Saya sengaja tidak bikin tulisan ketika Garut masih dalam suasana mencekam atas pro dan kontra kedatangan Bachtiar Nasir untuk memberikan tablig akbar di Masjid Agung Garut. Walaupun sempat memanas namun akhirnya bisa terlaksana berpindah di lain tempat dalam sebuah pengamanan ketat.
Bagi saya keberatan ormas NU terhadap kehadiran BN dan kawan-kawannya, tidak perlu dibaca secara lahiriah tapi lebih kepada makna simbolik. Keberatan itu sebagai counter culture atas seringnya dakwah dijadikan panggung politik untuk mempromosikan sikap keberagamaan yang nyata-nyata berseberangan dengan roh bernegara. Ceramah yang bukan membawa pada ketenangan tapi malah menuduh mereka yang berbeda sebagai kafir, Pancasila dan UUD 1945 thagut. Jejak digital tidak mudah dihapus tentang potret ormas yang nyata-nyata masuk dalam kategori sebagaimana ditenggarai Perppu No 2 tentang keormasan tahun 2017.
Garis Politik
Sikap tegas NU seperti itu seringkali dibaca naif sebagian kalangan bahkan tidak sedikit juga akademisi yang menyimpulkan secara tergesa-gesa seolah-olah NU adalah ormas yang telah terbeli penguasa. Kesimpulan seperti ini tidak hanya melambangkan sesat pikir, rabun sejarah tapi juga kekanak-kanakan kalau tidak harus disebut kejahilan.
Sedikit saja membuka lembaran sejarah, ketika Jenderal Soeharto berkuasa dan NU menjadi ormas yang “dipinggirkan” tidak kemudian sikapnya terhadap negara berubah. Bahkan tahun 1984 dalam Munas Alim Ulama di Situbondo (1983) menerima Pancasila sebagai asas tunggal justru ketika ormas lain menolak. Kata KH. Achmad Siddiq, “Nahdlatul Ulama menerima Pancasila menurut bunyi dan makna yang terkandung dalam Undang-Undang 1945 (bil lafdhi wal ma’nal murad), dengan rasa tanggung jawab dan tawakkal kepada Allah.”
Dalam ungkapan KH Abdurrahman Wahid, “Penerimaan atas Pancasila sebagai asas itu juga dilakukan secara keagamaan, dalam arti mendudukan agama dan Pancasila pada tempat masing-masing tanpa harus dipertentangkan. Antara Pancasila sebagai landasan ideologis-konstitusional dan akidah Islam menurut faham ahlisunnah waljamaah sebagai landasan keimanan, tidak dapat dipertentangkan…berakidah adalah tindakan mengkonkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama.”.
Sikap “akomodatif” bukan hanya hari ini, tapi sejak silam. KH Hasyim Asy’ari untuk kepentingan jangka panjang menyerukan santri-santrinya ikut latihan militer bersama Jepang bahkan mbah Hasyimnya sendiri sempat menjadi menteri agamanya (Shumubu). Kyai Wahab Hasbullah dituduh komunis gara-gara menerima faham nasakomnya Bung Karno. Sikap sikap seperti itu malah yang mempercepat keruntuhan Jepang dan gagalnya kudeta komunis. HMI yang semula hendak dibubarkan Bung Karno tidak jadi karena saran NU.
NU (dan Muhamadiyah) bisa membedakan antara negeri (country), negara (state), bangsa (nation), masyarakat (society), dan rakyat (people). Misalnya saja dalam konsep nation melekat sebuah peneguhan untuk menghargai keragaman. Bhineka tunggal ika bukan sekadar slogan tapi menjadi bagian dari pengalaman. Kebencian terhadap pemerintah tidak harus kemudian kehilangan akal sehat menawarkan sistem lain di luar kesepakatan bersama yang telah diikrarkan para pendiri bangsa yang di antara mereka adalah ulama.
Totoh Ghozali
Melihat hiruk pikuk Garut, saya jadi rindu sosok penceramah kondang yang lahir di Limbangan Garut KH Abdul Fatah Ghozali atau terkenal Totoh Ghozali. Ajengan sederhana dengan tutur kata santun, lembut dan penggunaan bahsa Sunda yang ngaguluyur.
Dalam setiap ceramahnya tidak pernah ada nada menghasut dan menghina tapi justru menginjeksikan pentingnya keberanian mengkritik diri sendiri.
Ceramah-ceramahnya benar-benar mampu masuk dalam alam pikiran manusia Sunda. Nada bicaranya sama sekali tidak ada kesan menggurui tapi khalayak di bawa bersama-sama merenungkan hakikat hidupnya dengan menghidupkan banyak tokoh dalam narasi ceramahnya. Tokoh-tokoh dalam isi ceramahnya satu sama lain berdialog dan seolah justru kita yang ada menjadi bagian dari dialog itu.
Ajengan Ghozali seandainya merasa perlu mengkritik penguasa maka hal itu dilakukan dengan cerdas dan sama sekali tidak kemudian bermetamorfosa sebagai agitator tetapi tetap istikomah dalam maqam keulamaannya. Hal lain sebagai salah satu kelebihannya adalah kemampuannya menghidupkan suasana dengan lelucon terukur. Leluconnya sama sekali tidak berlebihan. Humor-humornya bukan untuk mentertawakan orang lain tapi mentertawakan diri sendiri. Maka nyaris dalam setiap ceramahnya tidak pernah terdengar jamaah meneriakkan “Allahu Akbar” dengan tangan terkepal dan muka penuh kemarahan.
Kabupaten unik
Garut sebagai tempat kelahiran saya memang kabupaten unik. Banyak peristiwa nasional terjadi di Garut. Sebut saja misalnya pada masa kolonial pemberontakan lokal Cimareme (1919), gerakan bawah tanah Afdeling B (1919), setelah kemerdekaan gerakan DI/NII. Pasca reformasi hanya di kabuaten Garut yang pernah terjadi pergantian Bupati sampai tiga kali dalam satu periode pemerintahan dan yang terakhir adalah Aceng Fikri yang diturunkan paksa gara-gara nikah siri tapi setelah itu karier politiknya menaik mejadi anggota DPD merangkap Ketua Partai Hanura Jawa Barat. Tahun 1926 seorang novelis asal Yaman Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf pernah nenulis novel Fatat Garut yang memotret kejelitaan gadis Garut sekaligus peristiwa sosial yang mengitarinya pada tahun 1922. Tahun 2016 di Garut Selatan ditemukan banyak patung harimau unik yang bisa tertawa yang hebatnya dipajang di markas tentara.
Satu hal lain yang juga hari ini banyak diprotes masyarakat adalah (rencana) pembukaan pabrik di lahan-lahan subur dan kawasan pendidikan di Garut Utara. Ini harus dibicarakan tuntas oleh seluruh elemen masyarakat dilihat dari semua aspeknya, dipercakapkan manfaat dan madaratnya dengan tidak terburu-buru. Sebab kalau tidak bisa menjadi api dalam sekam. Khawatir yang terjadi bukan adu domba, tapi adu manusia.
Judul asli: Hiruk Pikuk Garut
Dr. Asep Salahudin
(Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat)
(HWMI-Cyber-Team/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar