Sandiaga Uno(Foto: Tribun-News)
Bakal calon wakil presiden yang diusung Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN Sandiaga Uno, menuding pemerintah ikut campur mengontrol data-data di Badan Pusat Statitsik terkait kemisikinan dan pengangguran.
Pengontrolan data itu, kata dia, membuat tingkat kemiskinan dan pengangguran seolah-olah turun, padahal berbeda dengan kenyataan di lapangan. “Kalau saya melihat, tentunya wajar pemerintah menyampaikan pencapaian-pencapaiannya. Tentu dengan data yang mereka kontrol,” kata Sandiaga saat berkunjung ke Menara Kompas di Palmerah, Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Sandiaga mencontohkan data soal kemiskinan yang diklaim menurun ke angka 9,82 persen atau setara dengan 25,95 juta orang per Maret 2018. Ini pertama kalinya persentase penduduk miskin di Indonesia pada level single digit.
Namun Sandiaga mempertanyakan patokan garis kemiskinan yang ditetapkan, yakni Rp 401.220 per kapita per bulan, atau sekitar Rp 13.374 per hari. “”Apa realistis orang di zaman sekarang bisa hidup dengan Rp 13.000 per hari?” kata Sandiaga.
Lalu mengenai tingkat pengangguran yang menurun, Sandiaga juga menegaskan bahwa hitung-hitungan BPS masih mentah. BPS mencatat terjadi penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dari Februari 2017 sebesar 5,33 persen jadi 5,13 persen pada Februari 2018.
Namun Sandiaga menilai, BPS hanya mengukur tingkat pengangguran terbuka tanpa melihat kualitas pekerjaannya. Menurut Sandiaga, banyak anak muda lulusan diploma dan sarjana yang terpaksa bekerja tidak sesuai dengan bidang dan kemampuannya.
Kritik Atas Sandiaga
Pernyataan Sandi ini tentu sangat tendesius dan tidak terpelajar. Mengapa ? karena dia telah melecehkan BPS yang berkerja berdasarkan UU yang tak bisa di intervensi oleh Presiden/pemerintah.
Mengapa dikatakan tidak terpelajar karena Sandi bicara tidak berdasarkan standar norma bank Dunia yang menjadi acuan oleh seluruh negara dalam menghitung angka kemiskinan, yaitu dasarnya adalah Purchasing power parity (PPP).
Apa itu PPP..? akan ilustrasikan secara sederhana. Mungkin sebagian besar anda sudah tahu teori Mac Parity. Anda tahu harga Big Mag Di Amerika serikat dijual dengan harga $ 5.06 pada tahun 2017. Sementara pada waktu yang sama di Indonesia dijual dengan harga Rp. 31.000. Apabila kita membagi harga Big Mac di Indonesia dengan Big Mac di Amerika Serikat maka kita akan mendapat angka 6,126. Nah bila di bandingkan dengan kurs mata uang pada kurs sekarang kita harus membeli 1 dolar seharga Rp. 14.790. Bila dikaitkan dengan kurs big mag tersebut, nilai rupiah 59 % terlalu rendah terhadap dolar Amerika. Atau seharusnya kurs dollar itu sama dengan Rp. 6126 per dolar. Itulah kondisi real kurs kita terhadap dollar AS.
Standar yang digunakan menghitung garis kemiskinan adalah standar Internasional, milik Bank Dunia. Standar ini mengukur estimasi konsumsi dikonversi ke USS Purchasing Power Parity (PPP) atau paritas daya beli, bukan nilai tukar US$. Cara menghitung ini khusus untuk negara berpenghasilan menengah ke bawah, Bank Dunia menetapkan dua set batasan kemiskinan Internasional yaitu US$1,90 PPP sebagai batas kemiskinan ekstrim. Nah kalau Bank dunia menetapkan batas garis kemiskinan ekstrim itu dengan penghasilan USD 1,90 per hari maka kalau pemerintah tetapkan garis kemiskinan ekstrim itu dengan income Rp. 13.000 perhari maka berdasarkan PPP nilainya adalah USD 2,12. Jadi patokan pemerintah jauh lebih tinggi dari bank Dunia.
Diakhir kekuasaan SBY, 2014 UMR Rp 2.400.000 per bulan. Harga beras per kg Rp. 10.000. Itu sama dengan Rp 240 kg beras. Era Jokowi UMR ( DKI) Rp.3.650.000. Harga beras masih sama yaitu Rp. 10.000. Itu sama dengan 335 Kg beras. Walau kurs di market era SBY Rp. 12.200 dan Jokowi melemah jadi Rp 14.790 tapi peningkatan pendapatan orang di era Jokowi tetap lebih tinggi dibandingkan harga beras. Upah buruh meningkat akan mendorong meningkatnya nilai tambah atas barang yang dihasilan disegala sektor. Otomatis kesejahteraan meningkat disemua level masyarakat. Daya beli orang semakin tinggi.
Warga negara Indonesia yang melaksanakan ibadah umrah pada tahun 2018 diperkirakan mencapai 1 juta jamaah. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 870 ribu jamaah. Kalau orang semakin miskin tentu trend umroh hanya mencapai ratusan ribu saja seperti di era SBY. Peningkatan dibandingkan era SBY mencapai 2 kali lipat. Masih.
Mari kita lihat PDB berdasarkan PPP. Menurut bank dunia , cara menghitung PDB seperti ini paling mendekati presisi. Bagimana dengan PPP indonesia di era Jokowi. Bila PDB dihitung berdasarkan PPP tahun USD 1,285 miliar dan tahun 2017 menjadi USD 3,248 miliar atau terjadi peningkatan hampir tiga kali lipat. Hebatkan!. Artinya setiap tahun terjadi peningkatan PPP karena kehebatan pemerintah mengendalikan inflasi.
Dengan data tersebut diatas, bagaimana Sandi mengatakan bahwa kemiskinan turun karena pemerintah kendalikan BPS? Tidak ! Sandi harus minta maaf kepada petugas BPS yang telah melakukan susenas dengan kerja keras siang malam. Mereka menghitung angka kemiskin berdasarkan data dengan rumus sama seperti era SBY.
Kalau BPS mengatakan angka kemiskinan turun menjadi satu digit, itu karena proses kerja keras Aparatur negara dan ekpansi sosial negara yang begitu besar lewat APBN kepada rakyat miskin. Anda hitunglah berapa dana untuk PKH, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Beras Sejahtera (Rastra), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat, Subsidi Pupuk, Subsidi Listrik, dan lainnya. Hitung itu. Jangan bicara seenaknya. Sandi lebih percaya program OKE-OCE nya daripada validitas data BPS, dan tidak terlepas dari ambisi politiknya sebagai Wapres 2019. Bagaimana menurut Anda ?
(Detik/Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar