Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Ijtihad Politik Ulama: Kekerasan Politik Muncul Karena Fanatisme Buta

Ijtihad Politik Ulama: Kekerasan Politik Muncul Karena Fanatisme Buta

Written By Unknown on Minggu, 12 Agustus 2018 | Agustus 12, 2018


Pada Orde Baru, di suatu kota Jawa Tengah, ada seorang ulama yang cukup terkenal, Kiai Rosidi, tiba-tiba bergabung ke Golkar. Ketika mengikuti salat Jumat di masjid, sepasang sandalnya dipaku oleh santri-santri. Pakunya cukup besar menembus sandal dan permukaan halaman masjid yang terbuat dari plesteran semen, sehingga sulit dicabut dengan tangan.

Itulah protes santri-santri terhadap seorang ulama yang dianggap telah keluar dari garis perjuangan mayoritas ulama yang waktu itu bergabung di dalam Partai Persatuan pembangunan (PPP). Pada saat itu, banyak santri yang menganggap Kiai Rosidi seolah-olah telah murtad. Padahal Golkar jelas bukan agama dan bukan pula tempat berkumpulnya orang-orang kafir. Bahkan, AD ART Golkar jelas-jelas berdasarkan Pancasila alias Berketuhanan yang Maha Esa.

Begitulah noktah sejarah politik negeri ini yang menggambarkan betapa ulama bisa saja berpindah partai atau bersikap oportunis. Risikonya bisa menimbulkan kemarahan umat. Padahal, ulama berpindah partai sering diniatkan seperti hijrah untuk berdakwah di lingkungan baru yang dianggap lebih membutuhkan.

Meski demikian, memang ada pula ulama berpindah partai karena semata-mata pertimbangan kepentingan politik. Misalnya, ulama berpindah partai karena itulah jalan yang lebih mudah baginya untuk bisa ikut duduk di DPR. Pertimbangan politik demikian juga selayaknya dianggap wajar. Yang penting, selama pindahnya bukan ke partai kafir tak bisa disebut murtad atau keluar dari Islam. Yang perlu diingat, sejak Orde Baru hingga sekarang, di Indonesia tidak ada partai kafir.

Politik oportunis ulama yang ditandai dengan sejumah ulama suka berpindah-pindah partai, seharusnya dianggap “berkah” bagi bangsa dan negara. Sebab, oportunisme ulama bisa melunturkan fanatisme politik yang sering identik dengan kekerasan politik.

Dengan kata lain, bangsa yang pluralis ini akan makin mudah mempertahankan persatuan dan kesatuan jika pemuka-pemuka agama dan tokoh masyarakat seperti ulama ada di mana-mana. Artinya, jika ulama ada di semua partai, fanatisme agama di ranah politik tidak relevan lagi karena semua seperti keluarga.

Dengan demikian, politik oportunis ulama sangat diperlukan untuk mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Kalau bendera partai tetap berbeda-beda, maka perbedaan itu tidak harus disikapi dengan fanatik karena di dalam semua partai ada ulama.

Layak dicermati, selama ini kekerasan politik sering muncul akibat fanatisme politik. Sedangkan fanatisme politik sering disemai oleh mereka yang suka memandang lawan politik sebagai musuh yang harus disingkirkan. Pada titik ini, kontestasi politik dianggap sama dengan perang untuk menentukan hidup dan mati, bukan sebagai perlombaan dalam kebaikan yang memosisikan lawan sebagai kawan bermain. Jadi, harus saling menghargai dan menghormati.


Beri Ruang

Karena itu, politik oportunis ulama layak diberi ruang terbuka dalam pembangunan demokrasi negeri ini. Dengan demikian, kontestasi demokrasi berlangsung menjadi perlombaan dalam kebaikan, bukan permusuhan dengan kekerasan atau bahkan diwarnai pembantaian antarsesama bangsa.

Dalam sistem multipartai seperti yang berlangsung sejak era Reformasi, politik oportunis ulama bahkan layak dianggap sebagai keniscayaan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Sebab, multipartai identik dengan kompleksitas ambisi politik banyak individu yang tak lagi bisa disederhanakan dengan sistem dua partai seperti negara-negara maju.

Jika sistem multipartai terus diwarnai politik oportunis ulama, cepat atau lambat terbuka kemungkinan berubah menjadi sistem dua partai atau sebaliknya akan mengabadikan sistem multipartai. Pada titik ini, yang paling penting kedamaian selalu terjaga dalam setiap pesta demokrasi multipartai.

Faktanya, sejak sistem multipartai berlaku, pesta-pesta demokrasi seperti pilkada, pileg, dan pilpres berlangsung damai. Salah satu faktor terkuatnya adalah politik oportunis ulama. Lebih jelasnya, sekarang sejumlah tokoh NU dan Muhammadiyah yang notabene ulama, telah tersebar di sejumlah partai. Begitu pula tokoh agama-agama lain tidak berkumpul hanya dalam satu partai.

Politik oportunis ulama harus diakui cukup positif dalam membangun sikap toleran, di ranah politik khususnya. Bahkan, politik oportunis ulama merupakan implementasi sikap toleran. Sedangkan bangsa dan negara sudah jelas sangat membutuhkan sikap toleran yang disemai di banyak bidang, khususnya ranah politik, agar anak-anak bangsa tidak mudah digiring ke dalam konflik horizontal.

Maka, jika muncul komentar sinis terhadap politik oportunis ulama layak dicermati sebagai ancaman terhadap sikap toleran. Misalnya, ketika ada ulama pindah partai, lalu muncul komentar sinis, dia telah mengalami degradasi iman. Dalam hal ini, rakyat tidak perlu ikut-ikutan berkomentar sinis.

Dengan pertimbangan apa pun, sikap toleran lebih penting dibanding fanatik, apalagi sinis. Sikap toleran ingin selalu damai dan menghargai perbedaan. Sebaliknya, sikap fanatik atau sinis merupakan embrio konflik yang akan merusak kedamaian bersama dan tidak bisa menghargai perbedaan.

Ke depan, sikap toleran harus lebih banyak disemai dan dipupuk di banyak bidang, khususnya di ranah politik. Di antaranya dengan politik oportunis ulama, agar kontestasi-kontestasi demokrasi bisa berlangsung penuh kedamaian, tak peduli siapa menang dan kalah. (ft/opini/es)

Asmadji As Muchtar adalah Dekan FIK Universitas Sains Al-Qur’an, Wonosobo, Jawa Tengah

(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: