Oleh: Harry Tjahjono
Setyo Novanto berulang bilang akan minta perlindungan Presiden terkait kasus yang dihadapinya. Menanggapi hal itu, kepada jurnalis seusai menghadiri Pembukaan Simposium Nasional Kebudayaan 2017 di Balai Kartini, Senin, 20/11/2017, Jokowi sampai tiga kali menjawab, “Saya kan sudah menyampaikan Pak Setya Novanto untuk mengikuti proses hukum yang ada. Sudah.”
Jelas, tegas, mudah dimengerti dan mencerminkan sikap kenegaraan yang berkomitmen tinggi terhadap penegakan hukum.
Jawaban Jokowi itu mengingatkan saya kepada sosok Gus Dur yang meyakini bahwa penegakan hukum adalah kunci bernegara untuk mewujudkan adanya perlakuan warga yang sama di mata UUD.
Agar ketimpangan bisa diselesaikan dan demokrasi bisa ditegakkan.
Pada Rabu, 7 Maret 2007, saya yang kebetulan cukup dekat dengan Gus Dur meminta beliau menjadi pembicara dalam acara launching Tabloid deFacto yang saya pimpin. Acara bertajuk “Ngaji Demokrasi Bareng Gus Dur” itu diselenggarakan di Hotel Sultan Jakarta. Sejumlah tokoh nasional, intelektual, budayawan dan artis hadir, antara lain WS Rendra, Sarwono Kusumaatmaja, Agum Gumelar, Butet K, Arswendo, Sys NS, Roy Marten, M Sobary, Faisal Basri, Eep Saefulloh, Effendi Gazali, Happy Salma dan puluhan nama beken lain.
Dan hadirin terkesima uraian Gus Dur tentang kedaulatan hukum sebagai kunci penegakan demokrasi yang disampaikan dengan bahasa yang jelas, tegas dan mudah dimengerti.
Menurut Gus Dur, “Kedaulatan hukum belum sepenuhnya tegak di negeri kita. Seolah-olah yang berkuasa di negeri ini bukanlah hukum tetapi lembaga tertentu saja, yang tentu saja melakukan tindakan-tindakan “ekstra konstitusional” alias bertindak di luar hukum. Di sinilah inti dari sebuah sistem masyarakat, apakah ia negara hukum atau bukan? Kita memiliki konstitusi yang tidak pernah dipatuhi oleh siapapun, termasuk oleh pembuatnya sendiri.
Buktinya adalah penguasa menjadi sangat berkuasa, lebih dari apa yang seharusnya ia miliki menurut undang-undang.”
Dalam “Ngaji Demokrasi Bareng Gus Dur” itu, diuraikan makna Kedaulatan Hukum dan Demokrasi yang telah Gus Dur tulis pada 4 Desember 2003, bahwa, “Kunci bagi tegaknya demokrasi di negeri ini adalah tegaknya kedaulatan hukum.
Dan kedaulatan hukum hanya tegak kalau kita berani menjalankan peraturan-peraturan intern yang kita buat untuk kalangan kita sendiri, maupun untuk rumah tangga. Karenanya membangun demokrasi bukanlah dari hal yang muluk-muluk, melainkan sesuatu yang biasa dan harus dilaksanakan berulang kali secara terus-menerus. Ia bukanlah slogan yang hebat dan harus didengung-dengungkan setiap saat, melainkan hal-hal kecil yang dilakukan secara terus-menerus.
Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?”
Jawaban Jokowi yang jelas, tegas dan mudah dimengerti bahwa Setya Novanto harus mengikuti proses hukum, adalah harapan nyata bagi tegaknya kedaulatan dan tegaknya demokrasi di negeri ini.
Setya Novanto, Ketua Umum partai besar, Ketua DPR RI, tokoh yang oleh Presiden AS Donald Trump pernah disebut “orang paling berkuasa di Indonesia”, faktanya tidak membuat Jokowi gentar!
Demikian BeJo. Begitulah Jokowi
(Neo-Vista/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar