta dan menjadi kafir. Dan jika engkau mengakuinya sebagai kakekku, lalu mengapa engkau bantai keluarganya?”[4]
Dari empat riwayat di atas, dapat dikatakan bahwa azan di dalam Islam bukan sekadar panggilan salat, melainkan sekaligus seruan kemenangan Islam dan Nabi Muhammad Saw, pembawa risalah suci ini.
Itulah sekilas penjelasan autentik dari keluarga dekat Nabi, selaku pihak yang paling mampu memberikan penjelasan.
Merekalah, Ahlulbait Nabi, yang dititipkan oleh Rasulullah Saw atas perintah Allah Swt untuk dicintai oleh seluruh kaum Muslimin sebagaimana termaktub dalam Alquran, Katakanlah (wahai Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu suatu imbalan atas seruanku selain kecintaan (mawaddah) terhadap keluargaku (Al-Qurba).” (QS. As-Syura [42]: 23)
Catatan Kaki:
[1] Abu Dawud Sijistani, Sunan Abi Dawud, j. 7, h. 339, hadis 4986, Beirut, Lebanon, Dar Risalah Alamiyah, cet. 1, 2009. Bandingkan dengan Musnad Imam Ahmad, hadis 20388, Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, hadis 6214-5, dan riwayat lainnya.
[2] Ibnu ‘Asakir As-Syafi’i, Tarikh Madinah Dimasyq, j. 7, h. 137, Beirut, Lebanon, Dar Al-Fikr, 1995.
[3] Syekh Abbas al-Qommi, Nafsul Mahmum, h. 396, Beirut, Lebanon, Dar Mahajjah al-Baidha, cet. 1, 1992.
[4] Syekh Imaduddin Al-Thabari, Kamil al-Baha’i, j. 2, h. 369-370.
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar