Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS HIKMAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS HIKMAH. Tampilkan semua postingan

Amal Yang Paling Dicintai Allah


Amal yang Paling Dicintai Allah

Amiril Mukminin Ali bin Abi tholib as berpesan,

اِنْتَظِرُوا الْفَرَجَ وَ لَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللّه ِ، فَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللّه ِ عَزَّ وَ جَلَّ اِنْتِظَارُ الفَرَجِ

“Nantilah al-faraj (kemunculan Al-Mahdi as) dan jangan pernah engkau berputus asa dari rahmat Allah. Karena amal yang paling dicintai oleh Allah swt adalah menanti Al-faraj.”

(Biharul Anwar)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keutamaan Istighfar 70 Kali di Bulan Sya’ban


Keutamaan Istighfar 70 Kali di Bulan Sya’ban

Imam Ali bin Abi tholib as berpesan,
مَنْ اِسْتَغْفَرَ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي شَعْبَان سَبْعِيْنَ مَرَّة غَفَرَ اللَّهُ ذُنُوْبَهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْل عَدَدِ النُّجُوْمِ

“Siapa yang memohon ampunan kepada Allah di bulan Sya’ban sebanyak 70 kali maka Allah akan mengampuni dosanya walaupun sebanyak jumlah bintang-bintang.”
 
(Amali As-Shoduq)
 
(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Rasulullah Saw: Sya’ban Adalah Bulanku!


Rasulullah Saw: Sya’ban Adalah Bulanku!

Rasulullah saw bersabda,
شَعْبَانُ شَهْرِي مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ شَهْرِي وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ

“Sya’ban adalah bulanku, siapa yang berpuasa satu hari di bulanku ini maka wajib baginya surga.”
 
(Fadhoil-Asyhar-Tsalatsah)
 
(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dua Macam Kesabaran


Dua Macam Kesabaran

Imam Ali bin Abi tholib as berpesan,
الصَّبْرُ صَبْرَانِ: صَبْرٌ عَلَى مَا تَكْرَه، وَصَبْرٌ عَمَّا تُحِبّ

“Kesabaran itu ada dua macam. Sabar atas sesuatu yang kau benci dan sabar atas sesuatu yang kau cintai.”
 
(Al-Kafi)
 
(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengingat Akhirat Mengurangi Maksiat


Mengingat Akhirat Mengurangi Maksiat

Imam Ali bin Abi tholib as berpesan,
مَن أكثَرَ مِن ذِكرِ الآخِرةِ قَلَّتْ مَعصيتُهُ

“Siapa yang banyak mengingat akhirat maka akan sedikit maksiatnya.”
 
(Ghurarul Hikam)
 
(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Arti Berhubungan Baik Dengan Tetangga


Arti Berhubungan Baik dengan Tetangga

Imam Musa Al-Kadzim as berpesan,

ليسَ حُسنُ الجِوارِ كَفَّ الأذى ، وَ لَكِنْ حُسْنُ الجِوارِ الصّبرُ على الأَذَى .

“Berhubungan baik dengan tetangga bukanlah menahan diri dari mengganggu (orang lain), namun arti berhubungan baik dengan tetangga adalah bersabar atas gangguan.”

(Tuhful-Uqul)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Manusia Yang Paling Nikmat Hidupnya


Manusia yang Paling Nikmat Hidupnya

Imam Ali bin Abi tholib as berpesan,

أنعَمُ النَّاسِ عَيْشًا

مَن مَنَحَهُ اللّه ُسُبحانَهُ القَناعَةَ

وأصلَحَ لَهُ زَوجَهُ

“Manusia yang paling nikmat hidupnya adalah seorang dianugerahi sifat Qona’ah (merasa cukup) oleh Allah dan diberi pasangan yang baik.”

(Ghurarul Hikam)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Makna Husnudzon Kepada Allah


Makna Husnudzon kepada Allah

Imam Ja’far As-Shodiq as berpesan,

حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ أَنْ لَا تَرْجُو إِلَّا اللَّهَ وَلَا تَخَاف إِلَّا ذَنْبَك

“Berbaik sangka kepada Allah adalah hendaknya engkau tidak berharap kecuali kepada-Nya dan tidak takut kecuali pada dosamu.”

(Al-Kafi)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pahala Belajar dan Mengajar Al-Qur’an


Pahala Belajar dan Mengajar Al-Qur’an

Rasulullah saw bersabda,

إِذَا قَالَ الْمُعَلِّمُ لِلصَّبِيُّ : قُلْ بِسْمِ اللَّهِ الرّحْمَنِ الرَّحِيم

فَقَالَ الصَّبِيُّ : بِسْمِ اللَّهِ الرّحْمَنِ الرَّحِيم

كَتَبَهُ اللَّهُ بَرَاءَةً لِلصَّبِيِّ وَ بَرَاءَةً لِأَبَوَيْهِ وَبَرَاءَةً لِلْمُعَلِّمِ

Ketika seorang guru berkata kepada anak muridnya : “Katakan Bismillahirrahmanirrahim..”

Kemudian anak itu mengucapkan : “Bismillahirrahmanirrahim…”

Maka Allah akan menyelamatkan anak itu, kedua orang tuanya serta guru yang mengajarinya dari (api neraka).”

(Wasail Syiah)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pahala Berpuasa 7 Hari Dibulan Rajab


Pahala Berpuasa 7 Hari dibulan Rajab

Rasulullah saw bersabda,

مَنْ صَامَ مِنْ رَجَب سَبْعَة أَيَّام

Siapa yang berpuasa pada bulan Rajab selama tujuh hari

فَإنَّ لِجَهَنَّمَ سَبْعَة أَبْوَاب

Maka sesungguhnya neraka Jahannam itu memiliki tujuh pintu

يُغْلِقُ اللَّهُ عَنْهُ لِصَوْمِ كُلّ يَوْم بَاباً مِنْ
أَبْوَابِهَا وَحَرَّمَ اللَّهُ جَسَدَهُ عَلَى النَّارِ.

Allah menutup satu pintu neraka bagi setiap hari yang ia gunakan untuk berpuasa. Dan Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka.

(Tsawabul A’mal)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ingatlah Detik-Detik Kematianmu!


Ingatlah Detik-Detik Kematianmu!

Imam Ali Al-Hadi as berpesan,

اُذكُرْ مَصرَعَكَ بَينَ يدَيْ أهلِكَ، و لا طَبيبَ يَمنَعُكَ ، و لا حَبيبَ يَنفَعُكَ

“Ingatlah detik-detik kematianmu dihadapan keluargamu, sementara tidak ada dokter yang mampu mencegah (kematian)mu dan tidak ada kekasih yang mampu menolongmu.”

(A’lamuddin)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dunia Adalah Pasar!


Dunia adalah Pasar!

Imam Ali Al-Hadi as berpesan,

الدُّنْيَا سُوْقٌ ، رَبِحَ فِيهَا قَوْمٌ وَ خَسِرَ آخَرونَ

“Dunia adalah pasar. Sebagian kaum mendapat keuntungan dan sebagian yang lain merugi.”

(Biharul Anwar)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pesan Imam Musa as Dibulan Rajab


Pesan Imam Musa as Dibulan Rajab

Imam Musa Al-Kadzim as berpesan,

رَجَب شَهْرٌ عَظِيْم …

Rajab adalah bulan yang agung…

يُضَاعِفُ اللَّهُ فِيْهِ الْحَسَنَات …

Allah melipatgandakan kebaikan di bulan ini…

وَيَمْحُو فِيْهِ السَّيِّئَات

Dan menghapus bermacam keburukan…

مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ تَبَاعَدَتْ عَنْهُ النَّارُ مَسِيْرَةَ سَنَة …

Siapa yang berpuasa satu hari di bulan Rajab maka api neraka akan menjauh darinya dengan jarak satu tahun..

وَمَنْ صَامَ ثَلَاثَةَ اَيَّامٍ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ

Dan siapa yang berpuasa tiga hari di bulan ini maka wajib baginya surga…

(Al-Faqih)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Masuk Surga Karena Satu Amalan Ini!


Masuk Surga karena Satu Amalan Ini!

Rasulullah saw bersabda,

يُؤْتَى بِالرَّجُلِ مِنْ أُمَّتِي يَوْم القِيَامَةِ وَمَا لَهُ مِنْ حَسَنَةٍ تُرْجَى لَهُ الجَنَّةُ..

فَيَقُوْلُ الرَّبُّ تعالى :

أَدْخَلُوْهُ الْجَنَّة، فَاِنَّهُ كَانَ يَرْحَمُ عِيَالَهُ

“Akan didatangkan salah seorang dari umatku di hari kiamat sementara ia tidak memiliki kebaikan apapun yang bisa diharapkan untuk bisa masuk surga.

Kemudian Allah swt berfirman, “Masukkanlah dia kedalam surga, karena ia mengasihi keluarganya.”

(Tarikh Baghdad)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Orang Paling Bahagia Adalah Yang Mengenal Ahlul Bait


Orang Paling Bahagia adalah Yang Mengenal Ahlulbait

Imam Ali bin Abi tholib as berpesan,

أسعَدُ النّاسِ مَن عَرَفَ فَضلَنا ، وتَقَرَّبَ إلَى اللّه‏ِ بِنا ، وأخلَصَ حُبَّنا ، وعَمِلَ بِما إلَیهِ نَدَبنا ، وانتَهى عَمّا عَنهُ نَهَینا ، فَذاکَ مِنّا ، وهُوَ فی دارِ المُقامَةِ مَعَنا

“Manusia yang paling bahagia adalah siapa yang mengenal keutamaan kami (Ahlulbait)..

Mendekat kepada Allah melalui kami..

Tulus mencintai kami..

Berbuat sesuai dengan apa yang kami ajarkan..

Menahan diri dari sesuatu yang kami larang..

Orang-orang seperti ini adalah bagian dari kami..

Dan kelak di tempat kebangkitan bersama kami..

(Ghurarul Hikam)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ingin Meraih Pahala Ibadah 9000 tahun?


Ingin Meraih Pahala Ibadah 9000 tahun?

Rasulullah saw bersabda,

مَن سَعى في حاجَةِ أخيهِ المؤمنِ

فكأنّما عَبدَ اللّه تِسعَةَ آلافِ سَنةٍ

صائما نَهارَهُ قائما لَيلَهُ.

“Siapa yang berupaya untuk membantu memenuhi kebutuhan orang mukmin maka ia seperti menyembah Allah 9000 tahun dengan berpuasa disiang harinya dan solat di malam harinya.”

(Biharul Anwar)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Berpikir Lebih Utama Dari Belajar


Tak sekedar memberi pengetahuan, pendidikan melatih daya pikir dan menghidupkan daya kreasi. Berbeda dengan pengajaran yang bagiannya adalah ilmu dan belajar, bagian pendidikan adalah akal dan berpikir.

Manusia memiliki daya kreasi, yang istilahnya dari ucapan Imam Ali adalah ilmu mathbu’ (yang terbentuk). Yakni, ilmu yang sudah terbentuk dalam fitrah manusia, bersumber dari dirinya dan tidak diperoleh dari orang lain. Membedakannya dari ilmu masmu’ (yang terdengar), yang takkan bermanfaat jika tidak terbentuk. (Nahjul Balaghah/al-Hikmah 331)

Sebagian orang tidak mencapai ilmu mathbu’ kebanyakan disebabkan oleh masalah pengajaran dan pendidikan yang tidak mengaktifkan potensi mereka. Banyak orang yang berpengetahuan seperti alat rekam, disebabkan oleh masalah potensi dan penerimaan atau masalah pengajaran dan pendidikan. Mereka belajar dengan baik, rajin dan menghapal pelajaran-pelajaran, hingga kemudian menjadi seorang pengajar.

Mereka menelaah buku dan mengetahui halaman-halamannya secara detail, sekiranya ditanya suatu masalah akan menjawabnya dengan benar. Namun bila ditanya soal sisi lainnya mereka tidak bisa menjawab, karena pengetahuan mereka sebatas apa-apa yang didengar (ilmu masmu’), tanpa dapat mengambil manfaat dan membawa kesimpulan dari pengetahuannya itu. Sebagian orang bahkan mengukuhkan perkara yang bertentangan dengan apa-apa yang telah mereka pelajari.

Oleh karena itu, terkadang orang berilmu yang sebenarnya dia itu dungu. Berilmu tapi jumud akal, dan tak bedanya dengan kaum awam.


Mewujudkan Daya Analisa dan Memotivasi untuk Berkreasi

Dua tugas penting bagi seorang guru terhadap muridnya, yang dijelaskan oleh Syahid Mutahari melalui dua kisah berikut ini:

Yang pertama, satu kisah yang ber-‘ibrah; Seorang paranormal mendapat posisi khusus di sisi raja, dan menerima gaji bulanan darinya. Dia ajari putranya ilmu gaib, dipersiapkan untuk menempati posisinya kelak. Pada suatu hari, ia datang dengan putranya bermaksud mempromosikan dia kepada raja. Maka raja ingin menguji anak itu. Ia menggenggam telor, dan bertanya kepadanya, “Apa di tanganku ini?” Anak itu tak bisa menjawab.

“Tengahnya kuning diliputi putih!”, kata raja. Setelah berpikir, anak itu mengatakan, “Itu batu penggiling di tengahnya ubi lobak.”

Dengan disesalkan hal itu, raja menoleh kepada bapaknya dan berkata: “Apa yang telah kau ajarkan kepada anakmu?”

Ia menjawab, “Aku telah mengajari dia ilmu dengan baik, tapi dia tak menggunakan akalnya.” Artinya, dia berilmu tapi lemah akal. Dia tidak mencapai pengetahuan bahwa batu penggiling tak tercakup oleh tangan. Adalah bagian dari permasalahan yang harus dinilai oleh akal.

Yang kedua, kisah lainnya; seorang pelajar pergi ke satu kota. Di tengah perjalanan bertemu dengan seorang petani dan melontarkan beberapa soal kepadanya. Lalu si petani menjawabnya dengan sangat baik. “Di mana kamu belajar?”, tanya si pelajar.

“Kami banyak berfikir karena kami buta huruf!”, jawabnya. Adalah jawaban yang sarat makna. Yakni, bahwa pelajar berbicara tentang apa yang dia ketahui, namun petani itu mengatakan: “Saya berpikir!”, dan berpikir lebih utama dari belajar.

Jadi, harus ada pembinaan pribadi yang berpikir dan berdaya analisa serta interpretasi dalam permasalahan. Inilah perkara yang mendasar di dalam metode pengajaran dan pendidikan. Tugas guru selain mengajarkan ilmu, mewujudkan daya analisa pada muridnya, bukan memenuhi otaknya dengan berbagai informasi dan teori. Sebab, banyak informasi kadang menekan otak si murid sehingga menjadi dangkal.

Syahid Mutahari mengungkapkan; fulan belajar tigapuluh tahun kepada Almarhum Naeni, atau duapuluh lima tahun kepada Dhiya`uddin al-‘Iraqi, seakan tak punya peluang dan waktu untuk berpikir. Ia selalu menimba ilmu. Mengerahkan segenap dayanya untuk itu, sehingga tak menemukan satu tema pun kendati punya potensi untuk itu.

Otak manusia mirip lambungnya. Lambung harus menerima makanan dari luar dan mempunyai sisi lain untuk kesanggupan. Harus ada ruang di dalamnya agar makanan bergerak dengan leluasa dan dapat dicerna serta dipilah-pilah. Tetapi lambung yang full makanan, tak ada sisa ruang di dalamnya, sehingga tak berpeluang untuk mencerna makanan dengan baik. Hal ini berakibat kerusakan pada alat pencernaan dan proses penyerapan. Demikian halnya dengan otak manusia, pelajar harus memiliki peluang untuk berpikir dan mendorong untuk berkreasi.

Di makalah sebelumnya dijelaskan tentang dua tugas penting guru, yaitu mewujudkan daya analisa dan memotivasi murid untuk berkreasi. Poin penting lainnya sebagai mukadimah makalah ini ialah bahwa banyak guru dan masa yang lama dalam belajar, bukan parameter tarbiyah.

Syahid Mutahari mengungkapkan: “Sebagian guru generasi belakangan tak belajar banyak kepada Syaikh Anshari, dan tak banyak hadir (di kelas) para guru mereka ketimbang yang lain.

Syaikh Anshari di masa beliau belajar, sedikit sekali baginya dalam menimba ilmu. Beliau pergi ke Najaf dan belajar tak banyak kepada Asatidzah di sana, kemudian menimba ilmu kepada sejumlah guru di berbagai wilayah lainnya, lalu ke Masyhad. Tetapi beliau tak mengagumi hal menuntut ilmu. Kemudian pergi ke Tehran. Tak lama kemudian ke Isfahan dan menetap lebih lama di sana, belajar ilmu rijal kepada Sayed Muhammad Baqir. Kemudian pergi ke Kasyan, dan tinggal di sana selama tiga tahun, dan belajar kepada Naraqi.

Jika dihitung masa waktu menuntut ilmu bagi Syakh Anshari, tak lebih dari sepuluh tahun, dibanding yang lain belajar sampai duapuluh lima atau tigapuluh tahun lamanya.

Sayed Borujurdi pun demikian, belajar selama sepuluh sampai limabelas tahun kepada para guru level teratas. Tujuh atau delapan tahun belajar di Najaf dan tiga atau empat tahun di Isfahan. Para pelajar Najaf menolak beliau sebagai orang alim, dengan alasan tidak banyak belajar. Menurut mereka harus belajar selama tigapuluh tahun. Akan tetapi, meskipun sedikit belajarnya kepada para guru, temuannya dalam permasalahan ilmiah lebih banyak dari yang lain semasanya. Artinya bahwa beliau berpikir dalam permasalahan yang memerlukan berfikir.

Bagaimanapun tujuan pengajaran dan pendidikan ialah membina pelajar secara pikiran. Terhadap masyarakat pun demikian, bahwa seorang pendidik, guru atau penceramah atau penasihat harus berusaha mengarahkan daya pikir, bukan memenuhi informasi-informasi di dalam otak mereka dan kemudian tak membawa kesimpulan. Berpikir merupakan proses pikir, dan daya pikir lah yang membuat kesimpulan.


Belajar dan Berpikir Dua Hal yang Berbeda

Menarik perkataan dari Almarhum Syaikh Hujjat, bahwa ijtihad yang sejati ialah seseorang menghadapi masalah baru yang tak dia ketahui sebelumnya dan tak disebutkan di dalam kitab-kitab. Lalu ia mencapai kesimpulan yang baru dari penerapan ushul yang ada. Jika tidak demikian, orang yang belajar hukum melalui kitab al-Jawahir, lalu mengatakan: “Saya mengetahui, sang penulis al-Jawahir punya pandangan terkait masalah ini dan Saya mengikuti pandangannya.” Ini bukanlah ijtihad..

Ijtihad merupakan kreasi, mengembalikan cabang ke dasarnya. Banyak mujtahid, yang pada kenyataannya mereka itu muqallid (yang mengikuti pandangan orang lain). Dalam tiap sekian abad muncul seseorang mengubah prinsip-prinsip ushul dan membawakan ushul yang lain dan kaidah-kaidah baru, kemudian diikuti oleh mujtahid-mujtahid lainya. Jadi, orang itulah yang mujtahid sebenarnya. Ia membawa pemikiran baru dan diterima dalam arti diikuti oleh yang lain dalam fikih.

Namun demikian proses berpikir tak terwujud tanpa pengajaran sebagai modal perenungan. Islam mengatakan bahwa tafakur (berpikir) adalah ibadah, merupakan masalah yang bukan masalah belajar yang juga adalah ibadah. Jadi, di sini ada dua masalah, yaitu tentang pengajaran bahwa belajar adalah ibadah, dan tentang tafakur bahwa berpikir adalah ibadah. Dengan keutamaan tafakur bahwa pertama, riwayatnya lebih banyak daripada riwayat tentang belajar (dan banyak ayat Alquran tentang tafakur dan berpikir). Kedua, di dalam tafakur seseorang mendapatkan kesimpulan-kesimpulan dari pikirannya. Jadi, pikiran bisa bertambah kuat dan matang.

Islam menyerukan pengajaran ilmu dari sejak awal wahyu yang turun (QS: al-‘Alaq 1-5) kepada Rasulullah saw, dan membedakan orang yang berilmu dari orang yang tak berilmu (QS: az-Zumar 9).

Rasulullah saw bersabda:
 
 بالتعليم ارسلت; 
 
(“Aku diutus dengan pengajaran.”) 
 
Beliau mengungkapkannya ketika masuk masjid melihat sekelompok orang sibuk beribadah, sementara kelompok lain dalam pencarian ilmu. Lalu berkata, “Keduanya dalam kebaikan. Tetapi aku diutus dengan pengajaran.” Kemudian beliau menghampiri kelompok yang kedua dan duduk bersama mereka.

Dalam QS: al-Jumuah 2, kata “yuzakkîhim” dalam ayat ini berkaitan dengan tarbiyah. Lalu apakah “hikmah” yang dimaksud ayat? Hikmah ialah hakikat yang seseorang dapati, dan Allah swt berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (QS: al-Baqarah 269)

Referensi:

At-Ta’lim wa at-Tarbiyah fi al-Islam/Syahid Mutahari

(Khamenei/Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Orang Bijak Menurut Al-Quran






Alquran membedakan antara orang mukmin dan orang fasik;

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا ۚ لَا يَسْتَوُونَ; 

Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama. (QS: as-Sajdah 18).

Mu`min arti kebahasaannya adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya saw. Keimanan ini tak sebatas di lisan, tetapi yang sampai di hati seorang mukmin. Sebagaimana firman Allah:

 قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ; 

Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu..”(QS: al-Hujurat 14),

Orang mukmin juga manusia. Terkecuali yang telah di nashkan sebagai manusia suci, ia tak luput dari lupa, salah dan dosa. Namun demikian tak menghalangi dirinya menjadi mukmin sejati. Sedangkan orang fasik, kendati beriman dia melakukan dosa besar, dan oleh karena itu dia kurang dipercaya, perkataan atau kabar yang datang darinya perlu dicari kebenarannya.

Allah berfirman:

 إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ; 

jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS: al-Hujurat 6).



Iman Kesadaran dan Nilai Tertinggi

Di dalam buku berjudul “Bashirat wa Esteqamat” (Penjelasan Imam Khamenei tentang Bashirah dan Istiqamah), bagian mukadimah, dikatakan: “Berbahagialah orang yang memilih imannya atas pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepedulian. Bah datang akan menghanyutkan pohon yang kokoh. Walaupun kurus dan lembut tapi ia lebih kuat, akarnya di bawah tanah. Ia tetap di tempat dengan selamat.

Dalam Islam, iman yang bernilai adalah iman kesadaran. Identik pemahaman dan pengertian. Adalah iman yang lahir atas bashirah (kepekaan batin) dengan mata terbuka tanpa rasa takut pada masalah. Tidaklah kukuh iman seorang muslim yang tak baca berita dan buku untuk wawasan; tak berjalan di lorong pasar, tak bicara dengan orang; tak terkena panas dingin; tak melihat matahari (‘uzlah). Haruslah dipilih iman yang penuh kesadaran, yang tak terampas dalam kondisi tersulit pun. Allah swt berfirman:

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَٰنِ; 

kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman..

Mengenai Ammar sahabat Rasulullah, Alquran menerangkan: Bila kamu ditekan dalam siksaan, maka ucapkan satu kalimat untuk dapat memalingkan musuh darimu sesaat. Imanmu itu bukanlah yang bisa lenyap dari hatimu karena siksaan.

Iman yang besi dipanaskan lalu ditempelkan ke leher dia, bukan main-main. Besi yang leleh didekatkan lalu ditempelkan di badannya. Namun siksaan ini tak melenyapkan imannya, yang adalah iman kesadaran yang mendalam. Iman berdasarkan pemahaman dan pikiran.

Tak asing dengan kalimat “Ulul albâb”, maknaya adalah kaum yang menggunakan daya pikir dan menjadi bijak. Siapa mereka itu? Ini salah satu poin yang indah dari Alquran. Ketika ingin mengatakan, “Ulul albâb”, ia ingin menyampaikan dan mengenalkan kaum yang bijak. Sementara masyarakat umumnya, ketika ingin mendefinisikan orang bijak mereka mengatakan: ialah orang yang juara dalam semua urusan kehidupannya, tak pernah kalah, dalam perniagaan, politik, menghadapi persaingan, semuanya di tangan dia dan dikuasainya.

Akan tetapi Alquran, tak satupun dari semua permainan tersebut diterimanya. Sebab, ia memandang nilai hakiki bagi manusia adalah menjalin hubungan dengan Allah. Dengan demikianlah Alquran mendefinisikan orang bijak. Dalam pandangannya, orang bijak adalah yang memandang (berhubungan dengan Allah) nilai paling tinggi dari apapun dan siapapun.

Ialah dalam QS: Al Imran 191 diterangkan,

 الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ; 

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”


Referensi:
Bashirat wa Esteqamat/Imam Ali Khamenei

(Khamenei/Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Imam Khamenei: “Di Medan Pengabdian Harus Berbuat Lebih Banyak dan Lebih Baik”


Satu soal terlontar dari sebuah pandangan: Apakah semua hukum Allah dan prinsip iman serta ibadah adalah agar manusia mengabdi kepada sesama? Menurutnya, iman harus dimiliki dan ibadah kepada Allah harus dilakukan, agar dengan demikian kita dapat mengabdi dengan lebih baik kepada umat. Bahwa, semua aturan agama dan dari para pemuka merupakan pengantar pengabdian kepada makhluk Tuhan. Namun menurut Syahid Mutahari berlawanan dengan pandangan itu.

Beliau mengatakan bahwa Iman dan ibadah bukanlah mukadimah pengabdian kepada manusia. Tetapi sebaliknya, pengabdian lah sebagai mukadimah iman dan ibadah. Pengabdian adalah pendahuluan menjadi orang yang berakal dan bagi semua nilai kemanusiaan. Yakni, mengabdi kepada umat agar mereka dapat digiring di jalan iman dan ibadah serta nilai kemanusiaan.

Syahid menegaskan bahwa pengabdian kepada manusia adalah mukadimah dan wadah bagi iman, bukan sebaliknya dan bukan mukadimah bagi satu sama lain. Demikianlah ajaran Islam, dan konsep inilah yang kita dapati darinya. Konsekuensi dari selain makna ini ialah bahwa semua manusia harus dipandang terpisah dari kemanusiaan mereka.

Kemudian beliau melihat sebagian orang ketika ingin mendefinisikan “irfan” (gnostik Islam), mengatakan: “Kaum ‘arif kita melontarkan perkataan yang sangat agung”

“Apa yang mereka katakan?”, tanya beliau.

“Irfan pada ujungnya sampai pada pengabdian kepada makhluk”

“Tidak!”, tegas beliau. “Tetapi di tengah perjalanan, bahkan di awal perjalanan, irfan berangkat dari pengabdian kepada makhluk. Di dalam irfan terdapat -dan harus ada- pengabdian. Tetapi pengabdian bukanlah puncak irfan, dan adalah bagian dari mukadimah Irfan. Dengan kata lain dalam syar’iat, dekat dengan Allah bukanlah mukadimah pengabdian kepada makhluk, tetapi adalah sebaliknya.

Singkatnya dari penjelasan Syahid Mutahari, dikatakan bahwa cinta adalah nilai dan puncak insaniyah. Dengan kata lain, akhir perjalanan insaniyah adalah pengabdian dan cinta. Namun Islam menolak perkataan itu. Cinta dan pengabdian kepada makhluk diapresiasi dan dipandang sebagai nilai oleh Islam. Tetapi nilai terdapat di awal perjalanan, bukan di akhir. Perjalanan tidak berujung pada pengabdian kepada makhluk. Memang dari pengabdian lah harus berangkat, namun tujuan yang utama adalah hal lain.


Spirit Pengabdian

Dalam penerapannya, pengabdian memerlukan spirit untuk menjadi berarti dan bernilai. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Khamenei baru-baru ini. Tepatnya, kemaren lusa, Rabu pagi 30/03/1397 (20 Juni 2018), di hadapan hadirin Majlis Syura beliau menyampaikan bahwa: “Spirit pengabdian adalah taqarub kepada Allah. Semua yang kalian kerjakan jika karena Allah dan di jalan-Nya, itulah pengabdian yang sejati dan modal taqarub kepada Allah.

Pada hakikatnya, sedikit ibadah (meski seberapapun banyaknya ibadah yang hamba Allah kerjakan) sebanding dengan pengabdian yang dilakukan karena Allah. Apabila spirit ini meliputi semua aktifitas dan pengabdian kita, gerak dan diam kita, akan berdampak meninggikan masyarakat dan mengantarkan umat manusia kepada hakikat diri mereka sebagaimana yang diserukan para nabi as.”

. (Bila) Kita menjadi tawanan materi, dikarenakan hanya penampakan-penampakannya yang kita pandang, hati menjadi terikat dengannya dan diri kita terpikat oleh keindahan-keindahan material. Mata kita takkan melihat selain itu bila kita terperangkap dalam lingkaran material.

Namun jika spiritualitas kita tingkatkan dan kebersihan hati kita pentingkan; bersungguh-sungguh dalam taqarub kepada Allah, melatih diri bekerja untuk Allah dan melangkah di jalan-Nya, maka spirit yang ada pada kita akan membuka mata kita pada pemandangan-pemandangan yang lebih indah, lebih tinggi dari semua keindahan dan kesenangan duniawi yang kita lihat di dunia.

Kekuasaan, selain di akhirat juga terdapat di dunia ini. Namun orang-orang yang melihat hakikat di dunia ini dengan pandangan spiritual dan menjalani hidup bahagia dengan melihat karunia-karunia ilahi yang lebih utama, mereka takkan berpaling pada semua keduniaan itu.

Bukanlah jalan yang sulit, kita semua dapat bergerak dan melangkah di jalan (ilahiah) ini. Hal ini bila kita perhatikan dalam semua urusan; apa yang ingin kita sampaikan dan kerjakan, aturan yang ingin kita benahi dan pandangan yang ingin kita diskusikan, semua pengabdian yang kita lakukan adalah karena Allah, berbuat demi keridhaan Allah. Janganlah kita melakukan apa yang kita rasa tidak diridhai Allah. Atensi ini muncul dari –dan berlaku bagi- kita semua. Pengabdian yang kita lakukan meningkatkan kualitas dan kejernihan diri kita.

Kita harus berusaha mencapai hal yang lebih dari sebelumnya, lebih baik dan lebih berkualitas. Caranya ialah berbuat lebih banyak dan lebih baik. Beginilah medan pengabdian.


Referensi:

Insan Kamil/Syahid Mutahari

(Khamenei/Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hati-Hati Menuduh Orang Lain!


Hati-Hati Menuduh Orang Lain !

Imam Ja’far As-Shodiq as berpesan,

إِذَا اتَّهَمَ المُؤْمِنُ أَخَاهُ اِنْمَاثَ الْإِيْمَان مِنْ قَلْبِهِ كَمَا يَنْمَاثُ الْمِلْحُ فِي الْمَاءِ

“Jika seorang mukmin menuduh saudaranya (dengan tuduhan yang tidak pasti) maka keimanan akan luntur dari hatinya seperti garam yang luntur didalam air.”

(Al-Kafi)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: