Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS FILSAFAT - IRFAN ISLAM - TASAWUF. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS FILSAFAT - IRFAN ISLAM - TASAWUF. Tampilkan semua postingan

Ali bin Abi Thalib dan Tasawuf


Oleh: Caner K. Dagli

“Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya,” (Nabi saw)

Tidak ada satu tokoh dalam sejarah Islam awal, selain Nabi sendiri, yang menjadi pusat kontroversi dan perdebatan seperti Ali bin Abi Thalib. Kontroversi ini muncul pada lebih dari satu tataran, mulai dari persoalan-persoalan politik dan sejarah hingga masalah-masalah di bidang teologi dan metafisika. Keluasan intelektual dan kedalam spiritual Ali telah mengilhami seluruh penjuru dunia Islam, baik Sunni maupun Syi’i, dan sekalipun banyak konflik di antara kedua mazhab besar Islam ini yang berpusat pada pribadi Ali, satu pihak tidak pernah bisa menuduh yang lain kurang memiliki kecintaan dan penghormatan kepadanya. Dalam hal ini, secara paradoks, Ali menyatukan kaum Muslim dalam kecintaan mereka kepadanya, tetapi sentralitasnya dalam sudut pandang yang berlawanan menjadikannya sumber perselisihan yang serius.

Lebih jauh, kita temukan dalam dunia Sunni perdebatan dengan Ali pada pusatnya, dan ini merupakan persoalan esoterisme dalam Islam, yang manifestasi utamanya adalah tasawuf. Kaum Sufi mengakui dua jenis otoritas, berkaitan dengan dua jenis ilmu. Dalam konteks otoritas politis, posisi ortodoks Sunni sangat dikenal. Sekalipun Nabi saw tidak meninggalkan perintah-perintah tegas berkaitan dengan yang akan menggantikan beliau secara politis, sebagian besar (?) komunitas Islam menyetujui Abu Bakar Shiddiq, sahabat lama Nabi dan tokoh terhormat di antara para sahabat, sebagai khalifah Islam yang pertama. Ia menunjuk Umar bin Khaththab, yang dirinya sendiri menyusun sebuah komisi yang beranggotakan enam orang sahabat yang pada gilirannya komisi ini memilih Utsman bin Affan. Pasca pembunuhan Utsman, Ali menjadi khalifah keempat.

Tak seorang Sunni pun menolak bahwa, dalam konteks ortoritas temporal, ini merupakan sebuah peristiwa yang biasa. Dalam dunia Sunni, sekalipun tidak ada pemisahan antara gereja dan negara (baca: agama dan politik), khalifah hanyalah administrator, dan ketika ia secara ruhani unggul, ini tidak dipandang sebagai syarat untuk jabatan khalifah. Otoritas khalifah dinilai sebagai berasal dari Tuhan. Namun dalam dunia Sunni, terutama setelah generasi pertama, adalah kelompok ulama, yang bertanggung jawab atas pengalihan pengetahuan keagamaan dan spiritual dan yang berperan sebagai otoritas final mengenai persoalan-persoalan agama.

Sultan, khalifah, fukaha, dan umumnya kelas masyarakat terpelajar merepresentasikan otoritas eksoteris dalam Islam Sunni. Akan tetapi, kaum Sufi mengetahui rantai otoritas spiritual yang secara relatif terlepas dari otoritas eksoteris dan secara prinsip, lebih utama atasnya. Kita katakan terlepas atau independen bukan dalam arti bahwa tasawuf secara inheren antinomian; lawannya adalah benar. Namun keputusan ulama eksoteris (ulama zahir) tak akan pernah, bagi kaum Sufi, mengatasi ajaran-ajaran dari seorang guru spiritual otentik, seorang ulama batin. Ini disebabkan yang zahir, yang aturannya dijalankan dengan syariah atau hukum Tuhan, ada sebagai pendukung kehidupan batin, yang pertumbuhannya dijalankankan melalui thariqah atau jalan spiritual.

Penafsiran yang beragam atas pengertian otoritas spiritual dan temporal telah mengarahkan kepada kesalahpahaman antara Syi’ah dan Sunni juga antara elemen-elemen tertentu dalam dunia Sunni itu sendiri. Otoritas kerohanian diserahkan kepada Ali oleh Nabi merupakan satu realitas yang diterima baik oleh Sufi-sufi Sunni1 dan Syi’i, namun mereka berbeda berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal. Sebagai imam pertama kaum Syi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan menurut Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal.

Akan tetapi, sementara dalam Syi’isme aspek esoteris Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, sehingga perbedaan antara eksoteris dan esoteris menjadi samar, kaum Sufi puas mempraktikkan jalan mereka dalam bingkai yang ditetapkan oleh otoritas eksoteris. Inilah mengapa, mereka mengakui Ali sebagai pengalih utama rahasia-rahasia batin (ada yang lain seperti Abu Bakar) tanpa ada suatu kontradiksi penting dengan seorang otorita eksoteris yang tidak memiliki rahasia-rahasia (batin) ini. Dengan kata lain, hierarki vertikal dan horizontal tidak perlu bercampur. Dari perspektif Sufi, misteri-misteri paling dakhil tidak ditujukan bagi setiap orang, dan mengajarkan misteri-misteri kepada mayoritas orang mukmin akan lebih banyak merusak ketimbang maslahatnya, demarkasi yang lebih jelas antara dimensi eksoteris dan esoteris memiliki faedah-faedah berupa menghindari bahaya-bahaya tersebut.

Dari apa yang telah diutarakan, kita bisa simpulkan bahwa cara terbaik untuk memahami konflik yang berpusat pada Ali adalah dengan melihat pertikaian ”horizontal” antara Syi’ah dan Sunnah sebagai bentuk proyeksi dari perbedaan vertikal esoterisme dan eksoterisme. Hal ini semakin jelas ada ketika orang menguji persamaan mendalam antara tasawuf dan Syi’isme. Para Imam dari Syi’ah Dua Belas Imam juga merupakan guru-guru spiritual dalam rantai transmisi Sufi atau silsilah.

Apabila orang mengesampingkan syariat dan juga fungsi kosmis dari Imam, fungsi inisiatori dan peran sebagai pembimbing ruhani dari Imam adalah persis sama dengan peran dan fungsi guru Sufi. Pada dasarnya, sebagaimana dalam tasawuf setiap guru berkomunikasi dengan kutub di zamannya, maka dalam Syi’isme seluruh fungsi keruhanian di setiap zaman secara batiniah terkait dengan Imam. Gagasan Imam sebagai kutub alam semesta dan konsep quthb dalam tasawuf nyaris identik.2

Perbedaan utamanya adalah sejauh mana otoritas spiritual mesti terentang luas ke dalam ranah temporal. Dalam kasus Ali, ia menggabungkan dua aspek tersebut hingga ke tingkatan yang paling tinggi, baik sebagai penerima utama ajaran batiniah Nabi maupun pemimpin pemerintahan Islam. Mendiskusikan perdebatan seputar suksesi bukan menjadi bahasan kita di sini. Namun kiranya penting untuk mengingat bahwa persoalan yang paling mendalam adalah salah satunya perbedaan esoteris/eksoteris, dan bukan perbedaan mesin politik dan perjuangan-perjuangan kekuasaan. Tidak ada diskusi yang cerdas akan peran keruhanian Ali yang mungkin tanpa memahami butir ini.3

*****

Ali bin Abi Thalib adalah putra paman Nabi, Abi Thalib. Ketika Nabi menerima wahyu pertamanya, Ali baru berusia 10 tahun. Dari sejak kanak-kanak, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Nabi, karena kesulitan finansial di rumah ayahnya sendiri, dan tetap dekat dengan Nabi sampai kewafatan Nabi 23 tahun kemudian. Selama kurun waktu tersebut, klaim Sufi, bahwa Nabi menyampaikan ajaran-ajaran batin dari agama baru itu kepada Ali. Sekalipun orang bisa saja mengatakan bahwa semua anggota komunitas apostolik awal di Mekkah adalah para wali,4 bukan hanya persoalan kesucian namun juga persoalan kualifikasi intelektual. Tidak setiap metafisikawan itu seorang wali, dan sebaliknya juga, tidak setiap wali adalah metafisikawan besar. Ali menghimpun dalam dirinya sendiri kesempurnaan vertikal yang kita sebut kesucian dengan kedalaman dan keluasan yang luar biasa pada tataran horizontal.

Tradisi Islam mengingat Ali sebagai ksatria agung di zamannya, tak pernah terkalahkan dalam peperangan dan selalu lembut kepada musuh-musuhnya. Kebajikannya di medan perang sama terkenalnya. Di lingkungan Dunia Muslim, Ali dikenal sebagai bentuk pelindung kaum miskin dan sebuah model dari apa yang disebut dunia Barat keksatriaan, futuwwah Islam. Yang lebih penting, ia dikenal di zamannya sendiri dan hingga sampai masa kita sebagai orang yang memiliki inteligensi yang memukau dan kebijakan yang mendalam, baik sebagai guru besar juga pembicara fasih bahasa Arab.5 Di dunia Syi’ah, kekhususan tersebut diberikan kepada Ali begitu terkenal.

Di antara kaum Sunni, kaum Sufi memandangnya sebagai penerus utama ajaran keruhanian Nabi, dan seluruh tarekat Sufi, kecuali satu, asal-usulnya bermuara kepadanya.6 Demikian juga, orang menemukan pengecualian khusus yang terwujud ketika namanya disebutkan: untuk para sahabat lain, pencantuman radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya) lazim dipakai, namun dalam kasus Ali oran acap mendengar frase karram Allahu wajhah yang secara harfiah berarti “semoga Allah memuliakan wajahnya”. Belakangan kita akan melihat bagaimana formula ini berkaitan dengan fungsi spiritual Ali di dunia Islam. Seluruh keturunan Nabi, yang diagungkan di dunia Syi’ah maupun Sunni, mendapatkan garis keturunan mereka kepada pernikahan Ali dengan Fathimah, putri Nabi. Melalui Ali dan anak keturunannya, otoritas spiritual Nabi terus berlangsung hingga sekarang, dan bersamanya Zaman Keemasan Islam, periode Madinah awal, mulai pudar.

Tujuan kami dalam esai pendek ini adalah melihat sumber-sumber orisinal dalam tasawuf untuk mengetahui bagaimana ajaran-ajaran keruhanian Islam terkait dengan Ali. Kita dapat mengatakan bahwa esoterisme Islam, alih-alih sekadar tasawuf karena Nahj al-Balâghah dan sebuah ulasan atas sejumlah pasasenya oleh ulama Syi’ah, Allamah Thabathaba’i juga digunakan sebagai sumber-sumber. Tanpa memasuki perdebatan seputar autentisitas Nahj al-Balâghah, cukuplah untuk menyatakan bahwa bahkan dari perspektif Sunni, ada banyak dalam buku ini yang bersumber dari Ali, dan bahwa konflik Syi’ah-Sunni telah menghasilkan fenomena tidak menguntungkan berupa “pelemparan bayi dari air mandi”. Banyak kaum Sunni cenderung meragukan laporan-laporan Syi’ah tentang Ali, karena concern pada “melebih-lebihkan kesalehan tertentu” dari pihak Syi’ah, dan tentu saja, terputus dari banyak hadis yang autentik. Karena itu, kami rasa tepat untuk menggunakan sejumlah pasase yang termasyhur dan paling penting dari Nahj al-Balâghah sebagaimana diseleksi oleh Thabathaba’i, yang tak satu pun darinya bisa dikhususkan sebagai “Syi’ah” sebagaimana yang dilabeli oleh Sunni. Dalam peristiwa apa pun, sebagaimana dinyatakan di atas, adalah dalam tasawuf dan aspek yang paling esoteris dari Syi’isme konsensus itu dapat diraih menyangkut Ali.

Naasnya, ada sebuah karya sedikit serius dalam kesarjanaan Barat yang terfokus pada Ali, selain dari terjemahan-terjemahan yang kurang akurat dari sumber-sumber Arab dan sejumlah buku yang ditulis dalam bahasa Inggris berupa watak polemis dari India dan Pakistan, namun ada juga terjemahan luar biasa dari sejumlah cuplikan Nahj al-Balâghah7 yang dialihbahasakan oleh Thomas Cleary bertajuk Living and Dying with Grace. Kekurangan materi ini adalah fenomena yang aneh, dengan mempertimbangkan arti penting Ali, dan mempertimbangkan bahwa jilid-jilid yang telah ditulis mengenai tokoh-tokoh politik dan historis belakangan dalam sejarah Islam. Di antara Nabi dan para tokoh terpandang belakangan ada sebuah jurang dalam kesarjanaan modern. Kita harap untuk menggunakan beberapa hadis menyangkut Ali, dan, dari tulisan-tulisan belakangan Matsnawi-nya Rumi, melihat apa yang bisa mereka katakan kepada kita tentang Ali dan tasawuf.


Futuwwah: Ali sebagai Model Keperwiraan Spiritual

Kata futuwwah secara harfiah artinya “pemuda” namun bisa diterjemahkan sebagai “pemuda mistis” atau “keperwiraan spiritual”.8 Kita sebut keperwiraan spiritual karena kebajikan-kebajikan tradisional dari keperwiraan, seperti kedermawanan dan keberanian, tidak terbatas pada tataran perbuatan tetapi mesti eksis pada aras tertinggi dari wujud seseorang. Menurut tradisi Sufi, adalah bersama [Nabi] Syits futuwwah menjadi jalan ruhani, dan yang pakaiannya adalah khirqah, atau jubah. Menjelang masa Nabi Ibrahim, khirqah ini menjadi “terlalu berat”, yang mungkin suatu rujukan pada hakikat segala sesuatu yang akan sirna dan kemustahilan dari mereka di masa-masa belakangan untuk menyandingkan praktik-praktik spiritual para leluhur mereka. Karena itu, Ibrahim melembagakan suatu jenis futuwwah baru, yang disebarkan olehnya melalui keturunan-keturunnya yang menjadi nabi. Nabi sendiri menerimanya, dan mentransmisikannya kepada Ali, yang kemudian menjadi diidentifikasi sebagai kutub futuwwah.9 Ali sendiri sangat beliau apabila dibandingkan dengan para tokoh lainnya dari abad apostolik Islam. Fakta ini dikombinasikan dengan kemampuan tempurnya yang legendaris dan kecerdasan serta kebajikannya menjadikannya fatal par excellence dalam Islam. Ketika orang membaca Ali orang bisa melihat energi dan kebajikannya yang bertenaga muncul melalui halaman-halaman. Nasihat dan perbuatannya berasal dari watak pedang yang menyerang dan anak panah yang bersasaran baik. Ketika diinformasikan bahwa Ali menantangnya berduel untuk mengakhiri peperangan, Muawiyah mengetahui “ia pasti membunuhku” karena sangat terkenal ungkapan bahwa Ali tidak pernah terkalahkan dalam perang. Tulisan-tulisan belakangnya merupakan bukti dari kemuliaan dan kecerdasannya, dan kezuhudannya dari dunia dan gemerlapnya menyematkan pada dirinya gelar Abu Turab, “Bapak Debu”, yang diberikan kepadanya dari Nabi sendiri.10

Dalam Matsnawi Rumi, kita menemukan kisah menawan mengenai peristiwa yang terjadi antara Ali dan seorang “ksatria kafir” yang secara tradisional dipandang telah terjadi dalam Perang Khaybar. Ali mendapatkan pejuang ini dan mengelilinginya untuk membunuhnya, lalu tentara kafir meludahi wajah Ali. Terkejut dengan reaksi tentara itu, Ali menyarungkan kembali pedangnya, memperpanjang usia si tentara.

Pelajarilah bagaimana bertindak secara ikhlas dari Ali: ketahuilah, singa Allah disucikan dari (semua) tipu daya. Ia meludahi wajah Ali, kebanggaan setiap nabi dan wali; ia meludahi muka yang di hadapannya rembulan membungkuk di tempat ibadah.

Seketika Ali menyarungkan pedangnya dan menenangkan (usahanya) dalam memeranginya. Jawara itu terheran-heran dengan perbuatan Ali ini dan dengan menunjukkan pengampunan dan rahmatnya segera. Ia berkata, “Anda mengangkat pedang tajam Anda terhadapku: mengapa engkau menyarungkannya kembali? Apakah Anda melihat bahwa itu lebih baik ketimbang memerangiku, sehingga Anda menjadi segan dalam memburuku?11

Ketika pasase ini berlanjut, jawara itu meminta Ali untuk mengatakan kepadanya apa yang telah ia lihat, menyampaikan alasan rahasia atas pemaafannya. Jawara itu telah merasakan suatu perubahan spiritual yang berkilau melalui perbuatan ganjil Ali, dan kini berusaha memahamai bagaimana rahmat Allah telah mendatanginya:

Wahai Ali, engkau adalah semua pikiran dan pandangan, ceritakanlah sedikit apa yang telah kaulihat!

Pedang kesabaranmu merobek jiwaku, air pengetahuanmu telah menyucikan bumiku.

Katakanlah! Aku tahu bahwa semua ini adalah rahasia-rahasia-Nya, karena ini (cara) kerja-Nya untuk membunuh tanpa pedang

Matamu telah belajar mempersepsi Yang Gaib, (sementara) pandangan pengamat tertutup

Sejauh bulan membisu menunjukkan jalan itu, ketika ia berbicara ia menjadi cahaya di atas cahaya

Karena engkau adalah gerbang kota ilmu12 karena engkau adalah pendaran cahaya Rahmat,

Bukalah, wahai Gerbang, kepadanya yang mencari gerbang, agar melaluimu sekam bisa sampai pada inti

Kita harus memperhatikan pertama-tama bahwa Rumi menulis bahwa ia (si jawara kafir) meludahi wajah Ali. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tradisi Islam memberi Ali gelar khusus karramallahu wajhah. Wajah yang diludahi si jawara adalah wajah yang sama yang memiliki kekuatan transformatif pada jiwanya.13 Di sini kita bisa menyamakan wajah Ali dengan rembulan, dan cahaya di atas cahaya sebagai cahaya-cahaya yang direfleksikan dari matahari.

Kegelapan malam dari jiwa “menutupi” (kafir) disinari oleh cahaya yang datang dari bulan, tetapi bulan memberikan cahaya secara tepat karena itu bukan di kegelapan malam, namun ada dalam kehadiran cahaya matahari, cahaya Intelek Ilahi, yang itu memantul kepada mereka yang belum mencapai visi matahari Ilahi. Ksatria mengakui ketika ia membicarakan bulan yang menunjukkan jalan tanpa bicara. Separuh kehidupannya yang tidak diharapkan cukup membuka pandangan batin sehingga ia bisa melihat bulan “wajah Ali” yang menyinarinya, mendesaknya untuk bertanya kepada Ali apa yang baru dilihatnya, sebagaimana orang yang telah melihat rembulan tetapi tidak matahari akan heran apakah sumber cahaya luar biasa itu.14 Karena ksatria itu, Ali adalah cahaya Tuhan di dunia ini, seorang wali yang Tuhan jadikan cahaya di antara manusia.15


Sumber Tambahan yang Digunakan: 

1. Al-Sya’rani. Abd al-Wahhab ibn Ahmad. ath-Thabaqat al-Kubra, Mesir. 1936, hal. 17-18.
2. Lings, Martin. Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. Rochester, VT, 1983.
3. Thabathaba’i, Allamah, Ali wa al-Falsafat ul-Ilahiyyah. (tanpa titimangsa)


Referensi:

1. Kami katakan Sufi-sufi Sunni karena tasawuf tidak terbatas pada dunia Sunni, namun hidup dan eksis juga di kalangan Syi’ah.
2. S.H. Nasr, Sufi Essays, New York, 1991. hal.111.
3. Untuk bacaan lebih lanjut tentang topik ini lihat Frithjof Schuon, “Seeds of a Divergence” dalam bukunya Islam and the Perennial Philosophy.
4. Kuliah S.H. Nasr, Musim Gugur 1997.
5. Siapa pun tidak bisa membantu menegaskan di sini bahwa “Dia seperti Arjuna, Bunda Teresa, dan Shankaracharya yang semuanya menyatu.
6. Tarekat Naqsyabandiyyah melacak rantai kesufian mereka melalui Abu Bakar Shiddiq, namun juga mengklaim terhubung dengan Ali melalui Ja’far Shadiq, Imam Syi’ah keenam.
7. Sebenarnya, saya tidak melihat terjemahan utuh darinya di manapun.
8. S.H. Nasr, “Spiritual Chivalry”, Islamic Spirituality, vol 2, ed. S.H. Nasr, New York, 1991. hal.305.
9. Ibid.
10. Barangkali terpancar dari paragraf ini.
11. Rumi, Mathnawi, terjemahan R. A. Nicholson, Lahore. Vol. 1, p.202.
12. Merujuk pada hadis yang muncul di awal tulisan ini.
13. Kuliah S. H. Nasr, Musim Gugur 1997.
14. Perlambang ini diambil dari Abu Bakr Siraj ad-Din, The Book of Certainty, Cambridge, 1992. Bab “The Sun and the Moon”.
15. Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? (QS al-An’am: 122)

(Shia-Library-4u/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Urgensi Zikir dan Wirid Dalam Suluk

wirid

Islam secara khusus telah menekankan pentingnya zikir yang dilakukan terus menerus. Beberapa zikir dan wirid yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Imam suci, jika dibaca maka pembacanya akan mendapat pahala istimewa. Zikir dianggap sebagai salah satu ibadah yang sangat membantu seseorang untuk mencapai kesempurnaan jiwa dan kedekatan kepada Allah.

Misalnya Rasulullah saw bersabda :

“Ada lima hal yang membuat berat timbangan amal manusia. Mahasuci Allah (subhanallah), segala puji bagi Allah (alhamdulillah), tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illa Allah), Allah Mahabesar (Allahu Akbar), dan tetap sabar menghadapi kematian seorang anak yang salih.”

Beliau juga bersabda:

“Pada malam mi’raj aku dibawa ke surga. Aku melihat para malaikat sibuk membangun istana dari emas dan perak tetapi kadang-kadang mereka berhenti bekerja. Aku bertanya kepada para malaikat. “Mengapa kalian bekerja terputus-putus ?” Malaikat menjawab, “Ketika ada bahan bangunan, kami melanjutkan pekerjaan ketika bahan bangunan habis terpaksa kami hentikan pekerjaan.”

Aku bertanya. “Apa jenis materi yang kalian butuhkan ?” Malaikat menjawab, “Mahasuci Allah (subhanallah), segala puji bagi Allah (alhamdulillah), tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illa Allah), dan Allah Mahabesar (Allahu Akbar). Ketika seorang mukmin sibuk berzikir, kami mendapat bahan materi dan mulai membangun, tetapi ketika dia lalai dari zikir, kamin terpaksa menghentikan pekerjaan.”

Rasulullah saw bersabda :

“Barangsiapa membaca “Mahasuci Allah (subhanallah), sebuah pohon ditanam di surga untuknya. Allah juga menyuruh menanam sebuah pohon di surga untuk seorang mukmin setiap kali dia membaca ‘segala puji bagi Allah’ (subhanallah) atau tidak ada tuhan selain Allah (la ilaha illa allah), atau ‘Allah Mahabesar’ (Allahu akbar).

Seorang Quraisy bertanya, “Wahai Rasulullah! Lalu kita akan punya banyak pepohonan di surga.”

“Tentu saja ! Tetapi waspadalah jangan mengirimkan api yang akan membakar semua pepohonan itu, karena Allah berfirman dalam Alqur’an “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasulnya dan jangan menjadikan perbuatan kalian sia-sia, “jawab Rasulullah saw.

Setiap kalimat yang mengandung zikir kepada Allah dari manusia dan mengandung makna yang berkaitan dengan pujian, munajat dan pemujaan kepada Allah, disebut zikir. Hadis telah menerangkan zikir khusus yang memberikan pahala istimewa bagi pembacanya. Beberapa zikir penting itu adalah :

‘Mahasuci Allah’ (subhanallah)

‘Segala puji bagi Allah (alhamdulillah)

‘Tidak ada tuhan selain Allah (la ilaha illa allah)

‘Allah Mahabesar’ (allahu akbar).

‘Tidak ada kekuatan selain kekuatan Allah’ (la haula wa la quwwata illa billah)

‘Cukuplah Allah sebagai pelindung dan Dialah sebaik-baik pelindung (hasbunallah wa ni’ mal wakil)

‘Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh aku termasuk di antara orang-orang yang zalim.’ (la illaha illa allah subhanaka inni kuntu min azh-zhalimin)

‘Wahai yang Mahahidup wahai yang Mahamandiri, tidak ada tuhan selain Engkau (ya hayyu ya qayyum ya man la ilaha illa anta)

‘Aku serahkan urusanku kepada Allah . Sungguh Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya (Afaudhu amri ila allah inna allaha bashirun bi al ibad)

Tidak ada kekuatan selain kekuatan Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung.’ (la haula wa la quwwata illa billah al-aliyyu al-azhimu)

‘Ya Allah.’ (ya Allah)

‘Ya Tuhan.” (ya rabb)

‘Wahai yang Maha Pengasih.’ (ya rahman)

‘Wahai yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.’ (ya arham ar-rahim)

‘Wahai yang Mahaagung dan Mahamulia.’ (ya dza al-jalali wa al-ikhram)

‘Wahai Engkau yang Mahabebas dari kebutuhan. Wahai Engkau yang Maha memberi apa yang kami butuhkan.’ (ya ghani ya mughni)

Juga ada beberapa sifat suci Allah yang telah disebutkan dalam hadis dan doa-doa. Semua itu adalah zikir, mendorong manusia untuk mengingat Allah , dan jalan untuk menuju kedekatan kepada-Nya.

Seorang pengembara spiritual bisa memilih salah satu zikir di atas dan membacanya dengan teratur. Tetapi beberapa orang yang arif billah menganjurkan membaca beberapa zikir tertentu. Beberapa zikir yang dianjurkan di antaranya : la ilaha illa allah (tidak ada Tuhan selain Allah). Sementara yang lain menganjurkan : subhanallah wa alhamdulillah, wa la ilaha illa allahu akbar (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan selain Allah, dan Mahabesar).

Tetapi berdasarkan beberapa hadis dapat disimpulkan bahwa zikir la ilaha illa allah (tidak ada Tuhan selain Allah) memiliki kedudukan istimewa melebihi zikir lain.

Rasulullah saw bersabda :

“Ibadah yang paling baik adalah membaca zikir : la ilaha illa allah (tidak ada Tuhan selain Allah)”

“Kalimat la ilaha illa allah adalah kalimat penghulu dan paling sitimewa di antara zikir-zikir lain.”

Rasulullah saw telah meriwayatkan dari malaikat Jibril bahwa Allah berfirman:“Kalimat la ilaha illa allah adalah tempat perlindungan-Ku yang paling kokoh. Barangsiapa masuk ke dalamnya akan aman dari azab-Ku.”

Jika tujuan zikir adalah mencurahkan perhatian kepada Allah, maka dapat disimpulkan bahwa setiap kalimat yang menabmabh dan meningkatkan motivasi untuk mengingat Allah sesungguhnya merupakan zikir yang paling sesuai bagi orang itu.

Secara umum, ucapan seseorang, keadaan dan peringkat spiritualnya adalah berbeda-beda. Mungkin saja kalimat ya Allah pada kondisi tertentu lebih menarik dan cocok bagi seseorang, sedangkan kalimat, ya mujibu da wata al-muztarin (Wahai yang mengabulkan doa orang-orang yang tertindas) mungkin cocok untuk orang tertentu. Untuk beberapa orang, kalimat la ilaha illa allah (tidak aka Tuhan selain Allah) mungkin lebih cocok, sementara untuk beberapa orang lain kalimat ya rahman (Wahai yang Maha Pengasih), ya ghaffar ! ya sattar (Wahai yang Maha Pengampun ! Wahai Yang Maha menutupi dosa) akan lebih cocok, bagitu juga kalimat-kalimat zikir yang lain.

Karena pertimbangan itu, jika seorang pengembara spiritual punya jalur tertentu kepada gur yang sempurna, lebih baik meminta tuntunannya tentang hal ini. Tetapi jika seseorang tidak punya jalur tertentu kepada seorang guru, dia bisa mengambilnya dari buku-buku doa, hadis-hadis, dan tuntunan yang diwariskan oleh Nabi saw dan ahlul baitnya.

Semua zikir dan ibadah adalah terpuji. Jika dilakukan dengan benar bisa menolong seorang pengembara spiritual untuk mencapai maqam zikir dan penyaksian (syuhud). Seorang pengembara spiritual harus memilih suatu zikir tertentu dan harus membaca zikir itu dalam jumlah tertentu serta dengan cara khusus agar memperoleh hasil yang diinginkan.

(Ikmal-Online/Berbagai-Smber-Lain/ABNS)

Fath Al-Mubin Seorang Arif dan Ragam Manifestasi Ilahi


Tajalli dan manifestasi Zat Ilahi adalah suatu jenis manifestasi Tuhan atas hamba yang menyebabkan fananya zat hamba (salik) dan penyaksian (musyahadah) “terhimpunnya” maujud-maujud “dalam” wujud Tuhan. “Tempat” terjadinya manifestasi ini adalah pada zat, dan “penglihatan” terhadap tajalli seperti ini dinamakan musyahadah (penyaksian intuitif atau hati).

Fath al-Mubin (kemenangan nyata) sesuai dengan manifestasi suatu sifat Ilahi dan berkaitan pula dengan pembahasan “wilayah” umum Ilahi dan fana. Dan dengan menjabarkan macam-macam “wilayah” Ilahi, empat tahap perjalanan (suluk) para urafa, tingkatan fana, dan tahapan kiamat personal (kiamat yang dialami oleh setiap orang) akan menjadi jelas bahwa kemenangan nyata bersesuaian atau merupakan hasil dari manifestasi tauhid perbuatan dan sifat Tuhan.

Pada tingkatan ini, walaupun kiamat kubra (besar) tidak terjadi pada arif, karena terjadinya kiamat semacam ini berhubungan dengan maqam “khafi (tersembunyi)” dan “akhfa (paling tersembunyi)” atau maqam “au adna” yang terkait “wilayah” khusus Ilahi dengan manifestasi Zat Ilahi dan kemenangan mutlak, akan tetapi hal itu bisa terwujud pada tingkatan terjadinya kiamat terendah yakni hadirnya “wajah” Allah dalam bentuk tauhid perbuatan dan sifat dalam tingkatan fana yang terendah dan “wilayah” umum Ilahi dalam kemenangan yang dekat (qarib) dan nyata (mubin).

Tajalli dan manifestasi Zat Ilahi adalah suatu jenis manifestasi Tuhan atas hamba yang menyebabkan fananya zat hamba (salik) dan penyaksian (musyahadah) “terhimpunnya” maujud-maujud “dalam” wujud Tuhan. “Tempat” terjadinya manifestasi ini adalah pada zat, dan “penglihatan” terhadap tajalli seperti ini dinamakan musyahadah (penyaksian intuitif atau hati). Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud zat di sini adalah zat qua zat (zat berdasarkan zat itu sendiri dengan tidak memperhatikan aspek selainnya), bukan yang berhubungan dengan sesuatu yang lain (yakni Zat Ilahi berhubungan dengan zat hamba) dan juga bukan yang bertajalli kepada sesuatu yang lain (yakni Zat Ilahi bertajalli kepada zat hamba atau sesuatu yang lain).

Banyak yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan tajalli zat adalah tajalli zat dari aspek uluhiyyah dan wahidiyyah. Dan sebagian yang lain beranggapan bahwa yang dimaksud dengan tajalli zat adalah pada hati seorang salik atau hamba tidak terjadi musyahadah suatu sifat dari sifat-sifat Ilahi atau suatu nama dari nama-nama Ilahi dan seorang hamba terlepas dari segala keterkaitan walaupun dengan keterkaitan kepada Tuhan dengan perantaraan suatu nama Ilahi yang khusus.


Untuk memahami tema di atas diperlukan penjelasan terhadap masalah-masalah di bawah ini:

1. Yang dimaksud dengan kemenangan (al-fath) adalah apa yang termanifestasikan dan tertajallikan kepada seorang hamba atau salik dari Tuhannya yang sebelumnya tertutup baginya, tidak peduli apakah yang terbuka (termanifestasikan) itu adalah nikmat-nikmat lahiriah ataukah batiniah. Adalah sesuatu yang sangat jelas bahwa kemenangan, kejayaan, dan terbukanya pintu-pintu akan tercapai dengan menggunakan “mafatih” (dengan makna khazanah-khazanah atau kunci-kunci). Mafatih adalah nama-nama baik (asmaul husna) Tuhan dan berada di sisi dan di tangan Tuhan. Hal ini sebagaimana firman Tuhan, “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan di sisi Kami-lah khazanahnya.” (Qs. Al-Hijr: 21. “Dan di sisi-Nya kunci-kunci yang gaib” (Qs. Al-An’am: 59). “Kepunyaan-Nya lah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi.” (Qs. Az-Zumar: 63). Dalam irfan (tasawuf), “mafatihul ghaib” dimaknakan sebagai hadir dan tersembunyinya nama-nama Ilahi, dan kekhususannya adalah sebagai “tempat” rahmat (feidh) Ilahi dan perantara untuk membuka pintu-pintu khazanah, dan rahasia-rahasia alam akan diketahui dengan melaluinya. Dengan demikian, terkabulnya setiap doa semata-mata berpijak pada nama-nama Ilahi ini, dan perolehan pengetahuan rahasia-rahasia Ilahi sepenuhnya juga bersandar pada pencapaian nama-nama Ilahi. Hal yang sangat penting untuk diketahui adalah hakikat dari nama-nama Ilahi ini bukanlah dalam bentuk kata-kata dan konsep-konsep, dan pencapaian nama-nama Ilahi mensyaratkan kehadiran eksistensial mereka. Dari dimensi lain, “mafatihul ghaib” ini berada di sisi Tuhan, walaupun terbukanya pintu-pintu Ilahi itu bergantung pada pemanfaatannya, namun hal ini juga tidak akan tercapai tanpa izin dan kehendak Tuhan.

2. Kemenangan memiliki tingkatan-tingkatan dan jenis-jenis, dimana seorang pesuluk akan sampai pada tingkatan-tingkatan tersebut dalam perjalanan spiritualnya atau dia akan mencapai kemenangan dan membuka pintu-pintu gaib dengan memanfaatkan sebuah “kunci” yang terdapat pada setiap tingkatan.

Di bawah ini ada beberapa bentuk kemenangan:
a. Fath al-Qarib (kemenangan dekat) adalah hadirnya kesempurnaan ruh dan hati setelah melewati tahapan-tahapan kejiwaan (berhasil menyingkirkan segala bentuk penghalang gelap ruh). Sebagaimana firman-Nya, “Pertolongan dari Tuhan dan kemenangan dekat.” (Qs. Shaf; 13)

b. Fath al-Mubin (kemenangan nyata) akan tercapai setelah melewati kesempurnaan ruh dan hati. Bentuk kemenangan ini adalah hadirnya maqam wilayah Ilahi dan manifestasi cahaya asma Ilahi sedemikian sehingga dikarenakan pengaruh kuatnya cahaya asma Ilahi itu sifat dari jiwa dan hati menjadi sirna dan muncullah kesempurnaan “sirr (rahasia)” yang merupakan salah satu dari tujuh kesempurnaan. Sebagaimana firman Tuhan, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang.” (Qs. Fath: 1-2) Dalam kemenangan ini, segala kesempurnaan hati yang lalu dan kesempurnaan ruh yang akan datang telah menjadi sirna (dan berpindah kepada kesempurnaan yang lebih tinggi) dan apa yang belum terbuka setelah kemenangan ini adalah “wujud manusia” yang dalam ayat al-Quran itu diisyarahkan dalam bentuk “kamu”. “Wujud” ini tidak lain adalah “dosa besar” yang tidak dapat dibandingkan dengan dosa-dosa lain yang manapun, karena selama manusia masih terikat dengan keterbatasan “wujud” ini maka mustahil dia memiliki kemampuan untuk menggapai wilayah Tuhan yang tak terbatas. Dengan demikian, langkah terakhir untuk “menyatu” dengan lautan tak terbatas dari “hakikat mutlak” (Zat Suci Tuhan) adalah mensucikan dirinya dari “wujud”-nya yang terbatas. Dalam ungkapan para urafa, maqam ini disebut sebagai “fana” yang berarti menyirnakan keterbatasan “wujud”nya untuk mencapai tingkatan terakhir kemenangan, walaupun dia bisa menggapai tingkatan fana yang lebih rendah dan tingkatan kemenangan yang juga lebih rendah.

c. Fath al-Mutlaq (kemenangan mutlak) yang ibaratnya adalah manifestasi dzat ahadiyah dan satu dalam keragaman, sirnanya kepada seluruh sifat makhluk, sebagaimana firman-Nya, “Jika datang pertolongan Tuhan dan kemenangan.” Dengan memperoleh kemenangan mutlak tersebut berarti salik (yang meniti jalan spiritual) telah sampai pada tahapan akhir kemenangan dan akan sampai pada pertemuan dengan-Nya. Dari sinilah sehingga setelah turunnya surah an-Nashr, Rasulullah saw bersabda, “Telah dianugerahkan kepadaku pahala “perpidahan alam””, karena seorang salik setelah melintasi tingkatan terakhir dari setiap alam akan berpindah dan memasuki alam yang lain sehingga seluruh alam akan terlintasi olehnya dan selanjutnya dia akan menaik untuk bertemu dengan-Nya.

3. Dalam perspektif para arif, yang dimaksud dengan tajalli dan manifestasi adalah menjadi nyatanya Dzat Mutlak Tuhan dan Kesempurnaan-Nya setelah tertentukan dengan ketentuan-ketentuan dzat-Nya, nama-nama-Nya atau perbuatan-Nya, baik untuk diri-Nya maupun untuk selain-Nya, yaitu dalam cerminan perbuatan yang tidak meniscayakan reinkarnasi, persatuan, dan terciptanya ruang kosong (yaitu suatu keadaan dimana tidak ada satupun eksistensi atau realitas, dalam filsafat dan irfan hal ini mustahil terjadi dan secara istilah disebut tajafi). Di dalam irfan pernyataan ini digunakan baik dalam gerak menurun maupun gerak menaik. Misalnya dalam gerak menurun dikatakan bahwa penciptaan adalah berdasarkan tajalli, dan sebagainya … Akan tetapi dalam pembahasan gerak menaik akan diungkapkan tentang manifestasi-manifestasi yang menjadi kenyataan atau realitas yang disaksikan secara intuitif, dan yang dimaksud oleh para arif di sini adalah bahwa tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan dalam seir-suluk (perjalanan spiritual) tidak akan terlintasi kecuali dengan bantuan manifestasi-manifestasi Tuhan yang terpancar pada diri seorang hamba, dan karena setiap manifestasi gerak menaik pun memiliki pengaruh dan hukum, maka perolehan dan penglihatan setiap tahapan yang bisa dicapai oleh para arif pun memiliki nama tersendiri. Tentunya bisa dikatakan bahwa manifestasi-manifestasi Ilahi ini akan terwujud dalam macam-macam kemenangan, pada hakikatnya, tiga bagian kemenangan meniscayakan tiga bentuk manifestasi.

Dan di bawah ini akan dijelaskan macam-macam manifestasi Ilahi:

a. Manifestasi perbuatan
“Tempat” dari manifestasi ini adalah pada perbuatan Tuhan dan kemuliaan-Nya, dimana hal ini menyebabkan sirnanya perbuatan dari diri salik lalu mengarahkannya ke tauhid perbuatan dan penyaksian perbuatan dalam perbuatan yang bersifat tunggal. Penglihatan dan musyahadah para arif pada manifestasi ini disebut dengan muhadharah, sementara fathul qarib merupakan hasil dari manifestasi bentuk ini.

b. Manifestasi sifat
“Tempatnya” terletak pada asmaul husna (Nama-nama agung Tuhan) dan kalimat-kalimat dzatiyah yang akan menyebabkan sirnanya sifat-sifat salik. Penglihatan para arif terhadap manifestasi ini disebut dengan mukasyafah, sedangkan fathul mubin merupakan kemenangan yang sesuai dengan manifestasi jenis ini.

Berkaitan dengan masalah ini Ustadz Jalaluddin Asytiyani mengatakan, “Manifestasi Tuhan pada hamba kadangkala berada dalam keadaan yang berbeda dimana pada tingkatan ini kalbu salik tidak akan kosong dari keterwujudan hukum-hukum wujud, kejamakan, dan keragaman, sedangkan batin arif akan terbusanai oleh mayoritas manifestasi-manifestasi pada hati, dan akan terwarnai oleh warna keragaman, dan kadangkala kosong dari hukum-hukum wujud dan keragaman dan berpindah ke dalam kondisi kesatuan, dan bagian dari tajalli ini dinamakan dengan “nama lahiriah (az-Zahir: salah satu nama Ilahi)” atau “nama batiniah (al-Batin: salah satu nama Ilahi)”.

Salik pada tingkatan “tajalli dalam keragaman” akan menyaksikan Tuhan dalam setiap sesuatu dan tauhid akan muncul dalam indera lahiriah dan khayalnya, dan karena dia melihat Tuhan dalam segala sesuatu maka dia tidak akan pernah menoleh pada eksistensi lain yang manapun. Akan tetapi, tingkatan “tajalli dalam kesatuan” bergantung pada maqam ahadiyah (pada tingkatan dzat Tuhan semata, yakni tanpa nama dan sifat-Nya) dan pada kondisi ini hukum-hukum tauhid akan pula muncul dalam akalnya, dan karena ia “tenggelam” dalam tahapan ahadiyah maka telah keluar dari maujud-maujud alam lahiriah dan inderawi.

Akan tetapi, pada tajalli sifat, selain tauhid akan tampak pada seluruh wujud salik dan hukum-hukum tauhid akan melewati indera lahiriah dan khayal yang kemudian akan sampai ke maqam akal, namun hukum-hukum keragaman tidak akan menyebabkannya menoleh dari maqam ahadiyah, dan ketenggelamnnya dalam tauhid tidak akan mengurungkannya dari seluruh hal yang berkaitan dengan keragaman maujud.

c. Manifestasi dzat
“Tempatnya” terletak pada dzat, dan menyebabkan “sirna dan fananya” dzat sang salik lalu mengantarkannya pada penyaksian “terhimpunnya” maujud-maujud dalam wujud Tuhan. Penglihatan para arif dinamakan dengan “musyahadah”.

Dalam masalah ini Ustadz Asytiyani mengatakan, “Tuhan dalam tajalli ini akan membersihkan kalbu para arif dari kebergantungan-kebergantungan kepada keragaman maujud menuju ke arah kesatuan, dan akan mengantarkan para arif ke arah keyakinan khusus dengan nama khusus, yaitu syuhud. Tahapan lebih rendah dari tajalli dan manifestasi ini adalah tahapan qurb al-faraidh (kedekatan kepada Tuhan melalui amalan-amalan wajib Ilahi), dan setelah melewati tahapan ini, akan terdapat maqam “kesatuan antara qurb al-faraidh dan qurb al-nawafil (kedekatan kepada Tuhan dengan amalan-amalan sunnah/mustahab).

Pesuluk yang hakiki juga akan melewati dua tingkatan tersebut dan sampai pada maqam “fana” dari kedua tingkatan ini, bahkan akan sampai pada tingkatan yang lebih tinggi dari tingkatan ini yang disebut dengan “kesatuan di antara dua fana” dan selanjutnya akan menggapai tingkatan “fana dari orang-orang yang fana” dan tahapan “kesatuan di antara dua kebaikan” serta maqam “dzat murni (tamkin) pasca dzat nonmurni (talwin: dzat dan sifat). Tingkatan ini, dalam ungkapan sebagian urafa dinamakan dengan maqam tamahhudh (penyirnaan sifat makhluk), tasykik (pengurangan sifat makhluk), istikhlaqul haq (berakhlak dengan akhlak Tuhan), dan istihlak fil haq (tenggelam dalam Tuhan) secara hakiki dan keabadiannya hanya pada tingkatan ilmu (yakni secara keilmuan, makhluk akan abadi dengan keabadian Tuhannya, karena tidak ada satupun makhluk yang abadi secara hakiki dan mandiri). Maqam tersebut, bahkan pada keseluruhan jenis-jenis manifestasi dzat, merupakan kekhususan hakikat Muhammadiyah dan para Imam Makshum Ahlulbait As.

Tentunya, secara hakiki, manifestasi itu bermula pada hakikat Muhammadiyah, kemudian pada tingkatan manifestasi selanjutnya terkhususkan pada Imam Makhsum Ahlulbait As.

4. Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Shadrul Muta’alihin, yang dimaksud dengan kalimat “kiamat kecil” adalah kematian alami setiap makhluk, karena Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang wafat maka sesungguhnya kiamatnya telah terjadi”, sedangkan “kiamat besar” tidak lain adalah sirna dan fananya seluruh eksistensi sebagaimana ungkapan “penyirnaan datang dari Tuhan”, karena tidak ada sesuatupun yang akan tinggal kecuali Tuhan, sebagaimana difirmankan, “siapa penguasa hari ini, sesungguhnya kekuasaan itu milik Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa”.

Dalam kitab Syarh al-Fushushul Hikam dikatakan bahwa sebagaimana surga dan neraka memiliki manifestasi-manifestasi di alam, untuk “kiamat atau waktu” pun memiliki lima bentuk manifestasi sebagaimana lima manifestasi utama Tuhan, sebagai berikut:

a. “Kiamat dan waktu” yang berlangsung setiap saat dan yang bersifat seketika, karena dalam setiap waktu akan tertampakkan manifestasi-manifestai dan makna-makna dari alam gaib ke alam materi dan sebaliknya, sebagaimana firman Tuhan, “bahkan mereka senantiasa berada dalam penciptaan yang baru, dan firman lainnya, “setiap hari Dia bermanifestasi”.

b. “Kematian alami, sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang wafat maka sesungguhnya kiamatnya telah terjadi”

c. “Kematian ikhtiari”, yang hal ini bagi salik merupakan sesuatu yang dikehendakinya, dan kiamat seperti ini dinamakan dengan “kiamat sugra”.

d. Kematian yang telah dijanjikan untuk seluruhnya, sebagaimana difirmankan, “Sesungguhnya kiamat itu merupakan suatu ayat yang sama sekali tidak ada keraguan terhadapnya”, dan ini terjadi dengan terbitnya “matahari” Dzat Ahadiyah, tersingkapnya hakikat universal, dan hadirnya kesatuan sempurna Dzat Ilahi, serta sirnanya keragaman makhluk, sebagaimana firmanya, “siapa penguasa hari ini, sesungguhnya kekuasaan itu milik Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa.”

e. Bentuk kematian yang kelima ini seperti kematian bentuk keempat di atas, namun sedikit perbedaan bahwa sebelum terjadi hukum kematian ini atas seluruh ciptaan, para arif dan monoteis sejati telah mengalami “fana di dalam Tuhan” (fana fillahi) dan abadi dengan-Nya (baqa billahi). Berkenaan dengan tingkatan ini, semua peneliti menyatakan, hadirnya tingkatan ini pada seorang arif ketika terjadi manifestasi Dzat Suci padanya, supaya “kiamat besar”nya terwujud maka fanalah dia dan juga fanalah makhluk dalam pandangannya, kemudian dia abadi dan menyaksikan Tuhannya dengan perataraan Tuhannya.

5. Dalam pembahasan “wilayah”, para arif membagi “wilayah” dengan makna “kedekatan” itu menjadi dua, “wilayah umum” dan “wilayah khusus”. “Kemenangan dekat” dan “kemenangan nyata” termasuk dalam bagian pertama, “wilayah umum”, sementara “kemenangan mutlak” termasuk dalam bagian kedua, “wilayah khusus”. Dan setiap bagian ini mesti melewati tingkatan fana.

Ustads Astiani dalam menegaskan persoalan ini menyatakan, “wilayah umum” terbagi dua:

1. “Wilayah” yang meliputi segenap kaum mukminin. “Wilayah” ini akan hadir dengan keimanan kepada Tuhan, malaikat, kitab-kitab suci-Nya, dan para rasul-Nya. Sebagaimana Tuhan berfirman, “Allah Swt merupakan wali bagi orang-orang mukmin…” Awal dari “wilayah” ini adalah pensucian hati dan berakhlak mulia, dan puncaknya berada pada tingkatan qurbul nawafil (kedekatan kepada Tuhan melalui amalan-amalan sunnah/mustahab) dari tingkatan-tingkatan fana. Orang yang telah sampai pada tingkatan ini dalam awal-awal suluknya memiliki kesucian hati dan keimanan yang tidak diperolehnya dari argumentasi akal (ini merupakan salah satu tingkatan keimanan) dan diakhir suluknya akan mendapatkan kesucian ruh, keimanan haqqul yaqin, “kemenangan dekat”, dan berada pada batin kedua dan ketiga dari tujuh batin al-Quran.

2. “Wilayah umum” diperuntukkan hanya kepada “pemilik-pemiliki hati” dan “orang-orang sempurna” dari para pesuluk. Pemilik “wilayah” ini menyatu dengan tingkatan qurbul faraidh, qurbul nawafil, fana fillahi, dan baqa billahi, yakni dia menyirnakan sifat-sifat makhluk dan berpakaian dengan sifat-sifat Tuhan.

Awal dari tingkatan ini adalah akhir dari perjalanan pertama dan awal dari perjalanan kedua, dan memiliki kesucian “sirr” atau ruh. Sedangkan akhir dari tingkatan ini berada pada akhir derajat “qaba qausain” dan awal derajat “au adna”. Pemilik tingkatan ini dalam perjalanan spiritualnya sendiri akan sampai pada “kemenangan nyata” dan berada pada batin keempat, kelima dan keenam dari tujuh batin al-Quran.

Dikarenakan tingkatan ini banyak dicapai oleh para wali, nabi-nabi, dan rasul-rasul Ilahi maka disebutkan sebagai “wilayah umum”. “Wilayah khusus”: Tingkatan ini akan dicapai oleh manusia ketika telah sampai pada tingkatan tertinggi dari fana, fana sempurna, dan fana mutlak, sirna sifat-sifat makhluk pada dirinya setelah sirnanya eksistensi makhluknya, sirnanya syirik tersembunyi dan paling tersembunyi dalam dirinya, menyatunya dia dengan nama-nama Dzat Ilahi, terbukanya baginya kunci-kunci gaib dari nama-nama Tuhan pada tingkatan Ahadiyah, dan menetap dalam dirinya seluruh nama Ilahi pada tingkatan Wahidiyah. Dengan demikian, akan lahirlah manusia yang memiliki kesempurnaan-kesempurnaan yang tak terbatas.

Awal dari maqam ini tidak lain adalah akhir dari tahapan perjalanan para rasul Ulul Azmi yang merupakan akhir dari maqam “Qaba Qausain” dan awal dari maqam “Aw Adana” yang merupakan awal perjalanan menyempurna yang terkhusus untuk hakikat Muhammadiyah.

Pemilik maqam ini akan memperoleh kemenangan mutlak, kesempurnaan, maqam Aw Adna, menggapai batin ketujuh, memperoleh kekuasaan menyeluruh dan mutlak atas segenap makhluk, serta kebaikan dan kesempurnaannya tidak terbatas.

6. Perjalanan empat tingkat para urafa dan kedudukan fana: Adalah tidak tepat kita menjelaskan perjalanan praktis dan ritualitas spiritual para urafa di sini , namun yang urgen dipaparkan adalah tercapainya maqam “sirr” (rahasia) bagi para pesuluk di akhir perjalanan pertama, dan maqam “sirr” itu tidak lain adalah fana-nya wujud Arif “dalam” zat Tuhan.

Setelah itu akan sampai pada perjalanan kedua, dalam perjalanan ini “wilayah” Arif akan sempurna yang wujud, sifat, dan perbuatannya akan fana “dalam” zat, sifat, dan perbuatan Tuhan. Fana-nya sifat dan perbuatan dalam tingkatan ini disebut dengan maqam “khafi” (terahasia).

Setelah ini akan berlanjut pada maqam “akhfa” (paling rahasia) yakni fana dalam fana (dua fana yang lalu), yang dengan ini “wilayah” akan menjadi sempurna dan berakhirnya perjalanan kedua. Para Arif yang meniti perjalanan ketiga akan sampai pada maqam “keabadian Tuhan” dan menyaksikan hakikat dan manifestasi segenap alam.

Sebagian berkeyakinan bahwa dalam perjalanan pertama, para Arif yang telah berhasil menyingkirkan dimensi-dimensi kemakhlukannya akan menyaksikan jamaliyah Tuhan dalam manifestasi perbuatan-Nya, dan pada hakikatnya, “wajah” Tuhan tersingkap di sisinya. Pada perjalanan kedua, kesatuan mutlak akan termanifestasikan dan juga terjadinya kiamat kubra (besar) pada diri Arif, dalam perjalanan ini Tuhan akan menjelma pada maqam kesatuan-Nya untuk para pesuluk, karena itu para pesuluk tidak dapat menyaksikan segala makhluk.

Para pesuluk akan mengalami fana dalam zat, sifat, dan perbuatan. Kesimpulan dan Penutup Sebagaimana yang Anda saksikan bahwa pembahasan al-fath (kemenangan) dan at-tajalli (manifestasi) yang bukan hanya saling berhubungan, bahkan juga terkait dengan kajian–kajian lain seperti empat tahapan perjalanan, fana, “wilayah”, kiamat, dan lain-lain.

Maka dari itu bisa dikatakan, terjadinya kiamat personal yang bermakna kematian ikhtiari (yang dikehendaki) adalah juga memiliki tingkatan-tingkatan, dan jika salah satu dari tingkatannya terjadi dalam fathul Qarib (kemenangan dekat) dengan manifestasi perbuatan Tuhan pada perjalanan pertama maka tingkatan-tingkatan lainnya akan tercapai dengan syarat para pesuluk telah menggapai maqam sirr, fana dalam sifat dan perbuatan, dan sempurnanya “wilayah”-nya, serta termanifestasikan sifat Tuhan dalam fathul mubin (kemenangan nyata).

Dengan ungkapan lain, walaupun hadirnya kiamat besar bagi Arif yang bersama dengan manifestasi zat Tuhan dalam tahapan-tahapan akhir “wilayah”, fana, dan … atau dalam fathul mutlaq (kemenangan mutlak), akan tetapi pada tingkatan-tingkatan terendah dari al-fath (kemenangan) yakni terjadinya kiamat personal bagi pesuluk merupakan sesuatu yang tidak asing.

Bisa dikatakan bahwa dalam setiap perjalanan akan terjadi kiamat -yang disesuaikan dengan tahapan fana, tingkatan “wilayah”, manifestasi yang terjadi bagi Arif- bagi Arif sebelum kematian alaminya yang dilaluinya dengan kematian yang dikehendakinya sendiri. Pasca kematian alami, tauhid zat, sifat, dan perbuatan akan termanifestasikan bagi Arif. Ketiga tauhid ini akan hadir bagi pesuluk di jalan Tuhan sebelum kematian alaminya, dan bersesuaikan dengan tingkatan tauhid ini akan terjadi kiamat personal bagi Arif.

Dan yang sesuai dengan fath al mubin adalah manifestasi tauhid sifat dan perbuatan. Poin terakhir adalah bahwa telah je-as makna manifestasi zat Tuhan dalam pembahasan sebelumnya, akan tetapi terdapat sebuah pertanyaan: zat qua zat (zat dalam ruang lingkup zat itu sendiri) adalah tidak terkait dengan yang lain dan juga tidak menjelma pada sesuatu, dengan dasar ini apakah makna manifestasi zat itu?

Jami dan Jurjani, dalam pembagian definisi manifestasi zat, mengungkapkan bahwa Tuhan, dalam aspek zat-Nya sendiri, tidak bertajalli kecuali dengan perantaraan suatu hijab (baca: nama-nama-Nya) . Karena itu untuk menyelesaikan persoalan ini terdapat beberapa usulan:

1. Jami menyatakan bahwa yang dimaksud dengan manifestasi zat adalah manifestasi zat dalam aspek uluhiyah dan wahidiyah…

2. Asytiyani, dalam komentar atas pendahuluan Syarh Fushushul Hikam Qaishari, menegaskan, kalau terjelma pada hati sang Arif suatu sifat dari sifat-sifat Tuhan dan suatu nama dari nama-nama-Nya serta dia telah terlepas dari segala macam keterikatan (termasuk keterikatan perhatiannya kepada Tuhan melalui nama-Nya yang khusus), maka Zat pada tingkatan Ahadiyah akan termanifestasi pada hati sang Arif dan “Matahari” Zat Ahadiyah akan memancarkan cahayanya juga dihati ahadiyah Arif. Hasil dari manifestasi ini adalah ia suci dari segenap keterikatan dan ia “menyatu” dengan pusat lingkaran dari segenap tingkatan yang seimbang.


Terjemahan Makalah Ayatullah Hadawi Tehrani oleh Muhammad Adlany

(Teosophy/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: