Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Berpikir Lebih Utama Dari Belajar

Berpikir Lebih Utama Dari Belajar

Written By Unknown on Senin, 09 Juli 2018 | Juli 09, 2018


Tak sekedar memberi pengetahuan, pendidikan melatih daya pikir dan menghidupkan daya kreasi. Berbeda dengan pengajaran yang bagiannya adalah ilmu dan belajar, bagian pendidikan adalah akal dan berpikir.

Manusia memiliki daya kreasi, yang istilahnya dari ucapan Imam Ali adalah ilmu mathbu’ (yang terbentuk). Yakni, ilmu yang sudah terbentuk dalam fitrah manusia, bersumber dari dirinya dan tidak diperoleh dari orang lain. Membedakannya dari ilmu masmu’ (yang terdengar), yang takkan bermanfaat jika tidak terbentuk. (Nahjul Balaghah/al-Hikmah 331)

Sebagian orang tidak mencapai ilmu mathbu’ kebanyakan disebabkan oleh masalah pengajaran dan pendidikan yang tidak mengaktifkan potensi mereka. Banyak orang yang berpengetahuan seperti alat rekam, disebabkan oleh masalah potensi dan penerimaan atau masalah pengajaran dan pendidikan. Mereka belajar dengan baik, rajin dan menghapal pelajaran-pelajaran, hingga kemudian menjadi seorang pengajar.

Mereka menelaah buku dan mengetahui halaman-halamannya secara detail, sekiranya ditanya suatu masalah akan menjawabnya dengan benar. Namun bila ditanya soal sisi lainnya mereka tidak bisa menjawab, karena pengetahuan mereka sebatas apa-apa yang didengar (ilmu masmu’), tanpa dapat mengambil manfaat dan membawa kesimpulan dari pengetahuannya itu. Sebagian orang bahkan mengukuhkan perkara yang bertentangan dengan apa-apa yang telah mereka pelajari.

Oleh karena itu, terkadang orang berilmu yang sebenarnya dia itu dungu. Berilmu tapi jumud akal, dan tak bedanya dengan kaum awam.


Mewujudkan Daya Analisa dan Memotivasi untuk Berkreasi

Dua tugas penting bagi seorang guru terhadap muridnya, yang dijelaskan oleh Syahid Mutahari melalui dua kisah berikut ini:

Yang pertama, satu kisah yang ber-‘ibrah; Seorang paranormal mendapat posisi khusus di sisi raja, dan menerima gaji bulanan darinya. Dia ajari putranya ilmu gaib, dipersiapkan untuk menempati posisinya kelak. Pada suatu hari, ia datang dengan putranya bermaksud mempromosikan dia kepada raja. Maka raja ingin menguji anak itu. Ia menggenggam telor, dan bertanya kepadanya, “Apa di tanganku ini?” Anak itu tak bisa menjawab.

“Tengahnya kuning diliputi putih!”, kata raja. Setelah berpikir, anak itu mengatakan, “Itu batu penggiling di tengahnya ubi lobak.”

Dengan disesalkan hal itu, raja menoleh kepada bapaknya dan berkata: “Apa yang telah kau ajarkan kepada anakmu?”

Ia menjawab, “Aku telah mengajari dia ilmu dengan baik, tapi dia tak menggunakan akalnya.” Artinya, dia berilmu tapi lemah akal. Dia tidak mencapai pengetahuan bahwa batu penggiling tak tercakup oleh tangan. Adalah bagian dari permasalahan yang harus dinilai oleh akal.

Yang kedua, kisah lainnya; seorang pelajar pergi ke satu kota. Di tengah perjalanan bertemu dengan seorang petani dan melontarkan beberapa soal kepadanya. Lalu si petani menjawabnya dengan sangat baik. “Di mana kamu belajar?”, tanya si pelajar.

“Kami banyak berfikir karena kami buta huruf!”, jawabnya. Adalah jawaban yang sarat makna. Yakni, bahwa pelajar berbicara tentang apa yang dia ketahui, namun petani itu mengatakan: “Saya berpikir!”, dan berpikir lebih utama dari belajar.

Jadi, harus ada pembinaan pribadi yang berpikir dan berdaya analisa serta interpretasi dalam permasalahan. Inilah perkara yang mendasar di dalam metode pengajaran dan pendidikan. Tugas guru selain mengajarkan ilmu, mewujudkan daya analisa pada muridnya, bukan memenuhi otaknya dengan berbagai informasi dan teori. Sebab, banyak informasi kadang menekan otak si murid sehingga menjadi dangkal.

Syahid Mutahari mengungkapkan; fulan belajar tigapuluh tahun kepada Almarhum Naeni, atau duapuluh lima tahun kepada Dhiya`uddin al-‘Iraqi, seakan tak punya peluang dan waktu untuk berpikir. Ia selalu menimba ilmu. Mengerahkan segenap dayanya untuk itu, sehingga tak menemukan satu tema pun kendati punya potensi untuk itu.

Otak manusia mirip lambungnya. Lambung harus menerima makanan dari luar dan mempunyai sisi lain untuk kesanggupan. Harus ada ruang di dalamnya agar makanan bergerak dengan leluasa dan dapat dicerna serta dipilah-pilah. Tetapi lambung yang full makanan, tak ada sisa ruang di dalamnya, sehingga tak berpeluang untuk mencerna makanan dengan baik. Hal ini berakibat kerusakan pada alat pencernaan dan proses penyerapan. Demikian halnya dengan otak manusia, pelajar harus memiliki peluang untuk berpikir dan mendorong untuk berkreasi.

Di makalah sebelumnya dijelaskan tentang dua tugas penting guru, yaitu mewujudkan daya analisa dan memotivasi murid untuk berkreasi. Poin penting lainnya sebagai mukadimah makalah ini ialah bahwa banyak guru dan masa yang lama dalam belajar, bukan parameter tarbiyah.

Syahid Mutahari mengungkapkan: “Sebagian guru generasi belakangan tak belajar banyak kepada Syaikh Anshari, dan tak banyak hadir (di kelas) para guru mereka ketimbang yang lain.

Syaikh Anshari di masa beliau belajar, sedikit sekali baginya dalam menimba ilmu. Beliau pergi ke Najaf dan belajar tak banyak kepada Asatidzah di sana, kemudian menimba ilmu kepada sejumlah guru di berbagai wilayah lainnya, lalu ke Masyhad. Tetapi beliau tak mengagumi hal menuntut ilmu. Kemudian pergi ke Tehran. Tak lama kemudian ke Isfahan dan menetap lebih lama di sana, belajar ilmu rijal kepada Sayed Muhammad Baqir. Kemudian pergi ke Kasyan, dan tinggal di sana selama tiga tahun, dan belajar kepada Naraqi.

Jika dihitung masa waktu menuntut ilmu bagi Syakh Anshari, tak lebih dari sepuluh tahun, dibanding yang lain belajar sampai duapuluh lima atau tigapuluh tahun lamanya.

Sayed Borujurdi pun demikian, belajar selama sepuluh sampai limabelas tahun kepada para guru level teratas. Tujuh atau delapan tahun belajar di Najaf dan tiga atau empat tahun di Isfahan. Para pelajar Najaf menolak beliau sebagai orang alim, dengan alasan tidak banyak belajar. Menurut mereka harus belajar selama tigapuluh tahun. Akan tetapi, meskipun sedikit belajarnya kepada para guru, temuannya dalam permasalahan ilmiah lebih banyak dari yang lain semasanya. Artinya bahwa beliau berpikir dalam permasalahan yang memerlukan berfikir.

Bagaimanapun tujuan pengajaran dan pendidikan ialah membina pelajar secara pikiran. Terhadap masyarakat pun demikian, bahwa seorang pendidik, guru atau penceramah atau penasihat harus berusaha mengarahkan daya pikir, bukan memenuhi informasi-informasi di dalam otak mereka dan kemudian tak membawa kesimpulan. Berpikir merupakan proses pikir, dan daya pikir lah yang membuat kesimpulan.


Belajar dan Berpikir Dua Hal yang Berbeda

Menarik perkataan dari Almarhum Syaikh Hujjat, bahwa ijtihad yang sejati ialah seseorang menghadapi masalah baru yang tak dia ketahui sebelumnya dan tak disebutkan di dalam kitab-kitab. Lalu ia mencapai kesimpulan yang baru dari penerapan ushul yang ada. Jika tidak demikian, orang yang belajar hukum melalui kitab al-Jawahir, lalu mengatakan: “Saya mengetahui, sang penulis al-Jawahir punya pandangan terkait masalah ini dan Saya mengikuti pandangannya.” Ini bukanlah ijtihad..

Ijtihad merupakan kreasi, mengembalikan cabang ke dasarnya. Banyak mujtahid, yang pada kenyataannya mereka itu muqallid (yang mengikuti pandangan orang lain). Dalam tiap sekian abad muncul seseorang mengubah prinsip-prinsip ushul dan membawakan ushul yang lain dan kaidah-kaidah baru, kemudian diikuti oleh mujtahid-mujtahid lainya. Jadi, orang itulah yang mujtahid sebenarnya. Ia membawa pemikiran baru dan diterima dalam arti diikuti oleh yang lain dalam fikih.

Namun demikian proses berpikir tak terwujud tanpa pengajaran sebagai modal perenungan. Islam mengatakan bahwa tafakur (berpikir) adalah ibadah, merupakan masalah yang bukan masalah belajar yang juga adalah ibadah. Jadi, di sini ada dua masalah, yaitu tentang pengajaran bahwa belajar adalah ibadah, dan tentang tafakur bahwa berpikir adalah ibadah. Dengan keutamaan tafakur bahwa pertama, riwayatnya lebih banyak daripada riwayat tentang belajar (dan banyak ayat Alquran tentang tafakur dan berpikir). Kedua, di dalam tafakur seseorang mendapatkan kesimpulan-kesimpulan dari pikirannya. Jadi, pikiran bisa bertambah kuat dan matang.

Islam menyerukan pengajaran ilmu dari sejak awal wahyu yang turun (QS: al-‘Alaq 1-5) kepada Rasulullah saw, dan membedakan orang yang berilmu dari orang yang tak berilmu (QS: az-Zumar 9).

Rasulullah saw bersabda:
 
 بالتعليم ارسلت; 
 
(“Aku diutus dengan pengajaran.”) 
 
Beliau mengungkapkannya ketika masuk masjid melihat sekelompok orang sibuk beribadah, sementara kelompok lain dalam pencarian ilmu. Lalu berkata, “Keduanya dalam kebaikan. Tetapi aku diutus dengan pengajaran.” Kemudian beliau menghampiri kelompok yang kedua dan duduk bersama mereka.

Dalam QS: al-Jumuah 2, kata “yuzakkîhim” dalam ayat ini berkaitan dengan tarbiyah. Lalu apakah “hikmah” yang dimaksud ayat? Hikmah ialah hakikat yang seseorang dapati, dan Allah swt berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (QS: al-Baqarah 269)

Referensi:

At-Ta’lim wa at-Tarbiyah fi al-Islam/Syahid Mutahari

(Khamenei/Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: